- http://5magazine.com
VIVAnews – Dia dipanggil dengan nama lazim di Korea: Kim. Dia perempuan, dan usianya 41 tahun. Dengan dua putranya, Kim berhasil menembus perbatasan dua Korea, dan masuk ke Korea Selatan, 11 November 2010.
Penguasa Korea Selatan (Korsel) menutup identitas Kim. Soalnya, nyawa Kim dan dua putranya terancam. Mereka lari dari Korea Utara (Korut). Demi keselamatan kerabat mereka di kampung halaman, seperti dilaporkan VoA News, nama lengkap Kim tak boleh dibuka.
Bagi rezim komunis di Korut, ulah Kim kabur bersama dua putranya itu adalah dosa besar. Aksi itu setara pengkhianatan kepada negara. Kalau tertangkap, hukumannya berat. Mereka akan menghuni kamp kerja paksa.
Kim kini menjadi satu dari 20.000 pembelot Korut, sejak semenanjung Korea itu terpecah setelah Perang Dunia Kedua. Menurut pejabat Kementrian Unifikasi Korsel, Kim terpaksa kabur dari negaranya. Kampung mereka di Provinsi Yanggang tak lagi bisa menjadi tumpuan hidup. Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 10.000 orang Korut kabur ke Korsel.
Korut kini dilanda krisis pangan. Ekonomi sulit. Keadaan Korut, seperti digambarkan Victorio Sekitoleko, seorang pejabat Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), tak begitu baik. Victorio melawat Korut, September lalu. Dia mengunjungi rumah dan sekolah. "Saya melihat orang-orang di jalan. Setiap menatap mata mereka, yang kita saksikan adalah orang kelaparan," tutur Sekitoleko.
Dia lalu mencatat, lebih dari 30 persen orang Korut mengalami kekurangan pangan cukup parah. Mereka akhirnya nekad, menerobos perbatasan, meski harus bertaruh nyawa.
Serangan ke selatan
Krisis itu tak hanya membuat warga Korut frustasi. Bahkan, penguasa Kim Jong-il berupaya menarik perhatian internasional atas krisis di negeri mereka. Pyongyang pun kadang bertindak nekad. Korsel dijadikan sasaran tembak.
Itu sebabnya Korut kembali disorot dunia atas serangan artileri ke Pulau Yeonpyeong, Korsel, 23 November 2010. Sedikitnya empat orang di Korsel, dua diantaranya warga sipil, tewas akibat serangan itu. Dua hari kemudian, Menteri Pertahanan Korsel, Kim Tae-young, mundur dari jabatannya setelah dianggap tak mampu mengantisipasi, dan memberi tindakan cepat serangan Korut.
Sebagai negara Stalinis terakhir di dunia, Korut kerap dituding oleh negara Barat sebagai biang keladi konflik di Semenanjung Korea. Banyak pihak was-was bila krisis dibiarkan maka bisa menjadi pemantik terjadinya perang skala besar.
Kendati bersiaga penuh, Korsel dan sekutunya, Amerika Serikat (AS), menahan diri tak langsung membalas berupa serangan frontal. Tak mau gegabah, mereka sadar lawan yang dihadapi adalah negara nekad. Korut dianggap tak punya apa-apa lagi, selain harga diri dan senjata. Kantor berita Associated Press, mengatakan kalangan intelijen AS yakin Korut punya delapan sampai dua belas bom nuklir yang siap dipindahkan ke rudal.
Kecaman atas serangan ke Korsel itu pun dikritik China, sekutu terdekat Korut. Meskipun reaksi Beijing tak sampai mengecam dan marah seperti halnya Amerika Serikat (AS), Korsel, Jepang dan sekutu-sekutu Barat lainnya.
Saling tuding
Kedua Korea saling tuduh mengenai siapa penyulut gejolak kali ini. Korsel, seperti dikutip kantor berita Yonhap, menuding Korut sebagai pihak pertama pemantik konflik.
Sebaliknya, kantor berita Korut KCNA, menyebutkan Korsel pertama kali melontarkan tembakan. Pada saat itu Korsel sedang latihan militer di perairan dekat Yeonpyeong. Sebagian perairan di Laut Kuning itu masih dipersengketakan kedua negara.
Dalam siaran televisi pemerintah Korut, rezim di Pyongyang menyalahkan Korsel--yang mereka anggap sebagai pemerintahan boneka AS dan sekutu-sekutunya. "Angkatan bersenjata terpaksa mengambil tindakan militer atas provokasi militer oleh rezim boneka," demikian siaran televisi Korut seperti yang dikutip harian Korsel, Chosun Ilbo, dua hari setelah serangan berlangsung.
Bahkan Korut berani mengancam akan kembali melakukan serangan. "Bila kelompok boneka itu berani masuk ke wilayah kami, bahkan 0,001 mm pun, angkatan bersenjata revolusioner akan tidak ragu-ragu mengambil tindakan militer balasan yang tidak mengenal ampun," lanjut siaran itu lagi.
Masalahnya, bukan kali itu saja Korut bikin ulah. Sejumlah insiden berlangsung sejak Perang Korea 1950-1953. Pada Maret lalu, torpedo kapal selam Korut merontokkan satu kapal patroli Korsel. Sekitar 46 pelaut tewas. Sebelumnya, pada 1987, sekitar 104 penumpang dan 11 awak pesawat Korean Air tewas akibat ledakan bom di dalam pesawat yang dilakukan agen-agen intelijen Korut.
Pada dekade 1970an, Korut pun berulah dengan menculik sejumlah warga Jepang dan Korsel. Mereka pun gemar berkonfrontasi dengan negara-negara Barat di forum diplomasi, terutama soal senjata nuklir. Itulah sebabnya, berkali-kali Korut mendapat sanksi ekonomi, dan perdagangan dari Dewan Keamanan PBB dalam beberapa tahun terakhir.
Seperti agama
Mantan Presiden AS, Jimmy Carter, mengakui tak mudah menghadapi Korut. Terlepas dari kemampuan militernya yang cukup tangguh, apalagi memiliki teknologi senjata nuklir, Korut sulit diajak kompromi dan cenderung mudah tersinggung.
"Berurusan dengan Korut telah lama menjadi tantangan bagi AS," tulis Carter dalam opininya di harian Washington Post, 24 November 2010. Presiden AS ke-39 itu menilai ada semacam karakter khusus yang membentuk rezim dan masyarakat di Korut. Mereka tak mudah tunduk kepada pengaruh asing. Carter menyebut karakter itu sama seperti agama.
"Agama resmi di masyarakat yang tertutup itu adalah 'juche'. Artinya bertumpu pada diri sendiri dan jangan mau didominasi pihak lain," kata Carter. Dengan kata lain, demi mendapatkan sesuatu, mereka memilih berjibaku ketimbang tunduk pada perintah orang lain, apalagi dengan pihak yang dianggap musuh.
Karakter itulah yang selalu ditekankan pemimpin Korut sejak akhir Perang Korea. Terutama oleh Kim Il-sung hingga ke putranya yang menjadi penguasa saat ini, Kim Jong-il. Sikap itu tampaknya akan diwariskan kepada putranya, Kim Jong-un, calon pemimpin generasi ketiga.
Korut tidak pernah gamblang menjelaskan alasan atas serangan dan sabotase yang mereka lakukan selama ini. Namun, kalangan pengamat menduga serangan ke Pulau Yeonpyeong dan kasus-kasus insidentil terkait meredupnya harga diri atau gengsi Korut di panggung dunia.
Kelaparan
Kekuatan militer Korut memang dipandang tangguh. Riset Library of Congress maupun badan intelijen CIA memasukkan Korut ke dalam kelompok 20 negara militer terkuat di dunia. Korut pun dianggap masuk "kelompok macho," yaitu negara-negara yang punya teknologi senjata nuklir.
Tapi, selain itu, tak ada lagi yang bisa diandalkan Korut. Negara itu tertinggal jauh dari tetangga sekaligus seterunya, Korsel. Korut tidaklah semakmur 40 atau 50 tahun lalu. Saat itu, ekonomi mereka jauh lebih baik dari Korsel, yang merangkak dari nol setelah porak poranda akibat Perang Korea. Tapi situasi kini berbalik.
Korsel kini masuk dalam kelompok negara elit, diantaranya sebagai anggota Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan dan G20. Sementara, Korut tampak kian melarat. Saat tetangga mereka larut dalam hiruk pikuk sebagai tuan rumah sejumlah peristiwa penting dunia--seperti Olimpiade 1988, Piala Dunia 2002, hingga KTT G-20 November lalu, rakyat Korut dilanda kesulitan pangan sejak dekade 1990an.
Mayoritas rakyat Korut terancam kelaparan yang berkelanjutan pada tahun mendatang. Akibat cuaca buruk, jadwal panen akan terganggu, demikian laporan gabungan dari dua lembaga PBB, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP), pada 16 November 2010.
Laporan itu merujuk pada kunjungan tim gabungan itu ke Korut, atas undangan pemerintah setempat selama 21 September hingga 2 Oktober 2010. Mereka bertugas meninjau hasil panen tahun ini sekaligus membuat proyeksi tahun depan, serta menaksir seberapa bantuan pangan yang dibutuhkan rakyat Korut.
Hasilnya sangat memprihatinkan. Selain hasil panen terganggu, sekitar lima juta jiwa--atau kurang lebih 20 persen dari total populasi Korut, membutuhkan bantuan pangan. Mereka sebagian besar adalah anak-anak, ibu hamil maupun menyusui serta kaum jompo yang tak punya bantuan dari kerabat.
Menurut laporan FAO dan WFP, rakyat Korut dalam beberapa dekade terakhir sering menderita kekurangan pangan. Situasi terjadi saat wilayah mereka dilanda cuaca buruk sehingga merusak tanaman di ladang pertanian kolektif. Itu adalah cara utama bagi rakyat di pedesaan mendapatkan makanan. Bila panen, hasil pertanian kolektif itu lebih banyak dikirim ke kota sebagai pajak negara.
Situasi itu berkembang sangat buruk pada pertengahan 1990-an. Menurut laman harian The Guardian, saat itu banyak warga Korut tewas. Jumlahnya bervariasi antara 600.000 hingga lebih dari dua juta jiwa.
Sejak saat itu, negeri ini sangat tergantung pada bantuan pangan, terutama dari tetangga sekaligus "musuhnya," Korsel. FAO dan WFP mengingatkan, kendati sudah ada kiriman paket beras dan mi instan dari Korsel September lalu, bantuan itu masih sangat kurang. Bantuan tak sampai 4 persen dari kebutuhan.
Pemerintah Korsel prihatin atas masalah tetangganya di utara. "Krisis pangan Korut merupakan 'bencana kelaparan yang bergerak lambat,' yaitu menimbulkan dampak dalam waktu lama. Sepertinya, kelaparan telah menimbulkan kerugian bagi seluruh sendi kehidupan populasi Korut," demikian pernyataan lembaga informasi statistik Korsel, Statistics Korea.
Pembelot
Saat pemerintah komunis itu bersikeras tetap memusuhi Korsel, banyak warga Korut justru hijrah diam-diam ke Selatan. Tujuannya bukan soal menikmati kebebasan, tapi ini urusan perut agar lolos dari bencana kelaparan, dan kemiskinan di Korut.
Menurut harian JoongAng Ilbo, saat ini Korsel menampung lebih dari 20.000 pembelot dari Korut. Kondisi mereka menyedihkan. Banyak para pembelot kehabisan uang karena dipakai membayar calo penawar jasa untuk membelot. Kalaupun ada, mereka terpaksa membongkar celengan, agar si calo bersedia menjemput sanak saudara mereka dari Korut. Tentu menggunakan cara ilegal. Soalnya, pemerintah Korut tak sekalipun mengizinkan warganya menyeberang ke Korsel.
Akibat ketatnya penjagaan perbatasaan Korsel-Korut, warga yang mau kabur dari Korut harus menyeberang dulu ke China, negara yang berbatasan dengan utara Korut. Itu adalah jalan berbahaya, tapi pilihan lain tak ada.
Menurut radio VOA News, kaum perempuan dan anak-anak banyak diselundupkan ke China. Tanpa bekal cukup, dan berstatus pendatang gelap, mereka akhirnya menjadi pekerja seks, kawin paksa, atau menjadi buruh rendahan. Itulah membuat perdagangan manusia dari Korut ke China, menurut data Departemen Luar Negeri AS, termasuk tertinggi di dunia.
Pemerintah China menganggap para penyelundup itu sebagai "migran ekonomi," atau mereka yang terpaksa menyusup karena kesulitan ekonomi. Bila tertangkap, mereka dipulangkan paksa ke Korut, dan terancam menerima hukuman berat dari penguasa.
Kalangan pengamat mengaitkan kesulitan pangan Korut itu dengan serangan di Yeonpyeong. Serangan itu bisa diartikan sebagai pesan, bahwa Korut sedang krisis, tapi tak harus sampai mengemis-ngemis. Apalagi, AS masih menolak mencabut embargo ekonomi dan perdagangan atas Korut.
"Tidak bisa menekan Washington, akhirnya mereka berbuat ulah lagi kepada Seoul," kata Choi Jin-wook, peneliti dari South Korean Institute for National Unification, seperti yang dikutip The New York Times. "Mereka berada dalam situasi yang putus asa dan mereka butuh bantuan pangan secepatnya, bukan tahun depan," kata Choi.(np)