- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews - Raut wajahnya terlihat lelah. Sorot matanya memandang jauh. Di depannya masih berderet 15 motor. Berjejer teratur di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) wilayah Bekasi.
Selasa, 26 Agustus 2014, di pergelangan tangannya jam sudah menunjuk pukul 05.50 WIB. Pria berusia 60 tahun itu harus berburu dengan waktu.
Sudah 30 menit, Pakde, sapaan bapak beranak satu itu, belum mendapat premium untuk sepeda motornya. Hari itu, dia harus mengantar anak-anak pelanggannya ke sekolah.
“Masih harus jemput dan antar tiga anak mas. Kasihan kalau mereka telat ke sekolah,” kata Pakde kepada VIVAnews.
Ya, Pakde adalah pengojek yang beroperasi di kawasan Jatiasih, Bekasi. Setiap hari, dia menghidupi istri dan keluarganya dari hasil mengojek.
Sudah belasan tahun dia menekuni pekerjaan itu. Berbekal sepeda motor keluaran tahun 2006, dua hingga tiga kali seminggu, dia rutin mengisi tangki bahan bakar motornya.
Namun, pemandangan berbeda dia temui pagi itu. Antrean mobil dan sepeda motor sudah mengular di SPBU, tempat ia biasa mengisi premium.
“Hari ini nggak ada premium mas. Kata petugasnya habis. Ya, terpaksa isi pertamax dulu,” ujar dia.
Pakde bukan satu-satunya yang merasakan susahnya mendapat premium belakangan ini. Kondisi itu ditengarai sudah terjadi sejak pertengahan Agustus 2014 lalu.
Di berbagai daerah di Indonesia, antrean panjang di sejumlah SPBU juga terjadi. Di Yogyakarta, Bogor, Palembang, Denpasar, Kalimantan, hingga Aceh, “kepanikan” sempat menghinggapi sebagian masyarakat.
Di Yogyakarta misalnya, Joko, salah satu pengecer BBM bersubsidi harus rela bermalam di SPBU Patalan, Jalan Yogya-Parangtritis untuk sekadar mengisi satu jeriken dengan kapasitas 30 liter.
Senin malam, 25 Agustus 2014, dia sudah mengantre sejak pukul 22.00 WIB. Namun, baru mendapatkan BBM keesokan harinya, Selasa 26 Agustus 2014 sekitar pukul 10.00 WIB.
Harga BBM eceran itu biasanya dijual Rp10.000 per liter. Ada juga yang masih menjual Rp8.500 per liter, tapi dengan takaran kurang dari 1 liter.
"Penjual BBM eceran beralasan harga bensin naik, karena mencari sulit dan harus antre semalaman," ujar Wanti (42).
Warga Badekan, Kabupaten Bantul itu memilih antre di SPBU daripada harus membeli bensin eceran yang harganya melonjak. Meskipun, dia perlu 30 menit untuk mendapatkan 4 liter premium.
Dari pantauan VIVAnews di SPBU Bantul Kota, Yogyakarta, pengguna sepeda motor dan mobil juga sudah antre premium sejak pukul 07.00 WIB. Hingga pukul 10.30 WIB, antrean mobil bahkan sudah mencapai 300 meter. Sementara itu, sepeda motor mengular dua lajur sekitar 150 meter.
"Penyediaan solar bagi kami merupakan kebutuhan pokok untuk menopang mata pencaharian," ujar Suwardi saat ditemui VIVAnews, Rabu 27 Agustus 2014.
Di ujung Sumatera, meski tak terjadi antrean panjang, SPBU di Lhokseumawe, Aceh, juga sempat kehabisan BBM. SPBU tersebut kekurangan bahan bakar minyak bersubsidi jenis solar.
Kepada VIVAnews, petugas di SPBU Blang Panyang, Lhokseumawe, mengatakan, menipisnya stok BBM jenis solar itu karena berkurangnya pasokan solar dari Pertamina.
“Biasanya satu hari kami dipasok sampai 24 ton, namun sekarang cuma 8 ton,” ujar Fandika, Selasa, 26 Agustus 2014.
Kondisi serupa terlihat di SPBU di Palembang. Sejak diberlakukan pengendalian BBM bersubsidi, antrean pemilik kendaraan masih normal.
Di wilayah ini, pembatasan BBM bersubsidi hanya terjadi di dua SPBU, yakni SPBU Jalan Taman Kenten serta SPBU kawasan Jalan Kolonel Haji Barlian.
Namun, situasi berbeda terjadi pada stasiun pengisian bahan bakar banker (SPBB) di perairan Sungai Musi. Sejumlah kapal tongkang tidak dapat beroperasi, karena tidak mendapatkan solar.
Dari pantauan VIVAnews, Rabu 27 Agustus 2014, pengisian hanya dilakukan SPBB tertentu. Bahkan, di SPBB kawasan 1 Ilir, Palembang, terpampang pengumuman SPBB itu stop beroperasi.
Norman (40), pengemudi perahu motor yang mangkal tak jauh dari lokasi SPBB, mengatakan, di perairan Sungai Musi sejak Minggu 24 Agustus 2014 sudah tidak lagi melayani pembeli. “Bahan bakar yang dijual sudah habis mas,” katanya.
Chandra, salah satu pengelola SPBB Nomor 2711606 Kawasan Kidul, 11 Ilir, Palembang, membenarkan kondisi itu dikarenakan solar non subsidi miliknya juga tidak mencukupi permintaan pelanggan.
“Sudah tiga hari kami terpaksa tutup,” ujar Chandra.
Di Kalimantan Barat, kelangkaan bahan bakar minyak jenis solar dan premium juga sudah lama terjadi. Antrean panjang mengular di sejumlah SPBU di Bumi Khatulistiwa ini.
Menurut warga perbatasan RI-Malaysia di Kecamatan Empanang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Nikolaus Sanen. Harga BBM bukan masalah utama. Namun, yang terpenting adalah ketersediaan pasokan BBM di masyarakat.
“Harga murah, tapi BBM tidak tersedia, sama juga bohong,” keluhnya, saat berbincang dengan VIVAnews.
Kekosongan stok BBM, menurut dia, dapat mengganggu aktivitas perekonomian di daerahnya. Akibatnya, warga terpaksa membeli di kios bensin.
Tak jarang, kata dia, masyarakat membeli premium produk Malaysia. Selain kualitas bagus, takarannya juga pas. “Bensin Malaysia Rp12 ribu per liter. Bensinya bagus, nggak dicampur," katanya.
Di Pulau Dewata, Bali, warga pun kelimpungan mencari BBM. Tidak hanya premium, BBM jenis pertamax juga langka. Antrean panjang tak terhindarkan.
Berdasarkan pantauan VIVAnews, sejumlah SPBU di kawasan Denpasar ramai oleh kendaraan roda dua dan empat. Antrean di SPBU Sesetan, Buluh Indah, Kreneng dan Imam Bonjol bahkan hingga ke jalan raya.
"Antreannya terlalu panjang. Saya tidak punya cukup waktu. Ya, terpaksa beli bensin eceran di 'Pertamini'," kata Andri kepada VIVAnews, Rabu 27 Agustus 2014.
Benarkah Langka?
Cerita antrean di sejumlah SPBU di daerah itu memunculkan spekulasi BBM langka. Sebagian masyarakat sempat panik, karena beberapa SPBU juga tutup.
Di beberapa SPBU terdapat papan pengumuman stok premium, pertamax, dan solar habis. Untuk SPBU yang masih beroperasi, stok premium umumnya kosong. Petugas pun menganjurkan penggunaan pertamax.
Namun, kepanikan atas kelangkaan BBM tersebut dibantah manajemen PT Pertamina. BUMN di sektor energi itu menyatakan, antrean tersebut merupakan konsekuensi dari pembatasan penyaluran BBM bersubsidi.
"Yang dilakukan Pertamina adalah mengurangi penyaluran harian premium bersubsidi hanya sebesar 5 persen di setiap SPBU," kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya, di DPR, Jakarta, Senin 25 Agustus 2014.
Hanung mencontohkan, jika setiap hari SPBU menjual 20 ribu liter premium bersubsidi, dengan pembatasan itu, jatah di SPBU dipotong seribu liter. Pengurangan itu akan dikompensasi dengan premium non subsidi.
Solar bersubsidi pun tak luput dari pemangkasan. Pertamina mengunci 10-15 persen jatah solar bersubsidi kepada SPBU.
Hanung mengakui, membatasi penyaluran BBM bersubsidi merupakan keputusan sulit. Perusahaan dihadapkan dengan dua pilihan. Pertama, menyalurkan BBM bersubsidi tanpa dibatasi dan akan habis sebelum akhir tahun, atau membatasi kuota harian dan menyalurkan BBM non-public service obligations (PSO).
Dia pun menyebut perilaku masyarakat yang memicu kelangkaan itu. “Ada panic buying yang terjadi di masyarakat,” tuturnya. " Yang biasanya mengisi 10 liter jadi full tank. Itu terjadi panic rush yang sebenarnya tak perlu terjadi," kata dia.
Data Pertamina mencatat, kuota BBM bersubsidi pada 2014 sebanyak 48 juta kiloliter (KL) dan perseroan mendapat jatah 47,04 juta KL. Jumlah tersebut terdiri atas premium bersubsidi 32 juta KL, solar bersubsidi 14,14 juta KL, dan minyak tanah 900 ribu KL.
Namun, pada APBN-P 2014, jatah BBM bersubsidi terpangkas 2 juta KL. Kuota BBM bersubsidi Pertamina pun berkurang menjadi 45,35 juta KL yang terdiri atas premium 29,29 juta KL, solar 15,16 juta KL, dan minyak tanah 900 ribu KL.
Hingga 31 Juli 2014, realisasi penyaluran premium yang disalurkan Pertamina setiap hari sebanyak 81.132 KL. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan kuota dalam APBN-P 2014 sebanyak 80.240 KL per hari. Realisasi solar pun mencapai 43.207 KL per hari.
Di wilayah timur Indonesia, PT. Pertamina Wilayah VIII Papua-Maluku pun mengklaim, stok BBM semua jenis hingga akhir tahun ini mencukupi. Untuk itu, masyarakat diimbau tidak perlu khawatir.
General Manager Pertamina Wilayah VIII, Maluku-Papua, M. Irfan, menjelaskan, karena stok sangat mencukupi, kebijakan pembatasan untuk pembelian BBM di wilayah Maluku dan Papua belum diterapkan.
"Stok cukup, belum ada pemberlakuan pembatasan dalam membeli BBM," jelasnya. Jatah BBM untuk Maluku dan Papua tahun ini mencapai 1,1 juta barel.
Meski belum ada kebijakan pembatasan pembelian BBM, masyarakat tidak diperbolehkan membeli dengan jeriken. "Kecuali konsumen tertentu seperti nelayan, petani yang tak bisa membawa kendaraannya ke SPBU. Itu pun, mereka harus membawa surat rekomendasi," tuturnya.
Sementara itu, Vice Presiden Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, mengatakan, jika tidak dibatasi, kuota BBM bersubsidi tak akan cukup pada hingga akhir tahun. Ali menjelaskan, sisa kuota premium bersubsidi saat ini tinggal 10 juta KL dan harus dibagi 140 hari untuk 5 ribu SPBU seluruh Indonesia. Solar bersubsidi pun jatahnya hanya tinggal 5,5 juta untuk 140 hari.
Dengan pembatasan ini, Pertamina mengklaim bisa menekan konsumsi premium dan solar. Vice Presiden Fuel Marketing Pertamina, M. Iskandar, menambahkan, konsumsi premium bersubsidi turun dengan diberlakukannya kebijakan pembatasan BBM itu. "Hemat 5 ribu KL per hari," kata Iskandar di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu , 27 Agustus 2014.
Menurut data Pertamina, pembatasan penyaluran BBM bersubsidi telah mendorong konsumsi premium turun dari 81,5 ribu KL per hari menjadi 75,7 ribu KL per hari. Konsumsi solar bersubsidi pun berkurang dari 44 ribu KL menjadi 38 ribu KL per hari. Pertamina pun mencatat ada kenaikan konsumsi Pertamax, tapi tak signifikan.
"Ada kenaikan untuk Pertamax, tapi cuma 500 KL per hari. Biasanya konsumsinya 2.800 KL per hari. Dengan pembatasan itu, konsumsinya jadi 3.300 KL per hari," kata dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, juga menepis anggapan kelangkaan BBM di sejumlah daerah. "Jangan menggunakan kategori langka, lalu rakyat berpikir solar dan premium tak ada. Yang benar adalah BBM bersubsidi dibatasi. Yang non subsidi, berapa mau beli pun ada. Beli pertamax ada. Jangan mengesankan langka," kata Wacik di Komisi VII DPR RI, Jakarta.
Dia meminta masyarakat untuk menggunakan BBM non subsidi, terutama bagi golongan kelas menengah ke atas yang mampu membeli BBM non PSO tersebut.
"Tinggal diimbau mobil mewah yang masih ngantre premium, cobalah pakai pertamax," kata dia.
Selain itu, pemerintah menegaskan, BBM tak bisa dihargai murah lagi. "Tidak mungkin bisa membuat BBM murah. BBM itu mahal, sebagian impor. Jangan Anda berpikir BBM murah. BBM premium Rp6.500 per liter itu sudah sangat murah. Pemerintah menyubsidi Rp5.000 sudah sangat murah," kata dia.
Apabila kuota BBM habis sebelum masanya, Wacik menegaskan, tidak akan mengajukan kuota lagi. Sebab, upaya tersebut akan menambah beban negara.
Untuk pengendalian BBM bersubsidi itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menyerahkan teknis pelaksanaan kepada badan usaha yang diserahi tugas itu.
"Tugas BPH Migas adalah memberi penugasan badan usaha untuk menyalurkan BBM sejumlah volume tertentu. Operasionalnya diatur oleh badan usaha," kata anggota komisioner BPH Migas, Ibrahim Hasyim, ketika dihubungi VIVAnews.
Tugas tersebut, lanjut dia, memang diberikan BPH Migas untuk menjaga kuota BBM bersubsidi agar cukup hingga akhir tahun.
Sejumlah kendaraan mengantre membeli Pertamax di SPBU Laweyan, Solo, 26 Agustus 2014. Mereka rela membeli Pertamax setelah bensin bersubsidi di wilayah itu habis. (Foto: VIVAnews/Fajar Sodiq)
Namun, upaya Pertamina untuk menjaga kuota BBM bersubsidi tak jebol hingga akhir tahun hanya berumur pendek. Laporan antrean panjang masyarakat di SPBU daerah hingga ibu kota Jakarta, memicu BUMN energi itu mencabut pembatasan penyaluran BBM bersubsidi.
Hanung mengatakan, Pertamina tak lagi membatasi penyaluran BBM bersubsidi. Artinya, penyaluran BBM bersubsidi ke SPBU kembali normal. Keputusan tersebut mulai berlaku pada Selasa malam, 26 Agustus 2014.
Dia mengatakan, keputusan itu adalah permintaan pemerintah untuk mencabut aturan tersebut. "Saya dipanggil Pak CT (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung). Disampaikan arahan secara lisan, concern pemerintah. Pertamina diminta untuk menghentikan
pengkitiran," kata Hanung di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu 27 Agustus 2014.
CT meminta perusahaan pelat merah ini tetap menyalurkan BBM bersubsidi dengan normal. Namun, tetap mengendalikannya dengan cara tidak boleh melayani pembelian BBM dengan jeriken untuk dijual eceran.
"Pengawasan ini tak hanya menjadi tanggung jawab Pertamina, tapi juga BPH Migas, pemerintah daerah, dan kepolisian. Semua bertanggung jawab, karena Pertamina akan repot sekali," kata dia.
Hanung pun menjelaskan alasan diberlakukannya pembatasan penyaluran BBM bersubsidi itu. Berawal dari Menteri Keuangan, Chatib Basri, yang menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, dengan Pertamina sebagai tembusan pada 27 Juni 2014.
Isinya, kuota BBM bersubsidi tak boleh melebihi target 46 juta KL.
"BBM PSO perlu dikendalikan. Kalau tidak, kuota tak akan mencukupi sampai akhir tahun," kata dia.
Kalau jebol, Pertamina yang akan menanggung risikonya. Pembayaran subsidi BBM tak dibayarkan dan perseroan bisa melanggar APBN-P 2014. "Secara eksplisit di surat Menteri Keuangan memang tak disebut itu, tapi dengan tegas disampaikan tidak boleh melampaui pagu APBN-P 2014," tuturnya.
Hanung pun menjelaskan, sebenarnya ada aturan pemerintah yang bertujuan mengendalikan BBM bersubsidi, seperti larangan kendaraan pejabat, truk perkebunan, pertambangan, dan kehutanan mengonsumsi BBM bersubsidi. Kendaraan pejabat ditempeli larangan konsumsi BBM bersubsidi.
Namun, Hanung mengatakan bahwa aturan itu tak efektif. Padahal, jika berjalan, Pertamina menghitung bisa menghemat premium dan solar bersubsidi 500 ribu KL dalam setahun.
"Sampai saat ini, saya tidak melihat stiker itu (di kendaraan), sehingga operator SPBU tak ada pegangan. Tidak berjalan," tegas dia.
Selain itu, aturan SPBU di rest area jalan tol tak boleh menjual premium bersubsidi pun disebut tak efektif. Sebab, penjualan premium malah bertambah 700 ribu KL di SPBU luar jalan tol.
Karena itulah, Pertamina mengambil langkah untuk mengamankan kuota BBM bersubsidi.
Mendengar itu, lanjut dia, CT memberikan jawaban yang melegakan Pertamina. "Kata Pak CT, 'Nanti akan saya sampaikan kepada Kementerian Keuangan. Kebijakan ini tidak akan merugikan Pertamina'," kata dia.
Lantas, sejak Selasa 26 Agustus 2014 sore, dia meminta seluruh general manager Pertamina di seluruh daerah untuk mencabut pengkitiran dan menyalurkan BBM bersubsidi dengan jumlah normal. Sebab, tangki timbun BBM bersubsidi sudah defisit.
"Hari ini (Selasa 26 Agustus) sudah diperintahkan menyalurkan BBM bersubsidi 30 persen di atas kebutuhan harian. Misalnya, kebutuhan normalnya 31 ribu KL per hari, ditambahkan 30 persen," kata dia.
Meski demikian, Hanung mengaku normalisasi tersebut memerlukan waktu hingga tiga hari. "Mobil tangki biasa beroperasi sampai jam 20.00 WIB. Ya, untuk recover, mereka harus bekerja sampai 12 jam. Ini butuh waktu," ujar Hanung.
Sebab, ada faktor eksternal yang membuat normalisasi tak berjalan cepat. Misalnya, jalan yang macet, sehingga menghambat penyaluran BBM bersubsidi. "Mobil tangki tak bisa terbang," seloroh dia.
Dia mengklaim, upaya Pertamina untuk mengendalikan BBM bersubsidi tak sepenuhnya “gagal.” Beberapa daerah bahkan dinilai berhasil mengendalikan BBM bersubsidi. Misalnya, Batam yang mengendalikan konsumsi solar bersubsidi dengan sistem kartu.
Ali menambahkan, di Jawa Tengah, pengendalian konsumsi BBM bersubsidi pun telah berjalan. "Di Semarang, sudah ada edaran gubernur yang membatasi konsumsi BBM sepeda motor Rp20 ribu dan mobil Rp100 ribu," kata dia di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta.
Tidak hanya itu, di Jakarta Timur, SPBU 34.13210 di Jalan Pemuda, Rawamangun, menerapkan kebijakan serupa. SPBU membatasi pembelian BBM bersubsidi sebesar Rp10 ribu untuk kendaraan roda dua dan Rp100 ribu bagi kendaraan roda empat.
PT Pertamina telah mencabut pengkitiran atau penjatahan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Melalui kebijakan itu, perseroan memperkirakan kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kiloliter akan jebol.
"Secara garis besar akan ada over 1,35 juta KL BBM bersubsidi," kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya.
Hanung memperkirakan, kebutuhan harian premium akan habis 20 Desember 2014 dan solar pada 5-6 Desember 2014. Itu pun terjadi, kalau tidak ada langkah apa pun yang dilakukan, setelah pengkitiran BBM bersubsidi dicabut.
"Kalau kuota tidak ditambah dan Pertamina do nothing, hitungan kami, premium akan habis 20 Desember dan solar bersubsidi habis 5-6 Desember," kata dia.
Dampak Pembatasan
Pertamina memang sudah mencabut pembatasan penyaluran BBM bersubsidi ke SPBU. Namun, upaya pengendalian akan tetap dilanjutkan, di antaranya dengan melarang pembelian dengan jeriken.
Lantas, siapa paling terdampak jika pembatasan penyaluran BBM bersubsidi itu tetap dilanjutkan? Ketua Pariwisata - AKAP, Organda Daerah Istimewa Yogyakarta, Hantoro, mendesak pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi demi kepastian usaha ke depan.
Pembatasan BBM bersubsidi yang dilakukan Pertamina dinilai justru menimbulkan iklim usaha yang tak menentu. "Kalau memang keuangan negara berat, jujurlah kepada rakyat. Rakyat pasti mengerti juga," kata dia, awal pekan ini.
Menurut dia, dengan ketidakjelasan distribusi BBM bersubsidi, telah menimbulkan keresahan masyarakat dan juga pengusaha otobus dalam usahanya.
"Di mana-mana antrean panjang di SPBU untuk mendapatkan BBM bersubsidi. Waktu yang lama ini juga merugikan pelaku usaha otobus, karena 1 atau 2 liter BBM terbuang untuk menunggu antrean BBM," ungkapnya.
Hantoro menegaskan, bagi pelaku usaha, yang terpenting adalah kepastian kebijakan pemerintah. Kebijakan ini diperlukan agar ada kepastian usaha dan strategi yang harus dilakukan pengusaha otobus.
"Ketika tidak ada kebijakan pasti dari pemerintah, justru akan merugikan masyarakat sendiri," imbuhnya.
Sektor lain yang terganggu akibat sulitnya mendapatkan BBM bersubsidi, khususnya premium adalah nelayan di Pantai Selatan Yogyakarta. Mereka terpaksa membeli premium dengan harga Rp 9.000 per liter untuk turun melaut.
Nelayan di Pantai Selatan Yogyakarta hampir semuanya menggunakan perahu jenis jukung dengan bahan bakar premium dicampur oli untuk mesin 2 tak. Akibat pembatasan ini nelayan pun kesulitan mendapatkan pasokan BBM bersubsidi untuk melaut.
"Sudah premium susah, saat ini juga belum musim ikan," kata Dardi Nugroho, salah satu pemilik kapal nelayan, di Pantai Depok, Kabupaten Bantul, DIY.
Menurut dia, saat premium tersedia melimpah, nelayan membeli BBM dari pengecer seharga Rp7.500 per liter ditambah dengan oli sebesar Rp1.000 untuk setiap liternya.
"Setiap kali melaut, setidaknya nelayan membeli 10 sampai 20 liter," jelasnya.
Zarkasih (48), nelayan di Semarang juga mengaku pembatasan BBM bakal semakin mempersulit aktivitasnya di tengah laut. Apalagi, saat ini sedang musim paceklik yang membuat hasil tangkapan ikan menjadi berkurang banyak.
"Jadi, kalau dibatasi pasokannya, ya beban hidup kami semakin berat," ujar dia.
Saat ini, ada 100 nelayan yang kerap membeli solar di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) Tambaklorok, Semarang. Bila dilihat dari jumlah kebutuhannya, pemakaian bagi para nelayan di Tambaklorok relatif tinggi dibanding lainnya.
Ada pun harga solar yang dipatok di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan memakai harga subsidi sekitar Rp5.500 per liter.
Jadi, akan kah keinginan pelaku usaha untuk menyelesaikan persoalan pengendalian BBM bersubsidi ini akan disikapi tegas pemerintah? Misalnya dengan langsung menaikkan harga BBM bersubsidi? Kita tunggu saja. (ren)