SOROT 79

Ahli Waris: Kami Yakin Akan Ada Banjir Darah

Presiden SBY terima ahli waris Mbah Priok, Habib Alwi
Sumber :

VIVAnews – Setelah sekian lama, ahli waris  Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad  alias Mbah Priok, akhirnya bisa bernafas lega. Makam Mbah Priok tidak dibongkar dan syarat ziarah pun dihapus.

Pelindo juga siap membangun terowongan bagi para peziarah. Suatu tawaran yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Yang disayangkan Habib Alwi Al Haddad, sang ahli waris, kenapa kesepakatan dan tawaran itu baru tercapai setelah darah mengalir dan ada korban jiwa. “Setelah kejadian, Fauzi Bowo (Gubernur DKI Jakarta) baru datang. Padahal kami sudah jauh-jauh hari minta ke Komnas HAM, segera dihentikan,” kata Alwi.

Habib Alwi  yang ditemui di rumahnya, Jalan Timbul, Jagakarsa, Jumat 16 April 2010 malam  menceritakan secara runtut ikhwal karut marut sengketa tanah yang mencapai puncaknya pada Rabu 14 April 2010 lalu. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana sebenarnya sejarah makam Mbah Priok kepemilikan tanahnya?
Ini makam sudah ada sejak Abad 18. Habib Hassan bin Muhammad Al Haddad dari Palembang. Adiknya, Habib Zen sudah tinggal di Jakarta, lalu diundanglah kakaknya (Hassan) berangkat ke Jakarta. Nah, di laut kena badai, sampai kelaparan. Itu menurut informasi, meninggal. Lalu dikuburkan di Teluk Dayung.

Nah, akhirnya makam dipindahkan ke Jalan Dopo, (lokasi) makam yang sekarang. Di sana juga ada makam-makam yang lain. Tanah itu miliknya adik Hassan, yang bernama Habib Zen bin Muhammad Al Haddad. Ada surat-surat, semua komplet-lah zaman Belanda. Seluas 54 ribu meter, kurang lebih.

Habib Zen ini orang alim. Ada tetangga yang minta dikuburkan di tanah beliau, dengan ikhlas mempersilakan. Makin lama, makin banyak. Nah, Habib Zen meninggal, dikubur juga di dekat kakaknya. Makam dipegang anaknya Habib Zen, namanya Ahmad  bin Zen, anak tunggal. Habib Ahmad ini punya anak empat, Muhammad, Fatma, Badrun, Nuraisyah. Yang hidup sekarang Muhammad sama Badrun.

Pada zaman orde baru, Tommy (Tommy Soeharto) mau ambil lahan. Kalau zaman Orde Baru, apa sih yang nggak bisa diambil. Dengan mengerahkan tentara, trik kotor –lah, kita dizalimi. Lalu terbitlah Hak Pengolahan (Lahan), kita menyebutnya HPL 1.

PT Pelindo waktu itu sudah ada?
Pelindo sudah ada, tapi itu kecil banget deh. Belum berkembang. Makin lama makin berkembang. Ada tanah di belakang makam, Gudang Baru, dibebasin. Jalan Jambi, dibebasin. Sampur, Donggala, habis semua dibebasin. Untuk bikin pelabuhan internasional.

Status HPL 1 tahun berapa?
Tahun 1987 kayaknya. Dengan sim salabim, keluar HPL 1 untuk kuasai kuburan ini. Kuburan yang sudah banyak dipindah ke Semper. Yang kecil-kecil dipindah ke sana. Makam yang pakai rumah atau Gubbah itu ada dua. Makam Al Haddad dan Al Attas.

Akhirnya makam Al Attas ikut dipindah ke Semper. Yang Al Haddad, gubuknya dirubuhkan. Tapi waktu (jenazah) mau dipindahkan, kabarnya  ada yang mati, ada yang sakit. Mereka putus asa. Akhirnya ambil tanah gundukannya saja. Dia (petugas yang memindahkan) mengelabui pimpinannya, dibikin rata tuh tanah. Kemudian lapor ke atasannya, “Sudah selesai dibongkar.”

Nisan dan ubin-ubinnya dibongkar habis. Lalu difoto. Foto udara oleh Pemda. Laporan mereka ke atasan, “Ya betul, sudah kosong.”
Kalau mereka merasa sudah benar, saya mau Tanya dua hal. Pertama, dasar HPL apa? Apa girik, atau verbonding, atau apalah. Kedua, kalau merasa mereka sudah bayar, saya tanya, kapan? Mana akte jual belinya? Siapa notarisnya? Tentu mereka tidak bisa jawab.

Mereka kacau sekarang. Di satu sisi, saya dapat surat (dari Pemkot Jakarta Utara), tanah makam Mbah Priok didirikan di atas sertifikat Hak Pengolahan. Dikirimkan oleh Bambang Sugiyono, Walikota Jakarta Utara, kemarin. Bahwa pendopo, gapura, makam didirikan di atas tanah sertifikat Hak Pengolahan Nomor 1, Koja, adalah milik PT Pelindo.

Tapi di antara mereka ada simpang siur. Kami dapat surat dari Dirut Pelindo Herman Prayitno yang menyatakan bahwa tanah dengan verbonding no 1268RD tanggal 19 Desember 1934 seluas 54.054 meter persegi tidak masuk (HPL 1).

Kan beda sama ini (surat Walikota). Di sini (surat Walikota) dinyatakan masuk dalam HPL. Di sini (surat Pelindo) dinyatakan tidak masuk. Mereka kebingungan karena dasar hukumnya tidak kuat HPL itu. Kalau mereka mengklaim tanah milik mereka, harus kuat dong dasar hukumnya apa.

Selain kami punya surat lengkap, sah, masyarakat juga mengetahui makam sudah ada sebelum Republik berdiri. Apalagi Pelindo. Zaman Belanda, makam saja sudah ada. Karena itu semua ulama dan habib menyatakan dukungan. Tidak boleh dibongkar, kalau bisa dijadikan situs atau cagar budaya.

Pernah masuk pengadilan?
Masuk pengadilan, hasilnya Putusan Perkara No 245 /Pdt/G/2001/PN Jkt.Ut. Tahun 2001. Intinya putusan belum memeriksa pokok perkara. Belum ada kalah-menang. Berkas belum komplit. Dari mana dasarnya pengadilan? Belum diadili kok. Sudah sidang, tapi belum finish. Setelah itu tidak ada lagi (sidang). Kalau ada pun yang mengajukan harus ahli waris, untuk gugatan kembali. Pelindo mungkin nggak mau menggugat, dasarnya lemah. Apa yang mau diajukan ke pengadilan?

Mengapa Pelindo merasa berhak?
Karena ada surat dari Walikota itu.

Bagaimana awal sengketa, hingga akhirnya terjadi bentrok?

Tanggal 5 April 2010, saya melayangkan surat ke Komnas HAM untuk memediasi ahli waris dengan Pelindo. Saat itu Komnas HAM langsung telepon Pelindo, Dandim. Minta supaya pembongkaran ditunda karena ada laporan yg masuk ke meja Komnas HAM dari ahli waris.

Setelah ditelepon, jawaban Pelindo, “Ya, kami tidak akan bongkar”. Jawaban Dandim. “Ya, kami tidak akan bongkar”.

Tapi karena kurang yakin, tanggal 6 Komnas HAM melayangkan surat ke Walikota. Intinya hampir sama (setuju ditunda). Ternyata surat dari Komnas HAM tidak diindahkan. Baik Walikota atau Pelindo. Entah ada unsur apa, mereka memaksakan diri untuk segera membongkar. Komnas HAM sudah jelas mengimbau upaya pembongkaran ditunda, agar dimediasi dulu.

Sebelum ini pernah terjadi sengketa?
Pernah ada kejadian tahun 2004, orang pakai baju preman. Saya tidak mengalami, tapi cerita dari yang di sana, ada yang menyerang dari preman. Tapi tidak diekspose.

Bukankah mereka janji tidak akan bongkar makam?
Inilah. Ada cara-cara yang saya anggap kotor. Di satu sisi mereka bilang tidak bongkar. Padahal mereka membuat syarat yang membuat ahli waris sakit hati. Jadi fungsi makam untuk ziarah dimatikan.
Mereka buat syarat:  Pertama,  ziarah hanya setahun sekali. Kedua, peziarah tidak boleh lebih dari sepuluh orang. Ketiga, ziarah harus lapor seminggu sebelumnya ke Pelindo.

Waspada! Ini 7 Tanda Tubuh Kekurangan Vitamin A yang Jarang Disadari

Orang pikir, makam tidak dibongkar tidak apa-apa. Tapi mereka (masyarakat) tidak tahu syarat-syarat itu. Ini ada di surat dari Pelindo, tanggal 3 Maret 2010. Dengan trik seperti itu, mereka pikir berhasil.

“Makam tidak kami bongkar, makam akan kami buat monumen.”
Itulah yang tidak diketahui masyarakat. Walikota juga gencar sosialisasi makam tidak dibongkar. Tapi ternyata ada persyaratan ini. Baru kemarin, ketika kami perlihatkan syarat-syarat ini, mereka pada kaget. Lho, ini tidak benar. Dzalim ini, kalau monumen, bagaimana orang mau ziarah? Siapa yang ziarah setahun sekali. Memang makam ini patung pahlawan?

Resep Udang Ayam Keju yang Lezatnya Bikin Nagih, Cocok untuk Camilan Keluarga

Setelah kejadian, Fauzi Bowo-lah datang,.....Kapolda. Harusnya kan jauh-jauh hari. Kami sudah jauh-jauh hari minta ke Komnas HAM, segera dihentikan. Karena kami yakin akan ada banjir darah. Tanjung Priok kedua setelah Amir Biki. Akhirnya terjadilah peristiwa berdarah itu.

 (Salah satu saudara Habib Alwi kemudian bercerita bahwa dirinya telah bertemu sejumlah habib di Kwitang. Ternyata, kata dia, para habib tidak tahu tentang syarat-syarat dari Pelindo itu. Mereka kaget waktu diberi tahu tentang syarat dari Pelindo itu)

Kata Kemenkeu Soal Prabowo Wajibkan Menteri Pakai Mobil Pindad

Iya, mereka pendekatan juga (ke para habib) sebelum pembongkaran. Habib-habib kaget. Mereka tidak diberitahu. Ini konspirasi kotor. Makam itu sudah milik umat Islam. Mereka tidak mau makam dibongkar. Sampai ada anggota Satpol PP yang tewas, yang sebenarnya tidak mau ikut bongkar makam.

Walikota atau Pelindo pernah ketemu untuk negosiasi?
Nggak ada. Kalau ada paling level bawah. Makanya kan begini, Dirut Pelindo, Walikota, bahkan Gubernur, baru menjabat berapa tahun? Nah persoalan sebenarnya mereka kan belum tau.

Pemerintah tetap yakin makam sudah dipindahkan, tanggapan Anda?
Ini bicara agak mistis sedikit. Kalau tidak ada makam, apa mungkin ada satu orang yang kencing, kemudian bersama sebelas orang yang lain, seperti kena tampar. Dua belas orang tengleng (miring) semua kepalanya. Baru kemarin kejadiannya.  Terus, kalau dipindah, jam berapa, tanggal berapa, siapa saksinya? Foto udara itu cuma buat laporan ke atasannya. Sudah beres itu makam.

Saat Orde Baru makam sempat rata dengan tanah,  mengapa sekarang ada pendopo dan gapura?
Waktu itu belum ada bangunan, kami hanya bisa ziarah. Ramai-ramai, di tanah lapang saja. Kami kasih batu nisan. Setelah agak kendor, Soeharto jatuh, sekitar tahun 2000. Nah, mulai kami bangun pendopo, gapura. Dengan bantuan masyarakat, kami bangun pelan-pelan, di wilayah tanah kami.

Bagaimana hasil mediasi selama dua hari di Balai Kota dan Komnas HAM?
Cukup memuaskan, banyak kemajuan. Dari Balaikota menghasilkan kesepakatan 9 butir. Di Komnas HAM, kami dapat kesepakatan juga. Salah satunya Pelindo akan membuat usulan rancangan atau draft master plan yang  akan diselesaikan sampai tanggal 30 April 2010. Jalannya di mana, akan dibangun apa saja. Setelah Pelindo buat master plan dikasih ke ahli waris, kuasa hukum, dan tokoh masyarakat.

Apakah gerbang depan juga disetujui untuk dipindah?
Itu kan mengganggu hilir-mudik truk kontainer. Nanti akan dibuat, masuknya dari mana? Jalannya seperti apa? Kesepakatan di Komnas HAM, draft master plan akan diserahkan kepada, pertama, Komisi yang terdiri dari Pertama, Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta. Kedua, Muspida yang diminta adalah Wagub Prijanto.  Ketiga, ahli waris pendamping. Keempat, tokoh masyarakat. Kelima, anggota Komnas HAM. Keenam, pimpinan ormas Islam. Kalau sudah disetujui, Komnas HAM bikin nota kesepakatan, akan dilegalisir dan diserahkan ke Pengadilan Negeri.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya