- VIVA/ Isra Berlian
VIVA – Spanduk promo berwarna cerah berjejer di depan pintu masuk gerai Giant yang akan menutup tokonya pada akhir Juli 2019 ini. Spanduk itu bertuliskan 'Diskon Semua Harga' dan 'Kami Tutup Hanya di Toko Ini'.
Kala itu, senja mulai tampak di gerai ritel Giant Ekspres Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Pengunjung tampak berlomba mengambil barang belanjaan yang sudah didiskon besar-besaran.
Perihal penutupan gerai, tidak ada satupun karyawan yang bersedia bicara. "Semua yang kasih penjelasan dari Pihak HO (Head Office/kantor pusat), " kata salah seorang karyawan Selasa petang, 2 Juli 2019.Â
Yang pasti sesuai pengumuman, transaksi di gerai ini akan berakhir pada 28 Juli 2019. Namun penutupan bisa saja lebih cepat, jika barang yang ada telah habis terjual.Â
GiantÂ
Salah seorang pengunjung yang ditemui VIVA, Reno mengaku sengaja bertandang ke gerai Giant karena tergiur informasi diskon pada semua barang yang dijajakan. Dia bersama rekannya berbelanja sejumlah kebutuhan untuk sehari-hari dan mengaku diskon yang diberikan sesuai harapannya, hingga 50 persen.
"Ada juga yang 20 persen, lima persen. Tapi, diskonnya kan sudah sejak kapan tau, barangnya sudah ada yang habis juga," kata dia.
Rencana penutupan ritel Giant Ekspres ini mengingatkan publik pada kasus tutupnya sejumlah ritel konvensional di Tanah Air yang terjadi pada 2017. Kala itu, gerai 7-Eleven dan sejumlah toko Matahari Departemen Store ditutup. Tutupnya dua ritel ini dikaitkan dengan kondisi pelemahan daya beli masyarakat dan dikuatkan dengan data industri ritel Tanah Air yang hanya tumbuh 3,7 persen kala itu.
Selain itu, perubahan pola belanja masyarakat turut berperan atas penutupan gerai ritel tersebut. Di mana menjamurnya e-commerce jadi kambing hitam. Namun jika dicermati, penutupan enam gerai Giant kali ini tidak diikuti turunnya pola konsumsi masyarakat.
Hal itu terlihat pada angka pertumbuhan konsumsi masyarakat di kuartal I-2019 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Di mana konsumsi tumbuh 5,01 persen dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi 2,75 persen.Â
Ketatnya Persaingan
Penutupan enam gerai Giant di Jabodetabek itu menjadi konsentrasi Direktur PT Hero Supermarket Tbk, Hadrianus Wahyu Trikusumo seperti penjelasannya kepada VIVA melalui surat elektroniknya, Rabu 3 Juli 2019.
Menurut dia, penutupan yang dilakukan bukan tanpa alasan. Keputusan itu didasari strategi perusahaan untuk melakukan transformasi bisnis, sehingga berdampak terhadap beberapa toko yang dimilikinya.
"Rencana penutupan akan dilakukan pada 28 Juli 2019, dan telah dikomunikasikan kepada rekan kerja di seluruh toko," ujarnya.
Wahyu mengungkapkan, upaya yang dilakukan perseroan tentunya berdasar pada sejumlah data yang ada saat ini, di mana perseroan perlu merespons perilaku konsumen yang berubah dengan cepat.
Giant diserbu pembeli yang berburu diskon
Selain itu, pola konsumen yang berubah itu juga didorong oleh sejumlah ritel makanan di Indonesia yang tumbuh dengan cepat sehingga meningkatkan persaingan dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan demikian, meski Giant mempunyai brand yang cukup kuat namun perlu sejumlah adaptasi untuk bersaing secara efektif dengan menerapkan program multiyears transformation untuk memberikan peningkatan jangka panjang. Sementara itu, terkait persaingan yang ketat dan membuat pendapatan Giant turun, Wahyu mengungkapkan pihaknya masih menunggu laporan keuangan yang akan diumumkan mendatang.
Ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicolas Mandey mengungkapkan, tutupnya gerai Giant tak lain disebabkan dampak dari anomali industri ritel beberapa tahun terakhir.
Menurut dia, anomali ini sudah terjadi sejak 3-4 tahun terakhir, ketika industri ritel sudah beranggotakan 4.000 toko dengan 600-an anggota dari Aceh hingga Jayapura.
Munculnya anomali tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, akibat dampak globalisasi yang berubah-ubah sesuai zaman sehingga mau tak mau harus ikut melakukan perubahan. "Karena kita meyakini satu-satunya perubahan yang tidak berubah yaitu perubahan itu sendiri," kata Roy kepada VIVA, Kamis, 4 Juli 2019.
Ketua umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicolas Mandey ?
Lalu, faktor kedua adalah teknologi. Di mana globalisasi mendorong perubahan perilaku dari konsumen untuk lebih cepat mendapat info dan lebih mudah mengakses informasi lewat internet. Mudahnya akses itu membuat tren atau gaya juga berubah begitu cepatnya, sehingga perubahan globalisasi yang didukung teknologi dapat mengubah segala sesuatunya di zaman sekarang ini, termasuk pola belanja konsumen.
"Dengan behavior customer yang berubah, maka ritel mendapatkan kenyataan ini, tidak ada jalan lain ritel juga harus berubah," ujarnya.
Senada dengan Roy, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Widjaja Kamdani, mengatakan tutupnya sejumlah gerai Giant tak lebih karena kompetisi yang begitu ketat antarritel saat ini. Hal itu tak hanya dirasakan di Indonesia, melainkan juga dirasakan secara global. Ditambah berkembangnya teknologi membuat industri ritel makin berkompetisi dengan bisnis secara online.Â
"Bukan karena online, tapi memang bahwa outlet-outlet sekarang ini kondisinya tidak bisa seperti dahulu yaa, karena faktor e-commerce ini memegang peranan," ujar Shinta kepada VIVA.Â
Untuk itu, industri ritel perlu jeli melihat kondisi pasar saat ini, semisal letak toko dan sebagainya. Sehingga, perlu lebih efisien dalam melakukan kompetisi yang sehat.
"Ya, saya rasa ini memang tantangan industri ritel bagaimana kita bisa berkompetisi dengan baik, makanya kita harus men-support industri ritel, tidak hanya online, agar keduanya bisa maju."Â
Ubah Konsep Bisnis
Guna menanggapi perlunya perubahan dalam bisnis agar bisa bertahan di kompetisi yang ketat saat ini, ternyata telah banyak dilakukan manajemen Giant dalam beberapa tahun terakhir. Di mana manajemen melihat perlu adanya perubahan mendesak terhadap bisnis ritel makanan, sehingga melakukan penyesuaian pada 2018 lalu dan akhirnya berdampak terhadap finansial perusahaan.Â
Adapun perubahan itu dilakukan secara jangka panjang dengan melibatkan penataan ulang ruang usaha, meningkatkan kualitas, skala dan kesegaran di seluruh toko, dan menyesuaikan general merchandise untuk memberikan nilai yang lebih konsisten kepada pelanggan.
Giant food store
Wahyu menjelaskan, selain memperkuat ritel makanan, pihaknya juga terus mendorong implementasi transformasi multiyear dengan mengembangkan bisnis lain yang memiliki kinerja baik dan memiliki potensi tumbuh lebih besar.
Bisnis lain yang dikembangkan tersebut, lanjut Wahyu adalah mengembangkan brand lain seperti Guardian Health & Beauty dan IKEA. Dua unit bisnis tersebut kini menunjukkan performa baik dan tumbuh baik di masa depan.
Untuk itu, meski perusahaan menutup sebagaian toko, Wahyu memastikan tetap berkomitmen kuat untuk menjalankan bisnis di Indonesia dan tetap memenuhi kebutuhan pelanggan Tanah Air yang berubah dengan cepat.
Saat ini, tambah dia, meski terdapat 30-an toko Giant yang tutup sejak 2018, pihaknya masih tetap memiliki 125 toko yang siap memberikan pelayanan terbaik sehingga bisa memenuhi keinginan pelanggan di Indonesia.
Ketatnya persaingan di bisnis ritel diakui Vice President Corporate Communication Transmart Carrefour, Satria Hamid. Karenanya dalam mengantisipasi hal tersebut pihak Transmart sudah melakukan sejumlah perubahan dalam lima tahun terakhir.Â
Adapun perubahan yang dilakukan antara lain mempersiapkan konsep baru yang segar untuk memperbaharui toko dan memperkenalkan konsep-konsep terbaru untuk toko-toko baru Transmart.
Transmart
Selain itu, jika sejumlah ritel lain mengerem membuka toko, Transmart justru kebalikannya dengan tetap membuka toko baru. Sedikitnya 20 gerai baru berdiri setiap tahunnya sejak tiga tahun terakhir.
"Kalau saya boleh informasikan, kita kembangkan 4 in 1. Jadi dalam satu itu ada berbelanja, kita memadukan unsur konsep hypermarket hybrid dengan departemen store, kemudian kedua adalah bersantap. Kita memadukan kuliner dengan kearifan lokal yang berjejaring nasional," ujarnya kepada VIVA.
Tak hanya itu, lanjut Satria, konsep ketiga yang tak kalah penting adalah bermain. Di mana ada konsep mini trans studio yang tidak kalah dengan konsep trans studio yang ada di Bandung dan Makassar.Â
"Jadi konsumen enggak perlu jauh-jauh. Mau memanfaatkan mainan, rekreasi bersama, cukup di tempat mereka. Dan itu kita kemas menjadi one stop shoping di sana," ujarnya.
"Intinya, fenomena ini harus membuat kita menggeliat, membuat kita terus berinovasi, karena ritel tidak akan padam. Ritel akan terus berkembang sejauh kita bisa membaca pasar dan juga mengetahui keinginan konsumen."
Tak Kalah dengan Online
Soal bisnis online yang menjadi kambing hitam di balik penutupan sejumlah toko ritel, tidak disepakati Aprindo. Sebab, pertumbuhan sektor ritel masih positif setiap tahunnya. Roy Mandey mengatakan, tak ada korelasinya tumbuh kembang online dengan tutupnya sejumlah ritel konvensional dalam beberapa tahun terakhir.
Roy mengungkapkan hal itu dengan dilihat penutupan toko Giant saat ini. Di mana Giant telah menutup tokonya hingga lebih dari 30 toko tapi masih memiliki 129 toko lagi. Ditambah lagi, karena Giant adalah emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, di dalam laporannya perusahaan tersebut masih mencetak laba bersih sekitar 20 persen.
"Jadi tak ada korelasinya dengan bisnis online, karena pendapatannya dari bisnis lainnya dari Giant, Hero dan dari IKEA. Sehingga Giant sendiri hanya salah satunya," jelas Roy.
IKEA Alam Sutera
Selain itu, meski perkembangan online semakin cepat tetapi bukan berarti mematikan pasar ritel modern. Karena tidak bisa dipungkiri jumlah dari transaksi hariannya pasti berbeda. Di mana, lanjut Roy berdasarkan survei 2017-2018 market cap offline industri di Indonesia mencapai US$350 miliar. Sedangkan online baru menargetkan pada 2030 dapat mencapai US$130 miliar.
Untuk itu, industri ritel modern juga telah melakukan beberapa solusi yaitu melakukan Mixius dan Omni Channel. Mixius sendiri adalah cara pelaku usaha memadukan dunia ritel dengan usaha lainnya. Seperti, memadukan secara fisik usaha kuliner dengan bidang hiburan yang bisa dinikmati konsumen. Sedangkan, Omni Channel memilih mengombinasikan berbagai macam cara berbelanja, yang tak hanya distribusi fisik saja melainkan bisa didistribusikan melalui online atau elektronik ecommerce.
Pengamat Ekonomi Indef, Berly Martawardaya mengatakan, tak sepenuhnya bisnis ritel modern kalah bersaing dengan bisnis online saat ini. Sebab, hal tersebut memiliki segmennya masing-masing. Dengan demikian, kata Berly industri ritel ke depan harus memperkuat segmennya, main di low cost atau high value agar membuat orang tetap mau datang dan berbelanja.
"Ya itu memang tantangannya, tetapi segmentasi harus kuat dalam bisnis marketing dan yang paling penting segmentasi positioning mana yang mau dikejar serta strateginya beda enggak sama," ujarnya. (umi)
Baca Juga
Dari Supermarket hingga Hypermarket