Sumber :
- VIVAnews/Fajar GM
VIVAnews -
Cerah menaungi langit di selatan Jakarta. Beranjak siang, permukiman di Jalan Grinting III, Kebayoran Baru, itu lenggang, Rabu, 16 April 2014. Sorot matahari terasa menyengat. Tak satu pun orang lalu lalang.  Â
Mendadak deru mobil polisi memecah kesunyian kompleks itu. Di belakangnya sebuah mobil tahanan bergegas memasuki halaman rumah mewah berlantai dua. Seorang wanita muda bertubuh kurus kering terlihat digiring keluar dari mobil tahanan. Wajahnya ditutupi sarung.
Petugas bersenjata lengkap mengawalnya masuk ke rumah nomor 26, kediaman Hardi Ruslam dan Silveina Andiani Rizal. "Kami akan melakukan reka ulang pembunuhan di sini," kata Kapolsek Kebayoran Baru Ajun Komisaris Besar Anom Setiadji.
Dede Hariyati, wanita kurus 21 tahun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu diminta mengulang kembali perbuatan kejinya. Disaksikan suaminya, Agi Wiguna, 24 tahun, Dede memperagakan eksekusi pembunuhan bayinya sendiri. Dia melenyapkan nyawa anak yang baru saja dilahirkannya itu dengan cara mencekiknya menggunakan tali pusar. Peristiwa berdarah itu terjadi pada Senin dini hari, 31 Maret 2014.
Dibuang ke kloset
Pada malam sebelumnya awalnya Dede dan Agi berbincang santai di kamar. Kebetulan majikan Dede sedang pulang ke kampung halamannya di Padang. Memasuki pukul 02.00 dini hari, Dede gelisah.
Perutnya kram. Hasrat ingin buang air besar begitu memuncak. Dia pamit ke kamar kecil. Tapi Dede memutuskan masuk ke salah satu kamar majikannya yang kosong. Dia rebahan di lantai menahan sakit. Merasakan kontraksi semakin hebat. Tak lama sesosok bayi laki-laki keluar dari rahimnya.
Baca Juga :
PDI Perjuangan Pertanyakan Kasus Hasto 5 Tahun Silam Baru Dibuka Setelah Partainya Kritis ke Keluarga Jokowi
Baca Juga :
Rumah Tangga Beby Tsabina Dipuji Bak Cerita Drakor, Netizen: Dulu Sandra Dewi Juga Begini
Sial, jejak pembunuhan itu pertama kali tercium oleh majikan Dede yang tiba pada siang harinya. Silveina curiga melihat ceceran darah di kamarnya. Vivi, panggilan Silveina, meminta penjelasan Dede soal darah segar itu. Dede berkilah itu darah menstruasi.
Vivi tidak percaya begitu saja. Dia membawa Dede ke Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Cilandak. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, terungkap Dede baru saja melakukan persalinan. "Kepada dokter yang memeriksanya, Dede juga mengaku ia memang telah melahirkan," kata Ajun Komisaris Besar Anom Setiadji.
Vivi mendesak Dede berterus terang di mana dia menyimpan bayinya. Pada majikan wanitanya itu, Dede berkata bahwa ia membuang bayinya di kloset. Ditemani salah satu keponakannya, Vivi menyaksikan bayi itu terbujur kaku di tempat buang air besar. Tubuhnya terbungkus kain seprai berwarna merah. Badannya membiru, dan di lehernya ada bekas tiga lilitan tali pusar.
Sungguh ironis apa yang terjadi pada Dede. Ibu, manusia pilihan Tuhan untuk melahirkan kehidupan, justru membinasakan darah dagingnya sendiri. Barangkali ini salah satu cerita kelam dari Kartini kita.
Peristiwa mengiris hati itu tidak hanya di Jakarta. Di Bandung, Jawa Barat, pada pertengahan Maret lalu, Dedeh Uum Fatimah tega membunuh anaknya yang baru 2,5 tahun dengan cara menenggelamkannya ke penampungan air. Bocah wanita itu dibiarkan mati lemas di bak tertutup selama satu jam.
Masalahnya kejadian itu juga tak sedikit. Dalam satu tahun belakangan ini setidaknya sudah ada sembilan kasus ibu membunuh anak kandungnya terjadi di Indonesia. (lihat ).
Dari kisah itu, ada juga anak yang beruntung karena selamat dari maut sebagai buntut kemelut cinta ibu kandung (baca bagian 3: ).
Alasan ekonomi
Mengapa seorang Ibu bisa begitu kejam? Terpaksa, itu alasan Dede membunuh bayinya. Keadaan yang mendorongnya berbuat nekat. Wanita berkulit hitam legam itu terikat perjanjian tidak hamil selama bekerja di rumah majikannya. Apalagi dia dan suami telah meminjam uang Rp10 juta di muka untuk membangun rumah di kampung. Kontrak kadung ditandatangani. "Dia belum siap punya anak, di samping itu dia sudah berjanji dengan majikannya untuk tidak hamil," kata Anom kepada
VIVAnews
.   Â
Suami dan ayah mertua Dede memang lebih dulu mengenal Hardi dan Vivi. Keduanya pernah membangun rumah Vivi di Padang. Sang mertua menawarkan jasa menantunya sebagai pembantu rumah tangga. Kebetulan saat itu Vivi membutuhkan pembantu. Dede mulai bekerja di sana pada Desember 2013.
Selain tak boleh hamil, Dede juga harus tinggal di rumah majikannya saat lebaran. Setiap bulan Dede menerima gaji Rp1,2 juta. Tapi dipotong Rp1 juta untuk melunasi utang. Anom meyakini kepolisian tidak akan menyelidiki perjanjian yang dibuat Dede dan majikannya. Sebab, itu sah-sah saja selama disepakati oleh kedua belah pihak.
Meski demikian, majikan Dede, Hardi Ruslam, 54 tahun, menyangkal adanya perjanjian itu. "Tidak ada perjanjian 'tidak boleh hamil'. Tidak ada. Itu media menggoreng beritanya saja," kata Hardi saat ditemui di rumahnya.
Soal pinjaman uang, Hardi membenarkan. "Iya dia pinjam 10 juta. Mau Rp14 juta mulanya," ujar Hardi. Dia memastikan tidak ada hal lain yang dipersyaratkan untuk perjanjian tersebut, selain BPKB motor milik suami Dede.
Sampai saat ini Hardi berkeyakinan Dede tidak membunuh bayinya itu. Di mata Hardi, Dede adalah orang baik yang berasal dari keluarga bahagia. "Waktu dia melihat saya membunuh ulat saja ngeri, dia takut. Tidak terbayangkan. Apalagi dia dulu, sebelum kerja di sini dia sempat jadi pengasuh anak-anak."
"Jadi yang saya yakin, dia melahirkan, tidak sempat ditolong. Kesimpulan dokter juga begitu," ujar Hardi menyimpulkan. Hardi menyayangkan Dede menyembunyikan kehamilannya. Seandainya Dede berterus terang, Hardi menjamin akan bersedia mengantarkannya ke rumah sakit untuk melakukan persalinan.
Dua kali melilit
Kehamilan Dede ini memang tidak diketahui sejak awal. Tidak ada yang menyangka jika tubuhnya yang membengkak itu karena sedang mengandung. Agi yang menikahi Dede pada Agustus 2013 itu juga tidak tahu istrinya telah berbadan dua. "Saya sudah berusaha jelaskan ke polisi, tapi tidak ada yang percaya kalau saya tidak tahu istri sedang hamil," kata pekerja bangunan itu.
Sama dengan Agi, saudara kandung Dede juga tak tahu-menahu kehamilan Dede. Apalagi sebelum berangkat ke Jakarta pada Desember lalu Dede sudah disuntik KB. "Jadi, tidak mungkin kalau dia hamil, dan menstruasinya masih lancar," kata Nurhasanah, kakak Dede.
Polisi menetapkan Dede sebagai pelaku tunggal dalam pembunuhan itu. Jeruji besi telah menantinya. Dia dijerat pasal 341 KUHP tentang pembunuhan terhadap anak yang baru dilahirkan. Ancaman hukumannya 7 tahun penjara. Selama penyidikan, Dede diinapkan di ruang perawatan tahanan Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur.
Ketika dijenguk
VIVAnews
, Dede menolak menjelaskan lagi kejadian itu. Beberapa pertanyaan tak dijawabnya. Dia lebih banyak diam. "
Embuh, ribet.
Kan sudah diceritakan sama kakak saya (Nurhasanah-red). Sama seperti itu. Saya hanya melilit dua kali," kata Dede di ruang flamboyan kamar 207 pada Senin, 14 April 2014.
Menurut Dede, bayi itu lahir tanpa nyawa, karena tak ada suara tangisan. "Tidak ada. Dia lahir sudah dalam keadaan meninggal." Saat ditanya apakah akan pasrah bila dihukum berat, Dede hanya menjawab singkat. "Ya mau bagaimana lagi, pasrah ya tidak mungkin. Tapi ya sudahlah, pusing saya."Â
Peran suami
Dede memang menjadi tersangka tunggal pembunuh anaknya sendiri. Tapi sesungguhnya, dia juga korban. Pakar psikologi forensik dari Universitas Bina Nusantara, Reza Indragiri Amriel, menganggap kasus ini bukan hanya dilatarbelakangi kesulitan ekonomi. Kondisi psikologis dan tekanan juga punya andil terjadinya aksi sadis itu. "Terlalu sederhana jika kita hanya mencermati sebatas pada momen pembunuhannya saja," kata Reza.
Pembunuhan ini bisa jadi puncak dari tekanan yang berasal dari perjanjian utang itu. Ditambah lagi kondisi Dede tak stabil usai melahirkan. Panik menguasai seluruh jiwanya.
Serangan panik itu menyebabkan Dede tak mampu menguasai dirinya sendiri. Reza menganggap polisi perlu memeriksa riwayat kesehatan Dede untuk mengetahui indikasi serangan panik di malam nahas itu. "Bagaimana dia mengelola stres, bagaimana dia mengatasi kecemasan, bagaimana dia beradaptasi, jika tidak terbentuk secara baik, bisa memuncak pada serangan panik yang muncul secara tiba-tiba," ujarnya.
Faktor tekanan yang dialami, kata dia, bisa dijadikan pertimbangan majelis hakim di persidangan nanti untuk memberikan keringanan hukuman. "Dia salah, tapi belum tentu layak dihukum. Semua unsur yang tadi saya sebutkan bisa menjadi peringanan," ucap dia.
Reza memandang, majikan yang mempersyaratkan perjanjian untuk tidak hamil kepada Dede, bisa disorot sebagai salah satu pihak yang bersalah. Ia mengatakan, jika majikan Dede terbukti menyugesti, mereka juga patut dihukum. "Jika si majikan terbukti menyugesti, dia salah dan bisa dihukum," ujarnya. Karena itu, polisi harus benar-benar memeriksa secara menyeluruh elemen kasus ini sebelum memajukannya ke persidangan.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, menyebutkan ada banyak faktor di balik insiden mengerikan seperti itu. Untuk kasus Dede, dia mengungkapkan, itu faktor eksploitasi, bukan sekadar kemiskinan. "Miskin pun berhak kok untuk hamil. Apa larangannya orang punya suami tidak boleh hamil?," kata Arist.
Hukum dan media juga harus memandang persoalan ini secara adil. Arist melihat selama ini pemberitaan seringkali hanya menyasar korban dan ibu korban sebagai pelaku. Sedangkan ayah yang sebenarnya ikut bertanggungjawab luput dari ekspos dan proses hukum. "Laki-laki juga harus diperkarakan. Jika pihak wanita saja itu sangat tidak adil di mata hukum. Laki-laki juga ikut bertanggungjawab," ujarnya.
Tujuannya satu: agar kisah kelam ini tak selalu berulang kepada generasi penerus Kartini. (eh)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Masalahnya kejadian itu juga tak sedikit. Dalam satu tahun belakangan ini setidaknya sudah ada sembilan kasus ibu membunuh anak kandungnya terjadi di Indonesia. (lihat ).