- ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
VIVA – Empat orang pria memanjat besi yang menjulang tinggi. Dengan percaya diri, mereka membentangkan spanduk besar dan mengikatnya pada tiang-tiang besi. Spanduk menampilkan gambar sejumlah menu makanan yang ditawarkan oleh cafe dan resto Sallo Inyan, khusus menyambut datangnya bulan suci ramadan, tentu saja dengan harga khusus juga. Serunya, menu dan harga yang ditawarkan adalah untuk jam sahur.
Sallo Innyan dan Coffee Shop, sebuah cafe dan restoran yang menawarkan kuliner khas Pontianak, Kalimantan Barat. Cafe ini berlokasi di wilayah Tebet Timur, Jakarta Selatan. Menyambut Ramadan, Sallo Innyan tak ingin ketinggalan momentum untuk tetap menjadi incaran pengunjung. Mereka merancang jam layanan ramadan dan menu khusus untuk masyarakat Jakarta, khususnya kelompok milenial.
"Memang target kita generasi milenial ya. Karena Tebet ini kan bisa dikatakan sebagai salah satu tempat nongkrongnya anak-anak muda," kata Advicer Kopi Sallo Inyan Rendy kepada VIVA, Kamis 2 Mei 2019. Menyasar kelompok milenial ini jadi alasan mengapa mereka menawarkan menu untuk sahur.
Rendi dan cafe Sallo Inyan hanya sebagian kecil dari kelompok masyarakat yang membidik generasi milenial. Generasi ini memang sedang menjadi perbincangan hangat. Jumlah kelompok ini semakin membesar, tak hanya di dunia juga di Indonesia.
Kopi Sallo
Generasi milenial disebut-sebut sebagai generasi baru yang memiliki karakteristik unik dan berbeda dengan generasi sebelumnya. Psikolog Sani Budiantini Hermawan, S.Psi., M.Si., Direktur & Psikolog Lembaga Konsultasi Daya Insani mengatakan, generasi milenial adalah generasi yang melek teknologi. Generasi yang ekspresif.
"Mereka nggak mau terlalu diatur dan menurut saya punya mereka punya ide banyak dan kreatif. Hubungan sosial mereka jauh lebih luas," ujarnya.
Menurut Sani, keunikan kondisi itulah yang akhirnya membentuk generasi milenial dengan pemahaman dan cara pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya dalam hal sosial, politik, juga agama.
Milenial dan Agama
Generasi milenial adalah generasi setelah generasi X. Sejumlah ahli hanya menyebutkan rentang tahun kelahiran kelompok ini. Tapi para ahli tersebut sepakat, milenial adalah mereka yang masuk usia dewasa di peralihan abad 21, abad di mana teknologi mulai menjadi andalan. Abad yang membuat digital menjadi titik pijak baru dan menguasai kehidupan.
Neil Howe and William Strauss, penulis buku "Sejarah Masa Depan Amerika, 1584 hingga 2069," menggunakan istilah milenial untuk menyebut generasi yang memasuki usia dewasa di pergantian Abad 21. Di buku yang diterbitkan pada tahun 1991 ini, Howe dan Strauss mengatakan, milenials adalah mereka yang lahir antara tahun 1982 hingga 2004.
***
Sementara menurut Iconoclast, sebuah lembaga peneliti perilaku konsumen, kelahiran generasi milenial pertama adalah tahun 1978. Majalah Newsweek punya hitungan yang berbeda, menurut mereka generasi milenial adalah generasi yang lahir antara tahun 1977 hingga 1994. Harian terkenal New York Times membatasi milenial sebagai mereka yang lahir antara 1976-1990 dan 1978-1998. Sementara sebuah artikel di majalah TIME menempatkan milenial sebagai mereka yang lahir antara 1980 hingga 2000.
Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak atau KPPA dalam sebuah buku yang mereka terbitkan, "Buku Profil Generasi Milenial," menyebut bahwa generasi milenial memiliki karakteristik khusus. Salah satunya adalah peningkatan penggunaan dan keakraban dengan media, komunikasi, dan teknologi digital. Kelompok ini juga disebut lebih kreatif, informatif, mempunyai passion dan produktif. Penguasaan terhadap teknologi membuat mereka mampu menciptakan berbagai peluang baru mengikuti perkembangan teknologi. Kelompok ini juga memiliki komunikasi yang terbuka, pengguna media sosial yang fanatik, dan memiliki pandangan terbuka terhadap politik dan ekonomi.
Jika mereka memiliki pandangan yang terbuka terhadap politik dan ekonomi, maka pandangan mereka terhadap agama diperkirakan tak jauh beda. Psikolog Sani Budiantini mengatakan, generasi milenial punya cara sendiri mengekspresikan spritualitas mereka.
"Mereka lebih nggak suka kalau mereka didoktrin. Jadi banyak yang kurang patuh karena pendekatan keliru. Kalau pendekatan pas dan tepat, mereka bisa lebih patuh pada agama," ujarnya.
Generasi milenial
Menurut Sani, perlu ada pendekatan khusus pada kelompok ini agar memiliki pemahaman agama yang benar. Gairah keagamaan kelompok milenial cenderung ekstrem, dan bukan dalam arti buruk. Karena mereka adalah kelompok yang terbuka dan ekspresif, maka mereka juga menampakkannya dalam pemahaman agama.
"Pertama Kalau udah paham, cukup kuat keagamaan, mereka akan menunjukkannya dengan entah berhijab bagi wanita, dan laki-laki langsung berjenggot. Kedua, Kalau nggak terlalu spiritual, lebih gak takut, jadi cuek. Zaman sekarang banyak yang agnostik yaitu percaya Tuhan tapi nggak percaya agama. Tetap Islam tapi ibadah nggak dijalanin. Banyak perkumpulan seperti ini dan antarmereka sudah sangat terbuka dan gak merasa malu dengan pemikiran cuek tersebut," ujarnya.
Sani mengatakan, karakteristik milenial yang multitasking dan sangat tergantung pada teknologi juga bisa memberi pengaruh besar dalam cara mereka memandang agama. "Karena mereka itu asik dengan dunianya, jadi mereka gak ada waktu untuk belajar agama. Bisa juga mereka saat ini multitasking tapi ke arah yang mereka inginkan, jarang ke agama. Interest-nya ke agama kurang," ujar Sani.
Generasi milenial memang berkembang secara teknologi, memiliki banyak kegiatan, tapi karena itulah, akhirnya interest mereka akhirnya bersifat duniawi. Tapi di atas itu semua, Sani merujuk pada budaya keluarga. Menurutnya, budaya keluarga sangat penting untuk membentuk karakter mereka.
"Apa yang menjadi budaya di rumah akan diikuti anak milenial. Meski di luar belum tentu bisa terpantau, tapi setidaknya mereka ikut menjalankan apa yang dilakukan di rumah. Harapannya, setelah terbiasa, mudah-mudahan bisa terinternalisasi ke jiwanya."
Milenial dan Ramadan
Dua hari menjelang puasa, ternyata generasi milenial juga bersiap menyambutnya. Penuturan Sani, bahwa apa yang mereka dapatkan dari budaya di rumah bisa dibuktikan. Bagi milenial, meski mereka hidup dalam situasi yang berbeda dengan generasi sebelumnya, tapi kenangan ramadan punya arti bagi mereka. Bulan suci umat Islam ini mereka sambut dengan suka cita dan sederet kegiatan yang rutin mereka lakukan.
***
Ardita Pitaloka, seorang siswi kelas XI SMA 91 Jakarta menyambut ramadan sebagai bulan berkah dan penuh ibadah. Ia mengaku tak melakukan persiapan khusus menyambut ramadan, kecuali mempersiapkan mental dan hati untuk beribadah dengan khidmat, dan memperbanyak silaturahmi. Ardita mengaku selalu membuat acara setiap ramadan, yaitu kegiatan amal. Biasanya dia bagian pengumpul dana dari teman-temannya.
"Banyak kegiatannya. Buka bareng, kadang ke Panti Asuhan untuk berbagi dan buka puasa bareng mereka," ujarnya kepada VIVA. Ardita mengakui, ramadan adalah kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga juga teman-temannya.
Remaja lainnya, Revy Aprilia yang juga kelas XI di SMA yang sama mengakui ramadan adalah momentum untuk dirinya belajar menahan diri. "Bukan hanya untuk makan dan minum, tapi juga menahan diri enggak ghibahin orang." ujarnya sambil tergelak.
Bagi Revy, ramadan adalah momentum silaturahim, sekaligus momen untuk melatih diri menahan nafsu, dan menahan emosi. Ia mengaku secara rutin, setiap tahun saat ramadan, ia dan kawan-kawannya akan berjualan takjil atau makanan untuk berbuka puasa. Hasil yang mereka dapatkan digunakan untuk memberikan santunan kepada yatim piatu.
Ardita dan Revy sama-sama menolak sahur on the road. Bagi keduanya, kegiatan itu lebih banyak melencengnya. "Ujung-ujungnya cuma bikin ruwet jalan, kadang juga cuma mau eksis," ujar Revy.
Sementara Ardita melihat, kegiatan sahur on the road sekarang lebih banyak digunakan sebagai ajang mejeng, atau pamer. Itu sebabnya ia tak pernah tertarik jika diajak untuk ikut sahur on the road.
Cara Fekum Ariesbowo, Karyawan BUMN PT Wijaya Karya menyambut datangnya ramadan ternyata berbeda dengan Revy dan Ardita. Meski sama-sama generasi milenial, namun beda usia tetap membawa pengaruh dalam cara pandang mereka untuk menikmati ramadan dan merayakannya sebagai bagian dari keyakinan beragama.
Feskum menganggap, ramadan sebagai bulan yang istimewa, bulan yang penuh maghfirah, yaitu bulan dimana kekeluargaan, kekerabatan, silaturahim, mencapai puncaknya. Dan menurut Feskum, dengan nilai-nilai itu semua, mau tidak mau ukhuwah harus ditingkatkan bagaimanapun caranya.
Pengajian Ramadan
Ia merasa senang karena setiap ramadan, kantor memajukan jam kerja sehingga dampaknya ia bisa pulang lebih awal. Meski demikian ia tetap berusaha ikut aktif dalam berbagai kegiatan menyambut Ramadan yang digelar kantornya.
"Ada semacam kajian, buka bersama dengan lingkungan sekitar, bahkan ada juga satu kesempatan dimana kami membagikan ifthar di sepanjang jalan depan kantor kami bagi para pengendara, setiap sore," ujarnya menambahkan.
Feskum mengaku sangat menikmati bulan ramadan. Apalagi kantor tempatnya bekerja juga memberikan dukungan pada berbagai aktivitas yang dilakukan karyawan saat ramadan.
"Kita secara rutin selalu diberikan kesempatan untuk buka bersama. Ketika waktu Zuhur kita diberikan siraman rohani berupa kajian-kajian konstruktif, dan pada waktu-waktu tertentu kita datang ke lokasi atau ke tempat project dimana ada lingkungan yang kaum papanya memang harus dibantu. Jadi kita yang jemput bola untuk membantu, bukan orang-orang datang ke kita, kita yang ke sana," tutur Feskum.
Tak hanya itu, di pekan kedua atau ketiga ramadan, maka kantornya akan mengajak rekan-rekan media untuk kumpul dan meminta masukan tentang bagaimana komunikasi kantor dan media. Dan puncaknya, perusahaan akan mengumpulkan sekian ribu karyawan, baik pekerja maupun engineers untuk mudik bareng.
Di luar kegiatan kantor, bagi Feskum sendiri, maka ramadan adalah kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Mulai dari perbaikan ibadah invidual hingga pergaulan sosial. "Tahun ini saya bertekad minimal satu kali khatam Al quran," ujarnya. Kesempatan dan keinginan silaturahmi juga ia tingkatkan selama bulan ramadan.
Ardita, Revy, dan Feskum mungkin hanya sebagian kecil dari generasi milenial yang jumlahnya mencapai puluhan juta di negeri ini. Tapi kebahagiaan dan antusias mereka menyambut ramadan mungkin menjadi gambaran bagaimana puluhan juta milenial negeri ini menyambut dengan bahagia dan antusiasme yang sama. Ramadan adalah bulan istimewa, bulan barokah dan penuh ampunan. Mungkin kedatangannya bisa menjadi jeda dari ingar bingar duniawi, apalagi tahun ini ramadan berbarengan dengan tahun politik.
Revy, Ardita, dan Feskum menyampaikan harapan yang sama. Semoga ramadan tahun ini akan memberi siraman kesejukan pada suasana sosial politik yang sempat memanas. Tak ada lagi saling caci, saling hina, dan sebutan ‘cebong kampret’.
"Semoga lebih adem, enggak ada hoaks, engga ada lagi cebong kampret. Capek lihat media sosial," ujar Revy berharap. (mus)
Baca Juga
Beragam Cara Milenial Rayakan Ramadan