SOROT 546

Kopi Klasik Nan Unik

Biji kopi di hutan Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung.
Sumber :
  • VIVA/Purna Karyanto

VIVA – “Baaaak,” pintu mobil saya tutup dengan keras. Sopir mobil kantor kaget dengan kerasnya bunyi bantingan pintu itu. “Berangkat bos?” tanyanya. “Yuk lah,” ujar saya menjawab.

Dari kantor kami di Pulo Gadung, Jakarta Timur, mobil  mengarah ke Bandung, Jawa Barat. Kami akan ‘berburu’ kopi. Tak cuma berdua, ada videografer yang menemani. Setelah empat jam perjalanan, akhirnya kami sampai di Bandung. Sebelum ke lokasi perkebunan, kami singgah di PT LEN Industries. BUMN ini merupakan mitra petani kopi yang akan kami sambangi.

“Capek ya?” seorang laki-laki paruh baya langsung menyapa kami, Donny Gunawan namanya. Donny adalah Manajer PBR dan CSR PT LEN. Perkebunan kopi yang ‘diasuh’ LEN terletak di Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung.

Tak berselang lama, kami pun langsung menuju Desa Mekarjaya. Setelah satu setengah jam perjalanan, kami sampai. Tiga orang menyambut kami, Kepala Desa Mekarjaya, Aripin, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan, Abah Daum, dan mentor para petani kopi di desa ini, Uu Lendhanie.

“Sok atuh, diseruput,” kata Uu yang sudah menyediakan kopi produk mereka untuk kami. Sruputan pertama, wow! Rasanya berbeda dengan kopi Gunung Puntang. Dan, Uu pun mulai menceritakan asal usul kopi ini.

“Bukan kopi Gunung Puntang. Ini kopi Leuweung,” kata Uu.

Menarik, karena ada kata Leuweung. Dalam bahasa Sunda, Leuweung berarti hutan. Artinya, kopi ini ditanam secara organik atau alami. Penanaman kopi di kawasan Desa Mekarjaya memang berbeda. Bertempat di hutan Gunung Sangar yang berada pada ketinggian 1.200 hingga 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl), kopi yang ditanam dibiarkan tumbuh begitu saja bersama berbagai tanaman sekitarnya. Alhasil, rasanya lebih alami.

“Kami menggunakan teknologi karbon dalam pertanian. Terbaru, kami gunakan teknologi nano,” ujar Uu.

“Teknologi karbon bekerja sebagai pampers. Menyerap, menyaring, jadi mineral yang ada diserap dan menjadi lebih bersih. Jadi, siklusnya alami,” ujarnya menjelaskan.

Teknologi karbon sudah cukup umum. Namun, penggunaan teknologi nano pertanian masih terbilang asing. Baru dalam tiga tahun terakhir, teknologi ini gencar diperkenalkan dalam bidang pertanian. “Sangat terlihat dalam urusan rasa. Ada tiga rasa yang bisa kami ekstrak melalui teknologi nano itu. Molekulnya pecah tiga. Rasanya (after taste) bisa lebih panjang,” ujarnya menambahkan.

sorot kopi jawa barat - Petani kopi berada di tempat penyimpanan kopi

Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Abah Daum saat berada di gudang kopi di Desa Mekarjaya, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. (VIVA/Purna Karyanto)

Mengejutkan, karena cukup rumit pengolahannya. Kami baru sadar ketika tahu, Uu adalah ahli dalam bidang pertanian. Gelar magister yang didapatnya dari Institut Pertanian Bogor (IPB), benar-benar diterapkan di kampung halamannya.

Kami kembali mereguk kopi hutan ini. Rasa pahit kopi cukup kuat terasa, kemudian ada sensasi buah di dalamnya, terasa seperti durian dan pisang. Tingkat keasaman kopi ini juga tidak tinggi dan bersih, jadi bersahabat dengan perut penikmat pemula. Dan cita rasa ini memang khas kopi Jawa Barat.

After taste kopi ini juga terasa begitu panjang. Inilah bukti teknologi nano yang diterapkan dalam penanaman kopi Leuweung Gunung Sangar. “Besok, kita ke hutan ya. Lihat kopinya yang ditanam di sana,” ujar Uu.

Keesokan harinya, kami langsung menuju hutan di kawasan Gunung Sangar. Jalannya berbatu, dan sulit dilalui kendaraan. Kami harus membelah hutan dengan berjalan kaki. Akhirnya, kami menemukan ‘surga’ di dalamnya, lahan yang penuh dengan pohon kopi. Sekelilingnya, ditanam pohon durian dan pisang.

“Ini yang sebabkan kopinya terasa begitu buah. Kami tanam langsung di hutan. Biarkan mereka berkembang bersama pohon lainnya. Jadi, alami. Organik lah,” ujar Abah Daum.

“Makanya, kopi kami tak kalah rasanya. Beda, dari yang lain,” timpal Aripin.

Kopi Spesial

Kopi Leuweung Gunung Sangar sejatinya memiliki kualitas kelas wahid. Dalam bahasa kopi, bisa dikategorikan sebagai specialty coffee. Proses produksi kopi ini memang sangat rumit. Bukan cuma pada proses penanamannya. Namun, pengolahannya juga. Tiga teknik diterapkan dalam proses pengolahan kopi pasca panen. Abah Daum menjelaskan, proses honey, natural, hingga full wash, jadi andalannya.

“Sekarang, sedang fokus ke proses honey. Perlu enam bulan, agar rasanya sempurna,” ujarnya. 

Ekspor Kopi Manggarai Timur dalam Bayang-bayang Anti Deforestasi Uni Eropa

Enam bulan bukan waktu yang singkat. Pengorbanan seorang petani dalam urusan proses dan merelakan dapurnya tak ‘ngebul’ juga terjadi. Uu menjelaskan, Abah Daum sempat tak menjual produknya selama satu tahun.

sorot kopi jawa barat - Kegiatan petani memetik biji kopi di hutan

Secangkir Kopi Merawat Hutan dan Mata Air di Manggarai Timur

Abah Daum saat memetik biji kopi di hutan. (VIVA/Purna Karyanto)

Bukan cuma fokus menghasilkan kopi berkualitas. Namun, vakumnya Abah Daum dalam menjual kopi produksinya karena strategi pemasaran Kopi Leuweung. “Sampai beliau pusing. Tapi, ketika stok kopi di daerah lain berkurang, kami kebanjiran pesanan. Semua datang, dan kopi kami diborong,” ujar Uu.

4 Bahan Saja, Ini Resep Caramel Macchiato Starb*cks yang Mirip Banget!

Pengorbanan itu menghasilkan kopi yang kualitasnya tak sembarangan. Rasa memang tak bohong. Kopi Leuweung, yang sudah kami coba, memiliki rasa yang khas. “Kata orang sih beda dari yang lain,” kata Aripin.

Kopi Leuweung sebenarnya belum setenar varian lain dari Jawa Barat. Masih kalah sohor dari Kopi Puntang, Gunung Halu, Manglayang dan Garut. Maklum, karena mereka baru dalam proses membangun bisnis kopi.

Tren menanam kopi di Desa Mekarjaya, mulai marak pada 2010. Pada 2004, sebenarnya sudah dimulai. Namun, hasil penanaman kopi saat itu tak memuaskan. Baru pada medio 2010 itulah, kopi berhasil dibudidayakan di kawasan Desa Mekarjaya. Pohon kopi itu ditanam di lahan sekitar 384,36 hektar. Namun, baru sekitar 20 persen yang dimanfaatkan warga lokal untuk menanam pohon kopi.

“Mereka menanam kopi di tegakan pohon pinus. Baru sekitar 20 persen, dimanfaatkan oleh warga untuk menanam kopi. Awalnya, hanya 70 petani yang menanam kopi. Namun, dengan bantuan berbagai pihak, termasuk PT LEN yang memberikan bantuan 10 ribu pohon kopi, semangat petani meningkat. Kini, ada sekitar 200 petani yang menanam kopi,” ujar Aripin.

https://www.youtube.com/watch?v=3mKPQKr88Z4&feature=youtu.be

Secara praktik, menurut Uu, lahan di Gunung Sangar yang ditanami kopi sebenarnya baru 25 hektar. Dan hanya seperempat yang bisa memproduksi kopi. “Banyak sebenarnya keterbatasan dialami oleh kami. Mulai dari fasilitas, peralatan, dan lainnya. Kami di sini memang terkendala dengan berbagai hal. Namun, kesan yang diberikan para penikmat terhadap Kopi Leuweung ini, membuat kami optimis. Investor? Kami harapkan bantuan dari orang lokal. Kenapa? Karena, kami ingin kopi ini dimiliki oleh orang Indonesia. Ada loh, kopi Indonesia yang memang kualitasnya wahid,” kata Uu.

Kopi Klasik Era Kolonial

Tren penanaman kopi di Desa Mekarjaya memang baru gencar di 2010. Namun, pada dasarnya, Desa Mekarjaya punya sejarah panjang dalam bidang kopi di Indonesia. Kawasan ini ternyata menjadi salah satu daerah pionir penanaman kopi di Indonesia. Di masa kolonial, kopi masuk pada akhir abad 17. Dalam masa tersebut, permintaan kopi di pasar internasional memang sedang meningkat. Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) melihatnya sebagai sebuah peluang untuk ekspansi dalam bisnisnya.

Menyadari iklim tropis dan kondisi lahan di Indonesia yang subur, VOC mulai mendatangkan bibit kopi pada 1696. Kala itu, mereka mendatangkan bibit kopi dari Malabar, India. Awalnya, VOC berniat mengembangkan kopi di Batavia. Kawasan yang sekarang bernama Pondok Kopi, Jakarta Timur, adalah wilayah pertama penanaman kopi di Batavia kala itu. Sayangnya, kopi di sana gagal tumbuh lantaran bencana banjir di Batavia.

Selang tiga tahun, VOC kembali mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar. Kali ini, mereka tak membudidayakannya di kawasan Batavia. Mereka menggesernya ke daerah Priangan. Di kawasan Priangan, VOC mencoba menanam bibit kopi yang dibawa dari Malabar. Kopi itu tumbuh, hingga pada 1706, sampel kopi yang ditanam, dibawa ke Belanda untuk diteliti. Hasilnya memuaskan. Kopi tersebut ternyata dianggap tak kalah dalam urusan kualitas rasa. Secara nutrisi terbilang sangat baik. Hingga pada 1711, kopi dari Jawa Barat dan lainnya mulai diekspor.

Berkat keberhasilan di Jawa Barat, pada pertengahan abad 17, VOC mulai menanam kopi ke berbagai daerah seperti Sumatera, Bali, Sulawesi, hingga Kepulauan Timor. Kebijakan perluasan lahan kopi didasari atas keberhasilan VOC menjadi raksasa dalam bisnis kopi di Eropa saat itu. Ya, hanya dalam kurun waktu 10 tahun, atau tepatnya 1721, VOC menguasai perdagangan kopi.

Kualitas kopi Jawa Barat dan bagian lainnya, dianggap wahid. Rasanya yang beragam, begitu bersahabat dengan lidah para penikmatnya di benua biru. Hingga akhirnya, muncul istilah “A Cup of Java”.

sorot kopi jawa barat - Biji kopi saat proses pengeringan

Proses pemilihan kualitas biji kopi. (VIVA/Purna Karyanto)

Penanaman kopi juga dilandasi oleh sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang diterapkan VOC kala itu, terilhami dari Preanger Stelsel. Seperlima lahan, diharuskan menanam komoditi ekspor, termasuk kopi. Inilah yang membantu VOC dalam meningkatkan kuantitas produksi kopi hingga akhirnya menjadi eksportir kopi raksasa. Sayangnya, kenaikan kelas VOC tak diimbangi dengan kondisi petani lokal.

VOC yang untung besar karena bisa memainkan harga kopi di pasaran dunia, dengan berbagai triknya gagal meningkatkan kesejahteraan petani. Malah, petani lokal makin melarat karena diperas habis-habisan oleh VOC.

Meski begitu, VOC tetap bertahan dan di akhir abad 18, kopi yang dipasok VOC bisa lebih murah dan dicari oleh berbagai pengepul di Eropa. Hingga akhirnya, VOC bangkrut pada 1799 dan bisnisnya langsung jatuh ke tangan Pemerintah Hindia Belanda (Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Tanam Paksa Kopi di Jawa: 1720-1870).

“Sebenarnya, Desa Mekarjaya punya sejarah panjang dalam urusan kopi. Ada tiga ilmuwan Belanda yang sempat mengunjungi desa kami di masa kolonial. Tuan Debel, tuan Graafe, dan tuan Heeinen. Ketiganya punya misi mengembangkan tanaman kopi, teh, dan kina, yang memang jadi komoditi saat itu,” kata Uu.

Uu sempat bingung mengapa ketiganya mau susah payah meneliti kopi di kawasan Mekarjaya. Sebab, akses jalan ke Mekarjaya terbilang sulit, bahkan terjal. “Mereka tak bisa pakai kuda, harus ditandu sampai ke atas. Membangun rumah, jatuh cinta dengan penduduk lokal, dan menikah, lalu meneliti kopi. Saya heran awalnya dengan cerita itu. Setelah mempelajari ilmu pertanian, baru saya sadar. Ternyata, memang kondisi iklim dan tanah di hutan Gunung Sangar, Desa Mekarjaya, begitu baik. Mendukung pertumbuhan tanaman kopi,” jelas Uu.

Aripin menambahkan, memang dari cerita yang beredar secara turun temurun, kawasan Desa Mekarjaya menjadi salah satu primadona dalam pertanian sejak masa kolonial hingga sekarang. Bukan cuma kopi, banyak pula tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi ditanam di sana. “Sayuran juga. Kalau tahu ubi Cilembu, ya salah satunya dapat bibit dari sini,” terang Aripin.

Ketika VOC runtuh, dan bisnis kopi dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda, kondisi makin tak bersahabat bagi petani. Gubernur Hindia Belanda, Herman Willem Daendels, memprakarsai pembuatan jalan Anyer-Panarukan, dan membuat distribusi kopi dari Priangan ke Batavia makin leluasa. Pembangunan jalan, diimbangi dengan perintah Pemerintah Hindia Belanda kepada penduduk lokal untuk membabat habis hutan agar ditanami kopi. Tujuannya cuma satu, agar kuantitas produksi kopi di Priangan meningkat.

Dari sini, angka kemiskinan penduduk lokal kian meningkat. Mereka diperas, tak mendapat upah layak, dan kampung halaman rusak parah akibat pembabatan hutan.

sorot kopi jawa barat - Biji kopi yang siap di giling

Biji kopi asal Jawa Barat dengan tekstur dan aroma yang khas. (VIVA/Purna Karyanto)

Pada periode 1826 hingga 1865, kondisi alam di tanah Jawa begitu memprihatinkan. Sebab, banyak hutan yang mulai terancam gundul karena adanya perintah pembabatan demi memenuhi kuantitas produksi kopi. Di sisi lain, makelar kopi Belanda malah hidup enak di kota. Mereka sama sekali tak peduli dengan kondisi ekonomi petani dan kelangsungan hidupnya. Tak ayal, pemberontakan petani terhadap pemerintah kerap terjadi (Eduard Douwes Dekker: Max Haavelar and the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company).

Bencana terjadi pada 1878. Hama karat daun menyerang kopi-kopi yang ditanam di kawasan Hindia Belanda. Hampir seluruh perkebunan kopi di dataran rendah musnah. Hama ini menyerang kopi Arabika yang ditanam di dataran rendah. Sebagai gantinya, Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kopi berjenis Liberika. Beberapa tahun, kopi ini mampu menggantikan Arabika yang musnah karena hama karat daun. Lalu, di awal abad 20, kopi berjenis Robusta didatangkan pemerintah Hindia Belanda dan berhasil dibudidayakan.

Pada dasarnya, bukan bencana hama karat daun, alasan utama turunnya pamor kopi Jawa Barat atau dikenal sebagai Java Preanger yang klasik. Melainkan, kebijakan pertanian usai kemerdekaan Indonesia di kawasan Jawa Barat dan Pulau Jawa pada umumnya yang tak konsisten. Petani banyak yang meninggalkan budidaya tanaman kopi. Mereka lebih memilih tanaman palawija yang menghasilkan uang secara rutin karena kebijakan saat itu. (mus)

Baca Juga

Sejarah dan Ragam Kopi di Jawa Barat

Mengembalikan Pamor Kopi Klasik

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya