- dok pribadi
VIVAnews - Jarum pendek di jam dinding belum lagi menyentuh angka tiga. Namun kesibukan di pojok lantai 22 Gedung II BPPT Jakarta, sore itu, cukup menyita perhatian.
Kurir dari sebuah restoran mengantarkan puluhan kotak hidangan. Dari balik salah satu kubikal tak begitu besar, seorang perempuan berjilbab sigap menerima pesanan itu.
Dia adalah Dr Eng Eniya Listiani Dewi, peneliti madya pada Pusat Teknologi Material, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Perempuan itu akrab disapa Dewi. Pada pukul 16.00 WIB hari itu, dia harus membawa kotak-kotak tadi ke bus kantor, yang akan mengantarnya pulang ke Bogor.
“Makanan ini saya pesan untuk teman-teman satu bus. Mereka meminta saya mentraktir,” ujar Dewi kepada VIVAnews, saat ditemui di kantornya Rabu, 22 Desember 2010.
Dewi merayakan keberhasilannya meraih penghargaan Habibie Award 2010, pada akhir November lalu. Dewi, 36 tahun, adalah ilmuwan termuda penerima penghargaan yang diadakan pertama kali sejak 1999 itu.
Penghargaan tadi diterima atas konsistensinya mengembangkan fuel cell, sumber listrik alternatif bersih dan ramah lingkungan. “Fuel cell pilihan sangat tepat, saat concern kita saat ini mengurangi efek pemanasan global,” kata Dewi.
Fuel cell adalah sel elektrokimia semacam baterai atau aki, yang dapat mengkonversi sumber bahan bakar (bisa berupa hidrogen atau hidrokarbon) menjadi listrik arus searah (DC). Fuel cell bisa digunakan menyuplai listrik rumah tangga, mobil, motor, dan lain sebagainya.
Tak seperti pembangkit listrik lain yang berisik, dan menyebabkan emisi karbon, fuel cell sama sekali tak bersuara, dan limbahnya pun hanya air murni. Bila baterai dan aki hanya menyimpan listrik dan bisa kehabisan energi, fuel cell bisa terus bekerja, selama aliran bahan bakar dan oksidannya bisa terus dijaga.
Biasanya sebuah fuel cell terdiri dari katalisator, elektroda, dan membran elektrolit sebagai jantung dari fuel cell. Oleh katalisator platina, bahan bakar hidrogen akan dipisahkan menjadi ion bermuatan positif, dan elektron bermuatan negatif.
Kemudian, di anoda, ion positif akan dialirkan oleh membran elektrolit, menuju katoda. Namun, membran akan menahan elektron tetap berada di anoda. Elektron itu, nantinya akan dialirkan menyalakan berbagai jenis beban listrik
Menempuh studi S1 hingga S3 di Waseda University Tokyo Jepang, Dewi memilih bidang Kimia Terapan, dan mendalami studi tentang polimer dan katalis untuk fuel cell. Penemuannya terhadap katalis fuel cell baru yang menggunakan unsur Vanadium, membuatnya mendapat penghargaan Mizuno Award, dan Koukenkai Award dari universitasnya, pada 2003.
Katalis yang selama ini digunakan, katalis platina, biasanya membutuhkan dua kali tahapan untuk menghasilkan listrik, juga melalui proses sangat kompleks. Sementara, dengan katalis Vanadium, proses pembangkitan listrik menjadi lebih simpel (hanya melalui satu tahap), dengan kuantitas elektron tertransfer yang lebih banyak.
Setelah menggondol gelar Doctor of Engineering dari Waseda University, Dewi pulang ke Indonesia. Dia lalu bergabung dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Pertama kali datang, Dewi sempat syok menghadapi kultur kerja yang begitu lamban. “Di sini banyak yang leha-leha. Itu bikin stress.” Padahal, ia biasa kerja cepat, terencana dengan target.
Dengan fasilitas seadanya, ia mengemban tanggung jawab melakukan riset pengembangan material polimer untuk aplikasi fuel cell. Ketiadaan lab mengharuskan Dewi melakukan berbagai percobaan kimia untuk menghasilkan polimer di meja kecil di belakang tempat duduknya.
Reaksi-reaksi kimia dalam percobaan Dewi, kerap menghasilkan bau menyengat ke seluruh ruangan sehingga mengganggu para peneliti dari kubikal kerja lain. “Huuu bauuu… bauuu…,” begitu biasanya Dewi disoraki. Akhirnya Dewi menuntut fasilitas lab kepada Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material, Marzan Iskandar (sekarangi Kepala BPPT).
Oleh bosnya, Dewi diberi ruangan lab di kompleks Puspiptek Serpong. Dari lab itulah Dewi kelak menelurkan karya lainnya, yang meraih beragam penghargaan. Dewi ditargetkan untuk bisa menggantikan berbagai komponen Fuel Cell yang selama ini musti diimpor.
Saat itu, kasing logam dan grafit separator sudah ada, tapi membran, katalis, dan elektroda (anoda dan katoda) semuanya masih diimpor. Tentu harganya pun sangat mahal. Akhirnya, Dewi berhasil membuat prototipe fuel cell dengan membran elektrolit polimer tunggal, yang semua komponennya didapat dari dalam negeri. “Kami memanfaatkan industri lokal untuk menyediakan bahan bakunya.”
Berkat kerja kerasnya ini, wanita kelahiran Magelang, 14 Juni 1974, itu mendapat penghargaan Adikara Rekayasa Engineering PII-Engineering Award pada 2006. Di tahun sama, prototipe itu lalu juga mendapat penghargaan ‘ASEAN Outstanding Engineering Achievement Award’ dari Asia Federation Engineering Organization (AFEO).
Dewi juga sempat membuat prototipe motor listrik fuel cell, bahkan membuat reaktor pembuat gas hidrogen (bahan bakar fuel cell), yang dihasilkan dari berbagai bahan baku yang mudah dijumpai di sini, seperti kelapa sawit, atau singkong. Reaktor ini lalu juga meraih penghargaan Ristek-Medco Energy Award 2008, dari Kementrian Riset dan teknologi.
Yang paling mutakhir adalah hasil penelitian Dewi yang melahirkan sebuah produk membran polimer untuk fuel cell yang lebih efisien dari membran yang tersedia di pasaran. Produk membran itu dia namakan ThamriON. Produk itu punya efisiensi lebih baik, karena mampu mengurangi kebocoran hingga 50 persen.
Sementara dari sisi harga, Thamrion jauh lebih bersaing. Bila membran Nafion besutan perusahaan kimia ketiga terbesar dunia, DuPont, dijual sekitar US$ 1000 atau sekitar Rp 9 juta per meter persegi, ThamriOn hanya dibanderol Rp 2000 per meter persegi. Nama ThamriON sendiri merupakan gabungan dari kata ‘Thamrin’ dan ‘Ion’, dipilih untuk mengabadikan alamat kantor Dewi, Gedung BPPT yang terletak di Jl MH Thamrin Jakarta Pusat.
Membran itu mulai dikembangkan sejak 2006, dapat dibuat dari plastik Acrylonitrile Butadiene Styrene yang bersifat isolator. Polimer itu kemudian disulfunasi dengan asam sulfat, sehingga bisa disulap menjadi bahan konduktor. Dengan menambahkan bahan tadi dengan nanopartikel, ThamriON dapat menjadi membran fuel cell yang sangat efisien.
Belakangan, metode penambahan nanopartikel itu berhasil meraih penghargaan Asia Excellence Award dari The Society of Polymer Science Japan (SPSJ) pada 2009. Tahun berikutnya, ThamriON dipatenkan, dan berhasil menyabet penghargaan Inovasi HKI 2010 Award dari Direktorat Jendral HKI.
Seiring berbagai penghargaan diraihnya, perhatian BPPT terhadap pengembangan fuel cell dan bahan bakar hidrogen pun makin besar.
Bila di tahun-tahun pertama, proyek riset dan pengembangan fuel cell masih berskala kecil, jumlah tim dan bujet dana terbatas, anggaran riset berikutnya bisa sepuluh kali lipat lebih besar. Para peneliti yang disertakan kian banyak, dan lintas bidang.
“Fuel cell memang kajian yang membutuhkan keahlian dari beragam latar belakang,” kata istri dari Wahyu Widada itu. Dari sisi manufaktur, diperlukan keahlian di bidang teknik mesin. Dari sisi kontrol dibutuhkan keahlian di bidang teknik elektro, sementara proses kimianya sendiri membutuhkan keahlian di bidang teknik kimia.
Sekarang, BPPT telah bersiap meningkatkan penelitian fuel cell dari skala kebutuhan energi rumah tangga ke fuel cell yang mampu beroperasi di suhu tinggi dengan skala yang lebih besar.
Sebelum mengenal fuel cell, Dewi memang punya kepedulian besar kepada lingkungan. Saat pelajaran mengarang di SMA, secara tak sadar, tema-tema yang dipilihnya berkaitan dengan lingkungan.
“Misalnya saja tema-tema bagaimana menjaga lingkungan atau mengatasi masalah sampah,” kenang ibu dari Ibrahim Muhammad, Nashita Saaliha, dan Nashira Saaliha itu. Selain itu Dewi juga menyukai kegiatan-kegiatan seperti daur ulang atau pembuatan kompos dari sampah.
Saat melanjutkan studi S3 di Jepang, Dewi mendapatkan fellowship sebagai Special Researcher of Young Scientist for the Promotion of Science dari Japan Science Technology. Di sana ia mendapatkan bimbingan dari seorang profesor yang kemudian makin membuatnya tertarik dengan fuel cell.
Dewi menyimpan harapan, suatu saat generator fuel cell bisa masuk ke rumah-rumah. Seperti halnya di Fukuoka Jepang. Di sana, listrik ribuan rumah telah disuplai oleh fuel cell. Bila aliran listrik dari perusahaan listrik di sana hanya memiliki efisiensi 30 persen, fuel cell bisa menyuplai listrik dengan efisiensi mencapai 80 persen.
Tak hanya itu, pemerintahan mereka juga memfasilitasi warganya yang ingin memanfaatkan fuel cell. Bagi yang ingin membeli generator fuel cell buatan Toshiba yang dijual seharga Rp 160 juta bisa diperoleh dengan subsidi sebesar 50 persen dari pemerintah Jepang. “Di luar negeri, mereka yang menggunakan fuel cell dipandang sebagai orang-orang berstatus sosial bergengsi,” kata Dewi.
Wajar bila kemudian ia berkeinginan menyampaikan teknologi ramah lingkungan ini ke banyak orang. Untuk itu, Dewi menciptakan sebuah kit mainan yang bisa mendemonstrasikan cara kerja fuel cell. Tentunya, semua dia lakukan untuk mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi mendatang.(np)