- ANTARA FOTO/Feny Selly
VIVA – Jumat siang, 12 Juli 2019, Baiq Nuril tak mampu menahan tangisnya. Sesaat setelah keluar dari ruang Kejaksaan Agung di Jakarta Selatan, tangisannya pecah. Secara resmi ia menerima pernyataan Kejagung yang berjanji akan menangguhkan penahanannya.Â
"Saya lega sekali, proses penahanan saya ditangguhkan. Tapi saya akan terus berjuang. Saya ingin Presiden memberikan amnesti," ujarnya sambil sesenggukan.Â
Setelah itu ia tak mampu lagi meneruskan kalimatnya. Meski masih harus berjuang agar terbebas dari hukuman penjara dan denda, tapi keputusan Kejagung tersebut sudah dianggap sebagai angin segar.
Baiq Nuril
Baiq Nuril, pegawai tata usaha di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang menjadi korban pelecehan seksual mantan Kepala Sekolahnya menelan pil pahit. Upaya yang dia lakukan untuk memiliki bukti bahwa kepala sekolahnya kerap melontarkan ucapan yang menjurus pelecehan seksual malah menjadi bumerang. Upaya Nuril untuk mendapatkan keadilan kandas setelah Mahkamah Agung menolak PK (Pengajuan Kembali) yang diajukan oleh tim pengacaranya.
Kisah Baiq Nuril bermula dari keresahannya menghadapi atasannya di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat. Muslim, Kepala Sekolah SMAN 7 saat Nuril bekerja kerap mengajaknya bicara hal-hal yang berbau seks. Nuril risih. Ia bermaksud merekam pembicaran itu dan menjadikannya sebagai bukti, tentu saja tanpa sepengetahuan Muslim. Tapi percakapan yang ia rekam tersebar luas. Dari situ bencana dimulai.Â
Kepala Sekolah yang tak terima balik melaporkan Nuril dengan tuduhan melakukan perekaman secara ilegal dan menyebarluaskan tanpa izin. Nuril yang hanya berharap agar tindakan kepala sekolah yang telah melecehkannya berhenti, malah ketiban apes. Alih-alih mendapat perlindungan, Nuril malah diseret ke ‘meja hijau’ karena dituding menyebarkan rekaman percakapan mesum Muslim.Â
Muslim melaporkan Nuril dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Atas pelaporan ini, Nuril digelandang ke pengadilan. Namun, Pengadilan Negeri Mataram menyatakan ia tidak bersalah berdasarkan putusan Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.
Baiq Nuril meminta penundaan eksekusi
Tak terima, Jaksa mengajukan kasasi. Mahkamah Agung yang menyidangkan kasasi menjatuhkan vonis bersalah terhadap Nuril lantaran dianggap mendistribusikan informasi elektronik yang memuat konten asusila. Ibu tiga anak itu divonis enam bulan penjara dan denda 500 juta. Bila denda tak bisa dibayar, ia akan dipidana kurungan selama tiga bulan. Upayanya mendapatkan keadilan mentok ketika MA menolak upaya Peninjauan Kembali (PK). Nuril tetap divonis bersalah karena telah merekam percakapan secara ilegal.
Pasal Karet
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE sejak awal disahkan memang sudah menjadi perdebatan. UU ini dianggap memuat banyak pasal karet yang bisa digunakan sesuai selera pelapor.
Nuril bukan satu-satunya korban UU ITE. Muhammad Arsyad seorang pria asal Makassar juga menjadi korban UU tersebut. Saat itu menjelang pemilihan Wali Kota Makassar, salah satu calonnya adalah Khaidir Halid, adik kandung Nurdin Halid. Arsyad menulis status di BlackBerry Messenger (BBM), bahwa  Nurdin Halid tersangkut masalah korupsi.Â
"Kemudian saya dilaporkan oleh orang yang merasa tersinggung dengan status saya yaitu adik kandung Nurdin Halid, Khadir Halid. Dia menganggap karena postingan saya itu dia jadi kalah di Pilwalkot Makassar," ujar Arsyad kepada VIVA.Â
Pada 9 Juli 2013 Arsyad dilaporkan oleh anggota DPRD Kota Makassar Abdul Wahab Tahir ke Kepolisian. Pria yang masih kerabat dekat Nurdin Halid ini menganggap Arsyad telah menghina dan mencemarkan nama baik Nurdin Halid. Koordinator Paguyuban Korban UU ITE ini akhirnya mendekam di rumah tahanan Polda Sulselbar sejak 9 September 2013 dan dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 310 sub Pasal 335 KUHP.
Daftar orang-orang yang terjerat UU ITE
Selain Arsyad, masih banyak korban lain yang terkena jeratan UU ITE. Ada Ervani, perempuan asal Yogyakarta yang dilaporkan oleh pimpinan perusahaan tempat suaminya bekerja karena menulis tentang kapasitas kepemimpinannya. Lalu ada Anindya Shabrina, seorang perempuan di Surabaya yang dilaporkan karena menulis kronologis pembubaran diskusi dan pelecehan seksual yang pelakunya aparat Kepolisian di Surabaya, juga Zakki Amali, seorang wartawan di Semarang yang dilaporkan oleh rektor Universitas Negeri Semarang karena membuat berita dugaan plagiat rektor tersebut.
Merasakan ketidakadilan karena jeratan UU ITE, para korban Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akhirnya membentuk sebuah wadah yang dinamakan PAKU ITE. Organisasi ini dideklarasikan di Bali, Minggu, 4 November 2018. Arsyad mengatakan, jumlah korban UU ITE yang melaporkan kasus mereka sudah mencapai ratusan. Meski UU ITE sudah pernah direvisi, namun bukan berarti jumlah korbannya berkurang.Â
Menurut Arsyad, sejak melakukan pendataan tahun 2008, sudah ada lebih dari 300 kasus yang ia temukan. Dan jumlah itu jauh lebih banyak. "Yang paling banyak terjadi memang sebelum revisi, karena sebelum revisi itu banyak yang ditahan dulu sebelum masuk ke proses pengadilan. Nah, dalam proses penahanannya itu banyak yang bebas, karena mungkin saja deal-deal-nya itu sudah selesai. Tetapi pelaporan kasus-kasus di daerah yang tidak kami data itu banyak sekali. Makassar saja, di Sulawesi Selatan, data yang saya dapat dari Polda Sulselbar itu dalam tahun 2018 kemarin itu ada sekitar 1000-an kasus yang melaporkan orang lain dengan menggunakan pasal karet UU ITE," ujarnya.Â
Damar Juniarto dari SafeNet mengakui, sejak awal disahkan UU ITE sudah mendapat penolakan dari banyak kalangan. Sebab, ujar Damar, saat itu mereka yang menolak selain tak puas dengan rumusan yang dibuat, juga sudah bisa memperkirakan apa yang bakal terjadi. Ketika disahkan tahun 2008, maka tahun 2009 terjadi gelombang penolakan pertama dengan merebaknya gerakan "Koin Untuk Prita." Prita, bisa dikatakan sebagai korban pertama UU ITE. Ia digugat karena mengeluhkan layanan sebuah rumah sakit swasta. Saat itu Prita mengeluhkan layanan itu melalui email yang dibagikan di mailing list.Â
Prita Mulyasari, korban UU ITEÂ
Damar menuturkan, ada persoalan yang memang yang tidak tuntas dari cara melihat apa pentingnya UU ITE untuk masyarakat. Semua orang tidak menafikan bahwa teknologinya tidak bisa mundur tapi hukum yang berjalan seharusnya adalah hukum yang bisa memayungi semua orang. Tapi dalam UU ITE, Damar merujuk ada beberapa pasal yang bermasalah, yaitu  pasal 27 ayat 1 tentang Kesusilaan, kemudian pasal 28 ayat 2 tentang Kebencian, Pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 29 tentang pengancaman.
Menurut Damar, pasal-pasal tersebut memiliki persoalan, mulai dari rumusan hingga penerapannya. "Rumusannya sendiri memang sudah tidak baik, karena tidak spesifik tindak pidana apa yang mau dihukum. Misalnya, katakanlah dengan pasal tentang kesusilaan, spesifiknya ini apa? Apakah orang yang melakukan penyebaran foto telanjang kah, atau orang yang melakukan adegan kah, atau secara spesifik apa? Karena kalau sebuah pasal itu dibiarkan terbuka dan tidak spesifik, maka ini lah yang terjadi, menimbulkan tafsir yang macam-macam. Misalnya, ada orang yang menyebarkan foto ibu yang sedang menyusui anaknya, yang sebenarnya dalam konteks edukasi foto itu tidak ada persoalan, tetapi karena pasal 27 ayat 1 UU ITE ini tidak spesifik mengatur ketentuan kesusilaan itu, pembuat atau penyebar foto ibu menyusui itu bisa terkena dampak dari Pasal 27 ayat 1 UU ITE, bisa terkena dampaknya," ujarnya menjelaskan.Â
Begitu pula Pasal 27 ayat 3. Menurutnya, rumusan tentang pencemaran nama baik terlalu luas di pasal tersebut, sementara di dalam KUHP rumusannya itu sampai dipilah-pilah jadi enam pasal. Orang yang mengkritisi kebijakan pemerintah atau mengkritik aparat penegak hukum misalnya, bisa dijerat dengan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Padahal rumusan dalam pencemaran nama baik itu sebenarnya harus orang, tidak bisa badan, institusi, ataupun perusahaan. Hal yang sama terjadi pada Pasal 28 ayat 2 dan Pasal 29 tentang ujaran kebencian.Â
Naskah UU ITE hasil revisi
Menurut data SafeNet, pengguna hukum tersebut yang paling tinggi adalah pejabat publik. Artinya, hukum berpihak pada yang punya kuasa. Dalam konteks kasus Nuril, pelaku yang melaporkan Nuril adalah kepala sekolahnya. Apalagi belakangan diketahui, kepala sekolah tersebut diduga menjadi tim sukses dari salah satu calon wali kota waktu itu.
UU ITE dan Tak Sinkronnya Pemahaman
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mudzakir mengatakan, banyaknya orang yang menjadi korban UU ITE adalah hal yang aneh. Menurutnya UU ITE yang merujuk pada KUHP, sesungguhnya konten materi hukumnya adalah materi hukum KUHP.
"Cuma dia modus operandinya adalah pakai UU ITE atau sarana ITE. Tafsir hukum yang terkait dengan UU ITE yang rujukannya dalam KUHP, adalah tafsir normanya adalah norma hukum yang ada dalam KUHP. Itu hanya sebagai modus operandinya saja, itu sebagai faktor yang memperberat ancaman pidananya, itu prinsipnya seperti itu," ujar Mudzakir kepada VIVA, Kamis, 10 Juli 2019.Â
Diskusi UU ITE
Mudzakir menegaskan, ketika pengujian terkait dengan MK, ia adalah ahli yang diminta Kominfo. Saat itu terjadi penafsiran berulang-ulang untuk menegaskan dan memastikan bahwa konten materi UU ITE sama dengan materi hukum KUHP. "Jadi kalau begitu sama (dengan norma KUHP)? Sama. Kalau Dalam KUHP itu delik aduan, ini juga delik aduan. Siapa yang mengadu itu clear sekali, dan itu mengikuti apa yang di dalam KUHP, dan siapa yang punya legal standing sebagai untuk pengadu gitu. Dan oleh sebab itu tafsirnya persis harus sama dengan apa yang di dalam KUHP, cuma medianya melalui sarana teknologi informasi yang sekarang dikenal sudah menjadi UU ITE itu," ujarnya menegaskan.Â
Mudzakir menduga, hal ini menjadi bermasalah bisa jadi dimulai dari penyelidikan, proses penyidikan, dan seterusnya. Saat proses penyidikan, penyelidik harus melalui proses seleksi yang ketat dalam konteks ini. Sebab, imbangan dari UU ITE adalah terjadi perubahan konstitusi. Beberapa konstitusi yang melahirkan simpul-simpul kebebasan, dikunci mati oleh UU ITE. Ia menganggap ada hal yang tidak sinkron antara perkembangan konstitusi dengan adanya UU ITE.Â
Menurut Mudzakir, dalam kasus UU ITE hakim memiliki peran penting. Jika hakim mengikuti irama penyidik, atau mengikuti irama penuntut umum dan tidak memberikan penegasan terhadap adanya perluasan interpretasi, bisa menjadi masalah hukum terus menerus.Â
"Antara hakim yang satu dan hakim yang satu lainnya tidak sama, antara hakim di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan Tinggi enggak sama, antara hakim Mahkamah Agung juga gak sama. Tapi kalaupun itu sama, sama-sama yang tidak sesuai dengan prinsip UU ITE," ujarnya.Â
Baiq Nuril meminta perlindungan ke LPSK
Mudzakir memberi saran agar Mahkamah Agung membuat semacam surat edaran yang tujuannya adalah memberi pedoman bagaimana menafsirkan UU ITE. Juga pedoman bagaimana menetapkan siapa yang bertanggungjawab dalam UU ITE kalau persoalan masuk pada ranah sistem UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebab, selama ini yang dipidana adalah orang yang mengunduh, tetapi orang yang meng-upload-nya tidak.Â
"Ini Kan bingung juga kita melihatnya ini. Seharusnya kan yang bertanggung jawab pertama adalah yang meng-upload nya dulu, karena dia punya maksud ingin mempublikasi, kira-kira seperti itu gambarannya," ujar Mudzakir.Â
Tapi, Jaksa Agung M Prasetyo memastikan, Jaksa Penuntut Umum dalam kasus Baiq Nuril sudah melakukan semua proses dengan sesuai. M. Prasetyo menolak anggapan yang menyatakan Jaksa salah menginterpretasikan pasal-pasal yang mengatur tentang ancaman pidana dalam UU ITE, terutama  ketentuan Pasal 27 ayat 1 yang menjerat Baiq Nuril.Â
"Tidak ada itu. Semua berawal dari proses hukum yang memang semestinya, sama dengan hakim juga begitu, tidak mungkin dia menolak perkara yang tidak dia kuasai," ujarnya di kantor Kejaksaan Agung jalan Sultan Hasanudin, Jakarta Selatan, Jumat, 12 Juli 2019.Â
Bagi SafeNet, jalan keluar dari terjadinya kontroversi dalam penggunaan pasal-pasal di UU ITE yang dianggap bermasalah bukan lagi sekadar melakukan revisi UU tersebut. Damar justru mendorong agar pasal-pasal itu dihentikan penggunaannya karena tak jelas peruntukkannya. Menurutnya, revisi harus didorong untuk mencabut pasal-pasal yang bermasalah. Sebab, jika terjadi pelanggaran hukum seperti disampaikan dalam pasal-pasal itu, masih ada KUHP yang bisa digunakan, juga bisa dikenakan hukum perdata. "Pasal-pasal itu tidak ada penting-pentingnya dimasukkan dalam ranah ITE," ujarnya menegaskan.Â
Sebab, mereka yang terjerat UU ITE bukan hanya sekadar tak bisa lagi memposting di media sosial, tapi lebih dari itu mereka yang terjerat bisa kehilangan banyak hal, termasuk aspek ekonomi dan sosial.Â
Apalagi, menurut Damar, masih lebih penting untuk mendorong negara hadir untuk melindungi hak-hak digital yang lain, memberikan hak yang setara dengan publik di wilayah lain di Indonesia agar memiliki kesempatan mengakses internet, juga memberi rasa aman kepada publik ketika mereka mengakses internet. Termasuk melindungi publik dari penipuan maupun kekerasan seksual secara online. [mus]
Baca Juga