- ANTARA FOTO/Didik Suhartono
VIVA – Selepas azan subuh, Faisal Aziz bergegas membangunkan Syahmi, putrinya yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas. Dengan bersepeda motor, bapak dan anak itu melaju ke SMA Negeri 6 Bogor untuk mengambil nomor pendaftaran.
Tak peduli langit masih gelap dan dinginnya semilir angin. Hari itu, Senin 24 Juni 2019, mereka berdua bergegas datang lebih awal agar bisa dapat nomor antrean sedini mungkin. Jarak dari rumah Faisal ke SMA Negeri 6 Bogor hanya berkisar 700 meter. Tak sampai 10 menit mereka tiba di SMA 6 Bogor. Setelah melapor ke petugas satpam sekolah, nomor antrean pun diberikan. Nomor 21, ternyata sudah cukup jauh dari pendaftar awal.
"Banyak orangtua yang sudah datang sebelum subuh pak," tutur Satpam yang bertugas kepada Faisal.
Pendaftaran Sekolah dengan sistem PPDB
Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Provinsi Jawa Barat dimulai lebih dulu dibanding provinsi lain. Senin, 24 Juni 2019, pendaftaran untuk PPDB tingkat SMA sudah dibuka. Faisal memutuskan memilih sistem zonasi murni karena jarak rumah dengan SMA Negeri 6 Bogor tak sampai satu kilometer. Meski nilai hasil ujian nasional Syahmi tak terlalu buruk, tapi jarak sekolah yang sangat dekat lebih memikat.
"Kami lebih senang menyekolahkan anak dekat rumah, selain irit ongkos, dia juga enggak perlu menghabiskan waktu lama di perjalanan. Bisa jalan kaki, bagus juga buat pengganti olah raga," ujar Faisal kepada VIVA, Kamis, 27 Juni 2019.
Faisal sengaja datang pagi-pagi untuk mendapatkan nomor pendaftaran karena mendapat kabar, daftar di awal berpengaruh pada proses seleksi. Tapi ia mengaku tak masalah datang subuh-subuh untuk mengambil nomor pendaftaran karena toh sekolah dan rumahnya jaraknya dekat.
Di kota Depok yang juga masih di bawah Provinsi Jawa Barat, proses pendaftaran PPDB di SMA Negeri 1 Depok sempat ricuh. Hari pertama PPDB, Senin 24 Juni 2019, suasana sekolah dipenuhi orangtua dan anaknya yang ingin mendaftar di sekolah favorit tersebut.
Budiana, yang akan mendaftarkan anaknya ke SMU Negeri 1 Depok memutuskan batal mendaftar hari itu. Ia tak tahan melihat orangtua yang sudah datang sejak jam tiga pagi dan semakin siang bertambah tak terkendali.
Rumah Budiana tak sampai satu kilometer dari SMA Negeri 1 Depok, dan ia merasa kesal karena pendaftaran kali ini tak bisa dilakukan secara online. Akibatnya orangtua sudah menyerbu sekolah, bahkan sejak dini hari.
Berbeda dengan dua tahun sebelumnya, di mana ia hanya mendaftarkan anak pertamanya melalui online dan tinggal menunggu hasil pengumuman tanpa perlu antre gila-gilaan dan berdesak-desakkan sejak dini hari.
Protes orangtua terkait sistem zonasi
Proses pendaftaran PPDB di kota Tangerang juga sempat rusuh. Hari pertama pendaftaran pada Senin, 24 Juni 2019, seluruh SMU Negeri langsung diserbu oleh orangtua murid. Kepala Sekolah SMA Negeri 18 Kabupaten Tangerang Herri Supriatna mengatakan, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang zonasi membuat masyarakat kelimpungan.
"Masyarakat baru mengeluhkan susahnya anaknya mendapatkan sekolah karena kurangnya pengetahuan soal zonasi yang harusnya diumumkan dulu, diberikan pengertian dulu supaya masyarakat tidak kelimpungan cari sekolah ketika anaknya ini engga diterima di sekolah tersebut," ujar Herri.
Di media sosial, curhatan orangtua yang anaknya memiliki nilai ujian nasional tinggi tapi tak bisa mendaftar ke sekolah favorit karena jauhnya jarak dari rumah ke sekolah terus bermunculan selama masa PPDB. Umumnya mereka mengeluhkan bahwa usaha anak-anak mereka belajar mati-matian jadi sia-sia karena tak bisa masuk ke sekolah idaman.
Sistem Zonasi, Abaikan Prestasi?
Penerimaan Peserta Didik Baru untuk tahun ajaran 2019/2020 untuk sekolah negeri menuai kontroversi. Hari pertama pendaftaran protes merebak di berbagai kota. Di Surabaya, Depok, Yogya, Mojokerto dan beberapa kota lain menolak sistem yang sebenarnya sudah diberlakukan sejak tiga tahun lalu ini.
Protes kali ini menguat karena pemerintah menetapkan kuota yang sangat tinggi untuk PPDB melalui sistem zonasi, yaitu mencapai 90 persen. Sementara sebelumnya hanya 55 persen. Sejumlah orangtua merasa tak terima karena anak mereka yang memiliki nilai ujian tinggi tak bisa mendaftar di sekolah favorit karena jarak rumah mereka jauh dari sekolah yang diinginkan.
***
Gayatri, seorang tua murid di Depok menolak sistem zonasi. Sistem ini dianggap merepotkan sekolah karena akhirnya sekolah harus menerima siswa dengan kondisi nilai yang rendah. "Sekolah mengeluh karena selama ini murid-murid jadi tidak sama, pengajaran semua berhak masuk. Tapi untuk sekolah tertentu yang awalnya murid-muridnya kemampuannya tinggi, jadi sekolah agak kedodoran," ujarnya kepada VIVA.
Protes orangtua terkait sistem zonasi
Meski ia mengakui tujuan zonasi sangat bagus, namun Gayatri mengkritisi masih kurangnya sarana dan prasarana di sekolah-sekolah negeri di Depok. "Di Depok sekolahnya jauh-jauh, dan sekolahnya juga sedikit," ujarnya. Apa lagi tahun ini tidak ada pendaftaran online sehingga orangtua harus mendatangi sekolah sehingga jumlah orangtua dan siswa membludak di sekolah yang masih menjadi tujuan favorit.
Gubernur Banten, Wahidin Halim, mengatakan sistem zonasi pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB tingkat Sekolah Menengah Atas tidak efektif diterapkan di daerah. Menurutnya, aturan baru dari Pemerintah Pusat atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, tidak melihat kondisi fasilitas sekolah yang ada di daerah.
"Aturannya bisa dibilang tidak efektif, karena pihak Kementerian tidak melihat kesanggupan fasilitas dari daerah. Seperti di Banten saja, masih banyak sekolah yang kurang dan ini membuat kita agak kebingungan juga," katanya di Tangerang, Jumat, 28 Juni 2019.
Pengamat Pendidikan dari Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Kornas JPPI) Abdullah Ubaid menilai, sistem zonasi ini sebagai kebijakan yang amburadul, tidak terkoordinasi dengan baik dan akibatnya bikin kisruh di bawah.
"Ini terjadi memang karena kualitas sekolah kita masih terjadi kesenjangan dan ketimpangan. Karena itu, kalau zonasi dipaksakan, pasti banyak yang menolak dan orangtua siswa tidak terima, lalu gaduh. Zonasi ini akan berjalan bagus kalau kualitas sekolah sudah merata," ujar Abdullah.
Pendaftaran Sekolah dengan sistem PPDB
Staf khusus Mendikbud Hamid Muhammad yang juga mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, mengakui, selama tiga tahun terakhir masyarakat masih banyak yang belum paham dengan sistem zonasi. Di tahun pertama pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan masih memberikan toleransi, namun tetap mendorong agar anak-anak yang tinggalnya berdekatan dengan sekolah diperhatikan.
"Jangan sampai dengan sistem zona masih ada siswa yang tinggal di dekat sekolah itu terlempar jauh apalagi sampai mereka harus ke sekolah menggunakan alat transportasi yang jauh, jadi tidak efisien kan. Kemudian, untuk masyarakat yang kurang mampu itu harus diproteksi. Karena sistem pendidikan kita harus memperhatikan asas keadilan dan kesetaraan atau equity and equality. Kemudian, untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) itu harus dilindungi mereka itu," ujar Hamid.
Ia memastikan, dengan sistem zonasi maka masyarakat miskin, masyarakat berkebutuhan khusus tidak akan mendapatkan akses untuk sekolah negeri. Demi keadilan, maka Kemendikbud memberlakukan sistem ini. Ia mengakui ada orangtua di sejumlah daerah yang melakukan protes. "Karena memang sebagian masyarakat yang pintar itu masih ada yang merasa mereka tidak mendapatkan tempat, karena alternatif pilihannya sudah dibatasi," ujar Hamid menjelaskan.
Menurut Hamid, mereka yang terdampak itu adalah masyarakat yang terutama punya akses media sosial, yang dapat mempengaruhi publik yang lebih luas. Sehingga protes terdengar besar.
Hamid mengatakan, sistem ini tak beda jauh dengan sistem rayon, tapi masyarakat sudah terlalu terbiasa dengan sistem kompetisi. "Jadi sistem zonasi ini sebenarnya hampir sama dengan sistem rayon yang pernah kita laksanakan sebelum tahun 2002. Jadi dulu sebelum ada sistem kompetisi yang menggunakan nilai UN, kita kan pakai sistem rayon. Sistem rayon itu ada yang beberapa daerah itu murni pakai rayon atau menggunakan kedekatan jarak sekolah, dan ada sebagian yang kombinasi dengan nilai Ebtanas. Kemudian pada tahun 2002, ketika UAN itu pertama dilaksanakan di tahun ajaran 2003, baru mulailah sistem kompetisi," tutur Hamid.
Artinya untuk masuk ke sekolah negeri saat itu, maka alat seleksinya adalah prestasi siswa. Prestasi siswa itu adalah UN, yang pada akhirnya dilegalkan melalui PP tentang Standar Nasional Pendidikan, kemudian PP tentang Penyelenggaraan Pendidikan. Setelah sistem tersebut diterapkan, ternyata menyebabkan adanya segregasi, atau mengutip diksi yang digunakan Wapres Jusuf Kalla terjadi kastanisasi sekolah.
Pendaftaran Sekolah dengan sistem PPDB
Orang-orang yang pintar, yang notabene dari kelompok masyarakat menengah ke atas mendapatkan akses sekolah negeri, sekolah bagus, yang fasilitasnya lengkap, dan gurunya bagus-bagus juga. Dan situasi itu terjadi sampai pada tahun 2017. Sementara untuk masyarakat yang kelas menengah, mereka mendapatnya sekolah kelas menengah juga.
"Sementara untuk kelompok kelas menengah ke bawah atau masyarakat miskin, mereka yang tidak memiliki akses media, tidak memiliki apa-apa, mereka hanya pasrah tidak mendapatkan apa-apa, karena biasanya masyarakat miskin ini kan nilai UAN nya umumnya berada di bawah, sehingga mereka umumnya mendapatkan sekolah yang kurang bagus.
Atau kalau tidak dapat sekolah negeri, dia akan terpental ke sekolah swasta. Dan untuk mendapatkan sekolah swasta yang bagus dia harus bayar, akhirnya dia masuk ke sekolah swasta yang seadanya. Sehingga ini yang terjadi sekian tahun lamanya atau sampai tahun 2017," ujar Hamid menjelaskan.
Situasi itu, menurut Hamid telah menciptakan ketidakadilan kepada masyarakat miskin dalam dunia pendidikan. Berdasarkan analisa itu, maka tahun 2016 Kemendikbud mulai mengenalkan konsep zonasi kepada semua kepala dinas. Dalam penerapannya, sistem zonasi tak langsung diberlakukan penuh.
Tapi akhirnya, menggunakan Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 yang diterbitkan pada Desember 2018, sistem zonasi diberlakukan penuh, yaitu 90 persen kuota sekolah negeri diperuntukkan bagi siswa yang jarak rumahnya dekat dengan sekolah negeri. Sisanya, 10 persen untuk jalur prestasi melalui SHUN dan Non-SHUN, keluarga tak mampu, anak berkebutuhan khusus, juga perpindahan orang tua.
Sistem Zonasi, Mungkinkah Bertahan?
Tekanan penolakan dari masyarakat atas diberlakukannya sistem zonasi dengan kuota mencapai 90 persen mendapat perhatian pemerintah. Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan aturan tersebut.
Abdullah Jubaid melihat sistem zonasi sebagai sebuah aksi sangat ambisius dipaksakan tanpa melihat realitas dan gejolak di bawah. Apalagi, meski sistem zonasi ini sudah memasuki stahun ketiga tapi pemerintah tidak melakukan evaluasi dan langkah perbaikan.
***
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy akhirnya melakukan revisi Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB, dengan poin perubahan pada memperluas jalur prestasi dari 5 persen menjadi 5-15 persen.
"Revisi Permendikbud No 51 Tahun 2018 telah ditandatangani Bapak Mendikbud, khususnya jalur prestasi ditingkatkan menjadi 15 persen sehingga jalur zonasi menjadi 80 persen dan jalur perpindahan tetap 5 persen," kata Sekjen Kemendikbud, Didik Suhardi, kepada wartawan di Kemendikbud Jakarta, Kamis malam, 20 Juni 2019.
"Jalur prestasi diperluas untuk menampung aspirasi masyarakat," ujar Didik menambahkan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy
Mendikbud juga segera menggelar rapat pimpinan (rapim) dengan para pejabat Kemendikbud termasuk Inspektorat Jenderal (Itjen) khusus membahas masalah zonasi PPDB yang muncul di beberapa daerah.
Hamid mengatakan, pihak Kemdikbud sudah melakukan evaluasi pelaksanaan sistem zonasi bersama Ombudsman. Hasilnya, Ombudsman merekomendasikan agar sistem zonasi harus terus dilakukan. Sebab, di semua negara public school sudah berdasarkan zona, bukan berdasarkan kompetisi. Sistem kompetisi hanya berlaku untuk sekolah swasta kelas menengah ke atas.
Hamid mengatakan, awal pelaksanaan hanya sekitar 30 persen sekolah melakukan sistem zonasi. Tahun ke dua mulai meningkat. Itu sebabnya di tahun ketiga, Kemdikbud mendorong semua daerah agar melakukan itu. Untuk pelaksanaan, pengaturan 90 persen diserahkan ke daerah.
Hamid memastikan, tujuan Kemendikbud memberlakukan sistem zonasi yang terpenting adalah agar terciptanya keadilan, kesetaraan, masyarakat miskin bisa diakomodasi, berkebutuhan khusus bisa diakomodasi. Kemendikbud berharap, dengan menerapkan sistem zonasi, maka tidak ada lagi kastanisasi di sektor pendidikan. Selain itu, dengan sistem zonasi, maka di setiap zona tumbuh sekolah-sekolah baru yang bagus dengan kualitas yang terus meningkat.
"Ultimate goal-nya adalah pemerataan kualitas," kata Hamid menegaskan.
Menurut Hamid, saat ini total ada 13.300 sekolah negeri dan swasta. Dari jumlah tersebut, 10 persen di antaranya adalah sekolah negeri favorit. Dan sejak tahun 2002, jumlah tersebut tak pernah bertambah, tak pernah tumbuh.
"Karena anak-anak yang pintar itu yang dipilih mereka yaa itu-itu saja. Pemerintah daerah pun memberikan pembiayaan lebih yaa hanya untuk yang itu-itu saja. Tidak pernah berfikir bagaimana memperbanyak sekolah-sekolah itu ke zona lain. Bahkan bukan hanya antar kabupaten/kota, antar provinsi juga orang sampai berebut untuk masuk sekolah favorit sejak dulu. Coba Anda lihat sekolah Taruna Nusantara. Itu seluruh Indonesia lho yang ingin masuk situ. Nah terus kapan kita bisa menciptakan sekolah-sekolah bagus di setiap tempat atau zona kalau semuanya ke situ semua," ujar Hamid.
Protes orangtua terkait sistem zonas
Penjelasan Hamid disetujui oleh Ali Mukodas, Kepala Sekolah SMA Negeri 54 Rawa Bunga, Jakarta Timur. Menurut Ali, sistem zonasi ini lebih banyak manfaatnya untuk masyarakat, dan lebih menguntungkan masyarakat. Sebab, dengan sistem ini aktivitas siswa tidak terlalu jauh. "Dan biar bagaimanapun juga wilayah sekolah itu kan bukan semuanya orang atau siswa yang memiliki kemampuan secara ekonomi. Bagaimana transportasi siswa dan segala macamnya saya rasa lebih banyak sisi manfaatnya sistem zonasi ini," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VIII Hetifah Sjaifudian juga mengatakan setuju dengan sistem zonasi. Menurutnya, setiap WNI wajib menerima pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya, tapi dengan kualitas yang harus relatif sama. Jadi bukan anak-anak yangs pintar saja yang mendapat hak untuk belajar di sekolah bagus.
"Justru anak-anak yang mungkin bodoh, dianggap daya tangkapnya kurang, anak yang dianggap nakal, anak dari keluarga miskin, mereka justru sumber daya kita yang harus kita benahi supaya lebih bagus lagi. Tujuannya supaya semua semua sumber daya kita jadi berkualitas, dan bisa mencapai potensinya," ujar Hetifah.
Hetifah mengingatkan agar orang tua mengubah mind set. Menurutnya, di mana pun anak bersekolah, kalau anak tersebut berkualitas maka ia bisa membantu mengangkat pendidikan di tempat ia menimba ilmu.
Rosalina, Humas SMA Negeri 1 Depok menduga, aksi penolakan yang terjadi sekarang ini semata karena banyak orang tua murid yang tidak paham sistem zonasi. Selain itu jumlah sekolah negeri di banyak daerah juga belum memadai.
"Misalnya Kecamatan Beji di Depok masih belum punya sekolah. Tapi kan mungkin akan sangat diperhatikan nih oleh Provinsi Jawa Barat untuk kedepannya. Kemudian mungkin ada daerah-daerah yang memang istilahnya blanc spot. Itu hanya sebagian kecil masalah, yang sulit itu mengubah stigma masyarakat. Misalnya SMAN 1 sekolah favorit gitu.
Padahal semua sekolah sama, semua guru sama. Kami tidak pernah membedakan. Karena di dunia pendidikan tidak ada siswa bodoh dan pintar. Mengubah stigma masyarakat itu yang sulit, butuh proses," ujarnya.
Kepala Sekolah SMA Negeri 18 Kabupaten Tangerang Herri Supriatna juga mengakui sistem zonasi memiliki tujuan yang baik. Karena dengan sistem ini, anak didik yang ada di sekitar sekolah dengan nilai pas-pasan tetap bisa bersekolah di sekolah negeri, tidak lagi harus ke swasta.
Sayangnya, niat itu belum dibarengi dengan fasilitas dan ketersediaan jumlah sekolah yang layak. Menurut Herri, hal itu yang menjadi sumber polemik. Bukan masalah zonasinya, tapi masalah kuota atau daya tampung siswa yang dianggap belum maksimal. (ren)
Baca Juga