- VIIVAnews/Anwar Sadat
VIVA – Ribuan mahasiswa berbondong-bondong keluar dari kampusnya di berbagai wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Selasa, 19 Mei 1998. Ada yang menggunakan bus, naik angkutan kota, hingga longmarch.
Tujuan mereka Gedung DPR-MPR RI, di Senayan, Jakarta. Semua bergerak dengan isu yang sama, yaitu menuntut Presiden saat itu, Soeharto, turun dari jabatannya. Tak hanya itu, mahasiswa menuntut Dwifungsi ABRI dihapuskan.
Peristiwa 21 tahun lalu itu masih terkenang dalam ingatan Ridwan Darmawan, aktivis Forkot 98. Ridwan yang kini anggota Presidium Indonesian Human Rights Committee for Social Justice/IHCS itu mengatakan, hampir seluruh kampus di Jabodetabek berkumpul di DPR RI.
“Ketika itu saya ingat benar pada tanggal 19 Mei mahasiswa dari berbagai kampus-kampus di Jakarta itu memberanikan diri keluar dari kampusnya mengusung isu itu,” ujar Ridwan kepada VIVAnews, Jumat, 8 November 2019.
Sebenarnya, menurut Ridwan, gerakan menolak Dwifungsi ABRI dan menuntut Soeharto turun ketika itu, telah dimulai di kampus-kampus dengan cara menggelar mimbar bebas. Gerakan menolak Dwifungsi ABRI sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelumnya.
Namun, gerakan itu menjadi besar pada 1998. Ketika kemarahan masyarakat memuncak kepada rezim otoriter Soeharto yang sangat kuat dalam mengamankan kekuasaannya, dengan cara menghidupkan Dwifungsi ABRI.
Saat itu, banyak anggota ABRI yang menjabat posisi-posisi strategis, seperti gubernur, bupati, wali kota, menteri, pengusaha, serta pejabat tinggi lainnya. “Kita melihat Dwifungsi ABRI itu salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Soeharto ketika itu, sebagai strategi mempertahankan kekuasaannya," tuturnya.
"Terbukti Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaannya selama 32 tahun, dengan memposisikan ABRI sebagai kekuatannya dari tingkat pusat hingga tingkat daerah, dan kampung-kampung dalam posisi-posisi strategis,” ujarnya.
Kritik Dihadapi Kekuatan ABRI
Senada dengan Ridwan, Ch Gembong, aktivis 1998 dari Pijar Unas, mengemukakan, ketika Dwifungsi ABRI diterapkan, anggota ABRI atau kini kembali bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI), menempati hampir semua jabatan-jabatan strategis masyarakat sipil. Dari kepala desa, lurah, camat, bupati, gubernur, hingga posisi-posisi strategis di organisasi lainnya, termasuk di cabang-cabang olahraga.
Ketika itu, siapa pun yang mengkritik pemerintah, pejabat seperti gubernur, bupati, wali kota atau pimpinan perusahaan, dihadapi oleh kekuatan ABRI. Sebab, mereka merasa kepentingan kekuasaan dan ekonominya terganggu.
“Itu (Dwifungsi ABRI) dijadikan sebagai cantolan untuk memperkuat kepentingan penguasa atau TNI waktu itu,” ujarnya kepada VIVAnews, Jumat, 8 November 2019.
Ridwan menjelaskan, Dwifungsi ABRI merupakan konsep yang bermula dari gagasan “jalan tengah” dari Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution. Konsep itu dioperasionalkan oleh Soeharto, dalam menjalankan pemerintahannya.
Presiden Soeharto
Konsep utama Dwifungsi ABRI diberikan oleh Orde Baru melalui pemberian akses sangat luas bagi tentara, untuk terlibat dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan alasan stabilitas nasional, mereka menduduki jabatan strategis pada posisi-posisi sipil seperti gubernur, bupati, menteri, BUMN, hingga BUMD.
“Bahkan secara ekstrem dalam pelbagai diskursus saat itu, tidak ada posisi yang tidak dimasuki oleh tentara," kata dia.
"Sipil bahkan dianggap sebagai entitas yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Hal itu muncul akibat dominasi dan sikap superior yang ditunjukkan oleh tentara kala itu,” kata Ridwan.
Mahasiswa menilai, saat itu, ada yang tidak sinkron antara teori dan praktik demokrasi yang berkembang. Ketika itu, supremasi sipil sebagai ciri dari demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kemudian, hukum sebagai panglima dari sebuah negara yang mengaku berasaskan hukum, bukan kekuasaan, tidak juga berjalan sesuai koridor yang digariskan oleh konstitusi.
Ilustrasi TNI
Menurut dia, tabiat tentara yang militeristik dan antidialog, sebagaimana ciri masyarakat demokratis, tentu bertolak belakang. Tentara yang digariskan menjadi penjaga kedaulatan dan keamanan negara dari rongrongan asing, malah menjadi penjaga modal dan kekuasaan.
Saat itu, sulit memisahkan antara tentara dan politikus. Sebab, salah satu unsur dari konsep Dwifungsi ABRI adalah kekaryaan dengan menjadi penopang Partai Golkar.
“Itulah kemudian reformasi menempatkan isu Dwifungsi ABRI menjadi salah satu yang pokok untuk dihapuskan,” kata Ridwan.
Militer dalam Sosial Politik Wajar
Keterlibatan militer dalam politik, khususnya dalam Golkar, seperti dikutip dari buku “Reformasi TNI Perspektif Baru Hubungan Sipil-Militer di Indonesia” karya Yuddy Chrisnandi, ditunjukkan dengan adanya lembaga tiga jalur yaitu ABRI, Birokrasi, dan Golkar (jalur ABG). Hal itu untuk menentukan sejumlah nama yang akan masuk ke lembaga legislatif.
Sebagian perwira menganggap keterlibatan militer dalam sosial politik sebagai hal yang wajar. Sebab, peranan ABRI sebagai stabilisator dan dinamisator pembangunan masih diperlukan masyarakat.
Desakan untuk menarik militer dari politik lantas direspons di Sidang Istimewa MPR. Salah satu upaya menyurutkan militer dari politik terlihat dari hasil Sidang Istimewa MPR pada 10-13 November 1999. Sidang Istimewa tersebut menghasilkan Ketetapan MPR menghapuskan wakil-wakil ABRI di DPR mulai hasil Pemilu 1999.
Ilustrasi Sidang MPR
Dalam buku tersebut juga disebutkan, sebagai langkah menarik mundur militer dari politik, dilakukan sejumlah agenda reformasi internal dalam ABRI. Di antaranya, pemutusan hubungan organisatoris dengan Partai Golkar, netralitas dalam pelaksanaan pemilu, penghapusan lembaga kekaryaan ABRI, serta larangan perwira aktif menduduki jabatan sipil.
Isu soal Dwifungsi ABRI kembali menyeruak tahun ini, ketika TNI menggulirkan rencana revisi Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Revisi ini menghendaki adanya perluasan jabatan sipil bagi perwira militer.
Revisi tersebut terkait dengan Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan-jabatan sipil yang boleh dijabat perwira TNI aktif.
Sejatinya, Pasal 47 ayat (1) Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur, prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Sementara itu, pada ayat (2) berbunyi “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung”.
"Kami menginginkan bahwa lembaga atau kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu, eselon dua, tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya sehingga kolonel bisa masuk di sana," kata Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis, 31 Januari 2019.
Menurut Salim Said, nuansa dwifungsi akan begitu kentara jika permasalahan kelebihan personel TNI diselesaikan dengan menebar perwira ke lembaga sipil. Ia khawatir, banyak pejabat sipil akan kehilangan masa depan karena kedudukan tertentu dikhususkan bagi tentara.
"Dulu, Soeharto menabrak kesempatan tokoh sipil, terutama jabatan duta besar. Banyak orang Kementerian Luar Negeri mengeluh karena posisi mereka diambil para perwira militer," ujar Guru Besar Universitas Pertahanan ini.
Saat itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan tidak ada niatan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menghidupkan kembali Dwifungsi TNI.
Menurut Luhut, wacana yang ada adalah menempatkan personel TNI sesuai dengan bidang dan kapasitas kemampuannya. Dia mengungkapkan, isu Dwifungsi TNI akan kembali diterapkan adalah “ngarang”.
"Enggak ada. Enggak ada. Ngarang itu Dwifungsi ABRI. Segala macam pengin main-mainin isu. Kita kan enggak bego," ujar Luhut, di Sleman, Minggu, 24 Februari 2019. (art)