SOROT 588

Pilkada Serentak dan Korupsi KPU Daerah

Sejumlah petugas mendistribusikan logistik Pemilihan Kepala Daerah, Pilkada Serentak 2018 Provinsi Maluku di Ambon, Maluku
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Izaac Mulyawan

VIVA – Rabu siang, 8 Januari 2020 menjadi hari kelabu bagi Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Salah satu komisioner KPU, Wahyu Setiawan diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Bandara Soekarno Hatta. Wahyu dicokok saat akan bertugas melakukan sosialisasi persiapan Pilkada Serentak 2020 di Bangka Belitung.

Wahyu diduga kuat telah menerima suap terkait rencana pengaturan penetapan Pergantian Antar Waktu (PAW) Anggota DPR RI terpilih Riezky Aprilia dengan salah satu Caleg gagal PDI Perjuangan Dapil Sumatera Selatan I, Harun Masikhu.

Kasus penangkapan salah satu komisioner penyelenggara Pemilu ini mengagetkan publik. Pasalnya, kasus suap yang melibatkan penyelenggara pemilu itu terjadi saat seluruh mata masyarakat menyoroti persiapan KPU RI menyiapkan hajat politik besar tahun ini, yaitu Pilkada Serentak di 270 daerah.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan (kanan) berjalan seusai diperiksa di gedung KPK Wahyu Setiawan

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, kasus Wahyu Setiawan adalah salah satu kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara pemilu dengan peserta pemilu, partai politik.? Peneliti Perludem Fadil Rama Dhanil mengatakan, kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara Pemilu di daerah dengan peserta juga bisa kembali terjadi pada pelaksanaan Pilkada Serentak. Menurut dia, celah korupsi pada Pilkada sangat mungkin terjadi mulai dari pengadaan logistik, proses penetapan calon kepala daerah, hingga proses penetapan calon terpilih.

"Soal KPU dengan wewenang serta tugasnya yang rentan terjadinya praktik korup, di titik-titik tertentu mungkin saja iya. Makanya, sistem penjaga perilaku di internal KPU, sampai ke level daerah harus segera dibangun. Soal batasan perilaku, terutama ketika berkomunikasi dengan orang yang punya kepentingan soal kontestasi pemilu, tidak dipersonalisasi, harus dilembagakan," ujarnya kepada VIVAnews, Kamis, 16 januari 2020.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Faridz menyatakan, kasus yang dialami Wahyu Setiawan ini menambah coretan hitam di wajah lembaga penyelenggara pemilu. Karena kasus ini merupakan kasus kesekian yang mempunyai dimensi korupsi yang menjerat Komisioner KPU RI. Sebelumnya sejumlah komisioner KPU juga terjerat kasus korupsi pengadaan dan jasa di lingkungan KPU RI.

Kasus suap yang dilakukan oleh peserta pemilu dalam hal ini partai politik juga menjadi sorotan ICW. Menurut Donal, kasus suap yang dilakukan kader PDI Perjuangan kepada salah satu komisioner KPU RI itu menunjukan bahwa komitmen menciptakan pemilu yang berkualitas dan berintegritas dalam sistem politik di indonesia masih menjadi tanda tanya besar bagi rakyat indonesia.

MK Bilang Jumlah Permohonan Sengketa Pilkada Belum Sesuai Prediksi

"Sehingga menurut saya menjadi sangat rasional orang atau publik kebanyakan mempertanyakan integritas pemilu, bahkan mempertanyakan output hasil pemilu itu sendiri," ujarnya menambahkan.

Tak Ganggu Pilkada

Idrus Marham Sebut Golkar Terima Kekalahan Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta

Ketua Komisioner KPU RI Arief Budiman mengatakan, kasus yang menjerat salah satu anggotanya itu tidak akan mengganggu proses persiapan Pilkada Serentak. Menurut dia, pihaknya sudah mempersiapkan tahapan demi tahapan terkait pesta demokrasi di 270 daerah itu sejak pertengahan 2019 lalu. Mulai dari perencanaan program dan anggaran, menyusun perjanjian Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), sosialisasi, pemutakhiran daftar pemililh, serta pembentukan perangkat penyelenggara pemilu di level Kecamatan hingga level TPS.

Ketua KPU Arief Budiman (kedua kanan) di kantor KPK Jakarta Ketua Komisioner KPU RI Arief Budiman

MK Tetap Terima Gugatan Pilkada meski Batas Waktu Pendaftaran Sudah Lewat

Hal senada disampaikan Komisioner KPU, Viryan Azis. Menurut Viryan, tahapan persiapan Pilkada 2020 saat ini sudah berjalan. Salah satunya rekrutmen badan adhoc PPK dan PPS di 270 daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak sudah dimulai sejak tanggal 15 Januari lalu. Sehingga ia memastikan, kasus yang dialami Wahyu Setiawan tidak akan mempengaruhi persiapan hajat politik besar di 270 daerah.

"Kita tidak ingin kecolongan. Artinya kita ingin mengajak publik terlibat aktif memastikan jajaran PPK dan PPS yang nantinya akan bekerja untuk pemilihan serentak 2020 ini orang-orang yang berintegritas. Orang-orang yang misalnya pada saat pemilu ada masalah jangan sampai terpilih kembali. Jadi kita menjadikan momentum ini sebagai upaya untuk semakin meningkatkan kualitas integritas penyelenggara dan penyelenggaraan," kata Viryan. 

Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Gerindra, Kamarussamad juga angkat bicara terkait proses rekrutmen petugas PPK dan PPS yang saat ini tengah dilakukan oleh KPUD yang akan menyelenggarakan Pilkada serentak mendatang. Ia berharap, proses rekrutmen perangkat pemilu di daerah itu dapat berlangsung dengan mengedepankan integritas dan profesionalitas penyelenggara pemilu.

"Jadi yang perlu dijaga dalam rekrutmen PPK ini, jangan sampai ada titipan dari kandidat atau bakal calon yang sekarang ini berstatus sebagai incumbent misalnya, karena itulah awalnya adanya ketidaknetralan," kata Kamarussamad.

Persiapan Pilkada Serentak 2018Persiapan Pilkada Serentak

Donal juga menyoroti proses rekrutmen perangkat penyelenggara pemilu yang saat ini tengah dilakukan oleh KPU RI terkait persiapan Pilkada Serentak mendatang. Ia berharap, kasus Wahyu Setiawan benar-benar menjadi pembelajaran berharga bagi KPU RI, terlebih lagi dalam hal rekrutmen perangkat penyelenggara pemilu di daerah.

Menurut Donal, tidak menutup kemungkinan partai politik sebagai peserta pemilu telah mempersiapkan kekuatan di daerah-daerah dengan memasukkan orang titipan yang memiliki relasi dengan partai politik untuk menjadi penyelenggara pemilu baik di tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota. Pola membangun perangkat penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh partai politik ini akan menjadi pintu masuk partai politik untuk melakukan kecurangan maupun kejahatan korupsi politik di dalam pelaksanaan Pilkada.

"Problemnya ketika ada satu orang masuk dengan agenda dan metode yang seperti demikian, ORTIP lah kita sebut, Orang Titipan. Mau titipan ormas, mau titipan partai, mau titipan kelompok-kelompok tertentu, akhirnya kemudian akan turun sampai ke daerah dalam proses seleksi KPU baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Fenomena satu orang ORTIP di RI akan melahirkan 34 orang titipan di Provinsi, 500 orang titipan di Kabupaten/Kota. Fenomena itu yang menjadi seperti fenomena berjenjang turun sampai ke bawah." 

Pilkada Serentak, Celah Korupsi KPUD

Proses pemilihan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur di sembilan provinsi, calon Bupati dan Wakil Bupati di 224 Kabupaten, serta pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota di 37 daerah pada bulan September 2020 nanti diharapkan tidak akan mengulang kembali proses korupsi politik yang melibatkan penyelenggara pemilu dan peserta pemilu.  

Donal menuturkan, potensi terjadinya korupsi dalam pilkada serentak mendatang sangat besar. Modus kejahatan korupsi melibatkan dua sisi, yaitu sisi pemberi dan sisi penerima. Sisi pemberi biasanya melibatkan peserta pemilu, baik itu kandidat pasangan calon maupun partai politik tertentu. Sedangkan, sisi penerima pasti melibatkan penyelenggara pemilu. 

Celah korupsi yang melibatkan penyelenggara pemilu, baik itu KPUD, Bawaslu, dan perangkat penyelenggara pemilu lainnya, kerap terjadi di berbagai lini, mulai dari proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan KPUD, sistem pemutakhiran data pemilih yang melibatkan pihak ketiga, upaya meloloskan atau tidak meloloskan kandidat-kandidat tertentu dalam Pilkada, sampai pada level penghitungan suara.

"Ruang-ruang ini menurut saya menjadi ruang yang sangat mungkin terjadi praktek-praktek politik transaksional yang melibatkan penyelenggara pemilu. Jadi ruangnya cukup besar," katanya.

Peneliti Hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal FarizKoordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Faridz ?

Ia meyakini, modus korupsi politik yang melibatkan penyelenggara pemilu dan peserta pemilu akan didominasi pada jual beli suara pada Pilkada mendatang. Sehingga, lanjut Donal, jika berbicara integritas, maka tidak adil jika masyarakat hanya menuntut integritas pada penyelenggara pemilu saja, tanpa memastikan integritas partai politik sebagai peserta pemilu.

"Lagi-lagi saya kembali ke teori tadi, demokrasi yang berkualitas itu hadir dalam tiga varian, integritas penyelenggara, integritas peserta dan integritas partai politik sebagai peserta pemilu itu sendiri," ujarnya.

Ketua KPU RI, Arief Budiman juga mengakui bahwa tidak menutup kemungkinan kasus korupsi atau kasus kongkalikong yang melibatkan peserta pemilu dan penyelenggara pemilu dapat terjadi pada Pilkada serentak mendatang. Namun, Arief memastikan, pihaknya akan selalu mengingatkan kepada seluruh perangkat KPU di seluruh daerah agar tetap menjaga integritas dan profesionalisme dalam menjalankan kerja-kerjanya.

"Jadi saya percaya bahwa semua publik melihat apa yang kita lakukan, peristiwa ini silahkan semua pihak menilai dengan adil begitu yaa, apa yang sebetulnya yang sudah dilakukan oleh KPU. KPU kan sikapnya tegas dan konsisten. Dulu sebetulnya pernah juga ada kejadian semacam ini. Dulu bahkan ketika seseorang belum jadi tersangka, tapi sudah ditangkap, lalu langsung ditahan, itu langsung kita adukan, kita proses. Waktu itu kejadian di Garut, ada juga kejadian kalau gak salah di Pakpak Barat itu, kita konsisten, kita punya komitmen untuk membuat penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu itu bersih, bebas korupsi," kata Arief.

Petugas (kanan) melayani warga yang mengurus surat pemindahan Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau formulir A5 di Kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Senin, 8 April 2019.Suasana warga mengurus surat pemindahan TPS 

Donal berharap, KPU RI benar-benar dapat menjalankan fungsi pengawasan hirarkis terhadap seluruh jajarannya di seluruh Indonesia. Selain itu, peran Bawaslu dan DKPP juga sangat diharapkan untuk memperkuat pengawasan agar pelaksanaan pilkada serentak di daerah tidak dicoreng dengan praktek-praktek koruptif. Sebab, ia melihat, sistem  atau desain kepemiluan pada dasarnya sudah baik, proses pengawasan atau cek and balances seharusnya dapat dilakukan secara maksimal dengan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu yang sudah ada. Hanya saja, lanjutnya, dalam prakteknya di lapangan, tidak sedikit pula masyarakat sering menemukan praktek-praktek kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilu dan partai politik, serta kandidat calon kepala daerah sebagai peserta politik.

Selain itu, ia mengusulkan agar dibentuk sebuah sistem kerja sama wistle blower antara penyelenggara pemilu dan KPK dalam rangka memaksimalkan fungsi pengawasan terhadap proses pemilu mendatang. Hal ini karena faktor bentangan geografis Indonesia yang sangat luas dan jangkauan KPU dan Bawaslu yang cukup jauh untuk melakukan pengawasan seluruh Indonesia.

"Saya mengusulkan mereka bekerja sama dengan KPK membangun wistle blower system. Jadi ini konsep saling mengawasi diantara lembaga penyelenggara pemilu itu sendiri. Kalau ada potensi atau dugaan penyelenggara pemilu akan melakukan main mata dengan penyelenggara pemilu lainnya, atau dengan peserta pemilu, maka ada mekanisme untuk lapor ke atas atau lapor ke penegak hukum,” ujarnya menjelaskan.

Menurut dia, itu dilakukan guna memperkuat kontrol sesama atau antarpenyelenggara pemilu agar tak jatuh ke lubang yang sama. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya