SOROT 582

Menghapus Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional Berbasis Komputer tingkat SMP di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu, 24 April 2019.
Sumber :
  • VIVA/Yasir

VIVA – Nyaris setiap terjadi pergantian menteri, maka ada kebijakan yang berubah. Entah soal kurikulum ataupun soal ujian nasional (UN). Periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi mulai ancang-ancang untuk berlari. Dan dunia pendidikan diterpa isu berulang.

Wacana UN Diberlakukan Kembali, Ini Kata Mendikdasmen Abdul Mu'ti

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, muncul dengan isu soal penghapusan ujian nasional. Akhir November lalu, Menteri Nadiem mengatakan sedang mengkaji kemungkinan menghapus ujian nasional. Ucapan Nadiem segera kembali membangkitkan kontroversi soal ujian nasional.

Dody Rahmat (31 tahun), ayah satu anak yang tinggal di Depok, Jawa Barat, menolak keras penghapusan Ujian Nasional. Ia tak setuju, karena menurutnya Ujian Nasioanal adalah salah satu tolak ukur siswa. "UN jangan jadi syarat kelulusan. Cukup jadi tolak ukur saja. Jadi enggak perlu dihapus," ujarnya kepada VIVAnews, Jumat, 6 Desember 2019.

UN, PPDB Zonasi, Kurikulum Merdeka Belajar, Akan Dikaji Menteri Mu’ti dan Minta Masukan Daerah

Ia yakin, jika ujian nasional dihapus, maka sekolah tak akan terasa berguna. Dan siswa bisa jadi akan menyepelekan sekolah.

Siswa SMP di Depok tengah ujian nasional, Senin, 22 April 2019.Ujian Nasional

Warga lainnya, Vella Della (26 tahun) juga menolak penghapusan ujian nasional. Menurut warga Johar Baru, Jakarta Pusat, ini, UN sekarang sudah berbeda dengan UN masa lalu. UN dapat dijadikan kriteria penilaian siswa dan guru dalam menyampaikan materi, sekaligus menjadi bahan evaluasi pengetahuan siswa selama belajar di sekolah.

7 Tips Menghadapi Ujian Nasional: Persiapan yang Efektif untuk Sukses

"Jika UN dengan sistem lalu yang menjadi penentu kelulusan, itu tidak efektif. Tapi, saat ini, UN telah digabung dengan nilai rapor siswa selama sekolah untuk evaluasi penilaian kelulusan. Sehingga, guru bisa punya dua kriteria penilaian yakni UN dan nilai rapor dengan porsi penilaian yang sama," tutur Vella.

Karena fungsi UN yang sudah berubah itulah, maka Vella mengganggap pemerintah tetap perlu menggelar ujian nasional. Menurut Vella, UN berbasis komputer juga perlu terus diluaskan untuk membuat pelaksanaan UN menjadi lebih hemat dan tak ada lagi tuduhan menghabiskan anggaran.

Polemik Tak Kunjung Selesai

Pelaksanaan ujian nasional (UN) menjadi polemik setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 menetapkan UN sebagai standar penentu kelulusan siswa. Saat itu, publik digemparkan karena banyaknya siswa berprestasi, bahkan yang berada pada ranking tinggi, gagal lulus sekolah karena gagal di ujian nasional.

Ribuan siswa dan orangtua yang kecewa, menangis dan mengutuk pemerintah. Tapi, pemerintah bergeming. Solusi yang ditawarkan saat itu bagi mereka yang tak lulus adalah mengikuti ujian akhir melalui ujian kesetaraan Paket A, B, atau C. Rela tak rela, suka tak suka, ratusan siswa dari sekolah bergengsi terpaksa menempuh jalur ujian kesetaraan. Mereka lulus, tapi bukan dari sekolah yang mereka ikuti sejak awal.

Sejak itu, UN menimbulkan pro-kontra dan selalu bermasalah. Bukan hanya di kalangan peserta didik, juga untuk sekolah sebagai penyelenggara pendidikan. Tahun 2008, pemerintah membuat kebijakan, siswa yang tak lulus UN boleh mengulang di tahun berikutnya, sehingga mereka tetap bisa mendapatkan ijazah dari sekolah yang sama. Namun, UN tetap dijadikan penentu kelulusan siswa.  Meski ada perubahan kebijakan, perlawanan agar UN ditiadakan terus terjadi.

UN selain dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak anak juga dituding sebagai pemborosan massal anggaran negara. Pengamat pendidikan Darmaningtyas setuju UN dihapus. Ia menegaskan UN sudah semakin tidak relevan, terutama setelah diterapkan sistem zonasi. Ia juga menyebut UN sebagai pemborosan anggaran negara. Sebab, setiap penyelenggaraan UN, maka negara akan mengeluarkan dana hingga Rp500 miliar.

"Itu enggak ada gunanya. Lebih baik dana sebesar itu digunakan untuk bangun gedung baru, menambah fasilitas pendidikan, menambah honor guru-guru honorer. Kalau mau melakukan perbaikan kualitas pendidikan, jangan mempertahankan UN-nya," ujarnya.?



Pengamat Transportasi, DarmaningtyasPengamat pendidikan, Darmaningtyas

Darmaningtyas menambahkan, harusnya tak ada lagi yang menghalangi penghapusan UN. Sebab, tahun 2016, yang menghalangi moratorium UN adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dan sekarang JK sudah tak menjabat sebagai wapres, sehingga menurut Darmaningtyas, seharusnya Presiden Jokowi tak perlu takut lagi.

Wacana penghapusan UN juga disuarakan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sekjen FSGI, Heru Purnomo, mengatakan sudah sejak lama FSGI mengusulkan penghapusan UN.

"Pertama, terkait dengan kualitas pembelajaran yang belum merata, kemudian dipergunakan soal yang sama setiap UN. Sehingga UN ini tidak memberikan keadilan bagi peserta didik. Kedua, hasil UN dijadikan alat kelulusan serta dijadikan sebagi alat penjenjang, ini menimbulkan terjadinya kasus-kasus kebocoran soal, dan sebagainya," tutur Heri.

Menurut Heri, akhirnya UN mencederai upaya meningkatkan kualitas pendidikan nasional, tetapi malah meluluhkan sikap atau perilaku peserta didik menjadi kecurangan atau tidak jujur, dan itu kontradiksi sekali dengan tujuan pendidikan.

"Walaupun sekarang UN sudah tidak dijadikan subjek atau alat kelulusan, tetapi masih dipergunakan sebagai alat untuk penilaian berjenjang karena adanya sistem zonasi sekarang ini. UN ini apabila dilaksanakan membawa atau mengakibatkan adanya penyempitan atau kekurangan keleluasaan dalam melaksanakan pembelajaran guru terhadap siswanya," ujarnya menambahkan.

Sebab, ujar Heri, mata pelajaran bagi siswa di semester kedua lebih banyak melatih siswa mengerjakan soal-soal UN. Dampaknya, tidak menumbuhkan creative thinking, tidak menumbuhkan keterampilan bersikap, kemandirian siswa, karena siswa lebih fokus untuk melakukan latihan-latihan menghadapi UN atau istilahnya pendalaman materi.

Berbeda dengan Heri, dua guru di SMA Yasporbi Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tak setuju UN dihapus. Menurut Arif Styantoro, guru mata pelajaran Sejarah, semua negara perlu standarisasi pendidikan. Dan standarisasi jelas perlu disajikan secara kuantitatif, dan artinya itu dengan nilai.

"Nilai yang didapatkan secara nasional ya tentu dengan UN. Mau pakai nilai rapor? Jelas enggak bisa karena kurang objektif. Harus standarnya pemerintah," ujar Arief.

Rekan Arif, Rusdy Saleh, guru mata pelajaran Geografi di sekolah yang sama juga tak setuju UN dihapus. Terutama setelah terjadi pergeseran fungsi UN yang tidak lagi menjadi standar kelulusan siswa, tapi hanya sebagai pemetaan kompetensi lulusan sekolah

Menurut Rusdy, ada tiga manfaat UN. Pertama adalah sebagai pemetaan kompetensi lulusan, kedua sebagai indikasi progres kemajuan belajar siswa berdasarkan input, dan ketiga nilai UN menjadi salah satu syarat SBMPTN dan SNMPTN.

"UN tidak efektif jika terkait evaluasi siswa. Tapi, setelah diperbaiki sehingga UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan yang menghantui siswa selama ini, maka UN jadi efektif," ujarnya kepada VIVAnews.

Upaya Menghapus yang Selalu Gagal

Perlawanan menolak UN sempat sangat menguat ketika UN dijadikan standar penentu kelulusan siswa. Sebab, dengan menjadikannya sebagai standar penentu kelulusan, maka secara prinsipil, UN dianggap melanggar Pasal 57 dan Pasal 58 UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan, "Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan."

Sementara dalam Pasal 58 ayat (1) disebutkan,"Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan,dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Sedangkan di ayat (2) disebutkan,  Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Selama 11 tahun pemerintah bergeming dengan terus menjadikan UN sebagai standar penentu kelulusan. Bahkan ketika terjadi gugatan hukum, proses persidangan terus berlanjut hingga ke Mahkamah Agung. Beruntung, MA menolak kasasi pemerintah dengan perkara Nomor 2569 K/PDT/2008. Penolakan MA atas kasasi pemerintah telah menegaskan, penyelenggaraan UN bertentangan dengan perundang-undangan dan hak anak.

Dan tahun 2015 perlawanan mulai menunjukkan hasil. Anies Baswedan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, mulai memunculkan ide penghapusan UN dan mengembalikan semangat ke UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Anies ingin agar hasil UN tak lagi jadi standar penentu kelulusan siswa, tetapi hanya dijadikan sebagai salah satu tolak ukur peningkatan mutu pendidikan. Tapi, rencana itu menjadi mentah karena Anies terkena reshuffle dan dicopot dari jabatannya sebagai Mendikbud.

Posisi Anies lalu digantikan Muhadjir Effendy, yang kemudian muncul dengan gagasan melakukan moratorium UN. Tapi, keinginan Muhadjir ditolak oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres menganggap UN masih dibutuhkan dalam sistem pendidikan di tanah air. Akhirnya, dalam rapat kerja terbatas di bulan Desember 2016, Presiden Jokowi mengambil keputusan tetap melaksanakan UN di tahun 2017.

Menko PMK Muhadjir Effendy berbincang dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim
Tahun 2018, Muhadjir Effendy, melalui Peraturan Mendikbud Nomor 4 tahun 2018 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan dan Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah di Pasal 17 menetapkan hasil UN akan digunakan sebagai dasar untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada Satuan Pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Dan kali ini giliran Mendikbud baru, Nadiem Makarim, mengembuskan wacana peniadaan UN.

Tapi, kali ini berbeda. Jika sebelumnya publik berjuang menolak UN, kini kondisinya berbalik. Tak semua menolak UN, karena UN sudah tak lagi menjadi penentu kelulusan.

Anggota Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menganggap ujian nasional sebenarnya masih diperlukan, cuma namanya bukan ujian. Kalau ujian kesannya untuk menentukan kelulusan. Padahal, sejak beberapa tahun lalu sudah disepakati ujian nasional bukan penentu kelulusan, tetapi sebagai sumber data bagi pembuatan kebijakan.

"Sistem evaluasi sekarang perlu dilakukan perbaikan, penyempurnaan. Terkait sistem evaluasi itu perlu, hanya mungkin modelnya saja diubah atau disempurnakan bukan ujian nasional lagi," ujarnya.

Ia juga sepakat, tahun 2020, UN masih diperlukan. Karena sampai saat ini belum ada assesment yang bisa menggantikan UN. Peniadaan UN bisa dilakukan jika sudah ada penggantinya.

Pelaksanaan Ujian Nasional Hari Pertama

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rasidi, memastikan tetap harus ada standar pendidikan nasional.  Unifah berharap soal UN dikaji secara mendalam sebelum dihapuskan, termasuk memikirkan pengganti UN jika ingin dihapuskan. Kajian itu penting agar tak terus menerus melihat wajah pendidikan dari 'kacamata' Jakarta saja. Tapi, harus dilihat dari seluruh Indonesia.  

"Karena kondisi di daerah-daerah itu tidak sama. Jadi harus dikaji secara mendalam dan menyeluruh, secara komprehensif. Jangan penghapusannya dulu yang dikedepankan, tapi gantinya apa? Assessment nya apa?  Karena sebenarnya dua tahun terakhir ini sudah dilakukan pemetaan pendidikan secara nasional, tapi masalahnya pemetaan itu tidak ditindaklanjuti," ujarnya.  

Unifah yakin pemerintah memiliki niat baik untuk memperbaiki pendidikan negeri ini, tapi yang terpenting adalah bagaimana niat baik itu bisa menggerakkan guru dan siswa untuk mengubah paradigma pembelajaran sehingga hasilnya semakin baik.
 
"Saya tidak mengatakan sekarang ini sudah baik. Tentu kita tetap memerlukan evaluasi di sektor pendidikan ini. Karena kita tahu hari jni parameter keberhasilan siswa itu kan tidak hanya dinilai dari intelektual siswa saja. Nah, bagaimana kemudian kita mengukur parameter-parameter itu semua. Jadi jangan buru-buru menghapus UN-nya, tetapi kira2 assesment-nya yang seperti apa. Itu yang perlu dipahami bersama," ujar Unifah menjelaskan.

Memahami polemik yang muncul, Mendikbud Nadiem Makarim, pekan lalu, memastikan untuk tahun 2020, UN akan tetap dilaksanakan. Tapi Kemendikbud akan terus melakukan kajian terhadap ujian nasional. Nadiem memastikan, saat ini Mendikbud berupaya menciptakan kesinambungan antara sistem pendidikan dan dunia industri, sebagaimana yang diperintahkan Presiden Joko Widodo.

"Untuk mencapai itu, ada beberapa hal yang salah satunya adalah deregulasi dan debirokratisasi dari semua instansi unit pendidikan. Makanya platformnya yang kami sebutkan itu merdeka belajar," ujarnya.

Ia mengatakan, selain mengkaji penghapusan UN, upaya lain seperti penyederhanaan kurikulum juga akan coba diterapkan oleh Kemendikbud.

"Dari situ harus ada penyederhanaan dari sisi kurikulum maupun assesment agar beralih kepada yang sifatnya yang lebih kompetensi dan bukan saja menghafal informasi. Itu suatu perubahan yang akan kita terapkan dan kita sempurnakan," ujarnya menegaskan.

Baca Juga

Ujian Nasional dari Masa ke Masa

Kepala BNSP: Ujian Nasional adalah Amanat Undang undang

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya