- Takdir dan Wahyu / tvOne Fakfak.
VIVA – Telepon seluler itu berdering dari saku kemejanya sebelum jam makan siang. Dengan santai dan suara santun, Natalius Pigai menyapa lalu menjawab peneleponnya. "Sebentar masih wawancara, nanti saya kontak ya," kata Pigai.
Tak berselang lama, ia mengontak kembali si penelepon yang ternyata wartawan. Pria 44 tahun itu pun sekitar enam menit bercerita untuk menjawab pertanyaan seputar rusuh di Papua.
Salah satu isi ceritanya terkait cara pemerintah yang melakukan pembatasan akses internet di tanah kelahirannya. Kebijakan ini dianggap eks komisioner Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) itu sebagai langkah blunder.
Masyarakat luas termasuk Papua bukan mendapatkan informasi akurat. Namun, menurutnya bisa jadi malah informasi keliru dan merugikan masyarakat Papua. Dikhawatirkan fakta peristiwa kerusuhan sebenarnya tak ditangkap masyarakat.
"Internet mati, enggak stabil, saudara mau telepon dari Daiyei, Papua susah," kata Pigai di pertengahan pembicaraan, Jumat, 30 Agustus 2019.
Kekesalan Pigai beralasan. Pembatasan akses internet dengan tak disertai update penjelasan dari pemerintah berpotensi memunculkan kesimpangsiuran. Salah satu contoh yang dimaksud Pigai terkait adanya warga Kabupaten Deiyai yang tewas akibat kerusuhan dan sempat dibantah pemerintah.
Kerusuhan di Papua
Masalah Papua dinilai sensitif karena diawali persoalan rasis terhadap mahasiswa Bumi Cendrawasih di Surabaya, dua pekan lalu. Aksi kerusuhan yang meluas hingga sejumlah titik di Papua dan Papua Barat menjadi imbasnya. Pemerintah harus bisa peka dalam persoalan ini.
"Kami hanya ingin adil saja. Kami sudah diperlakukan rasis. Setoplah blokir akses internet ini," tutur Pigai.
Rupanya, suara protes Pigai senada dengan elemen masyarakat di luar Jakarta. Sejumlah organisasi masyarakat sipil siap menuntut pemerintah Indonesia khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) karena kebijakan pembatasan internet di Papua.
Sistem Terdampak
Kebijakan pemblokiran akses internet di Papua memunculkan protes. Cara pemerintah itu dinilai sebagai abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dan merugikan masyarakat luas, bukan hanya Papua.
Alasannya, internet sudah menjadi sandaran sistem kebutuhan kehidupan. Salah satu yang menjadi prioritas adalah hak masyarakat atas informasi.
"Makanya level membatasi hak itu harus ketat, enggak boleh sembarangan begini," kata Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur saat ditemui VIVAnews di kantornya, Kamis, 29 Agustus 2019.
Aksi unjukrasa di Papua
Selain YLBHI, organisasi masyarakat sipil yang menyiapkan menuntut ke pemerintah terutama Kominfo antara lain KontraS, Safenet, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Indonesia, sampai Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Kebijakan pemblokiran internet sudah diberlakukan sejak Senin, 19 Agustus 2019.
Pemblokiran internet di Papua diminta segera diakhiri. Dalil Kominfo dengan memakai pasal 40 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dinilai keliru. Sebab, aturan pasal tersebut bicara soal muatan konten bukan untuk memblokir.
"Itu harus diturunkan dalam SOP yang sangat detil, enggak bisa main blokir. Harus ada tim yang menilai kenapa harus ada pemblokiran internet," jelas Isnur.
Keheranan Isnur karena mempertanyakan standar operasional prosedur atau SOP Kominfo terkait blokir internet. Dua kali YLBHI dan kawan-kawan mendatangi Kominfo, tapi tak juga mendapatkan penjelasan yang bisa diterima.
"Kami sudah somasi dua kali, kami akan gugat. Karena ini enggak ada dasar hukumnya. ini abuse of power," tuturnya.
Ketua Umum AJI Indonesia, Abdul Manan mengatakan kebijakan pemblokiran sangat disesalkan. Cara ini merugikan masyarakat Papua yang ingin berkomunikasi dengan keluarganya. Lalu, contoh lain kerugian juga dialami pekerja profesi wartawan. Dia menyindir pemerintah tak bisa berdalih untuk kepentingan yang lebih besar. Sebab, alasan pemerintah untuk meredam penyebaran hoaks.
"Saya rasa itu cuma alasan. Itu bukan satu-satunya alasan, bukan satu-satunya cara yang bisa dipakai. Secara garis besar, banyak merugikan," ujar Manan kepada VIVAnews, Jumat, 30 Agustus 2019.
Pembelaan Pemerintah
Kebijakan pemerintah memberlakukan pemblokiran internet karena kondisi di Papua sudah kompleks. Selain itu, yang menjadi alasan penting pemerintah yaitu untuk meredam hoaks.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto mengatakan hoaks selama ini menjadi salah satu alat propaganda yang akan membuat kegaduhan.
"Ya gini, gini, satu, viral salah satu penyebaran berita bohong. Apa kita biarkan, provokasi, membakar-bakar masyarakat, menyebarkan berita bohong lewat media sosial," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Kamis, 29 Agustus 2019.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto memberikan keterangan pers soal Papua
Dia menegaskan, kebijakan pemerintah itu demi menjaga keamanan nasional, bukan sewenang-wenang. Menurutnya, pemerintah tak akan ragu-ragu mengeluarkan kebijakan seperti pembatasan internet bila ada ancaman yang membahayakan kepentingan nasional.
Wiranto menekankan kebijakan pemblokiran internet di Papua akan diberlakukan sampai kondisi aman.
"Saya tak ragu-ragu untuk setiap saat melemotkan medsos, enggak ada masalah. Tapi kalau memang sudah membahayakan kepentingan nasional," tutur Wiranto.
Sementara, Plt. Kepala Biro Humas Kemenkominfo RI Ferdinandus Setu mengatakan, langkah yang diambil adalah perlambatan akses. Dengan cara ini, masyarakat masih bisa menggunakan internet.
Namun, memang di hari tertentu ada pemblokiran data internet operator seluler karena aksi massa yang berujung rusuh.
"Yang disebut pelambatan artinya internet masih bisa diakses, orang masih bisa kirim WhatsApp, gambar, video, dan seterusnya itu tapi lebih lambat," kata Ferdinandus kepada VIVAnews, Jumat, 30 Agustus 2019.
Menurut dia, terkait kebijakan tersebut pemerintah akan terus menyesuaikan kondisi di Papua. Meski kondisi terakhir disebut sudah berangsung kondusif.
Dia menambahkan, akses diperlambat juga karena sempat marak konten-konten yang menghasut dengan mendikotomikan Papua vs Indonesia.
"Nah yang mengarah pada penghasutan seperti itu sampai 300 ribu url, dan lebih banyak di Twitter. Dan situasi itu diperparah dengan situasi di lapangan," jelasnya.
Terkait kebijakan ini diibaratkan peristiwa kerusuhan di Bawaslu usai pengumuman Pilpres 2019, ia menjawabnya. Menurut dia, kebijakan ini berbeda karena yang diberlakukan perlambatan internet di Jakarta pada Mei lalu itu dengan lokasi sekitar Bawaslu, dan beberapa tempat lainnya.
"Berbeda dengan di Papua karena hampir seluruh Papua kita blokir. Kenapa? Kita tahu isu Papua ini sangat kompleks," ujarnya.
Buah Simalakama
Langkah pemerintah yang memblokir akses internet di Papua dinilai bagai makan buah simalakama. Kebijakan blunder tapi perlu dilakukan. Opsi yang harus diambil pemerintah Jokowi.
"Bagai makan buah simalamaka. Pembatasan internet merupakan suatu kesalahan pemerintah kepada rakyat Papua," tutur pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin kepada VIVAnews, Jumat, 30 Agustus 2019.
Ujang menilai, kebijakan ini akan membuat rakyat Papua tak akan menyukai pemerintahan Jokowi. Sebab, mereka tak mendapatkan hak memperoleh informasi.
"Namun, di saat yang sama jika pembatasan tak diberlakukan akan menambah dan memperbanyak titik kerusuhan," jelas Ujang.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan sebenarnya untuk meredam hoax, pemerintah bisa dengan aktif menyampaikan pernyataan resmi dengan update. Masyarakat dinilai bisa mengetahui peristiwa di Papua jika pemerintah aktif menyampaikan penjelasan secara update.
"Pembatasan internet bukan solusi bila ternyata tidak ada program yang dijalankan pemerintah untuk menjaga Papua," ujarnya.
Peneliti dari Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju mengingatkan pemerintah agar menyetop kebijakan pemblokiran internet. Alasannya, tak punya landasan dasar hukumnya.
"Itu tidak punya dasar hukumnya. Dasar hukumnya dalam bentuk apa misalnya," ujar Anggara kepada VIVAnews, Jumat, 30 Agustus 2019.
Dia menekankan dalam UU ITE yang diatur adalah pembatasan terhadap konten, bukan terhadap akses. Bila konten maka seperti pornografi atau apapun.
"Terhadap akses itu tidak ada aturan sama sekali. Satu-satunya aturan yang tersedia hanya, kalo presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya," tuturnya. (ren)