- REUTERS
VIVAnews - "Ane dan beberapa sobat ane menawarkan jasa exclusive buat agan sekalian. Baik dari personal maupun perusahaan yang berminat menambah followers twitter secara instan namun bertahap." Demikian tulis salah seorang penyedia jasa trending topics di situs forum Kaskus.
Penyedia jasa layanan trending topics saat ini sedang marak di media sosial. Penjual jasa yang sering disebut dengan istilah "joki" ini siap menerima order trending topics apa pun dengan harga bervariasi.
"Agan bisa request hashtag apa yang agan mau dan kapan jadwal tayangnya di list trending topics, bisa kami atur," tulisnya meyakinkan. Joki ini mematok tarif Rp750 ribu untuk nampang di trending topics dalam waktu singkat.
Dhani, salah seorang joki yang lain menawarkan harga lebih murah, yakni Rp200 ribu. "Mungkin tak banyak yang bisa membuat suatu hashtag menjadi trending topics di Twitter, tetapi ane akan membuat hashtag yang diminta agan menjadi trending topics di Twitter," demikian promosinya di Kaskus.
Ia mengklaim, hashtag apa pun yang ia munculkan pasti akan menjadi trending topics.
Pendiri situs jejaring sosial berbasis minat lokal, MindTalk, Danny Oei Wirianto mengatakan, keberadaan joki trending topics ini sangat mengganggu kenyamanan pengguna Twitter. Ia menilai, cara tersebut sangat murahan.
Sebab menurut dia, para joki tersebut hampir dipastikan mengerahkan ribuan hingga jutaan "pasukan" akun anonim atau akun bot yang telah diprogram.
"Ya mereka (joki) pinter. Cuma ya pinter-pinter dangkal. Mereka ingin jumlah user banyak untuk jadi trending topics dengan mengandalkan akun bot. Sudah pasti ini mengganggu. Karena biasanya bot-bot akun ini berbau porno dan bersifat tweet provokatif," ujar Danny saat ditemui di kantornya di kawasan Slipi, Jakarta Barat, Kamis, 9 Oktober 2014.
Menurut dia, algoritma trending topics tak terlalu canggih, karena hanya berbasis berapa banyak akun yang menge-tweet tentang suatu topik tertentu.
"Twitter tidak mempunyai alat untuk menganalisis trending topics secara otomatis. Dan kebiasaan dari joki adalah memaksimalkan hashtag dalam satu tweet dan menggunakan akun-akun palsu yang jumlahnya ribuan bahkan jutaan," tuturnya.
Dibanding platform konvensional, platform ini menawarkan sejumlah keunggulan guna mencapai target audiens dalam waktu cepat dengan biaya murah.
Platform digital unggul dalam targeted profiling audience. Sebab, setiap pengguna platform digital harus memasukkan profil demografi, minimal usia dan jenis kelamin.
Dengan demikian, memudahkan untuk menentukan akurasi target oleh pemasar brand atau pengiklan. Kedua, platform digital lebih terukur. Misalnya, sebuah artikel sudah dibaca berapa kali oleh pembaca, sangat mudah terlacak.
"Jadi, kita bisa melihat hasil dari setiap aktivitas, sehingga bisa menentukan campaign atau media mana yang efektif buat brand kita," ujar Danny.
Selain itu, platform digital bisa lebih cepat memproduksi konten dan bisa meng-engagement. Brand bisa didialogkan dengan audiens secara langsung. Proses melibatkan audiens pun lebih cepat dibandingkan platform tradisional. Dan yang pasti, promosi dengan cara ini lebih murah.
Meski memiliki sejumlah keunggulan, untuk memasarkan brand di platform ini perlu memperhatikan beberapa hal. Di antaranya, mengetahui dan mengerti mengenai target pasar, alat digital, sampai tren yang sedang hangat. Brand positioning juga harus diperhatikan. Dan yang tak kalah penting adalah virality dan shareability.
"Kreativitas sangat dibutuhkan dalam membuat kampanye digital, sehingga brand kita bisa di-share ke masyarakat tanpa paksaan," kata dia.
Tak Efektif
Danny mengatakan, Twitter tak cocok menggerakkan audiens untuk membeli barang atau layanan tertentu. Hal ini terjadi, karena jumlah tweet terlalu banyak untuk dimonitor, sehingga banyak user yang hanya membaca headline dan melakukan retweet tanpa membaca detail terlebih dahulu.
Menurut dia, Twitter hanya cocok untuk membangun kesadaran atau alat customer service untuk merespons komplain dari konsumen. Selain itu, kekuatan trending topics juga sangat terbatas karena hanya bertahan dalam hitungan jam.
"Setelah itu tidak ada manfaat selain menaikkan ego dari pemilik brand," ujarnya.
Ia menilai, membangun brand melalui trending topics tak efektif sama sekali. Sebaliknya, cara itu akan menghancurkan brand. Alasannya, para joki mewujudkan trending topics dengan memakai akun bot yang kebanyakan akun porno.
"Kita tidak mau disuarakan oleh akun porno bukan? Kalau pakai bot, image brand kita langsung jelek. Ya, Anda bayarnya pakai kacang, yang datang ya yang kecil," tuturnya.
Menurut dia, cara yang lebih elegan membangun awareness brand adalah menggunakan buzzer tweet atau endoser. Baginya buzzer bisa menaikkan rasa penasaran pengguna, namun tak efektif jika menyangkut brand. Karena, terlalu banyak tweet yang lalu lalang, sehingga ada kemungkinan tweet sang buzzer terlewatkan.
Pengamat media sosial Enda Nasution mengatakan, dalam bisnis di platform media sosial yang lebih ditekankan adalah endoser. Karena, audiens akan lebih sadar dengan melihat pemilik akun dan tweet yang disampaikan. Namun, peran endoser dalam mempromosikan brand akan berhasil menyita perhatian jika menggunakan pakar atau ahli dari bidang tertentu.
"Endoser itu semacam rekomendasi. Misalnya endoser dari pakar masak. Kalau yang nge-tweet Farah Quinn, itu lebih efektif. Sebab dianggap sebagai rekomendasi para ahli ataupun influencer," ujarnya.
Peran endoser ini cukup penting untuk membantu meyakinkan audiens di Twitter terkait brand tertentu. Sebab peran marketing ini berbeda dari iklan, yang akan dengan tegas menyatakan produk yang ditawarkan nomor satu. Namun, agar berhasil, pemilik brand jangan hanya mengandalkan peran endoser semata.
Jerat Hukum
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tak terlalu memperhatikan, terkait maraknya bisnis trending topics di sosial media.
"Sebenarnya kalau sesuatu itu di ranah publik, biar publik menilai saja. Bisnis itu sah-sah saja menurut hukum. Biar pasar yang menilai," ujar Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo, Ismail Cawidu.
Ia mengatakan, Kominfo tak pernah mengatur trending topics yang muncul di Twitter. Menurut dia, fenomena itu hanyalah kreasi para pengguna Twitter yang berbasis jumlah topik tweet yang diperbincangkan.
"Jadi, kemarin ada kasus trending topics tiba-tiba turun (setelah sempat muncul). Itu hukum pasar bukan Kominfo yang menghilangkan," ujarnya.
Menurut dia, fenomena trending topics bisa menjadi pembelajaran bagi publik, terutama jika konten yang dimunculkan berisi. Cawidu mencontohkan sidang DPR beberapa waktu lalu yang menyita perhatian para pengguna Twitter.
"Itu kemarin masalah politik contohnya. Buat saya pribadi, itu konten yang mendidik. Dalam proses pembelajaran, pro-kontra itu biar saja, itu risiko negara demokrasi, orang akan belajar dari itu," kata dia.
Namun, komentar berbeda disampaikan Aloysius Wisnusubroto. Pakar hukum telematika asal Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini mengatakan, meski sah secara bisnis, namun bisnis trending topics berpotensi melanggar hukum. Ia mencontohkan, guna mewujudkan permintaan nampang di trending topics, penyedia jasa bisa menggunakan rekayasa atau manipulasi teknologi.
"Kalau menggunakan rekayasa teknologi atau manipulasi itu tak boleh. Sebab ada unsur penipuan, ada unsur ketidakjujuran," ujarnya.
Selain itu, bisnis trending topics berpotensi terjerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hal itu terjadi, jika ada pengguna Twitter lain yang merasa dirugikan dalam hal mendapatkan informasi.
"Jika ada pengguna lain merasa hak informasinya dirugikan. Keberadaan bisnis itu bisa dikaitkan dengan UU ITE, khususnya terkait pasal transaksi bermuatan elektronik yang berisi konten menyesatkan," kata dia.