- Dok Kementerian PUPR
VIVA – Gumpalan awan di langit Jakarta pagi itu terlihat hitam pekat. Rintik hujan membasahi aspal hampir seluruh ruas jalan ibu kota. Rabu pagi, 8 Januari 2018, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo memanggil sejumlah kepala daerah dari tiga provinsi ke Istana Negara. Mereka adalah, Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan Gubernur Banten Wahidin Halim, selain itu juga hadir Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya, Bupati Bogor Ade Yasin, dan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi.
Dengan dahi berkerut, Joko Widodo menyampaikan keresahannya terkait kondisi cuaca ekstrim di awal tahun 2020 yang menyebabkan bencana banjir di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya di Jawa Barat dan Banten. Menurut Jokowi, masalah banjir di Jakarta tidak bisa diselesaikan Gubernur DKI Jakarta sendirian. Jakarta secara typografi adalah daerah yang dilintasi oleh 13 aliran sungai dari Jawa Barat dan Banten. Sehingga, untuk menyelesaikan masalah banjir di Jakarta harus diselesaikan bersama kepala daerah yang menyangga Ibu kota, yaitu Jawa Barat dan Banten.
“Sekali lagi bahwa Jakarta sebagai Ibu Kota bukan daerah yang berdiri sendiri, tapi dikelilingi oleh wilayah Jawa Barat, Banten. Saya berharap semuanya bisa bekerjasama dengan baik dalam menyelesaikan masalah banjir yang ada di Ibu Kota. Tanpa kerja sama itu saya kira penyelesaiannya tidak akan komprehensif dan tidak akan bisa menyelesaikan masalah,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut di Istana Presiden, Rabu, 8 Januari 2020.
Presiden Jokowi menggelar rapat bersama sejumlah kepala daerah
Rapat koordinasi sejumlah kepala daerah yang dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi menunjukkan bahwa mimpi mewujudkan Jakarta bebas dari banjir bukan hal yang mudah. Sinergi kebijakan pemerintah pusat dan provinsi terdekat Ibu Kota harus dilakukan guna mewujudkan Jakarta bebas banjir.
Merujuk data Kementerian PPN/Bappenas, guna membebaskan Jakarta dari bahaya ‘laten’ banjir ada lima program besar terkait dengan pembenahan infrastruktur yang harus dilakukan ke depan. Dan itu sudah masuk dalam RPJMN 2020-2024. Pertama, pembangunan bendungan dan reservoir atau kolam retensi, serta rehabilitasi danau-situ-embung untuk meregulasi aliran permukaan.
Kedua, normalisasi sungai untuk menambah kapasitas aliran. Ketiga, operasi dan pemeliharaan infrastruktur pompa dan sistem drainase untuk mempercepat aliran dan meminimalisasi genangan. Keempat, membuat waduk lepas pantai atau coastal reservoir untuk menambah kapasitas tampungan air dan melindungi muara sungai dari muka laut pasang tinggi, dan kelima, melanjutkan sodetan Sungai Ciliwung – BKT untuk mengurangi debit puncak Ciliwung.
Normalisasi Ciliwung dan Bendungan
Normalisasi Sungai Ciliwung menjadi salah satu program prioritas yang harus dilanjutkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kebijakan normalisasi Sungai Ciliwung sebelumnya sudah mulai dikerjakan ketika DKI Jakarta dipimpin oleh Jokowi-Ahok, yaitu pada tahun 2013. Kebijakan itu dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi banjir besar yang melanda DKI Jakarta pada tahun 2012 silam.
Namun, program normalisasi Sungai Ciliwung terhenti pada tahun 2017 lalu karena terkendala pembebasan lahan. Kini, Presiden Jokowi kembali memerintahkan kepada Kementerian PUPR dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk melanjutkan program normalisasi Sungai Ciliwung yang saat ini baru berjalan sepanjang 16 km dari total panjang Sungai Ciliwung 33 km.
Selain itu, Presiden Jokowi juga meminta kepada Anies Baswedan untuk memastikan program sodetan Sungai Ciliwung yang mengarah ke Banjir Kanal Timur (BKT) juga selesai tahun ini. Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane Direktorat SDA Kementerian PUPR, Bambang Hidayah mengatakan, salah satu penyebab terjadinya banjir Jakarta selain intensitas hujan yang tinggi disebabkan oleh daya tampung Sungai Ciliwung yang masih kurang memadai. Untuk itu, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan program normalisasi Sungai Ciliwung pada tahun ini.
Normalisasi sungai di Jakarta
Selain itu, Pemerintah DKI dengan Kementerian PUPR juga akan melanjutkan program sodetan Sungai Ciliwung ke arah Banjir Kanal Timur (BKT). “Normalisasi belum tuntas karena masalah lahan. Kalau sodetan baru 600 meter dari target 1.260 meter. Karena, memang ini masalah (pembebasan) lahan,” kata Bambang.
Berbeda dengan Bambang, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menilai, kunci dari persoalan banjir Jakarta adalah pengendalian atau kontrol air dari hulu sebelum masuk ke hilir atau Jakarta. Oleh karena itu, Anies berharap, pengerjaan dua bendungan di Bogor, yaitu Bendungan Sukamahi dan Bendungan Ciawi dapat selesai di tahun ini.
“Dan kalau dua bendungan itu selesai, maka volume air yang masuk ke kawasan pesisir, termasuk Jakarta, bisa dikendalikan. Kalau volume air yang masuk ke kawasan pesisir bisa dikendalikan, InsyaAllah kita akan terbebas dari banjir,” kata Anies.
Anies yakin, tanpa ada bendungan atau waduk yang mengendalikan air dari hulu, upaya normalisasi dan sodetan Sungai Ciliwung tidak akan dapat mencegah datangnya banjir di wilayah pesisir, atau Jakarta.
“Kalau kita lihat di Jakarta yang paling sering adalah karena air volume besar dari kawasan pegunungan ini. Kita sangat berharap dua waduk yang dikerjakan itu selesai tepat waktu. Karena dengan waduk yang selesai tepat waktu yang sesuai rencana maka Itu akan bisa mengendalikan lebih dari 30 persen air yang datang ke kawasan pesisir, kawasan muara,” ujarnya menjelaskan.
Jokowi meninjau Bendungan Sukamahi
Terkait dengan pengerjaan dua bendungan di Bogor, Bambang mengakui, saat ini Kementerian PUPR terus mengebut proyek tersebut. Menurut Bambang, pekerjaan dua bendungan itu sempat terkendala pembebasan lahan. Kendati demikian, ia meyakini, proyek bendungan Sukamahi dan bendungan Ciawi dapat selesai di tahun ini. “Bendungan sedang jalan mudah-mudahan tahun ini selesai,” kata Bambang.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum menyatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat siap bersinergi dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat untuk mencegah banjir di Ibu Kota Jakarta. Hanya saja, Pemerintah DKI Jakarta juga harus fokus pada upaya membenahi alur sungai yang melintasi wilayahnya, dan tidak melulu menyalahkan air yang datang dari Jawa Barat sebagai salah satu penyebab banjir yang terjadi di Jakarta.
Menurut Uu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama Pemerintah Pusat saat ini menjadikan proyek pengerjaan waduk yang ada di Jawa Barat sebagai program prioritas. Hal itu dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mendukung program pemerintah Jakarta agar bebas dari banjir. Namun, Uu tidak dapat menjamin apakah pengerjaan sejumlah waduk dan embung yang saat ini dikerjakan di Jawa Barat itu dapat membebaskan Jakarta dari bahaya laten banjir.
“Mudah - mudahan embung cepat selesai karena bisa mengurangi banjir hingga 30 persen menurut teorinya begitu,” ujarnya berharap.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga akan memperketat ijin pembangunan rumah atau villa di kawasan Puncak, Bogor yang seharusnya menjadi wilayah serapan air hujan. “Itu untuk mengantisipasinya, khususnya di Puncak untuk memperketat dalam pembangunan rumah tinggal, villa. Karena kalau semakin banyak bangunan di kawasan itu air semakin susah terserap tanah yang kemudian turun ke Jakarta,” ujarnya.
Direktur Eksekutif WALHI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi menyatakan, solusi membebaskan Jakarta dari banjir tidak hanya dapat diselesaikan hanya dengan perdebatan siapa yang bertanggungjawab dalam melakukan normalisasi sungai, dan siapa yang bertanggung jawab dalam membangun waduk atau bendungan semata.
Bagus berpendapat, penyebab terjadinya banjir di Ibu Kota dikarenakan kerusakan ekologis yang terjadi di Jakarta. Rusaknya ekologis di Jakarta disebabkan beberapa faktor, hilangnya wilayah terbuka hijau akibat alih fungsi lahan menjadi kawasan terbangun, dan penurunan tanah yang disebabkan oleh pemberian izin pemerintah kepada bisnis, seperti pembangunan hotel-hotel, mal dan gedung-gedung perkantoran secara besar-besaran. “Inilah yang kemudian menyebabkan Jakarta selalu mengalami banjir,” ujarnya.
Sehingga, Bagus berpandangan, ada empat cara yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk membebaskan Jakarta dari bahaya laten banjir. Pertama, menghentikan pemberian izin eksploitasi air tanah untuk kepentingan bisnis. Kedua, menambah wilayah terbuka hijau yang berfungsi sebagai resapan air. Ketiga, memperbaiki seluruh sistem drainase yang ada, dan keempat, melakukan kerja sama dan koordinasi antarpemerintah daerah yang dilalui sungai-sungai yang mengalir ke Jakarta.
“Kalau itu tidak dilakukan, maka mustahil Jakarta akan terbebas dari banjir,” ujarnya.