Pengamat Ekonomi Digital: Agar Tak Rontok, Mulai Efisiensi
- VIVA/Istimewa
VIVA – Indonesia sedang mengalami euforia dengan bisnis digital dan terus mendorong tumbuhnya bisnis start up. Presiden Joko Widodo memberikan perhatian khusus terhadap lini bisnis ini. Hasilnya, start up tumbuh bak cendawan di musim hujan. Kesuksesan Gojek, Tokopedia dan Bukalapak membuat orang berlomba-lomba membuat start up.
Pengamat Ekonomi Digital, Heru Sutadi, mengatakan, Indonesia masih menjadi lahan yang sangat subur bagi ekonomi digital. Menurut dia, sepanjang 2019 pasar ekonomi digital Indonesia tumbuh meyakinkan. Menurut dia, pertumbuhan pasar ekonomi digital persentasenya di atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Meski demikian, tak sedikit start up yang tumbang. Selain itu masih banyak start up yang belum bisa menangguk untung meski nilai valuasinya sudah tinggi. Salah satu strategi ‘bakar uang’ diduga menjadi salah satu penyebabnya.
Lalu, bagaimana peluang dan tantangan bisnis digital di tahun 2020. Demikian penuturan Heru Sutadi kepada VIVANews.
Bagaimana Anda melihat ekonomi digital sepanjang 2019?
Sepanjang 2019 ini pasar ekonomi digital Indonesia tumbuh meyakinkan, bahkan persentasenya di atas pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sekitar 5,2 persen. Kita memiliki 4 perusahaan unicorn dan 1 yang sudah tergolong decacorn.
Bagaimana pertumbuhannya?
Pertumbuhannya positif. Kontribusi terhadap PDB dihitung lebih dari 3 persen. Diperkirakan pasar digital terutama e-commerce kita capai 100 miliar dolar pada 2025.
Bagaimana Anda melihat kinerja dan perkembangan start up di tanah air sepanjang 2019?
Start up, ada yang bersinar dan naik kelas, ada juga yang berguguran. Bahkan, meski berstatus unicorn, banyak juga yang secara keuangan masib merugi alias masih bakar uang.
Bagaimana Anda melihat kinerja Bukalapak, Tokopedia, Gojek dan OVO?
Unicorn kita atau bahkan decacorn secara valuasi meningkat. Hal ini karena penilaian unicorn atau decacorn dihitung usai mendapat uang tambahan dari pendanaan baru. Sehingga di satu sisi pendanaan bertambah, tapi di sisi lain pendapatan belum seperti diharapkan. Sementara pendanaan baru kerap cepat habis dipakai untuk mendapatkan pengguna baru, mengembangkan layanan baru, dan juga promosi yang sekaligus mempertahankan loyalitas pengguna agar terus aktif menggunakan layanan.
Bagaimana Anda melihat ekonomi digital secara umum sepanjang 2019?
Ekonomi digital secara umum mulai bergerak, perannya makin besar, walau memang sebagian besar kita masih menjadi pasar. Hal itu karena produk yang dijual di e-commerce misalnya masih 90 persen produk luar alias impor. E-commerce Indonesia harus didorong menjadi penggerak ekonomi kerakyatan.
Bukalapak kabarnya PHK banyak karyawannya sebagai buntut kondisi perusahaan yang merugi. Apa benar. Tanggapan Anda?
PHK karyawan akan banyak terjadi di bisnis start up kita. Hal itu karena tujuan efisiensi dan perubahan strategi perusahaan serta kebutuhan saat ini dan ke depan. Hanya memang, perlu diubah mindset kita bahwa kalau kerja di start up yang jadi unicorn atau decacorn akan aman, semua bisa terjadi. Bahkan, bisa terjadi di perusahaan sekelas Gojek nantinya. Walaupun harusnya tidak terjadi karena aset dan pekerja sebagian besar adalah mitra dan milik mitra.
Banyak yang mengatakan bisnis start up itu membakar uang. Apa benar. Tanggapan Anda?
Bakar uang terjadi karena pertama mereka harus mematikan layanan konvensional. Ojek pangkalan dimatikan dengan tarif ojek aplikasi yang murah, yang sebenarnya subsidi. Belum lagi marketing yang menghabiskan Rp100-150 ribu untuk mendapatkan satu pengguna baru. Bayangkan kalau sejuta atau lima juta pengguna saja sudah berapa. Pendapatan yang belum maksimal juga masih harus berhadapan dengan bagaimana menjaga loyalitas pengguna, yang dilakukan dengan promosi dan subsidi. Bakar uang memang tidak terelakkan.
Bisnis start up juga disebut dengan bubble economy. Apa benar. Bisa dijelaskan?
Meski tidak diakui, bisnis startup yang bahkan sudah jadi unicorn atau decacorn, rentan dan tidak bisa disebut sebagai bubble. Bisa membesar cepat, namun bisa saja kemudian mengempis atau hancur secara cepat.
Kenapa?
Hal itu terjadi karena, pertama, banyak yang tidak memiliki aset. Seperti Gojek, aset motor milik mitra, aset warung juga milik mitra. Begitu juga penyedia e-commerce, seperti Bukalapak, Tokopedia, barang yang dijual bukan milik mereka tapi merchant atau penjual. Sehingga, bisnis mereka akan tergantung mitra. Jika mitra kabur, tidak lagi kerja sama, ya asetnya hilang. Belum lagi namanya pengguna layanan.
Perusahaan sekelas Facebook dan Google saja, dalam setiap laporannya selalu menyebutkan bahwa jumlah pengguna adalah risiko yang harus dihadapi perusahaan. Sebab tidak ada yang loyal dalam menggunakan layanan setiap hari, setiap minggu atau setiap bulan. Dan pendanaan tambahan startup, memperhatikan itu semua: jumlah pengguna, proyeksi jumlah pengguna, perputaran uang. Sedikit saja ada persoalan, maka pendanaan bisa saja berhenti. Memang akan ada upaya masuk ke bursa, tapi apakah ada dapat sambutan hangat atau tidak, ini yang belum diuji.
Apa benar bisnis start up hanya mengejar valuasi?
Valuasi bisnis start up dihitung dari uang atau pendanaan yang sudah masuk. Jadi seperti utang pada para investor. Memang sepertinya valuasi jadi hal yang dituju karena masuk liga unicorn atau decacorn. Tapi belum tentu untung. Dan untuk valuasi ini networking ke luar negeri memang berpengaruh. Yang jelas sih ada ‘Harvard Connection’ untuk perusahaan yang sudah menggenggam status unicorn.
Apa benar banyak start up yang belum untung meski sudah beroperasi lama?
Banyak yang belum untung karena uangnya dibakar terus. Yang jelas yang sudah untung sih ya founder-nya karena kan sahamnya sebagian sudah ditukar.
WeWork dan Uber kolaps dan valuasi mereka melorot padahal mereka sudah menyandang predikat hectocorn. Tanggapan Anda?
WeWork and Uber kolaps karena memang ini bisnis bubble. Semua mau bikin start up dan jadi unicorn dan pendanaan deras masuk. Tapi sedikit saja masalah, gelembung bisnis start up gampang pecah.
Mengapa dua perusahaan start up raksasa tersebut bisa rontok?
Kalau saya melihat kita tunggu 2-3 tahun ke depan. Kalau para unicorn atau decacorn yang ada sekarang tetap moncer, maka akan panjang usianya. Tapi, ke depan akan banyak perubahan. Bulan madu tarif murah akan selesai dan promosi juga dibatasi. Kalau masyarakat tetap membutuhkan, akan terus digunakan dan aplikasi akan bertahan. Kalau masyarakat mencari aplikasi lain, siap-siap saja gulung tikar, meski perusahaan itu tergolong unicorn atau decacorn
Apa yang harus dilakukan start up dalam negeri agar tak mengalami kondisi yang sama?
Agar tidak rontok, ya mulai efisiensi. Ekosistem dijaga. Penggojek misalnya diperlakukan manusiawi. Penjual produk e-commerce dientertain, jangan ambil untung terlalu banyak aplikator. Penjual makanan online diberikan edukasi membuat makanan enak, pengiriman makanan yang baik, kemasan menarik, dan sebagainya.
Bagaimana Anda melihat peluang dan prospek ekonomi digital tahun depan?
Prospeknya tentu akan lebih besar. Namun sekali lagi, kita jangan melihat ekonomi digital dari berapa unicorn atau decacorn, bahkan mau hectocorn. Ekonomi digital hendaknya dilihat bagaimana rakyat bisa berpartisipasi dalam perubahan ekonomi dunia yang mengglobal, dan perkembangan ekonomi digital Indonesia harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Caranya, harus ada leadership dari pemimpin bangsa, pejabat. Kemudian ada perhatian agar UMKM bergerak dan menghasilkan produk yang bisa dijual senasional dan bahkan ke luar negeri.