- NASA/GSFC/METI/ERSDAC/JAROS, and U.S./Japan ASTER Science Team
Kapal kecil itu terbalik. Padahal tinggal sekayuh masuk dermaga. Pertengahan Juni 1983 itu Labuan Bajo terlihat garing. Terik menikam di siang hari. Dingin angin tenggara di malam hari. Penduduk tak banyak. Kota kecil di bibir barat pantai Flores itu cuma ibukota Kecamatan Komodo. Ke kota itulah kapal kecil itu berangkat dari Bima. Tersungkur sebelum sampai.
Seisi kapal tumpah. Juga Jerman Abdullah bersama sejumlah penumpang. Buru-buru mereka menyelamatkan barang. Abdullah menjunjung tas ransel. Sebab ijazah SMA dari Bima ada di tas itu. Tiba di pantai mereka menjemur barang bawaan, seperti menjemur ikan sehabis menjala. Abdullah menjemur ijazah. Sedang memanas ijazah itulah Simon Suandi datang ke situ. Simon adalah Kepala UP Taman Nasional Komodo.
Perjumpaan singkat dengan Simon itu mengayun Abdullah ke Pulau Komodo. Tempat ribuan kadal raksasa purba itu menetap. Pulau itu masuk wilayah Manggarai Barat. Berbaris di gugusan pulau-pulau kecil antara Flores di Nusa Tenggara Timur dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Pada tahun-tahun itu hewan langka ini belum sesohor sekarang. Penduduk di sana juga tak banyak. Lebih banyak jumlah binatang buas itu daripada manusia. Abdullah ditawari menjadi pawang hewan ganas ini. Turun-temurun dari keluarga nelayan, ia menerima tawaran itu.
Berlayarlah Abdullah ke Komodo. Satu setengah jam perjalanan. Mengurus hewan buas sebanyak itu, jumlah pawang cuma 20 orang. "Saya yang paling muda," kisah Abdullah kepada VIVANews. Enam tahun bekerja sebagai honorer ia diangkat menjadi pegawai negeri. Gaji Rp38 ribu sebulan.
Menjadi pawang terbilang melelahkan. Pukul enam pagi sudah membawa turis keliling. Pada masa itu kaum pelancong sudah berbondong ke sana. Saban hari, Kapal Ferry yang melaut dari Sape Bima ke Labuan Bajo singgah di Komodo. Puluhan turis turun di situ. Lantaran tak ada penginapan, para turis itu tidur di sejumlah shelter. "Sepanjang malam sejumlah pawang terpaksa ronda menjaga mereka, agar tidak disantap komodo,”kenang Abdullah.
Bertahun-tahun menjadi pawang, berkali-kali nyawa Abdullah ditubir jurang. Nyaris jadi menu makanan Komodo. Suatu ketika di tahun1986. Ia memandu dua pelancong dari Swiss. Keluar masuk hutan melihat hewan langka ini. Tiba-tiba seekor Komodo berukuran sedang menyerang mereka. Semua lari tunggang langgang. Tapi berlari tak tentu arah di hutan seperti itu, malah akan jadi sasaran empuk. Bisa-bisa dikeroyok lalu tercabik.
Satu-satunya pilihan adalah memanjat pohon. Mereka memanjat pohon Bidara. Ini pohon rindang, yang banyak tumbuh di Pulau Komodo, Flores Barat dan pulau-pulau kecil lain. Buah pohon Bidara itu kecil-kecil dan manis disantap. Memanjat pohon itulah mereka menyelamatkan diri. Tapi si Komodo ganas itu susul memanjat. Dua turis itu pucat pasih. Gemetar ketika sang Komodo kian dekat. Ajal terasa sudah dekat. Beruntung dahan yang dirayapi si Komodo patah. Kadal raksasa itu pun roboh ke tanah. Lalu dihalau pawang lain. "Itu salah satu pengalaman terburuk saya," kata Abdullah.
Abdullah tak habis pikir, mengapa hewan itu tidak takluk dengan tongkat pawangnya. Belakangan turis perempuan yang dibawa Abdullah mengaku sedang menstruasi. Abdullah marah. Sebab sebelum bergegas ke hutan, dia mengingatkan soal itu. Wanita yang sedang haid dilarang keras ikut ke hutan. "Komodo sangat buas jika mencium darah,” katanya.
Berhari-hari bersama hewan itu, Abdullah jadi hafal tabiat mereka. Komodo yang ganas bisa diketahui dari cara dia merebahkan kepala ke tanah. Gerak mata yang liar menunjukkan ia sedang mengincar. Ketika menunjukkan gelagat menyergap itu dilarang keras mengayun sesuatu. Sebab Komodo menduga itulah targetnya.
Pernah ada seorang turis, kisah Abdullah, mengayunkan tas ketika mata Komodo mulai jelalatan. Melihat tas itu bergerak si Komodo langsung menyergap. Beruntung hewan itu segera takluk oleh tongkat pemandu para pawang. Nyawa turis itu pun selamat.
Kematian Baron Rudolf
Hari itu tanggal 18 Juli 1974. Serombongan penggelana tiba di Komodo. Mereka datang dengan kapal. Jauh dari Eropa. Ikut dalam rombongan itu Baron Rudolf von Reding Biberegg. Ia seorang penggelana dari negeri Swiss. Usianya sudah petang. 78 tahun. Sudah lama ia bermimpi melancong ke Pulau Komodo. Sejumlah tempat nan ganas di beberapa negara sudah disinggahi. Hari itu bersama sejumlah kawannya mereka tracking ke Ponceng.
Ponceng adalah sebuah puncak di Pulau Komodo. Entah kenapa, Baron berpisah dari rombongan. Dari kejauhan ia terlihat duduk di sebuah bukit. Dari bukit itu ia melambaikan tangan kepada teman-temannya. Sesudah itu ia lenyap. Rekan-rekan, para pawang dan warga setempat menggelar operasi pencarian. Tapi Baron tak tampak.
Yang ditemukan cuma tripod, kamera dan sepatunya yang berlumuran darah. Di bukit tempat sang baron menghilang, warga mendirikan salib bertuliskan “Untuk Mengenang Baron Rudolf von Reding Biberegg, lahir di Swiss 8 Agustus 1895 dan hilang di pulau ini tanggal 18 Juli 1974”.
Kisah soal baron Rudolf ini selalu dikenang warga. Para pawang meneruskan cerita ini kepada pawang pemula agar mereka berhati-hati memandu turis ke hutan. Itu pengalaman berharga. “Itu membuktikan bahwa jika melanggar aturan di daerah buas, maka fatal akibatnya,” tegas Abdullah.
Komodo memang buas. Bisa membunuh dengan fisik yang kuat. Juga racun dari mulutnya. Para peneliti dari Australia, sebagaimana disiarkan laman stasiun televisi al-Jazeera, Selasa 19 Mei 2009, menemukan racun yang bisa menyebabkan shock dan menurunkan tekanan darah dalam mulut Komodo. Sebelumnya sejumlah ahli menduga hewan ini memiliki berjuta bakteri di air liurnya. Diserbu bakteri dalam jumlah massal orang bisa tewas.
Para peneliti dari Australia itu memakai tampilan gambar beresonansi magnetik.
Bryan Fry, ketua tim peneliti dari Universitas Melbourne itu, menegaskan bahwa gambar dari komputer menunjukkan komodo melakukan manuver "cengkeram dan robek" saat menggigit tubuh korban. Manuver itu sama dengan yang dilakukan ikan hiu.
Fry sempat menyingkirkan kelenjar bisa dari seekor komodo yang sakit parah di Kebun Binatang Singapura untuk diteliti. Kelenjar itu mengandung racun mematikan yang menyebabkan keram yang hebat pada perut dan menyebabkan hypothermia, dan turunnya tekanan darah. Fry juga mengatakan bahwa bisa itu mampu mencegah darah untuk menggumpal.
Dia menilai bahwa tekanan darah turun secara cepat memperlemah tubuh. Lalu "habis" bersamaan dengan banyaknya darah yang keluar.
Darah yang keluar kelewat banyak dan racun itulah yang menyudahi Muhammad Anwar, Senin 23 Maret 2009. Hari itu, pria berusia 31 tahun ini memanjat pohon nira. Air nira itu akan diolah menjadi gula. Entah karena kurang awas, Anwar jatuh. Ia langsung dikeroyok dua Komodo. Tidak seimbang memang. Anwar babak belur.
Warga bisa menghalau dua hewan itu, tapi Anwar sudah terkulai. "Kedua tangan, tubuh, kaki, sampai leher digigit komodo," kata Theresia Tawa, tetangga korban sebagaimana dikutip AP, Selasa 24 Maret 2009. Ia sempat dilarikan ke Rumah Sakit Umum di Labuan Bajo. Tapi nyawanya tidak tertolong.
Kisah seperti ini banyak terjadi di sana. Ada yang tewas, ada juga yang selamat. Salah satu yang selamat adalah Main. Ia seorang penjaga hutan. Berusia 46 tahun. Suatu ketika ia sedang duduk santai di rumah panggung. Tanpa di sadari dua Komodo merayap naik. Keduanya cepat menyergap. Satu di kaki. Satu lagi hendak mengunyak tangan. Untung dia berteriak. Lalu melompat lewat jendela. Ia selamat tapi ada 30 jahitan di kaki dan tangan.
Legenda Gerong dan Orah
Selain di Pulau Komodo, hewan langka ini juga ada di Pulau Rinca dan Pulau Kode. Pulau Komodo sendiri cuma seluas 1.817 km persegi. Selain hewan itu, penduduk juga berkembang di pulau itu. Sejumlah catatan menyebutkan bahwa penduduk asli pulau itu adalah suku Ata Modo. Pulau itu kemudian dihuni suku campuran dari Bima, Bugis dan Bajo.
Menurut Haji Amir, seorang Kampung Komodo, konon kampung itu dahulunya bernama Kampung Najo. Karena ditemukan oleh saudagar dari utara bernama Najo. Suatu ketika, kisahnya, Epa --anak perempuan Najo-- hendak melahirkan. Sesuai tradisi kampung, tidak diperbolehkan bersalin secara alamiah. Harus dibedah. Mengunakan pisau dari kulit bambu. Ini cara menghindari resiko kematian.
Saat hari lahir itu tiba, seorang dukun beranak membedah perut Epa. Keluar lah dua sosok mahluk hidup. Satunya bayi laki-laki, satunya lagi bayi kadal. Meski terkejut, takdir itu diterima. Epa dan suaminya Wake memberi nama Gerong untuk manusia, yang kadal dinamai Orah. Kian besar, Orah mulai ganas. Semua hewan peliharaan disambar. Penduduk marah. Lalu mengusirnya ke hutan. Meski begitu, sesekali ia datang diam-diam.
Hubungan Komodo dengan penduduk asli, kata Haji Amir, sangat dekat. Orang luar susah merasakannya. “Halaman kampung kami kerap didatangi hewan itu. Namun belum pernah ada kasus gigitan komodo terhadap warga,” kata Haji Amir.
Menghormati komodo yang diangap satu leluhur itu, warga keturunan Najo sesekali menggelar ritual adat. Ritual itu namanya Aru Gele. Pada upacara adat itu warga menumbuk buah pohon untuk jadi makanan. Penduduk Komodo kini berjumlah 1.500 orang. Mereka berasal dari berbagai suku. Bugis, Bima, dan Manggarai. Umumnya mereka bekerja sebagai nelayan.
Seiring dengan regulasi konservasi Taman Nasional Komodo, para nelayan itu mengaku kini tak leluasa lagi menjala ikan. Itu sebabnya banyak yang berpindah profesi jadi pematung Komodo. Rupa-rupa ukuran. Besar, sedang dan kecil. Harga bervariasi. Mulai dari Rp50 ribu.
Laporan Jo Kenaru/ Pulau Komodo