- ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
VIVA – Anang Hermansyah menghela nafas. Ia mengaku lelah dan kurang tidur. Hidupnya penuh aneka rasa setelah RUU Permusikan yang kelahirannya ikut ia bidani bikin gonjang ganjing. Nano Nano, istilah Anang. Ia mengibaratkannya seperti rasa permen Nano Nano, ada manis, asin, asam dan pahit. Tapi dengan yakin Anang mengatakan bisa menerima semua rasa itu.
Polemik RUU Permusikan memang sedang seru. Nama Anang Hermansyah, yang juga anggota Komisi X DPR RI paling terseret. Sebagai musisi, sebelum ikut berpolitik, ia dianggap tidak sensitif. Tidak berpihak pada kreativitas bermusik negeri ini. Bahkan RUU yang digagas legislatif itu malah dianggap berpotensi membelenggu kreativitas musisi. Anang menghadapi rekan-rekannya sendiri yang keberatan dengan pasal-pasal yang terdapat di dalam RUU tersebut. Tekanan dan gelombang penolakan terus menguat.
Ratusan musisi yang menolak RUU tersebut lalu bergabung, membentuk Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Mereka berbagi tugas, agar draft tersebut tertolak dan dibatalkan sebagai UU. Untuk menguatkan aksinya mereka membuat petisi, juga website www.tolakruupermusikan.com dan mengampanyekan penolakan dengan masif.
Salah seorang inisiator adalah Kartika Jahja, vokalis group musik Tika and The Dessident. Tika, demikian perempuan ini biasa disapa mengatakan, koalisi terbentuk karena spontanitas mereka yang merespons cepat. Sadar pasal-pasal yang terdapat didalamnya berpotensi mengancam kreativitas musisi, maka mereka bergerak cepat. Koalisi ini membuat pernyataan sikap yang disebar secara intens, mulai menginventarisasi dan membahas draft dalam RUU yang dianggap bermasalah. Sementara sebagian lainnya mengurus komunikasi publik.
Awalnya, ujar Tika, mereka sangat kesal dengan pasal 5 yang dianggap sebagai pasal karet. Tapi setelah dicermati, ternyata banyak juga pasal-pasal lain yang tidak jelas asal usul kajian akademisnya. "Ada pasal yang redundant, yang tidak perlu diatur itu dimasukkan, pasal-pasal yang sangat industry oriented," katanya.
Pasal-pasal itu, dianggap tidak mewakili musisi-musisi tradisional, independen, atau kalangan yang membawakan musik sebagai bagian dari ritual, dan sebagainya. Pencetus awal musisi bersatu, dia menambahkan, memang pasal 5. "Tetapi kemudian setelah bersatu kita menilai ada masalah-masalah lain yang lebih dalam yang kita anggap bermasalah," ujar Tika.
Musisi Endah n Rhesa tampil pada Jakarta International BNI Java Jazz on The Move (JJOTM) di Kuningan, Jakarta. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Kegelisahan yang sama juga dirasakan Endah. Musisi yang beken lewat Endah n Resha itu mengatakan, banyak pasal-pasal yang tidak sesuai dengan semangat awal yang bisa menyejahterakan musisi atau mendukung kreativitas musisi. Pasal-pasal tersebut justru malah bisa mematikan. "Bahkan banyak yang harus dihapus," kata dia.
Yang paling menyedihkan baginya, naskah akademik yang mendasari kelahiran RUU itu. Di mana tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan. "Terjadi kecacatan sejak di naskah akademik," ujarnya.
Perjalanan Kilat
RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018 yang saat ini beredar di publik merupakan inisiatif anggota dewan yang berasal dari BKD dan diusulkan secara resmi oleh Baleg. Usulan tersebut disampaikan sebagai inisiatif DPR dalam sidang paripurna pada 2 Oktober 2018. Dan pada Sidang Paripurna tanggal 31 Oktober 2018, RUU Permusikan resmi masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas tahun 2019.
Menanggapi pergolakan yang muncul di publik, Anang akhirnya membeberkan bagaimana proses kelahiran RUU itu. Kronologi ini perlu ia sampaikan agar publik mengetahui secara detail proses perjalanan sebuah RUU. Suami Ashanti itu lalu berkisah, ide RUU Permusikan muncul sejak awal ia menjadi anggota DPR RI tahun 2015. Jadi sudah empat tahun yang lalu.
Enam bulan pertama duduk di Senayan, Anang dan sejumlah anggota dewan yang tergabung dalam politisi lintas fraksi menggagas Kaukus Parlemen Anti Pembajakan.
"Saat itu kita keliling ke berbagai pihak. Mulai presiden, Kapolri, jaksa agung termasuk on the spot ke Glodok terkait pemberantasan pembajakan di ranah musik," ujar Anang kepada VIVA.
Saat itu, patroli pemberantasan pembajakan yang kerap dilakukan aparat Kepolisian dianggap tidak efektif. Maka, keberadaan regulasi untuk menjaga eksistensi musik dan musisi di Indonesia dianggap sudah urgent.
Politisi lintas fraksi ini kemudian menerima banyak masukan tentang kebutuhan regulasi berupa RUU Tata Kelola Musik, namun pada akhirnya nomenklatur yang dipilih adalah RUU Permusikan. Pada 7 Juni 2017, komunitas musisi dan stakeholder yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia datang ke Badan Legislasi DPR mengusulkan keberadaan regulasi di bidang musik. Saat itu, 10 fraksi di DPR bulat mendukung keberadaan RUU Permusikan.
"Tidak hanya mendukung, DPR berkomitmen sebagai pihak yang menginisiasi RUU Permusikan. Momentum itu membuktikan, musik menyatukan sekat-sekat perbedaan politik," ujar Anang.
Setahun berikutnya, perjalanan RUU Permusikan mengalami kemajuan. Sempat terjadi diskusi, apakah RUU Permusikan akan dimunculkan dari Komisi X atau dari Baleg. Tapi aturan dalam UU No 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) Pasal 105 ayat (1) huruf d, ternyata memberikan kewenangan kepada Baleg untuk mengusulkan sebuah RUU. Sebelumnya, kewenangan mengajukan RUU hanya dimiliki komisi, anggota DPR dan DPD RI.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Rieke Diah Pitaloka (kedua kanan) didampingi Anggota Baleg Anang Hermansyah (tengah), Musisi yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia Glenn Fredly (kedua kiri), Franki Raden (kiri) dan Agus S (kanan) foto bersama sebelum melakukan pertemuan di Badan Legislasi di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 7 Juni 2017. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Akhirnya RUU Permusikan diusulkan Baleg melalui Badan Keahlian Dewan yang terdiri dari para ahli dan birokrat DPR. BKD meminta pendapat dari berbagai stakeholder terkait materi yang terkandung dalam RUU tersebut. Meski tentu tidak semua pihak diminta pendapat dan masukan. Maklum saja, ujar Anang, itu baru draft, baru rancangan.
"Jika dicermati, perjalanan RUU Permusikan ini tergolong cepat. Saya melihat kuncinya terletak pada kesamaan ide antara stakeholder musisi bersama DPR. Teorinya, ini tidak mudah, karena DPR merupakan lembaga politik, tapi kenyatannya semua dimudahkan," ujarnya.
Ketua Komisi X Djoko Udjianto kepada VIVA, Jumat pagi 8 Februari 2019, membenarkan penjelasan Anang. Ia mengatakan, ada tiga cara pengajuan UU, yaitu atas inisiatif anggota, inisiatif dewan, dan inisiatif pemerintah. Untuk mengajukan UU, kata dia, harus ada naskah akademis, dan RUU mengenai UU yang akan diusung. Kemudian diparipurnakan. Setelah paripurna, disetujui oleh semua fraksi dan pemerintah, baru Ketua DPR memerintahkan untuk menyelesaikan, untuk UU Permusikan dibahas di Komisi X.
Djoko mengatakan, keramaian yang terjadi di masyarakat saat ini terlalu dini. Sebab, Komisi X belum pernah membahas soal RUU Permusikan, karena belum ada perintah dari pimpinan dewan. Djoko menjelaskan, karena RUU ini sudah masuk dalam prioritas Prolegnas 2019, ia berjanji akan mengundang seluruh pakar permusikan, pakar senin, pakar budaya yang berbisnis di bidang musik untuk ikut terlibat membahasnya.
Sang Inisiator
Dalam hal lahirnya RUU Permusikan ini, Wakil Ketua Komisi X Abdul Fikri Faqih mengungkap Anang Hermansyah adalah salah satu inisiator. Diskusi-diskusi memang pernah ada, tapi tidak detail. Anang sebagai musisi, produser, sekaligus anggota dewan, menurut dia, memiliki niat baik. Harapannya RUU itu bisa mengadvokasi para pemusik dan menjembatani dengan produser dari penjiplakan dan lain-lain yang merugikan mereka.
"Maka dimunculkan RUU ini. Hanya memang mengajukan RUU ini perlu proses panjang sesuai UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan dan UU MD3, ini yang harus disadari semua pihak," ujarnya.
Dalam wawancara dengan Anji yang kemudian diunggah ke YouTube, tanggal 3 Februari 2019, Anang tidak membantah sebagai penggagas RUU tersebut, tapi Anang menampik terlibat dalam perumusan.
"Saya adalah salah satu sumber yang dimintai pendapat oleh Badan Keahlian Dewan yang khusus menyusun dan membuat rancangan ini. Masih ada sumber lain selain saya. Mereka juga bicara dengan Ikatan Seni Indonesia, dengan Mas Bagong Kusudiardjo, juga sumber-sumber lainnya," ujarnya.
Anang lalu merujuk Konferensi Musik Indonesia yang diadakan pada tanggal 9 Maret 2019 di Ambon. Konferensi itu merumuskan 12 poin, yang akhirnya diteruskan dalam bentuk draft RUU Permusikan.
Musisi yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia Glenn Fredly menghadiri pertemuan dengan Badan Legislasi DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 7 Juni 2017. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Salah satu musisi yang disebut sejak awal terlibat adalah Glenn Fredly. Melalui sebuah diskusi, Glenn berkisah bagaimana kiprahnya dalam perjalanan RUU yang kini menjadi kontroversial itu. Glen mengaku baru terlibat pada 2017, bukan sejak 2015. Glenn bercerita, tahun 2015 pertama kalinya rapat pendapat umum di DPR melibatkan organisasi musik yang ada yaitu Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia atau PAPPRI, LMKR, LMK, dan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia atau ASIRI.
Kedatangan mereka ke Komisi X untuk menyampaikan tentang problem permasalahan industri musik. Di situlah ada wacana menggulirkan produk UU untuk musik pada 2015. Tapi saat itu, ia tak terlibat sama sekali.
Tahun 2017, ketika terjadi pergantian pengurus di PAPPRI, Glenn mengaku dilobi untuk bergabung. Ia bersedia karena pernah bermasalah dengan sebuah mayor label mengenai kontrak dan karya-karyanya yang dipublikasikan mayor tersebut. Glenn ingin memperjuangkan nasibnya, juga nasib musisi lain.
Dan, PAPPRI merupakan salah satu organisasi yang mendirikan Yayasan Karya Cipta Indonesia yang juga Yayasan Anugerah Musik Indonesia, di mana di dalamnya juga ada orang-orang yang terlibat dalam asosiasi industri rekaman republik indonesia. "Itu yang jadi alasan saya personal bergabung," ujarnya memberikan alasan.
Di tahun yang sama Glenn juga berkesempatan bertemu dengan Anang, yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Saat itu Anang meminta Glenn membantu sosialisasi rencana pembuatan RUU tersebut. Saat itu, ujar Glenn, ia memastikan ke Anang bahwa UU itu harus jadi milik semua. Karena dalam 50 tahun perjalanan musik Indonesia, problem terbesar adalah pengelolaan, perlindungan dan pembajakan.
Pada Juni 2017, Glenn menghimpun teman-teman musisinya untuk Dengar Pendapat Umum. Ada 100 lebih musisi yang hadir, dan semua fraksi partai. Saat itu mereka membuat gerakan Kami Musik Indonesia. Karena akan memberi masukan untuk legislatif, ia mempersilakan semua teman-temannya yang hadir untuk menyampaikan aspirasi. Terakhir ada naskah akademik yang dibuat Profesor Agus, sebagai masukan. "Artinya ini usulan. Naskah akademik sementara itu namanya Undang-undang Tata Kelola Industri Musik," tutur Glenn.
Musisi Glenn Fredly (kiri) dan Anang Hermansyah (kanan) yang juga anggota Komisi X DPR melakukan pertemuan dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 4 Maret 2018. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Penyanyi lagu "Kasih Putih" ini akhirnya bergabung dengan PAPRI sebagai ketua Bidang Program. Ia lalu mengusulkan pembentukan sebuah forum untuk terus mengawal proses pembentukan RUU tersebut. Keinginan Glenn menjadikan Ambon sebagai kota musik dunia membuatnya mengusulkan ada Konferensi Musik Indonesia di Ambon. Saat pelaksanaan konferensi musik itulah agenda RUU Permusikan juga dibahas.
Konferensi yang didukung penuh oleh Koalisi Seni Indonesia itu menekankan tiga hal tentang musik, yaitu musik sebagai ketahanan kebudayaan, musik sebagai kekuatan ekonomi baru ke depan dan musik dalam konteks pendidikan. "Pada konferensi itulah kami menyepakati 12 poin tentang musik Indonesia," tutur Glenn. Poin-poin itu kemudian diserahkan ke presiden dan DPR.
Glenn menjelaskan, setelah 12 poin itu diserahkan, ia tak lagi banyak terlibat dalam penyusunan draft RUU. Tapi ia terus mengingatkan Anang agar sosialisasi tentang rencana membuat UU soal musik dijalankan agar semua bisa ikut mengawal draft tersebut. Glenn mengaku sama sekali tak tahu bahwa 12 poin yang mereka sampaikan akan menjadi draft RUU Permusikan.
"Kalau mereka mengambil 12 poin itu mungkin karena mereka meng-absorb atau shortcut buat mereka membuat naskah akademik karena sebelumnya gue bilang perlu disosialisasikan. Tanpa gue tahu kelanjutannya hingga menjadi draft yang sekarang," ujar Glenn.
Ia mengaku setelah itu hanya sekali diundang untuk kembali dengar pendapat. Forum itu ia manfaatkan untuk kembali menceritakan dan mengingatkan apa saja masalah yang kerap dihadapi musisi. Setelah itu Glenn tak terlibat lagi.
Tahun 2018, Glenn terkejut ketika menerima draft tersebut dari PAPPRI. Sebab, draft itu sudah jauh dari yang ia tahu. Pengurus PAPPRI, termasuk Glenn dan Once, akhirnya bertemu kembali dengan Anang untuk membahas pasal-pasal kontroversial di dalam RUU. Sebab, menurut mereka, draft RUU itu bukan lagi mengatur tata kelola industri musik, tapi mengatur kebebasan berekspresi. Tahun 2019, draft itu dibagikan kepada musisi lain. Maka, terjadilah keramaian ini.
Pasal Bermasalah
Ada sejumlah pasal yang menjadi sumber kegelisahan para musisi. Koalisi Nasional Penolak RUU Permusikan menyebut, sebanyak 19 pasal janggal dan enam di antaranya harus dihapus. Pasal-pasal ini dianggap sebagai pasal karet, yang bukan melindungi tapi malah berpotensi mengekang kebebasan berekspresi dan mengebiri hak-hak musisi.
Pasal yang dianggap bermasalah antara lain pasal 5, 18,19, 32,42, dan 50. Sedangkan pasal yang dituntut agar dihapus adalah pasal 5, 10, 12, 13, 15, dan 20. Demikian bunyi pasal yang dituntut untuk dihapus.
Pasal 5 :
Dalam melakukan proses kreasi, setiap orang dilarang ; a. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; b. memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; c. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; d. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; e. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; f. membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau g. merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pasal 10 :
(1) Pemerintah Pusat dan Daerah sesuai dengan kewenangannya memfasilitasi sarana dan prasarana untuk masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi di bidang musik. (2) Dalam memfasilitasi sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1), Pemerintah Pusat dan Daerah dapat melibatkan pelaku usaha. (3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1) dapat memanfaatkan fasilitas dan/atau ruang yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan tempat lainnya sesuai kebutuhan dan tanpa mengubah fungsi utamanya.
Pasal 12 :
(1) Pelaku usaha yang melakukan distribusi wajib memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Selain memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1), pelaku usaha yang melakukan distribusi wajib memperhatikan etika ekonomi dan bisnis.
Pasal 13 :
Pelaku usaha yang melakukan distribusi wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada kemasan produk musik yang didistribusikan ke masyarakat.
Pasal 15 :
Masyarakat dapat memanfaatkan produk Musik atau karya musik dalam bentuk fisik, digital, atau pertunjukan.
Pasal 20 :
(1) Penyelenggaraan musik harus didukung oleh pelaku musik yang memiliki kompetensi di bidang musik. (2) Dukungan pelaku musik sebagaimana dimaksud pada ayat pertama (1) bertujuan mewujudkan sumber daya manusia yang profesional dan kompeten di bidang musik.
Pengamat musik Bens Leo sepakat dengan pasal 5 yang menjadi sumber awal keributan. Sebab, pasal 5 juga berkaitan dengan pasal 50 soal sanksi. "Nah, yang celaka itu pasal 5 itu memiliki kaitannya dengan pasal 50 (sanksi hukum) nya. Itu jauh sekali itu. Dari cara menyusunnya juga sudah tidak cermat, sudah keliru," ujar Bens.
Pengamat musik, Bens Leo saat ditemui VIVA di Jakarta (VIVA/Nuvola Gloria)
Bens juga menyebut terlalu banyak kata-kata yang mewajibkan 'aturan' dalam RUU tersebut. "Jadi band pendamping diwajibkan, sertifikasi diwajibkan, kalau tidak salah ada sekitar enam kata wajib di dalam RUU itu. Kata wajib itu ini yang menggelisahkan semua orang, jadi saya kira bukan hanya teman-teman indie saja, tapi semua musisi saya kira menganggap kata wajib ini sesuatu yang meresahkan semua pihak," ujar Bens menjelaskan.
Arian Arifin, vokalis kelompok musik Seringai memahami RUU Permusikan dibuat untuk memfasilitasi musisi, tapi ia menuntut pemerintah ambil peran dalam hal memberikan dukungan pada musisi. Bukan menghasilkan UU yang tidak jelas. "Seharusnya RUUP ini dibuat untuk memfasilitasi musisi kan?" kata dia.
Misalnya, masalah sertifikasi. Jika ingin mengangkat musisi tradisional Indonesia agar bisa berangkat ke luar negeri, pemerintah yang harus mensupport. Semisal, si musisi harus bisa baca not balok, pemerintah-lah yang harus membuat pendidikan agar dia bisa membaca not balok. Ia menyesalkan karena ketika bicara sertifikasi dalam RUU tersebut, justru hal yang menonjol adalah ketidakjelasan.
Arifin membandingkan dengan Singapura. Pemerintah Singapura, ujarnya, bekerja sama dengan promotor lokal. Mereka membuat stadion musik yang bagus, mengundang grup musik dari luar, tapi mereka bilang sama EO-nya, mereka buat kontrak kerja sama grup musik itu untuk main hanya di Singapura dengan waktu tertentu.
"Nah musisi-musisi dari Filipina, Indonesia, Singapura sendiri berdatangan menonton pertunjukan yang dikontrak itu, jadi pemerintahnya juga dapat pemasukan devisa dari pertunjukan itu, dan teman-teman musisi juga bisa belajar dari grup musik itu. Jadi tidak ada itu istilah mendatangkan musisi dari luar itu merugikan negara," ia menambahkan.
Sebab jika musisi luar datang, musisi lokal itu dapat referensi baru. Mereka bisa melihat permainannya, lighting dan sound sistem yang bagus. "Dan itu kan enggak bisa dijelaskan dalam undang-undang yang seperti itu. Jadi di musik itu, tidak bisa elu dapat sertifikat terus elu bisa go international, enggak begitu," katanya.
Bisa Direvisi
Menyoal perdebatan itu, Anang Hermansyah mengaku bisa memahami kegelisahan teman-temannya terkait dengan pasal 5 RUU Permusikan. Dan itu bisa didiskusikan dengan kepala dingin. Hanya saja, ujar Anang, dalam pembuatan sebuah UU yang baik, harus berlandaskan pada tiga landasan yakni landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Isu kebebasan berekspresi yang disandingkan dengan norma di pasal 5, kata Anang, harus dikembalikan pada ketentuan tentang HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945.
"Isu kebebasan berekspresi dan berpendapat, pada akhirnya dihadapkan pada Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 bahwa kebebasan itu dibatasi dengan UU yang mempertimbangkan nilai moral, agama, keamanan dan ketertiban umum dalam bingkai negara demokrasi," ujarnya menjabarkan.
Musisi sekaligus anggota DPR Anang Hemansyah didampingi penyanyi Glenn Fredly (kiri) menghadiri diskusi terkait RUU Permusikan di Jakarta, Senin, 4 Februari 2019. (ANTARA FOTO/Dede Rizky Permana)
Kendati demikian, Anang juga mengatakan memiliki catatan terkait pasal 5 RUU Permusikan, khususnya di huruf f yang isinya "membawa pengaruh negatif budaya asing". Dalam penilaiannya, ketentuan ini yang justru berpotensi menjadi pasal karet karena tidak jelas ukuran yang dimaksud.
Adapun terkait dengan persoalan uji kompetensi dan sertifikasi, ia menyebutkan isu tersebut dimunculkan semata-mata untuk menjadikan profesi ini mendapat penghargaan dan perlindungan oleh negara. Persoalan sertifikasi telah menjadi kebutuhan merujuk keberadaan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan hasil ratifikasi dari Regional Model Competency Standard (RMCS) dari International Labour Organization, Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB.
"Memang tampak absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Namun globalisasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti ini. Tapi semua harus kita diskusikan lebih detail kembali," ujarnya.
Anang memastikan, RUU itu masih bisa direvisi. Ia mengundang seluruh rekan senimannya memberikan masukan sebagai bahasan di DPR. Jangankan masalah pasal-pasal, bahkan soal bab dan konstruksinya juga masih bisa diubah. "Apa pun yang dibahas masih bisa direvisi. Silakan memberikan aspirasi yang betul. Mekanismenya adalah menyampaikan aspirasi, apa yang diinginkan. Jangan hanya sekadar menolak," ujarnya.
Kemungkinan terjadi revisi juga diaminkan Abdul Fikri Faqih. Menurut dia, kalau sudah masuk ke Komisi X tidak ada yang tidak bisa dikomunikasikan. Karena DPR itu elemen bangsa yang lengkap, tidak seragam, dan di situ anggota dewan siap legowo. Mereka tidak bisa hanya mengikuti keinginan seseorang saja. Semua elemen harus didengar, termasuk harus ada uji publik dengan pelaku yang tidak ikut membahas, apalagi sekadar beda genre.
"Tentu tidak menjadi alasan untuk berseteru. Karena belum jadi draft resmi, tentu ajukan saja perubahannya. Bahkan bila sudah jadi draft dan sedang dibahas di DPR pun bisa," ujarnya memastikan.
Musisi Endah n Rhesa saat tampil pada pembukaan Ngayogjazz 2017 di Kledokan, Selomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
Musisi Endah n Resha mengusulkan agar RUU tersebut didrop dulu, kemudian dikembalikan lagi agar sesuai dengan ekosistem musik yang ada. "Banyak masalah yang harus dipecahkan dan didiskusikan, daripada revisi menghamburkan uang negara, menghabiskan waktu dan tidak efisien, jadi lebih baik didrop saja," ujarnya.
Keinginan Endah didukung Bens Leo. Menurut Bens, sudah benar usulan para musisi, agar RUU tersebut didrop dulu. "Tapi setelah itu mereka bisa duduk bareng dan merumuskan kembali, apa yang menjadi kegelisahan dan aspirasinya," ujar Bens.
Penolakan terhadap RUU ini masih terus bergulir. Layaknya musisi, mereka mengekspresikan penolakan melalui berbagai aksi. Pasal-pasal kontroversi yang digaungkan terus menerus itu semoga tak membuat mereka lupa dengan tujuan awal, mengapa Anang berinisiasi membuat UU tersebut. Sebab, ujar Anang, awalnya ia mengajukan sebuah regulasi yang melindungi, yang jika diwujudkan dalam bentuk UU akan terus mengikat siapa pun pemerintahnya.
Penjelasan Anang memang masuk akal, tetapi musisi adalah seniman, yang hasil karya ciptanya sangat tergantung pada kemampuan mengeksplorasi dan mengolah rasa, dan mengembangkan kreativitas. Jika kebebasan itu dipasung dan terbelenggu dengan sejumlah aturan, bahkan mengebiri potensi, sulit rasanya berharap proses kreatif tercipta dan maha karya seni mampu mereka wujudkan. (umi)
Baca Juga
Jejak Represi pada Musisi di Indonesia