- ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
VIVA – Jarum jam menunjukkan angka 08.10 WIB. Orang-orang tampak ramai berkerumun pada sejumlah titik di SMA Negeri 1 Tangerang Selatan, Banten. Ada yang sibuk mengisi formulir, bercakap-cakap, hingga duduk-duduk di pinggir sampai ke tengah lapangan olahraga.
Pagi itu, para siswa SMP ditemani orangtua maupun rekan-rekannya berbondong-bondong hendak mendaftar menjadi calon siswa di sekolah itu. Senin, 17 Juni 2019 tersebut Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mulai dibuka.
Di bawah tangga di pinggir lapangan, mereka tampak mengisi lembaran kertas putih dengan nomor serta identitas nama dan sekolah asal. Ketika itu, nomor urut sudah mencapai di atas angka 400. Seiring waktu bergulir, daftar nama-nama tersebut terus bertambah.
Suasana pendaftaran sekolah dengan sistem zonasi
Berdasarkan daftar tersebut, panitia lantas memberikan nomor yang tercetak di potongan kertas berwarna kuning berisi nomor urut secara bertahap. Bagi mereka yang telah menerima kertas kuning itu, bisa menuju ruang verifikasi dan validasi. Di ruang yang berada di lantai dua itu, pendaftar menunggu panggilan untuk diverifikasi dan divalidasi datanya.
Proses verifikasi dan validasi tersebut cukup memakan waktu. Sementara masyarakat yang hendak mendaftar semakin banyak. Panitia lantas memberikan nomor urut di kertas kuning itu sekaligus. Nama-nama pendaftar di kertas itu dipanggil satu per satu.
Di bawah terik matahari, orangtua dan calon peserta didik berdesakan menunggu diberi nomor antrean. Saat pembagian nomor urut itu, kekisruhan sempat terjadi. Itu lantaran nomor-nomor di kertas putih tersebut dobel antara lembar yang satu dengan yang lain. Akhirnya, panitia membagikan sekaligus nomor urut tersebut hingga nomor 500.
Namun lantaran masih banyak data calon peserta yang belum diverifikasi dan validasi, 500 calon peserta itu tak dapat dilayani seluruhnya pada hari itu. “Bagi yang nomor urut 300 ke atas bisa kembali lagi besok pagi tanpa ambil nomor antrean lagi,” ujar seorang panitia.
Suasana pendaftaran sekolah dengan sistem zonasi
Pendaftaran PPDB digelar selama lima hari, dari 17-21 Juni 2019, di Tangerang Selatan. Berdasarkan laman ppdb.sman1tangsel.sch.id, ada tiga jalur pendaftaran di sekolah tersebut, yaitu jalur zonasi, jalur prestasi dan jalur perpindahan orangtua.
Syarat pendaftaran yaitu, calon peserta mesti membawa formulir pendaftaran, salinan akte kelahiran, salinan kartu keluarga, surat hasil ujian nasional (SHUN). Setiap calon peserta hanya dapat memilih satu sekolah.
Ketentuan hanya bisa memilih satu sekolah tujuan itu juga berlaku di Kabupaten Tangerang. Berdasarkan peraturan dari Dinas Pendidikan Provinsi Banten, satu peserta didik hanya dapat memilih satu sekolah lantaran keterbatasan fasilitas. “Tujuan sekolah pun cuma satu, enggak boleh dua, hal ini untuk meminimalisir adanya ketimpangan data,” ujar Kepala Sekolah SMA Negeri 18 Kabupaten Tangerang, Herri Supriatna, Kamis, 27 Juni 2019.
Setelah mendaftar, menurut Herri, pihak sekolah akan melakukan verifikasi data. Jika calon siswa bukan domisili di wilayah sekitar sekolah maka akan ditolak. Sebab, saat ini PPDB menggunakan sistem zonasi, bukan lagi berpatokan pada nilai akhir ujian nasional.
Berebut Kursi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberlakukan sistem zonasi sejak 2017. Aturan zonasi itu diterapkan berlandaskan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 17 Tahun 2017.
***
Dalam Permendikbud itu, menurut Staf Khusus Mendikbud/mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad, jalur zonasi diterapkan 90 persen. “Yang boleh hanya 5 persen untuk siswa prestasi, dan 5 persen untuk perpindahan, selebihnya sesuai dengan zonasi,” ujarnya kepada VIVA di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019.
Aturan tersebut disosialisasikan sejak 2016. Setahun kemudian, sejumlah daerah mulai melaksanakan sistem zonasi. Namun jumlahnya hanya sekitar 30 persen. Saat awal penerapan, sempat terjadi pro kontra seperti di Depok dan Bandung, Jawa Barat.
Kemendikbud bersama Ombudsman lantas mengevaluasi sistem ini. Ombudsman merekomendasikan sistem zonasi ini harus dilakukan. Karena di berbagai negara, penerimaan siswa baru di public school berdasarkan zona, bukan berdasarkan kompetisi.
Suasana pendaftaran sekolah dengan sistem zonasi
Tahun kedua sistem zonasi, mulai meningkat yang melaksanakan dan tensinya sudah semakin naik. Tahun ketiga ini, Kemendibud meminta daerah untuk betul-betul melaksanakan sistem zonasi ini. “Karena kita dorong semua daerah agar melakukan itu maka ada gejolak di mana-mana,” kata Hamid.
Di Jawa Timur, misalnya. Sebagian masyarakat yang pintar, menurut Hamid, merasa tidak mendapatkan tempat. Karena alternatif pilihannya sudah dibatasi dengan zona yang ada. Akhirnya, perubahan dilakukan dengan menambah maksimal 15 persen untuk di luar zona. Jadi jalur zonasi yang semula 90 persen jadi turun 80 persen maksimal.
Hamid mengungkapkan, gejolak masyarakat terhadap perubahan suatu sistem memiliki masa transisi sekitar tiga tahun. “Sama ketika dulu dari sistem rayon berubah ke sistem kompetisi,” ujarnya.
Sistem zonasi ini, menurut Hamid, sebenarnya hampir sama dengan sistem rayon yang pernah dilaksanakan sebelum 2002. Ketika itu, ada yang beberapa daerah murni pakai rayon atau menggunakan kedekatan jarak sekolah. Ada juga sebagian yang mengkombinasikan dengan nilai evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas).
Kemudian ketika ujian akhir nasional (UAN) pertama dilaksanakan di tahun ajaran 2003, penerimaan siswa baru mulai memakai sistem kompetisi. Artinya untuk masuk ke sekolah itu, alat seleksinya adalah prestasi siswa.
Prestasi siswa tersebut adalah Ujian Nasional (UN) yang pada akhirnya dilegalkan. Di antaranya melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang Standar Nasional Pendidikan dan PP tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Namun dari penerapan sistem itu, menyebabkan adanya segregasi. “Atau kalau bahasa Pak Wapres JK itu kastanisasi sekolah,” ujar Hamid.
Raker Komisi X dengan Kemendikbud
Menurut Hamid, orang-orang yang pintar, yang notabene dari kelompok masyarakat menengah ke atas itu mendapatkan akses sekolah negeri, sekolah bagus dengan fasilitas lengkap dan guru bagus. Sedangkan untuk kelompok kelas menengah ke bawah atau masyarakat miskin, mereka yang tidak memiliki akses media, hanya pasrah tidak mendapatkan apa-apa. Hal itu terjadi sampai pada 2017.
Lantaran itu, sistem penyelenggaraan pendidikan di negeri ini dianggap menciptakan ketidakadilan kepada masyarakat miskin. “Sehingga pada tahun 2016 itu kita coba perkenalkan konsep zonasi kepada semua kepala dinas, dan itu dimulai pada tahun 2017,” ujarnya.
Antre Panjang
Saat ini, menurut Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Kornas JPPI) Abdullah Ubaid, sistem zonasi masih berkutat pada pemerataan akses, bukan mutu pendidikan dan sekolah. Ini terjadi karena kebijakan zonasi tidak dibarengi dengan implementasi kebijakan lain soal pemerataan mutu. “Zonasi ini akan berjalan bagus kalau kualitas sekolah sudah merata,” ujar Ubaid.
Kebijakan zonasi juga harus dikoordinasikan dan disinergikan yang baik antara pemerintah pusat dan daerah. “Jangan kayak sekarang yang amburadul. Banyak pergub (peraturan gubernur) PPDB yang bertentangan dengan Permendikbud PPDB. Kan masyarakat bingung,” ujarnya.
Zonasi ala Kemendikbud diterjemahkan beda-beda di lapangan oleh dinas-dinas pendidikan. Korbannya adalah masyarakat dan peserta didik. “Bahkan sistemnya katanya online tapi tetep harus ngantri sampe nginep-nginep. Model sistem apa ini?” kata Ubaid.
Antrean panjang untuk mendaftar pun dikeluhkan sejumlah orangtua calon siswa. Melani, warga Depok, misalnya. “Kalau SMP kan kita bisa upload dan daftar dirumah ya. Kalau ini menurut saya repot musti ke sekolah, apalagi ngantri panjang,” ujarnya.
Suasana pendaftaran sekolah dengan sistem zonasi
Gayatri, warga Depok lainnya, mengungkapkan hal senada. “Sebenernya enakan kaya dulu, online dari rumah, kok dibikin susah ya padahal teknologi udah maju,” katanya.
Melani mendukung sistem zonasi dengan tujuan untuk menghilangkan label sekolah favorit. Namun, untuk saat ini, menurut dia belum bisa diterapkan lantaran jumlah sekolah negeri masih belum merata.
Dia menyarankan untuk mengkombinasikan antara zonasi dan nilai ujian nasional. “Jadi ketika rumah anak tidak dekat dengan sekolah dia bisa termotivasi untuk mendapatkan NEM lebih tinggi. Mau enggak mau si anak ada daya saingnya,” ujarnya. [mus]