- VIVAnews/Anhar Rizki Affandi
VIVAnews - Raut wajahnya terlihat lelah. Sorot matanya memandang jauh. Di depannya masih berderet 15 motor. Berjejer teratur di sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) wilayah Bekasi.
Selasa, 26 Agustus 2014, di pergelangan tangannya jam sudah menunjuk pukul 05.50 WIB. Pria berusia 60 tahun itu harus berburu dengan waktu.
Sudah 30 menit, Pakde, sapaan bapak beranak satu itu, belum mendapat premium untuk sepeda motornya. Hari itu, dia harus mengantar anak-anak pelanggannya ke sekolah.
“Masih harus jemput dan antar tiga anak mas. Kasihan kalau mereka telat ke sekolah,” kata Pakde kepada VIVAnews.
Ya, Pakde adalah pengojek yang beroperasi di kawasan Jatiasih, Bekasi. Setiap hari, dia menghidupi istri dan keluarganya dari hasil mengojek.
Sudah belasan tahun dia menekuni pekerjaan itu. Berbekal sepeda motor keluaran tahun 2006, dua hingga tiga kali seminggu, dia rutin mengisi tangki bahan bakar motornya.
Namun, pemandangan berbeda dia temui pagi itu. Antrean mobil dan sepeda motor sudah mengular di SPBU, tempat ia biasa mengisi premium.
“Hari ini nggak ada premium mas. Kata petugasnya habis. Ya, terpaksa isi pertamax dulu,” ujar dia.
Pakde bukan satu-satunya yang merasakan susahnya mendapat premium belakangan ini. Kondisi itu ditengarai sudah terjadi sejak pertengahan Agustus 2014 lalu.
Di berbagai daerah di Indonesia, antrean panjang di sejumlah SPBU juga terjadi. Di Yogyakarta, Bogor, Palembang, Denpasar, Kalimantan, hingga Aceh, “kepanikan” sempat menghinggapi sebagian masyarakat.
Di Yogyakarta misalnya, Joko, salah satu pengecer BBM bersubsidi harus rela bermalam di SPBU Patalan, Jalan Yogya-Parangtritis untuk sekadar mengisi satu jeriken dengan kapasitas 30 liter.
Senin malam, 25 Agustus 2014, dia sudah mengantre sejak pukul 22.00 WIB. Namun, baru mendapatkan BBM keesokan harinya, Selasa 26 Agustus 2014 sekitar pukul 10.00 WIB.
Harga BBM eceran itu biasanya dijual Rp10.000 per liter. Ada juga yang masih menjual Rp8.500 per liter, tapi dengan takaran kurang dari 1 liter.
"Penjual BBM eceran beralasan harga bensin naik, karena mencari sulit dan harus antre semalaman," ujar Wanti (42).
Warga Badekan, Kabupaten Bantul itu memilih antre di SPBU daripada harus membeli bensin eceran yang harganya melonjak. Meskipun, dia perlu 30 menit untuk mendapatkan 4 liter premium.
Dari pantauan VIVAnews di SPBU Bantul Kota, Yogyakarta, pengguna sepeda motor dan mobil juga sudah antre premium sejak pukul 07.00 WIB. Hingga pukul 10.30 WIB, antrean mobil bahkan sudah mencapai 300 meter. Sementara itu, sepeda motor mengular dua lajur sekitar 150 meter.
Benarkah Langka?
Cerita antrean di sejumlah SPBU di daerah itu memunculkan spekulasi BBM langka. Sebagian masyarakat sempat panik, karena beberapa SPBU juga tutup.
Di beberapa SPBU terdapat papan pengumuman stok premium, pertamax, dan solar habis. Untuk SPBU yang masih beroperasi, stok premium umumnya kosong. Petugas pun menganjurkan penggunaan pertamax.
Namun, kepanikan atas kelangkaan BBM tersebut dibantah manajemen PT Pertamina. BUMN di sektor energi itu menyatakan, antrean tersebut merupakan konsekuensi dari pembatasan penyaluran BBM bersubsidi.
"Yang dilakukan Pertamina adalah mengurangi penyaluran harian premium bersubsidi hanya sebesar 5 persen di setiap SPBU," kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, Hanung Budya, di DPR, Jakarta, Senin 25 Agustus 2014.
Hanung mencontohkan, jika setiap hari SPBU menjual 20 ribu liter premium bersubsidi, dengan pembatasan itu, jatah di SPBU dipotong seribu liter. Pengurangan itu akan dikompensasi dengan premium non subsidi.
Solar bersubsidi pun tak luput dari pemangkasan. Pertamina mengunci 10-15 persen jatah solar bersubsidi kepada SPBU.
Hanung mengakui, membatasi penyaluran BBM bersubsidi merupakan keputusan sulit. Perusahaan dihadapkan dengan dua pilihan. Pertama, menyalurkan BBM bersubsidi tanpa dibatasi dan akan habis sebelum akhir tahun, atau membatasi kuota harian dan menyalurkan BBM non-public service obligations (PSO).
Dia pun menyebut perilaku masyarakat yang memicu kelangkaan itu. “Ada panic buying yang terjadi di masyarakat,” tuturnya. " Yang biasanya mengisi 10 liter jadi full tank. Itu terjadi panic rush yang sebenarnya tak perlu terjadi," kata dia.
Data Pertamina mencatat, kuota BBM bersubsidi pada 2014 sebanyak 48 juta kiloliter (KL) dan perseroan mendapat jatah 47,04 juta KL. Jumlah tersebut terdiri atas premium bersubsidi 32 juta KL, solar bersubsidi 14,14 juta KL, dan minyak tanah 900 ribu KL.
Namun, pada APBN-P 2014, jatah BBM bersubsidi terpangkas 2 juta KL. Kuota BBM bersubsidi Pertamina pun berkurang menjadi 45,35 juta KL yang terdiri atas premium 29,29 juta KL, solar 15,16 juta KL, dan minyak tanah 900 ribu KL.
Hingga 31 Juli 2014, realisasi penyaluran premium yang disalurkan Pertamina setiap hari sebanyak 81.132 KL. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan kuota dalam APBN-P 2014 sebanyak 80.240 KL per hari. Realisasi solar pun mencapai 43.207 KL per hari.
Di wilayah timur Indonesia, PT. Pertamina Wilayah VIII Papua-Maluku pun mengklaim, stok BBM semua jenis hingga akhir tahun ini mencukupi. Untuk itu, masyarakat diimbau tidak perlu khawatir.
General Manager Pertamina Wilayah VIII, Maluku-Papua, M. Irfan, menjelaskan, karena stok sangat mencukupi, kebijakan pembatasan untuk pembelian BBM di wilayah Maluku dan Papua belum diterapkan.
"Stok cukup, belum ada pemberlakuan pembatasan dalam membeli BBM," jelasnya. Jatah BBM untuk Maluku dan Papua tahun ini mencapai 1,1 juta barel.
Meski belum ada kebijakan pembatasan pembelian BBM, masyarakat tidak diperbolehkan membeli dengan jeriken. "Kecuali konsumen tertentu seperti nelayan, petani yang tak bisa membawa kendaraannya ke SPBU. Itu pun, mereka harus membawa surat rekomendasi," tuturnya.
Sementara itu, Vice Presiden Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir, mengatakan, jika tidak dibatasi, kuota BBM bersubsidi tak akan cukup pada hingga akhir tahun. Ali menjelaskan, sisa kuota premium bersubsidi saat ini tinggal 10 juta KL dan harus dibagi 140 hari untuk 5 ribu SPBU seluruh Indonesia. Solar bersubsidi pun jatahnya hanya tinggal 5,5 juta untuk 140 hari.
Dengan pembatasan ini, Pertamina mengklaim bisa menekan konsumsi premium dan solar. Vice Presiden Fuel Marketing Pertamina, M. Iskandar, menambahkan, konsumsi premium bersubsidi turun dengan diberlakukannya kebijakan pembatasan BBM itu. "Hemat 5 ribu KL per hari," kata Iskandar di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu , 27 Agustus 2014.
Menurut data Pertamina, pembatasan penyaluran BBM bersubsidi telah mendorong konsumsi premium turun dari 81,5 ribu KL per hari menjadi 75,7 ribu KL per hari. Konsumsi solar bersubsidi pun berkurang dari 44 ribu KL menjadi 38 ribu KL per hari. Pertamina pun mencatat ada kenaikan konsumsi Pertamax, tapi tak signifikan.
"Ada kenaikan untuk Pertamax, tapi cuma 500 KL per hari. Biasanya konsumsinya 2.800 KL per hari. Dengan pembatasan itu, konsumsinya jadi 3.300 KL per hari," kata dia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, juga menepis anggapan kelangkaan BBM di sejumlah daerah. "Jangan menggunakan kategori langka, lalu rakyat berpikir solar dan premium tak ada. Yang benar adalah BBM bersubsidi dibatasi. Yang non subsidi, berapa mau beli pun ada. Beli pertamax ada. Jangan mengesankan langka," kata Wacik di Komisi VII DPR RI, Jakarta.
Dia meminta masyarakat untuk menggunakan BBM non subsidi, terutama bagi golongan kelas menengah ke atas yang mampu membeli BBM non PSO tersebut.
"Tinggal diimbau mobil mewah yang masih ngantre premium, cobalah pakai pertamax," kata dia.
Selain itu, pemerintah menegaskan, BBM tak bisa dihargai murah lagi. "Tidak mungkin bisa membuat BBM murah. BBM itu mahal, sebagian impor. Jangan Anda berpikir BBM murah. BBM premium Rp6.500 per liter itu sudah sangat murah. Pemerintah menyubsidi Rp5.000 sudah sangat murah," kata dia.
Apabila kuota BBM habis sebelum masanya, Wacik menegaskan, tidak akan mengajukan kuota lagi. Sebab, upaya tersebut akan menambah beban negara.
Untuk pengendalian BBM bersubsidi itu, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) menyerahkan teknis pelaksanaan kepada badan usaha yang diserahi tugas itu.
"Tugas BPH Migas adalah memberi penugasan badan usaha untuk menyalurkan BBM sejumlah volume tertentu. Operasionalnya diatur oleh badan usaha," kata anggota komisioner BPH Migas, Ibrahim Hasyim, ketika dihubungi VIVAnews.
Tugas tersebut, lanjut dia, memang diberikan BPH Migas untuk menjaga kuota BBM bersubsidi agar cukup hingga akhir tahun.
Sejumlah kendaraan mengantre membeli Pertamax di SPBU Laweyan, Solo, 26 Agustus 2014. Mereka rela membeli Pertamax setelah bensin bersubsidi di wilayah itu habis. (Foto: VIVAnews/Fajar Sodiq)
Hanung mengatakan, Pertamina tak lagi membatasi penyaluran BBM bersubsidi. Artinya, penyaluran BBM bersubsidi ke SPBU kembali normal. Keputusan tersebut mulai berlaku pada Selasa malam, 26 Agustus 2014.
Dia mengatakan, keputusan itu adalah permintaan pemerintah untuk mencabut aturan tersebut. "Saya dipanggil Pak CT (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Chairul Tanjung). Disampaikan arahan secara lisan, concern pemerintah. Pertamina diminta untuk menghentikan
pengkitiran," kata Hanung di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Rabu 27 Agustus 2014.
CT meminta perusahaan pelat merah ini tetap menyalurkan BBM bersubsidi dengan normal. Namun, tetap mengendalikannya dengan cara tidak boleh melayani pembelian BBM dengan jeriken untuk dijual eceran.
"Pengawasan ini tak hanya menjadi tanggung jawab Pertamina, tapi juga BPH Migas, pemerintah daerah, dan kepolisian. Semua bertanggung jawab, karena Pertamina akan repot sekali," kata dia.
Hanung pun menjelaskan alasan diberlakukannya pembatasan penyaluran BBM bersubsidi itu. Berawal dari Menteri Keuangan, Chatib Basri, yang menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Jero Wacik, dengan Pertamina sebagai tembusan pada 27 Juni 2014.
Isinya, kuota BBM bersubsidi tak boleh melebihi target 46 juta KL.
"BBM PSO perlu dikendalikan. Kalau tidak, kuota tak akan mencukupi sampai akhir tahun," kata dia.
Kalau jebol, Pertamina yang akan menanggung risikonya. Pembayaran subsidi BBM tak dibayarkan dan perseroan bisa melanggar APBN-P 2014. "Secara eksplisit di surat Menteri Keuangan memang tak disebut itu, tapi dengan tegas disampaikan tidak boleh melampaui pagu APBN-P 2014," tuturnya.
Hanung pun menjelaskan, sebenarnya ada aturan pemerintah yang bertujuan mengendalikan BBM bersubsidi, seperti larangan kendaraan pejabat, truk perkebunan, pertambangan, dan kehutanan mengonsumsi BBM bersubsidi. Kendaraan pejabat ditempeli larangan konsumsi BBM bersubsidi.