VIVAnews - Di pinggir suatu kolam renang, berjejer anak-anak kecil yang tidak takut menceburkan diri. Dengan gaya masing-masing mereka berupaya adu cepat.
Sesekali terdengar teriakan lantang dari seorang pria sepuh memberi instruksi kepada mereka cara berenang yang benar. Dia tetap berkharisma walau harus berkursi roda lantaran salah satu kakinya sudah diamputasi.
Namun, anak-anak di kolam renang itu segan kepada dia. Apa pun instruksi yang dia lontarkan, pasti mereka turuti demi menjadi calon-calon juara. Dia adalah Radja Murnisal Nasution.
Berkat sentuhan emas Radja, nama keluarga Nasution sudah harum di dunia olahraga renang nasional. Radja membangun dinasti Nasution untuk berjaya di cabang olahraga renang, baik tingkat nasional maupun level internasional.
Usia Radja kini telah menginjak 65 tahun, namun dia masih tetap setia berada di pinggir kolam renang untuk melatih murid-muridnya. Sejak beberapa tahun belakangan, Radja lebih sering melatih anak-anak usia 9 sampai 12 tahun di klub renang miliknya, Pari Sakti.
Namun, ketika masih melatih di tingkat nasional, Radja merupakan pelatih renang yang disegani. Pria asal Sumatera Utara ini melahirkan sejumlah perenang berprestasi, yang tak lain juga merupakan anak-anak kandungnya sendiri.
Elfira Rosa Nasution, Maya Masita Nasution, Elsa Manora Nasution, Kevin Rose Nasution, dan Muhammad Akbar Nasution, merupakan anak-anak Radja yang menjadi atlet renang nasional. Berbagai medali dari ajang SEA Games dan PON seringkali diraih oleh anak-anak Radja.
“Anak-anak saya sudah saya bawa ke kolam sejak usia empat atau lima tahun. Dulu, di dekat rumah ada kolam renang, saya hobi renang dan ingin menekuni dengan serius, dan anak-anak juga saya arahkan ke sana dan ternyata berprestasi,” terang Radja saat ditemui VIVAnews.
Nun jauh di luar kota Padang, sejumlah anak-anak berkumpul di suatu lapangan sepakbola. Sebenarnya bukan lapangan yang ideal untuk bermain sepakbola sungguhan, mengingat ukurannya hanya 60x40 meter. Itu pun lahan milik warga setempat yang dipinjam untuk berlatih sepakbola.
Di lokasi itulah mereka latihan seadanya. Sang pelatih, Aminuddin melatih 40 anak asuhnya dengan teknik penguasaan bola, seperti passing dan shooting. Tidak hanya itu, lokasi lapangan yang dekat di pantai, membuat Aminuddin tertarik melatih ketahanan fisik anak asuhnya di bibir pantai. Di pantai, mereka latihan olah tubuh dan pergerakan.
Saat ini, lapangan mereka sedikit rusak. Sebab, pemilik lahan lapangan yang biasa dipinjam, mengambil rumputnya berupa lempengan untuk dijual. Tapi mereka tetap latihan, mencari tempat lain, tapi tidak efektif.
"Saya tidak punya lapangan sendiri. Jadi ketika orang yang punya lahan yang biasa kami pinjam mengambil rumputnya, kami terpaksa mencari lapangan lain sampai rumputnya kembali tumbuh," ujar Aminuddin.
Pelatih berusia 49 tahun itu dikenal disiplin di tengah murid-muridnya. Bahkan disebut pelatih yang keras. Sesekali, Aminuddin terlihat menegur anak-anaknya dengan nada suara yang tinggi, tapi anak asuhnya menyambutnya dengan senyum.
Mereka ingin menjadi pesepakbola profesional di bawah asuhannya. Sudah ada yang sukses. Salah satunya adalah Rendi Chandra, yang tahun lalu bergabung bersama tim U-21 Sriwijaya FC. Rendi pernah bergabung di Timnas U-13 dan U-16. Ketika U-16 Rendi mengikuti latihan satu tahun di Uruguay.
Kemudian ada Joni Iskandar, yang sekarang bermain dengan tim PSP Padang, tim divisi satu ISL. Selain itu, ada juga anak asuhnya yang lolos timnas U-13 dan pernah bermain ke luar negeri.
Aminuddin bersama anak didiknya Rendi Chandra. (Foto: VIVAnews/Arjuna Nusantara)
Sains dan Seni
Para pengasah bakat ini tidak saja ditemui di lapangan maupun kolam renang. Ada juga yang mendedikasikan diri untuk mencari bakat-bakat brilian di bidang eksakta dan mengasah mereka menjadi ilmuwan hebat.
Itulah yang dilakukan Yohanes Surya. Ia hanya bermimpi sederhana, menunjukkan orang Indonesia tak kalah hebat dengan negara lain di bidang matematika dan fisika dan mampu bersaing ketika melatih anak-anak bangsa untuk mengikuti berbagai kompetisi sains dan fisika onternasional sejak tahun 1994.
Setelah 12 tahun melatih dan memimpin Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI), pria kelahiran Jakarta, 6 November 1963 ini, mampu membawa Indonesia juara dunia di ajang Olimpiade Fisika Internasional tahun 2006 yang diselenggarakan di Singapura.
Pulang ke Indonesia tahun 1994, Yohanes berkeinginan membawa anak-anak negeri ini menunjukkan taringnya di kancah internasional menjadi impian dasar baginya, semua ini karena ia cinta Indonesia dan menjadikan negeri ini jaya dan maju.
Padahal, ketika itu, Yohanes sedang dimanjakan oleh karirnya di Amerika Serikat. Namun ia lebih memilih pulang untuk mengabdi kepada Indonesia dan mengharumkannya.
Sejak tahun 1994 itu, Yohanes tak henti-hentinya melacak anak jenius dari berbagai kalangan di seluruh pelosok Indonesia, yang kemudia ia bawa untuk dilatih dan diikutsertakan ke dalam kompetisi-kompetisi bergengsi di bidang sains, matematika, maupun fisika.
Pada tahun pertamanya, lulusan Universitas Indonesia itu menyeleksi siswa-siswi SMA Indonesia, yang dimana terpilihlah 5 orang anak yaitu Oki Gunawan, Jemmy Wijaya, Yanto Suryono, Nikodemus Barli, dan Endi Sukma Dewata untuk ikut ambil bagian di kompetisi Internasional Olimpiade Fisika ke-24. Kompetisi itu melahirkan Oki Gunawan menyabet mendali perunggu untuk Indonesia. Hal ini menjadi cikal bakal lahirnya Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI).
"Pulang dari Amerika tahun 1994, saya langsung melatih anak-anak untuk olimpiade. Kemudian dari situ, saya ingin menunjukkan bahwa Indonesia bisa jadi juara dunia. Dulu, orang Indonesia pikir mentalnya mana bisa bersaing apalagi sains matematika tapi kenyataannya bisa, sampai 2006 kita juara dunia," ujar Yohanes saat ditemui VIVAnews, Kamis 14 Agustus 2014.
Yohanes Surya mendedikasikan diri untuk mencari bakat-bakat brilian di bidang eksakta. (Foto: VIVAnews/Agus Tri Haryanto)
Sementara itu, keramaian terlihat di salah satu pendopo Taman Ismail Marzuki Jakarta Pusat. Lenggak lenggok penari yang dimainkan anak-anak usia 6-15 tahun diiringi musik tradisional menambah serunya suasana sore.
Mereka berulang-ulang membuat lingkaran dan sambil bernyanyi lagu ‘Gundul-gundul pacul’ dengan suara nyaring dan sangat bersemangat. Tak sedikit orang tua dan orang di sekitar menyaksikan latihan anggota ‘Teater Senyum Manis’ tersebut.
Teater Senyum Manis sendiri merupakan unit kesenian yang bergerak dibidang teater dan kebudayaan lokal. Berdiri sejak tahun 1990an kini telah memiliki ratusan anggota, saat ini Anggotanya yang berlatih berjumlah sekitar 20 orang yang terdiri dari anak-anak Sekolah dasar (SD) hingga Sekolah menengah pertama (SMP).
Koordinator Teater Senyum Manis, Tri Pujirahayu, mengatakan awal mula berdirinya teater ini hanya melalui mulut ke mulut “Nggak ada promosi lewat iklan, kita menjalankan nya berdasarkan dari mulut kemulut aja.” Selain itu Tri menambahkan Teater ini bukan agensi artis, tapi buat tumbuh kembang mental si anak, pemimpin buat teman sekelompok.
Tidak hanya Teater Senyum Manis yang mampu menghasilkan talenta-talenta penghibur yang hebat. Aditya Gumay dikenal sebagai pelatih seni berlatalenta yang dimiliki negeri ini.
Perannya di bidang seni tidak diragukan lagi, berkat keahliannya menjadi pelatih sosok pria berbadan tinggin 170cm ini menjadi guru sekaligus panutan bagi setiap anak didiknya yang banyak muncul wajah-wajah yang menghiasi panggung pertelevisian Indonesia.
Setelah melanglang buana di dunia seni akting, Gumay mendirikan Teater Sanggar Ananda. Ini merupakan tempat yang tepat untuk mengembangkan bakat, salah satu cabangnya dapat dijumpai di daerah Taman Palem Lestari, Jakarta Barat. Dibuatnya sanggar ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi anak-anak daerah Jabodetabek dan sekitarnya yang berminat belajar dalam bidang entertainment.
Selain mendapatkan pelatihan akting, anak didiknya juga diasah kemampuannya dalam tiga materi lainnya, yaitu presenter, modeling, dan dancer. Di bawah pimpinannya, Sanggar ini berkembang cepat dan telah banyak aktor serta aktris yang dihasilkannya.
Sebut saja Dude Herlino, Ruben Onsu, Helsi Herlinda, Indra Bekti, Oky Lukman, Olga Syahputra, Zee zee Shahab, Lia Waode, Chika Waode dan lain-lain.
Sebagai pengajar sekaligus pemilik Sanggar Ananda, Gumay mengakui bahwa yang masuk untuk bergabung ke Sanggar miliknya memang sudah yang ada mempunyai bakat dari lahir, dan juga ada yang belum.
"Kalau yang sudah ada bakat kita sangat mudah mengajarnya, tapi kalau belum ada bakat bisa lama untuk bisa langsung main dan latihan satu kali dalam seminggu sangat kurang. Jadi harus benar-benar kita kerja keras dan yang terpenting selalu didukung penuh oleh orang tua," ujar Gumay.
Pengorbanan Besar
Melatih bakat-bakat muda dan mengasah mereka untuk menjadi calon juara bukanlah hal mudah. Para pengasah bakat ini mampu bertahan di tengah keterbatasan fisik dan keuangan. Keterbatasan ini dikalahkan dengan dedikasi yang hebat.
Ini yang membedakan mereka dengan guru les atau pemandu kursus. Tidak sekadar mencari penghasilan tambahan atau aktualisasi diri, namun punya hasrat tinggi memupuk para calon juara.
Lihat saja Radja Nasution. Hampir 40 tahun Radja menggeluti profesi sebagai pelatih renang. Kini, penyakit diabetes telah menggerogotinya, sehingga dia harus menggunakan kursi roda setelah kaki kanan harus diamputasi dan diganti dengan kaki palsu. Namun, hal itu tak membuat patah semangat untuk terus melatih renang anak-anak.
Amputasi itulah yang kemudian mengubah hidup Radja, dari yang semula selalu berusaha melakukan segala hal sendirian, menjadi harus sering bergantung pada orang lain, baik saat melatih maupun dalam aktivitas keseharian.
Meski demikian, tidak ada sedikit pun niat dalam dirinya untuk mengurangi porsi kegiatan melatihnya ketika sakit seperti saat ini. Frekuensi melatih Radja dengan murid-murid kelompok usia masih sama seperti sebelum dia diamputasi.
“Anak-anak tetap mendukung, malah kalau saya tidak melatih renang, saya bisa gila. Ini sudah hobi saya sejak puluhan tahun lalu, untuk mengisi aktivitas, dan saya hampir tiap hari ke kolam,” ungkapnya.
Kesetiaannya pada profesi pelatih renang juga sempat membuat dia mengalami masalah ekonomi. Penghasilan dari melatih renang dianggap tak cukup, dan hal ini pula yang, menurut Radja, membuat rumah tangganya pernah retak dan harus berpisah dari istrinya yang pertama.
Kesulitan pun dialami Aminuddin. Walau sebagai pendiri SSB Samudera, dia tidak mendapat penghasilan dari sana. Bahkan peralatan latihan, seperti gawang, dia beli dengan uang sendiri. Lalu anak asuh yang tak punya sepatu, juga dia belikan dengan uang sendiri.
Kendati mengelola sekolah sepakbola, Aminuddin tidak punya lapangan sendiri. Lapangan yang biasa dipakai, yang dipinjam ke lahan orang sebelah rumah, juga tidak memadai. Ukurannya tidak sesuai aturan.
"Saya tidak punya lapangan sendiri. Jadi ketika orang yang punya lahan yang biasa kami pinjam mengambil rumputnya, kami terpaksa mencari lapangan lain sampai rumputnya kembali tumbuh," ujarnya.
Aminuddin bercita-cita bisa membeli lapangan sendiri yang memadai. "Saya bermimpi, suatu saat kalau umur panjang dan rezeki ada, saya ingin membeli lapangan sehingga anak-anak bisa latihan dengan maksimal," kata dia.
Tapi, bagi Aminuddin, SSB Samudera bukan tempat mencari uang, melainkan tempat untuk bersenang-senang dan hiburan. "Dengan sepakbola, pergaulan kita semakin luas. Dulu sebelum ada SSB Samudera ini, saya merasa jauh dari Bupati. Tapi sekarang, melihat prestasi yang kita raih, bupati menjadi akrab dengan saya, bahkan seluruh pejabat teras itu sudah tidak ada jarak lagi," katanya.
Bangkitkan Indonesia
Membawa harum nama bangsa ke panggung dunia. Itu juga yang dicari oleh para pencari bakat seperti Yohanes Surya. Sejak tahun 1994 itu, Yohanes tak henti-hentinya melacak anak jenius dari berbagai kalangan di seluruh pelosok Indonesia, yang kemudian ia bawa untuk dilatih dan diikut sertakan ke dalam kompetisi-kompetisi bergengsi di bidang sains, matematika, maupun fisika.
Dia rela menjelajah pelosok-pelosok daerah terpencil, yang diharapkan setelah dilatih, mereka dapat melakukan penjumlahan dasar seperti kali, tambah, bagi, dan pecahan. Sehingga, dapat membenahi pendidikan secara merata di tempat tersebut.
"Saya mulai dari tahun 2008 mulai ambil anak-anak dari pelosok. Nah ternyata mereka itu yang hebat, tidak kalah dengan anak-anak di kota besar, kemampuannya bagus.
Bahkan, ada dua orang anak Papua (saat ini) di Sekolah Genius yang menonjol matematikanya. Mereka bisa mengalahkan anak-anak dengan IQ 159," ungkap Yohanes.
Dia mengatakan ia bukan hanya pengasah bakat, melainkan itu merupakan bagian salah satu cita-cita dia dalam mewujudkan untuk membangun Indonesia menjadi terdepan.
"Makanya saya bangun Surya University untuk dijadikan Indonesia sebagai negara pembangkit riset. Surya fokusnya pada riset. Anak yang kita pilih itu untuk jadi peneliti, setelah mereka menjadi peneliti, Indonesia bisa maju. Jadi tujuan akhirnya adalah Indonesia jaya, tidak hanya sebatas pencari bakat saja, melainkan bagaimana caranya mengasah bakat mereka untuk membangun bangsa ini," harap dia.
Kalau sudah menguasai bidang tersebut, kata Yohanes, yang dimana bidang fisika misalnya susah sekali, artinya Indonesia bisa sehebat negara Amerika, Tiongkok, dan lainnya. "Kenapa gak mulai segala sesuatunya," katanya.
Cita-cita itu pula yang dilontarkan oleh Radja Nasution. Dia berharap para anak didiknya ini menjadi perenang-perenang hebat di turnamen kelas dunia, seperti yang pernah diukir sejumlah mantan anak asuhnya.
“Saya ingin murid-murid yang saya latih bisa disiplin dan menikmati olahraga renang, karena ini olahraga yang menyenangkan. Saya selalu berharap cabang olahraga renang bisa mengharumkan nama Indonesia di ajang internasional,” kata Radja. (ren)
Halaman Selanjutnya
Selain mendapatkan pelatihan akting, anak didiknya juga diasah kemampuannya dalam tiga materi lainnya, yaitu presenter, modeling, dan dancer. Di bawah pimpinannya, Sanggar ini berkembang cepat dan telah banyak aktor serta aktris yang dihasilkannya.