- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA – Penghitungan suara riil Pemilihan Presiden 2019 belum usai. Namun, Presiden Joko Widodo yang menjadi kandidat petahana berdasarkan hasil penghitungan cepat (quick count) berhasil memenangkan Pilpres. Jokowi pun sudah ancang-ancang mengambil keputusan besar, yakni memindahkan ibu kota.
"Kita serius dalam hal ini karena sejak tiga tahun yang lalu sebetulnya ini telah kita bahas internal. Kemudian 1,5 tahun yang lalu kami minta Bappenas untuk melakukan kajian-kajian yang lebih detail baik dari sisi ekonomi, sosial-politik, dan juga dari sisi lingkungan," ujar Jokowi saat berbuka puasa dengan jajaran menteri dan lembaga tinggi negara di Istana Negara Jakarta, Senin, 6 Mei 2019.
Guna membuktikan keseriusannya, sehari setelah menggelar buka puasa bersama, Jokowi bertolak ke Kalimantan. Dua wilayah yang digadang-gadang menjadi calon pengganti ibu kota ia kunjungi dalam dua hari, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Presiden Jokowi meninjau calon lokasi ibu kota baru di Kalimantan
Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta bukan kali ini dibincangkan. Pakar sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, Presiden pertama RI Soekarno juga pernah merencanakan pemindahan ibu kota. Saat itu, tahun 1957, ketika meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah, Soekarno menilai kota tersebut cocok untuk menjadi ibu kota RI. Soekarno bahkan sudah sempat membuat desain dan kembali lagi ke Palangkaraya di tahun 1959 untuk mempersiapkan pemindahan ibu kota. Sayangnya, perhelatan Asian Games tahun 1962 membuat Soekarno menahan rencana tersebut.
Asvi menjelaskan, saat itu Bung Karno melihat Palangkaraya masih belum siap untuk menyambut kedatangan tamu-tamu negara Asia dan kedatangan para atlet dari negara-negara lain. Sehingga ketika itu Bung Karno memprioritaskan pembangunan di Jakarta dalam rangka Asian Games.
"Asian Games ini kan dilaksanakannya pada tahun 1962, tapi Bung Karno kan memang sudah mempersiapkan itu sudah jauh-jauh hari. Membangun Hotel Indonesia, membangun Tugu Selamat Datang, membangun Istora Senayan, ada Sarinah, Jalan Semanggi, dan lain lain," ujarnya.
Setelah Asian Games 1962, situasi sosial politik di Indonesia mulai tak stabil. Perekonomian yang gonjang ganjing membuat Soekarno sibuk meredakan hingga ide pemindahan ibu kota akhirnya tenggelam. Pecahnya kasus Gerakan 30 September 1965 yang berujung pada lengsernya Soekarno membuat rencana pemindahan ibu kota yang digagas Soekarno menguap.
Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun juga pernah memunculkan ide yang sama. Sekitar akhir tahun 1980-an, isu memindahkan ibu kota kembali santer. Soeharto sempat melirik Jonggol, sebuah wilayah di kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagai calon ibu kota pengganti Jakarta. Namun hingga Soeharto lengser, pembicaraan ke arah sana semakin senyap.
Menurut Asvi, rencana Soeharto tak bisa berjalan karena ternyata banyak masalah di Jonggol, terutama soal isu kepemilikan lahan. Saat itu, banyak tanah dengan kepemilikan ganda. Bahkan ada satu tanah yang memiliki tiga surat.
Akibat tekanan publik yang kuat, tahun 1998, Soeharto turun dari jabatannya tanpa sempat merealisasikan rencana pemindahan ibu kota. Setelah Soeharto lengser, era reformasi dipenuhi oleh isu rupiah yang terpuruk, kerusuhan sosial, pembenahan ekonomi, hingga amandemen UUD 1945. Mantan Presiden Habibie, Gus Dur hingga Megawati sibuk mengembalikan stabilitas ekonomi dan politik, tak sempat melanjutkan wacana pemindahan ibu kota.
Wacana pemindahan ibu kota juga tak terdengar di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode. Ia hanya sempat menyinggung rencana pindah ibu kota ketika Istana Negara tergenang banjir. Namun SBY tak pernah menyebut, dimana lokasi ideal pengganti Jakarta.
Pemindahan ibu kota kembali mencuat di era Jokowi. Di tahun ketiga pemerintahannya, Jokowi mulai mendengungkan rencana memindahkan ibu kota. Jokowi mengaku memikirkan rencana itu dengan matang. Ia merasa tak sendirian mengusung ide pemindahan ibu kota, sebab gagasan ini sudah muncul sejak era Soekarno. Menurut Jokowi, rencana pindah ibu kota timbul tenggelam karena tak pernah diputuskan dan dijalankan secara terencana dan matang.
Beban Jakarta Semakin Berat
Jokowi mengajak semua pihak berpikir jangka panjang dan lingkup yang lebih luas, termasuk kepentingan yang lebih besar dan kepentingan jangka panjang Indonesia sebagai negara besar dalam menyongsong kompetisi global. Kondisi Jakarta juga menjadi hal yang dipertimbangkan Jokowi.
"Ketika kita sepakat akan menuju negara maju, pertanyaan pertama terutama yang harus dijawab adalah apakah di masa yang akan datang DKI Jakarta sebagai ibu kota negara mampu memikul dua beban sekaligus, sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik dan sekaligus pusat bisnis," ujar Jokowi.
***
Jokowi menekankan, keputusannya untuk memindahkan ibu kota justru mempertimbangkan masa depan. Padatnya pulau Jawa membuat wilayah ini penuh dengan masalah sehingga daya dukungnya terhadap kehidupan semakin tak memungkinkan lagi.
"Kita tidak berpikir untuk sekarang. Tapi berpikir 10, 50 tahun, 100 tahun akan datang. Kita tahu di Jawa ini kepadatan penduduknya saya kira sudah berlebihan. Kita ini memiliki 17 ribu pulau, tapi di Jawa sendiri penduduknya 57 persen dari total penduduk di Indonesia. Kurang lebih 149 juta. Sehingga daya dukung baik terhadap air, baik terhadap lingkungan, baik lalu lintas, semuanya memang ke depan sudah tidak memungkinkan lagi. Sehingga saya putuskan di luar jawa. Pindah," ujarnya menambahkan.
Kemacetan di Jakarta
Hal senada disampaikan Menteri Perencanaan Pembangungan Nasional (Bappenas), Bambang Brojonegoro. Tahun 2013, Bambang mengatakan, kerugian perekenomian akibat kemacetan mencapai Rp65 triliun per tahun, dan tahun ini angkanya mendekati Rp100 triliun.
Selain kemacetan, masalah yang harus diperhatikan di Jakarta adalah banjir. Tak hanya banjir yang berasal dari hulu tapi juga penurunan tanah di Pantai Utara dan kenaikan permukaan air laut. "50 persen wilayah Jakarta itu kategorinya rawan banjir atau memiliki tingkat keamanan di bawah 10 tahunan. Idealnya kota besar keamanan banjirnya minimum 50 tahunan," ujar Bambang kepada VIVA.
Penurunan permukaan air tanah di utara rata rata 7,5 cm per tahun dan tanah turun sudah sampai 60cm pada 1989-2007. Penurunan diperkirakan akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah. Sedangkan air laut naik rata-rata 4-6cm karena perubahan iklim. Ditambah lagi kualitas air sungai di Jakarta, di mana 96 persen sungai di Jakarta tercemar berat, sehingga memiliki bahaya yang signifikan akibat sanitasi yang buruk.
Bambang juga menyinggung soal identitas bangsa. Menurutnya, Jakarta berasal dari Batavia yang dibangun oleh VOC sebagai kota pelabuhan untuk perdagangan dan pemerintah kolonial Belanda akhirnya mengembangkan Jakarta menjadi pusat pemerintahan.
"Karenanya kita ingin punya kota baru, selain mencerminkan identitas Indonesia juga menjadi kota modern, berkelas internasional, atau dengan istilah smart, green, and beautiful city."
Pro Kontra
Ketua Komisi II DPR RI, Zainudin Amali termasuk yang mendukung rencana pemindahan ibu kota. Ia sepakat bahwa Jakarta sudah semakin tak layak untuk memikul beban sebagai ibu kota. Menurut dia, Jakarta yang saat ini menjadi pusat pemerintahan dan pusat bisnis sudah semakin crowded.
"Memang kondisi Jakarta sebagai ibu kota negara, sebagai pusat bisnis, sekarang ini sudah tidak memadai. Tingkat kemacetan, kebutuhan akan hunian, dan sebagainya sudah semakin berat," ujarnya.
Namun, tak semua menganggap pindah ibu kota sudah sangat urgen dan harus dilakukan. Pandangan berbeda soal rencana pemindahan ibu kota disampaikan oleh pengamat Tata Kota sekaligus Peneliti Pusat Studi Perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga. Ia menganggap, pemerintah perlu meninjau kembali rencana tersebut.
Jakarta terendam banjir
Menurutnya, ada tiga persoalan yang saat ini mendera Jakarta, yaitu banjir, macet, dan padatnya masyarakat urban. Menurut Nirwono, jika tiga hal itu bisa diselesaikan, maka pemindahan ibu kota tak perlu dilakukan. "Pemindahan ibu kota baru harus benar-benar dikaji ulang dengan matang. Banjir, kemacetan, dan urbanisasi tidak bisa menjadi alasan utama pemindahan ibu kota," ujarnya.
Bahkan jika tujuan pemindahan untuk pemerataan pembangunan, Nirwono mengusulkan, dana ratusan triliun yang akan digunakan untuk pemindahan ibu kota justru lebih baik digunakan untuk percepatan pembangunan di berbagai wilayah.
Ia yakin, jika dana ratusan triliun itu digunakan untuk membangun transportasi massal, penyediaan air bersih, pengolahan limbah, pengendalian banjir, penambahan pasokan air, hingga membangun perumahan baru, maka tiga problem besar Jakarta bisa teratasi sehingga tak perlu ada rencana pindah ibu kota.
Sementara menurut Asvi Warman Adam, pertanyaannya bukan tentang urgen atau tidaknya pemindahan ibu kota, tapi seberapa urgennya persatuan Indonesia. Menurut Asvi, sejogjanya pemindahan ibu kota dilakukan dalam kerangka seberapa penting kita melihat persatuan Indonesia dengan cara memindahkan ibu kota ke Indonesia bagian tengah. Karena dengan pemindahan ibu kota itu, diharapkan pembangunan itu tidak hanya tersentral di Jawa, tetapi juga terjadi di Indonesia bagian tengah. Dengan konsep ini, pembangunan juga diharapkan berdampak sampai ke Indonesia bagian timur.
Mana yang Layak Gantikan Jakarta
Memindahkan ibu kota tentu tak semudah membalik telapak tangan. Jokowi mengaku sudah secara khusus menugaskan Bappenas dan Kementerian PUPR untuk melakukan kajian intensif soal rencana pemindahan ini. Meski isu ini sudah bergulir, Jokowi belum menjelaskan, apakah ia akan memindahkan ibu kota atau hanya memisahkan pusat pemerintahan dan pusat bisnis.
***
Kalimantan disebut sebagai prioritas karena wilayah itu tidak masuk dalam wilayah ring of fire. Presiden Jokowi sepertinya juga sudah kepincut dengan wilayah tersebut. Itu sebabnya ia langsung mendatangi dua wilayah di Kalimantan, hanya selang sehari setelah ia memastikan bahwa pemindahan ibu kota akan dilakukan.
Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor memastikan, yang dimaksud Jokowi bukanlah pindah ibu kota, tapi memindahkan pusat pemerintahan. Ia mengatakan, ada beberapa lokasi yang ideal di wilayahnya dilihat dari ketinggian permukaan air dan tak ada gambut. Salah satu lokasi yang sangat ia rekomendasikan adalah Bukit Soeharto, yang juga sudah didatangi Jokowi.
Presiden Jokowi meninjau Bukti Soeharto di Kalimantan Timur
Isran mengatakan, ideal itu bukan atas pertimbangannya, tapi atas pertimbangan ahli teknis dan topografi. Apalagi sudah ada fasilitas jalan tol Balikpapan-Samarinda yang sekarang sedang dibangun dan diperkirakan selesai pada akhir 2019. "Selain itu juga ada dua bandara di dekat sana, Samarinda dan Balikpapan. Bandara internasional yang memudahkan transportasi dan komunikasi. Dalam hal biaya pembebasan lahan dan membangun infrastruktur akan lebih mudah karena itu adalah kawasan hutan yang tidak ada kepemilikannya. Ada penduduk di sana, mereka menetap tapi tak memiliki hak-hak sertifikat," tutur Isran.
Ia juga menjamin, masyarakat di wilayahnya akan cepat beradaptasi dan mudah menerima pendatang. Jadi tak perlu khawatir terjadi gesekan sosial yang membahayakan jika ibu kota berpindah ke wilayahnya.
Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro juga mengatakan, hanya akan memindahkan fungsi pemerintahan. Ia mengaku telah mengusulkan agar untuk ibu kota yang diposisikan adalah hanya fungsi pemerintahan, yaitu Eksekutif (Kementerian dan Lembaga, Legislatif, Parlemen), kemudian Yudikatif (Kehakiman, Kejaksaan, MK), lalu Keamanan (TNI-Polri) juga Kedutaan Besar serta perwakilan organisasi internasional yang ada di Indonesia.
"Sedangkan fungsi jasa keuangan, perdagangan, dan industri tetap di Jakarta. Misalkan BI, OJK, BKPM tetap di Jakarta. Menurut Bambang ini adalah konsep yang akan coba ditiru dari beberapa best practice yang sudah dilakukan negara lain," ujar Bambang.
"Yang kita akan tuju dari ibu kota baru adalah pemisahan pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Di mana Jakarta tetap menjadi pusat bisnis bahkan menjadi pusat bisnis yang levelnya regional, Asia Tenggara. Dan kemudian momen pemindahan ibu kota ini juga bisa disesuaikan dengan kebutuhan kementerian lembaga, sehingga untuk Kemenpan ini adalah saat yang baik untuk melakukam resizing dari ASN itu sendiri," ujar Bambang kepada VIVA.
Bambang memastikan, saat ini semua persyaratan untuk memenuhi standar ibu kota masih dalam kajian hitung-hitungan. Aspeknya banyak, tidak hanya satu dua. Tak hanya infrastruktur yang jelas harus dimulai dari nol lagi, tapi juga pertimbangan masalah sosial politik, dan sosiologi masyarakat.
"Nanti tim besarnya akan diam-diam ke sini lagi. Dihitung kemudian baru setelah matang dan terencana secara detail diserahkan kepada saya. Nah dari situ lah kita memutuskan. Saya ini ke lapangan hanya satu, mencari feeling-nya. Biar dapat feeling-nya. Kalau sudah dapat feeling-nya nanti kalkulasinya. Ini saya kira sebuah visi besar jangka panjang. Bisa 50 tahun, bisa 100 tahun yang akan datang. Dalam rangka mempersiapkan negara ini untuk masuk sebuah negara maju."
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengakui, kementeriannya dan Bappenas sudah dipanggil secara khusus oleh Jokowi sejak dua tahun lalu. Ia membantah isu banjir yang membuat Jokowi ingin memindahkan ibu kota. "Kami berdua dipanggil secara silent, dan secara resmi diberi tugas. Bappenas diberi tugas mengkaji, perlu tidaknya ibu kota negara Indonesia ini dipindah. Dan itu dikaji dari semua aspek. Apakah dari daya dukungan kawasan, dari sosial politiknya, budayanya, kemudian efesiensinnya, siapa saja yang harus dipindah, kelembagaan seperti apa, itu sudah dikaji di sana," tutur Basuki kepada VIVA, Jumat, 10 Mei 2019.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono
Sedangkan untuk Kementerian PUPR, tugasnya adalah membuat konsep desainnya. "Kalau mau dipindah kotanya mau kayak gimana, itu dengan kriteria-kriteria. Dengan acuan dari Bappenas terutama dimensinya, kemudian penataan ruangnya. Dari Dimensi kita, mau memindah, kalau ASN, TNI, Polri, Yudikatif, Legislatif, Eksekutif pindah ke sana berapa orang? Itu diperkirakan satu setengah juta orang pindah," kata Basuki menambahkan.
PUPR membuat dimensi untuk tata ruangnya. Di mana letaknya Eksekutif, dimana Legislatif, dimana Yudikatif, dimana permukimannya, termasuk bagaimana servis areanya. Servis area itu macam-macam dan ketika satu kota dipindahkan, maka mereka akan butuh BBM, butuh toko serba ada. Dimensi itu, menurut Basuki, sudah dibuat konsep desainya dengan studi literatur, misalnya dengan negara negara yang sudah pernah memindah ibu kotanya.
Tak hanya problem kajian strategis soal lahan, infrastruktur, sosial politik, dan sosial budaya. Soal pendanaan juga menjadi salah satu acuan penting untuk memindahkan ibu kota. Besarnya jumlah orang yang akan dipindahkan untuk menempati ibu kota baru berbanding lurus dengan biaya yang akan dikeluarkan pemerintah untuk proses persiapan infrastruktur. Di sebuah kesempatan saat diwawancara wartawan, Basuki pernah mengatakan dana yang dibutuhkan bisa mencapai Rp446 triliun untuk 'mendandani' sekitar 40.000 hektare lahan.
Sudah menjadi tugas PUPR untuk membangun jalan utama, sanitasi, air bersih, hingga kantor dan permukiman. Basuki tak menyebutkan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh PUPR untuk mewujudkan tugas itu. Sebab hingga saat ini, lokasi belum diputuskan. "Kalau lokasi sudah dipastikan, kami akan lakukan detil desainnya. Ada penelitian tanah untuk pengembangan kota, juga membangun jalan utama," ujarnya.
Ia merujuk wilayah Kalimantan sebagai area yang paling aman, karena tak termasuk ring of fire. Tapi setiap wilayah di Kalimantan juga ada kelebihan dan kekurangan. Menurut Basuki, jika di Kaltim lokasinya di antara Balikpapan dan Samarinda. Di sana ada Laut dengan jarak sekitar 15-20 kilometer ke arah daratan. Kondisi topografi berbukitan, sudah ada jalan tol, sehingga kesiapan untuk kehidupan perkotaan sudah ada. Tapi harus tetap diselidiki, karena di sana wilayah sumber batu bara.
Sedangkan Kalimantan Tengah adalah wilayah gunung dengan kondisi alam dan hutan yang masih asli. Di sana sudah ada jalan nasional, tapi jauh dari mana-mana, sehingga perlu energi lebih untuk membangun prasarana dasar dibanding Kalimantan Timur. Basuki menyebutkan, kedua wilayah sudah memiliki bedungan dengan kapasitas hampir 900 juta kubik. Ia memastikan, kajian sosial budaya di Kaltim dan Kalteng akan intens karena tak mudah memindahkan 1,5 juta orang. Jadi, penting untuk mempelajari penduduk lokal karena belum tentu penerimaan mereka akan mudah. (mus)
Baca Juga
Sukses-Gagalnya Pindah Ibu Kota