- Vivanews
VIVA – Presiden Donald Trump telah resmi dipecat - atau bahasa resminya “dimakzulkan” - oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat pada Desember 2019 lalu. Namun, itu belum cukup untuk mengusir Trump dari Gedung Putih atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi kerja parlemen AS, atau Kongres.
Keputusan akhir kini berada di Senat, yaitu kamar lain di Kongres AS yang juga sangat berpengaruh. Butuh dukungan 2/3 dari total 100 Senator di Kongres untuk memakzulkan Trump.
Proses ini tidak mudah. Mengingat Senat didominasi oleh para politisi Partai Republik yang mendukung Trump (53), sedangkan Partai Demokrat yang menginisiasi pemakzulan hanya menduduki 45 kursi, sedangkan 2 kursi lainnya dihuni senator independen.
Apalagi tahun ini AS kembali sibuk dengan Pemilu Presiden November mendatang. Donald Trump sendiri, ketimbang pusing dengan urusan pemakzulan di Kongres, malah pilih sibuk mempersiapkan diri jadi kandidat petahana di Pemilu AS 2020 untuk periode kedua. Ini yang membuat publik dan kalangan politisi AS jengah karena dihadapkan dengan dua pilihan, ngotot ingin segera memecat Trump atau tidak memilihnya lagi pada Pemilu mendatang.
Walau kini tidak sedigdaya di masa lampau, AS tetap lah negara paling berpengaruh di dunia. Apa pun gejolak politik yang terjadi di AS, termasuk sikap dan perilaku pemimpinnya, Negeri Paman Sam itu tetap punya dampak besar bagi dunia.
Apalagi masyarakat internasional dibuat deg-degan dengan sepak terjang dan berbagai ulah Trump sebagai presiden sejak 20 Januari 2017 lalu. Maka, kontroversi Trump dan perpolitikan di AS di Tahun Pemilu bakal termasuk momen berpengaruh di dunia selama 2020.
Sejak ia menjabat, perjalanan Trump sebagai Presiden AS penuh kontroversi. Trump diserang mulai dari skandal pajak, tudingan kerja sama dengan Rusia untuk memenangkan pemilu, skandal seks, hingga mengintimidasi Presiden Ukraina yang akhirnya berujung pemakzulan di DPR.
Trump juga dikenal sebagai presiden yang rasis dan diskriminatif. Tanpa ragu ia menunjukkan ketidaksukaannya pada pendatang dari Meksiko dan membatasi akses mereka untuk masuk ke AS.
Bulan Januari ini, Trump akan menghadapi keputusan dari Senat AS. Besar kemungkinan Senat akan membela Trump, karena mayoritas anggota Senat berasal dari Partai Republik, berbeda dengan anggota DPR AS yang mayoritas berasal dari Partai Demokrat.
Trump tetap tenang menghadapi upaya pemakzulan. Ia terus melangkah dan maju kembali berlaga dalam pemilihan presiden AS. Kepada publik AS, Trump selalu mengatakan selama menjadi presiden ia telah berhasil memenuhi janjinya untuk menghentikan imigran ilegal, menaikkan pertumbuhan ekonomi, dan membuka lapangan pekerjaan baru.
Popularitas Menurun
Tapi, apakah benar warga AS masih menginginkan Trump?
Survei terbaru yang dilakukan NBC News/Wall Street Journal menunjukkan, mayoritas warga AS justru ingin Trump dipecat. Sebanyak 49 persen rakyat AS ingin Trump dipecat sementara 46 persen lainnya menolak. Padahal pada Oktober lalu, 49 persen warga AS masih menolak pemakzulan Trump, hanya 43 persen yang menolak. Angka ini menunjukkan publik AS mulai menunjukkan rasa tak suka mereka pada Trump.
Survei ini dilakukan melalui telepon terhadap 900 orang dewasa di AS, dari 27-30 Oktober. Margin kesalahan dalam survei ini adalah 3,27 poin. "Ini pemilih yang sangat tertutup," kata Peter Hart, periset yang melakukan polling. Survei tersebut juga menunjukkan publik saat ini lebih ingin dipimpin oleh Partai Demokrat ketimbang Partai Republik. Perbandingan suaranya 49:42 persen.
Namun Trump tak peduli dengan itu semua. Dengan yakin ia tetap mengajukan diri untuk periode kedua. Jauh sebelum dimakzulkan Trump sudah menyatakan diri akan maju kembali dalam pemilu AS yang akan digelar pada 3 November 2020. Ia bahkan sudah melakukan kampanye sejak 18 Juni 2019. Di hadapan ribuan pendukungnya Trump menyerukan agar tak memilih Demokrat.
"Pemungutan suara untuk Demokrat pada 2020 adalah pemungutan suara untuk kebangkitan sosialisme radikal dan penghancuran impian Amerika," katanya.
Kepada publik AS Trump menyampaikan serangkaian janji. Ia berjanji akan mewujudkan sistem imigrasi yang baru, memiliki kesepakatan perdagangan yang baru dan perbaikan layanan kesehatan dan obat untuk kanker, termasuk berjanji memberantas AIDS di AS.
Ia juga mengatakan akan mengganti slogan kampanye. Jika sebelumnya ia menggunakan slogan "Make America Great Again," maka untuk menghadapi pemilu 2020 ia menggunakan slogan "Keep America Great."
Mereka Siap Menghadang Trump
Keinginan Trump untuk kembali maju dalam pilpres siap dihadang oleh kandidat terbaik dari Partai Demokrat. Beberapa nama yang muncul adalah Bernie Sanders, Michael Bennet, Joseph R. Biden Jr, Michael R. Bloomberg, Cory Booker, Pete Buttigieg, John Delaney, Tulsi Gabbard, Amy Clobuchar, Deval Patrick, Tom Steyer, Elizabeth Warren, Marianne Williamson, dan Andrew Yang.
Dari nama-nama tersebut, nama yang paling santer disebut sebagai kandidat kuat untuk menghadang Trump adalah Bernie Sanders, Michael R. Bloomberg, juga Elizabeth Warren.
Bernie Sanders menggambarkan dirinya sebagai seorang sosialis demokratik yang mengusung isu Kesehatan untuk Semua dan bebas biaya di perguruan tinggi negeri. Bernie memiliki pernyataan sikap, bahwa satu-satunya cara untuk memenangkan pemilihan ini dan menciptakan pemerintahan dan ekonomi yang bekerja untuk semua adalah dengan melibatkan gerakan akar rumput. Menurutnya, hal yang belum pernah terlihat dalam sejarah Amerika.
Nama Michael R. Bloomberg sebagai pemilik jaringan media Bloomberg yang tersebar di seluruh dunia. sangat ingin menghadang dan menurunkan Trump dari puncak kekuasaannya. Ia menyampaikan tekad kuatnya untuk berjuang habis-habisan mengalahkan Donald Trump.
Mengalahkan Donald Trump dan membangun kembali Amerika adalah perjuangan paling mendesak dan paling penting dalam hidup kita. Dan saya akan berjuang habis-habisan, begitu kalimat yang ia sampaikan untuk membuktikan keseriusannya. Bloomberg terkenal juga sebagai seorang yang memiliki perhatian khusus pada kontrol senjata dan perubahan iklim. Tapi sudut pandangnya soal pajak dianggap berpotensi menurunkan popularitasnya.
Sementara bagi Elizabeth Warren, saat ini tak hanya soal memperbaiki pemerintahan yang rusak, tapi juga sudah waktunya seorang perempuan berada di puncak jabatan di Amerika. Ia sering kali bicara pentingnya perubahan struktural yang besar, memperjuangkan ketimpangan pendapatan, peduli pada posisi kelas menengah yang diserang oleh perusahaan besar dan korupsi politik.
Elizabeth berulangkali menyampaikan rencananya soal membentuk kembali perekonomian, dan berulang kali menyampaikan pada publik bahwa "Ia sudah punya rencana untuk itu” (I have a plan for that), yang akhirnya mulai menjadi slogan kampanyenya. (ren)