SOROT 566

Dalam Diam, Tionghoa Ambil Peran

Kampung pecinan di Bangka Selatan
Sumber :
  • VIVA.co,id/Adinda Permatasari

VIVA –  Tahun ini, usia republik menjejak 74 tahun. Bilangan yang masih muda untuk sebuah negeri yang bersimbah darah demi mewujudkan kemerdekaannya. 

Negeri yang sejak awal berdirinya sudah terbangun atas beragam etnis juga memiliki banyak kisah tentang proses menuju kemerdekaan. Perjuangan tak melulu dilakukan oleh pribumi, warga asli negeri ini. Tapi juga ada kontribusi dari mereka yang nenek moyangnya berada di belahan dunia yang berbeda, seperti etnis Tionghoa dan Arab. 

Melalui jalur perdagangan, dua etnis ini datang dan akhirnya melebur dengan penduduk lokal. Berbeda dengan Belanda yang memposisikan diri lebih tinggi, orang Tionghoa dan Arab sama-sama merasakan penjajahan dan penindasan di bumi kaya rempah yang kakek dan nenek mereka telah lama datang dan berniaga. 

Perjuangan yang dilakukan juga bukan perjalanan singkat. Etnis Tionghoa sudah terlibat bahkan berpuluh tahun sebelum kemerdekaan dideklarasikan. Kegelisahan kaum intelektual dari etnis Tionghoa menjadi cikal bakal kesadaran mereka untuk lepas dari diskriminasi dan penjajahan Belanda. 

Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Jakarta oleh orang-orang Tionghoa berpendidikan Barat. Dikutip dari Tionghoa.info, kelompok ini menginginkan masyarakat Tionghoa yang sudah hidup turun-temurun di Hindia Belanda agar mengenal kebudayaan leluhurnya sendiri, sehingga mereka bisa bersatu sebagai satu kelompok masyarakat yang dihormati oleh pemerintah Hindia Belanda.

Kegiatan utama THHK yang utama adalah membangun dan membina sekolah-sekolah berbahasa Mandarin, yang berlandaskan pada ajaran Konghucu. Berdirinya sekolah-sekolah Tiong Hoa Hwee Koan ini merupakan reaksi masyarakat Tionghoa di Batavia terhadap pemerintah Belanda, yang tidak pernah memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka.

Di Indonesia, Tiong Hoa Kwee Koan menjadi perintis dan penyebar penggunaan istilah ‘Tionghoa‘ yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa, lewat sekolah-sekolah yang didirikannya sekitar tahun 1900-an. Pada tahun 1920-an, ada kesepakatan antara pers Melayu dan pers Melayu – Tionghoa untuk saling mendukung dan menghormati perbedaan antaretnis, dengan menulis kata ‘Indonesia’ untuk menggantikan kata ‘Inlander’, dan ‘Tionghoa’ untuk menggantikan kata ‘Cina’ dalam setiap terbitan halaman korannya masing-masing.

Intinya, kata wilayah ‘Hindia Belanda’ merujuk pada Indonesia, dan kata ‘Cina’ merujuk pada Tiongkok. Ini bagaikan win-win solution bagi kedua etnis dalam mencapai perdamaian, mengingat pada waktu itu pemerintah Belanda menggunakan politik pecah belah/devide et impera agar masyarakat asli dan para perantau etnis Tionghoa di Indonesia tidak bersatu.

Sejarawan Asvi Warman Adam juga mengakui peran etnis Tionghoa dalam pergerakan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Menurut Asvi, nasionalisme yang tertanam di kalangan Tionghoa membuat keberpihakan pada pejuang kemerdekaan sangat tinggi. "Mereka mengatakan sudah bagian dari Indonesia. Dan perlawanan tak hanya dilakukan pada saat menjelang kemerdekaan saja, tapi jauh sebelum itu mereka sudah ikut ambil peran," ujar Asvi kepada VIVAnews, Kamis, 15 Agustus 2019.

Berawal dari Diskriminasi

Maia Estianty hingga Dian Sastro, 4 Aktris Ini Keturunan Pahlawan

Semasa penjajahan, pemerintah kolonial Belanda menggunakan prinsip devide et impera untuk mempertahankan kekuasaannya. Meski jumlah warga Belanda jauh lebih kecil dibanding warga Pribumi, tapi kemampuan mereka menguasai membuat Belanda bisa mengendalikan penduduk pribumi yang jumlahnya mayoritas. 

Salah satu cara yang dilakukan Belanda adalah memanfaatkan kelompok atau individu yang pro Belanda. Misalnya kelompok bangsawan pribumi yang diperbolehkan menduduki posisi pemerintahan, memanfaatkan orang-orang Tionghoa yang hanya diperbolehkan bergerak di bidang ekonomi. 

Warga Palestina Lomba Panjat Pinang di Jalur Gaza, Hadiahnya?

Diskriminasi yang dilakukan pemerintah Belanda tak hanya dilakukan pada pribumi, tapi juga pada kelompok Tionghoa. Ririn Darinil, dalam jurnalnya yang berjudul "Nasionalisme Etnis Tionghoa di Indonesia, 1900-1945," menjabarkan bentuk diskriminasi yang dialami orang-orang Tionghoa. Menjelang akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan aturan-aturan yang intinya adalah untuk membatasi gerak langkah etnis Tionghoa di Indonesia. 

Melalui Wijkenstelsel pemerintah kolonial menciptakan sejumlah pusat pemukiman etnis Tionghoa di beberapa kota besar di Indonesia yang disebut sebagai kampung pecinan. Etnis Tionghoa diisolasi secara fisik sehingga antara etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi benar-benar terpisah. Selain wijkenstelsel, pemerintah kolonial juga memberlakukan passenstelsel (pas jalan) yang mengharuskan etnis Tionghoa untuk meminta izin bila akan melakukan perjalanan.

Hari Kemerdekaan RI, Warga Palestina Bikin Perayaan di Jalur Gaza

Orang-orang Tionghoa juga mendapatkan perlakukan hukum dan peradilan yang diskriminatif. Dalam perkara kriminal, tertuduh Tionghoa harus diadili di Landraad, yaitu pengadilan bagi warga pribumi karena dalam aturan hukum pidana orang Tionghoa statusnya disamakan dengan kaum pribumi (gelijkgesteld met de Inlanders). Dalam perkara sipil/perdata yang berkaitan dengan soal perdagangan, hutang-piutang, dan harta warisan, peradilan orang Tionghoa ditangani Raad van Justitie, yaitu peradilan untuk orang Eropa, apalagi sejak tahun 1848 hukum dagang Hindia Belanda (Wetboek van Koophandel) memasukkan orang Tionghoa dalam yurisdiksinya.

Diskriminasi yang dialami membuat orang-orang Tionghoa mulai melawan. Di Jakarta, mereka mendirikan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa di Jakarta. Gerakan nasionalisme Tionghoa ini menuntut persamaan hak antara orang-orang Tionghoa dan Belanda. 

Peran pemuda Tionghoa dalam kemerdekaan juga nampak dalam deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Rumah yang menjadi tempat dibacakannya Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat, adalah rumah kost milik orang Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Secara sadar ia membiarkan rumahnya menjadi markas bagi organisasi kepemudaan. Tionghoa lain yang terlibat dalam peristiwa ini adalah Kwee Thiam Hong, Ong Kay Sing, Liaw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. (Retnaningtyas Dwi Hapsari: Bibit Nasionalisme di Kalangan Penduduk Tionghoa. Hal 267).

Selain itu juga terdapat empat orang Tionghoa yang duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Mr. Tan Eng Hua, dan Liem Koen Hian. (Jurnal DPR, oleh: Retnaningtyas Dwi Hapsari: Bibit Nasionalisme di Kalangan Penduduk Tionghoa, Staff Program dan Dokumentasi Filantropi Indonesia).

Melawan Lewat Koran

Berhadapan dengan diskriminasi Belanda membuat pribumi dan etnis Tionghoa saling mendukung dan bergandeng tangan. Etnis Tionghoa yang tersebar di berbagai wilayah ikut membantu mewujudkan kemerdekaan dengan berbagai cara. 

Wakil Sekretaris Jenderal Perhimpunan Indonesia Tionghoa (Perhimpunan INTI) Candra Jap, mengisahkan bagaimana peran etnis Tionghoa membantu mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Menurutnya, saat itu kebanyakan bantuan diberikan secara personal, bukan sebuah gerakan yang terorganisir dan sistematis. Di beberapa daerah etnis Tionghoa ada yang ikut membantu menyuplai makanan untuk para pejuang, tanpa memperhitungkan risiko apa yang bisa dia alami, berapa jumlah yang meminta bantuan, para pengusaha Tionghoa tetap membantu pejuang Indonesia.

"Karena rata-rata mereka (Tionghoa) ini kan pedagang di daerahnya masing-masing. Dan mau tidak mau banyak juga pejuang kita yang meminta bantuan. Jadi memang ada yang membantu pejuang Republik Indonesia. Cuma memang ketika itu kita harus akui tidak semua etnis Tionghoa yang ikut membantu atau berperan dalam Kemerdekaan Indonesia, artinya ada juga memang sebagian yang mendukung Belanda. Jadi kita tidak bisa bilang sepenuhnya etnis Tionghoa mendukung kemerdekaan Indonesia. Karena ada juga yang memanfaatkan hubungan dengan Belanda itu mendukung Belanda," tutur Candra Jap kepada VIVAnews yang mewawancarainya melalui telepon pada Jumat, 16 Agustus 2019.

Candra menyayangkan kadang terjadi pelintiran sejarah, hanya karena kepentingan politik, sejarah kerap tak ditampilkan sebagaimana adanya. Sebab, ujar Candra, etnis Tionghoa memberi dukungan penuh pada perjuangan kemerdekaan karena telah merasa bahwa Indonesia juga tanah air mereka. 

"Karena kan sudah ribuan tahun sebelum itu sebenarnya Tionghoa sudah masuk ke Indonesia. Dari jaman Cheng ho, bahkan jauh sebelum Cheng ho juga, Tionghoa itu sudah ada yang sampai ke sini. Sehingga mereka merasa bahwa Indonesia ini adalah tanah airnya. Orang-orang Tionghoa itu kan mempunyai prinsip, dimana bumi itu dipijak, di situ langit dijunjung. Jadi cinta tanah air itu memang dari peribahasa itu," ujar Candra menjelaskan.  

Gelora Sumpah Pemuda di Jakarta, yang dideklarasikan di sebuah rumah kost milik etnis Tionghoa, mengalir deras. Semangat nasionalisme semakin menuju titik kulminasi. 

Sebuah surat kabar Tionghoa yang berbahasa Melayu, Sin Po, ikut ambil bagian. Dikutip dari Tionghoa.info, Sin Po adalah surat kabar pertama yang menjadi pelopor penggunaan kata "Indonesia" untuk menggantikan "Nederlandsch Indie", "Hindie Nederlandsch", atau "Hindia Olanda". Tidak hanya itu, Sin Po juga disebut sebagai penghapus penggunaan kata "inlander" yang dianggap sebagai penghinaan terhadap rakyat Indonesia, dan menggantinya dengan kata "Indonesia." 

Sikap Sin Po mendapat apresiasi dari media milik warga Indonesia. Sebagai penghormatan atas sikap Sin Po, media Indonesia mengganti penggunaan kosa kata Cina, yang dianggap diskriminatif dan merendahkan menjadi Tiongkok. Dalam percakapan sehari-hari, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian juga mengganti kata ‘Cina’ dengan kata ‘Tionghoa’.

Surat kabar Sin Po saat itu memang memiliki pandangan politik yang pro-nasionalis Tiongkok. Namun karena alasan itu pulalah, yakni berdasarkan ajaran Dr Sun Yat Sen, Sin Po mendukung perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam San Min Chu I, Sun Yat Sen menulis perkembangan kemerdekaan Tiongkok tidak akan sempurna selama bangsa-bangsa di Asia belum merdeka. Itu sebabnya mereka memberi dukungan penuh pada perjuangan Indonesia.

Koran ini juga menjadi koran pertama yang memuat syair lagi Indonesia Raya yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman. Sejak tahun 1925, WR Supratman adalah wartawan di surat kabar tersebut. Bulan November 1928, WR Supratman dengan bangga menyampaikan kepada Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po bahwa lagu gubahannya, Indonesia Raya, disepakati menjadi lagu kebangsaan. Dengan semangat Kwee Kek Beng segera meminta syair dan partitur lagu tersebut. Ia mencetak sebanyak 500 eksemplar, dan meminta WR Supratman membagikannya kepada rekan dan sejawat.  

Meski diawali dengan gerakan pro-nasionalis Tiongkok, sikap pro-Tiongkok akhirnya sirna seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Apalagi, banyak tokoh Tionghoa yang terlibat dan ikut membidani kemerdekaan Indonesia. Mereka menyatakan bahwa Tionghoa adalah bagian dari kesatuan bangsa Indonesia. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya