SOROT 535

Menang Pemilu dengan Banjir Hoax

Presiden Brasil, Jair M Bolsonaro
Sumber :
  • Twitter.com/@jairbolsonaro

VIVA – Hanya beberapa jam setelah Jair Bolsonaro memenangkan pemilihan presiden di Brazil, Carolina Zannata dan pasangannya segera mengontak notaris publik terdekat. Keduanya langsung mengatur tanggal untuk pernikahan mereka. 

Marak Hoax, Siswa Dituntut Punya Keterampilan Kritis Hadapi Perkembangan Teknologi

Carolina Zannata dan Aline Foguel adalah pasangan sesama jenis di Brazil. Pernikahan sejenis di Brazil dilegalkan sejak tahun 2013, di masa pemerintahan Dilma Roussef. Zannata mengatakan, sebenarnya ia dan Aline Foguel pasangannya tak ingin terburu-buru menikah.

Tapi kemenangan Bolsonaro, seorang politisi sayap kanan yang terkenal konservatif,  membuat mereka khawatir dan segera mengubah rencana mereka. Sebab, ujar Zannata, Bolsonaro pernah mendeklarasikan, "Dengan bangga saya sampaikan, saya adalah seorang homophobia."

Gempar Pesan Berantai FIFA Putuskan Bahrain Kalah WO dari Timnas Indonesia, Benarkah?

"Kami sangat ketakutan," ujar Zannata. "Kami harus cepat mengambil kesempatan atas hak yang pernah begitu keras kita perjuangkan, karena bisa jadi setelah ini kita tak akan memilikinya lagi," ujarnya menambahkan. 

Bagi komunitas LGBT di Brazil, ketakutan terbesar mereka saat ini adalah karena retorika berapi-api yang ditampilkan Bolsonaro telah memicu era baru intoleransi dan intimidasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan pada mereka. 

Pemerintah Latih Ratusan Ribu Orang Jadi 'Ninja Digital'

"Orang-orang sekarang memiliki wacana homofobia secara terbuka, padahal sebelum ini mereka akan malu menyampaikannya," kata Foguel. "Saya sangat takut mengenang masa lalu yang saya kira sudah kita sudah taklukkan. Dan sekarang saya mengalami rasa panik," ujarnya seperti disampaikannya pada The New York Times, November 2018.

Awalnya, Zannata, Foguel dan kelompok LGBT lainnya tak menyadari bahwa homophobia yang disampaikan Bolsonaro akan membahayakan mereka. Tapi sebuah video rekaman pidato Bolsonaro yang dengan berapi-api mengatakan akan membunuh kelompok LGBT menyadarkan mereka. Bolsonaro sedang menghidupkan kebencian. 

Jair Bolsonaro, seorang politisi dari Rio de Jenairo, calon presiden yang dijagokan oleh Partai Liberal Sosial berhasil memenangkan pemilu. Ia menyisihkan wakil Partai Buruh, Fernando Haddad dan Manuel d’Avila. Selama 26 tahun menjadi politisi, ia teguh pada jalur konservatif. Ia menentang legalisasi pernikahan sesama jenis, ia seorang yang anti aborsi, sangat membenci gay, dan  menolak reformasi agraria.

Presiden Brasil, Jair M Bolsonaro

Presiden Brasil, Jair M Bolsonaro. (Twitter.com/jairbolsonaro)

Bolsonaro juga terkenal sebagai Donald Trump-nya Brazil. Sebab, seperti Trump, ia juga sering melontarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial. 

Bolsonaro bersumpah untuk menghapus pemikiran Marxis dari pemerintah dan dari sekolah-sekolah Brasil.  "Masyarakat mengatakan 'cukup' untuk ide-ide sosialis dan komunis yang dalam 30 tahun terakhir, membawa kita ke kekacauan hidup hari ini," kata Lorenzoni, seorang tim ahli Bolsonaro kepada wartawan. Kegagalan pemerintahan sosialis yang berkuasa sebelumnya, juga membuat Bolsonaro leluasa mengencangkan isu anti-komunis.

Jair konsisten dengan sikapnya. Ia memanfaatkan kekacauan pemerintahan sebelumnya dengan mengemas berbagai isu. Ia juga menebar hoax. Misalnya dengan menuduh pemerintahan sebelumnya telah mendistribusikan 'perlengkapan gay' di sekolah-sekolah. Padahal apa yang ia sebut perlengkapan gay adalah materi untuk pendidikan seksual di sekolah. Namun Jair mengatakan pendidikan itu telah menyimpang.

Isu korupsi politik yang menderas di Brazil, juga kriminalitas yang menguat di masa pemerintahan sebelumnya berhasil ia olah sebagai bahan kampanye. Di setiap momen, ia selalu menyebut dirinya sebagai kandidat yang akan memulihkan penegakkan hukum dan ketertiban. Timnya menggunakan media sosial dengan jitu. 

Mantan militer yang meski jelas-jelas tampil sebagai seorang yang diktator, intoleran, dan represif itu justru akhirnya menguasai Brazil.

Hoax dan Media Sosial Kunci Kemenangan Bolsonaro?

Kemenangan Bolsonaro, yang berhasil meraup suara pemilih hingga 55,2 persen, sama mengagetkannya dengan kemenangan Donald Trump di Amerika Serikat. Arah angin jelang Pilpres di AS sudah mengarah ke Hillary Clinton. Tapi faktanya, Trump yang menguasai kemenangan. Begitu pula di Brazil. 

Arah kemenangan di Brazil sebelumnya sudah tertuju ke Fernando Haddad, apalagi ia mendapat dukungan penuh dari Luiz Inácio Lula da Silva, mantan Presiden Brazil yang meski sudah di penjara karena kasus korupsi namun masih menjadi idola masyarakat Brazil. Tapi fakta bicara beda, Bolsonaro kini siap menggoyang negeri Samba.

Benjamin Junge, seorang profesor antropologi di Universitas Negeri New York di New Paltz menjabarkan, apa saja yang menjadi kunci kemenangan Bolsonaro.  Melalui wawancaranya dengan Vox, Junge yang juga penerima beasiswa Fulbright di Universitas Federal Pernambuco Brazil dan mempelajari keluarga kelas pekerja dan kelas menengah di Brazil menunjuk Whatsapp juga punya peran penting dalam kemenangan itu. 

WhatsApp sangat populer di Brasil, di mana media sosial itu berhasil menggantikan layanan komunikasi lainnya. Fitur obrolan grupnya banyak digunakan untuk pengorganisasian dan diskusi politik. Sifat aplikasi WhatsApp yang terenkripsi dan terdesentralisi membuat pantauan penyimpangan menjadi sulit. 

Propaganda melalui Whatsapp dilaporkan menjadi kekuatan dominan di akhir musim kampanye. Bulan ini, sebuah skandal pecah ketika koran Folha de São Paulo menuduh bahwa para pendukung bisnis top Bolsonaro secara ilegal membiayai kampanye spam melalui  WhatsApp.

Kepada Vox.com, Junge menceritakan pengalamannya bertemu dengan seorang ibu berusia 66 tahun. Ia intens berkomunikasi dengan ibu matriarkh tersebut. Di Whatsapp group keluarga, hanya anak pertama ibu ini yang mendukung Bolsonaro, sedangkan anak lainnya memilih Haddad, kandidat yang mendapat dukungan dari partai buruh.

Ia kerap memposting berita-berita tentang Bolsonaro. Postingan itu lalu ditanggapi negatif oleh cucunya yang baru menjadi mahasiswa tingkat pertama. 

Bagi ibu ini, ternyata bukan informasi yang menjadi keberatannya, tapi pertengkaran yang terjadi di dalam keluarganya di group WhatsApp itulah yang menjadi sumber kemarahan sang ibu. 

Presiden Brasil, Jair M Bolsonaro (kanan)

Presiden Brasil, Jair M Bolsonaro (kanan). (Twitter.com/jairbolsonaro)

Sebelum pemilihan, Junge kembali bertemu dengan ibu tersebut dan bertanya soal pemilihan presiden. Ibu itu hanya menunjukkan beberapa gambar perempuan berpakaian terbuka, gambar yang seolah adalah para pendukung Partai Buruh. "Saya tak ingin masyarakat seperti ini. Inilah yang akan terjadi jika Anda memilih Partai Buruh," ujarnya. 

Junge menyimpulkan, apa yang dialami ibu tersebut justru membuat si ibu lebih tertarik memilih Bolsonaro. Junge yakin, banyak tipe pemilih seperti ibu tersebut yang akhirnya memenangkan Bolsonaro.

David Nemer, asisten profesor di School of Information Science di University of Kentucky, Amerika Serikat, berhasil memetakan bagaimana warga Brazil pendukung Bolsonaro terpolarisasi. Dikutip dari The Guardian, 25 Oktober 2018, Nemer melakukan riset partisipatif dengan bergabung ke empat grup di WhatsApp yang pro-Bolsonaro. Selama empat bulan Nemer memantau setiap pesan yang masuk. Setiap hari ada sekitar 1.000 pesan yang masuk per grup. 

Ia lalu memilah pengguna WhatsApp menjadi tiga kategori, warga Brazil biasa, Bolsominions atau pendukung Bolsonaro, dan influencers. Warga Brazil biasa adalah anggota terbanyak yang berasal dari berbagai kelas sosial. Kelompok ini tak percaya pada media arus utama, dan mengklaim sebagai saksi perjalanan Bolsonaro.

Sedangkan Bolsominions adalah kelompok yang siap mengusir siapa saja yang anti-Bolsonaro, sedangkan influencer adalah mereka yang menciptakan konten hoax. Meski jumlahnya paling sedikit dalam tiga kategori tersebut, tapi pengaruhnya justru paling kuat. 

Mereka bekerja dengan cepat untuk melemahkan orang atau berita-berita yang mengkritik Bolsonaro. Misalnya, setelah pemimpin sayap kanan Prancis Marine Le Pen menggambarkan beberapa komentar Bolsonaro sebagai "sangat tidak menyenangkan", influencer dengan cepat menerbitkan sebuah meme yang menuduhnya sebagai seorang komunis. 

Beberapa berita palsu juga diciptakan. Misalnya, sekelompok "penggerak dan pelopor" menciptakan klaim selebaran palsu bahwa saingan Bolsonaro, Fernando Haddad, berencana menandatangani perintah eksekutif yang memungkinkan pria untuk berhubungan seks dengan anak berusia 12 tahun.

Hoax, Benarkah Metode Kampanye yang Efektif

Pakar Komunikasi Politik Universitas Bunda Mulia Silvanus Alvin memberi gambaran. Hoax atau informasi yang menyesatkan menurutnya dapat kategorikan sebagai bagian dari kampanye hitam. Dalam konteks pemilu, Alvin meyakini hoax yang beredar adalah sudah didesain. "Jadi memang hoax sudah dirancang sedemikian rupa," ujarnya kepada VIVA, Rabu, 9 Januari 2019. 

Menurutnya perkembangan teknologi memampukan tiap individu mengakses internet, sehingga siapa saja dapat mengunggah konten sesuka hati (user generated content). Kontrol informasi tidak lagi di tangan media atau jurnalis.

Berbeda dengan para jurnalis yang bertanggung jawab atas apa yang mereka tulis, individu yang non jurnalis ini bisa sesuka hati memproduksi hoax. Hal ini ditambah rasa percaya publik yang tergerus pada media mainstream karena kuatnya campur tangan pemilik media pada dapur pemberitaan. 

"Polarisasi di masyarakat juga makin tinggi.Masyarakat terbelah dalam kubu-kubu sesuai yang mereka percayai.  Hal ini merupakan conformation of bias atau mencari pembenaran atas bias politik masing-masing individu. Para individu yang literasi politiknya kurang baik, biasanya mencari media yang memberikan konfirmasi terhadap pilihan politiknya, tidak jarang media berisi hoax pun menjadi conformation of bias mereka," ujarnya. 

Hal lain yang membuat hoax menjadi marak justru karena adanya filter bubble atau gelembung penyaring di media sosial. Gelembung penyaring itu adalah sistem alogaritma yang membaca kemauan si pengguna media sosial.

Bila seorang individu membaca satu atau dua kali berita hoax, baik sengaja atau tidak disengaja, maka sistem alogaritma di media sosial membaca bahwa si individu itu menyukai berita hoax. Alhasil, akan ada rekomendasi dari media sosial untuk membaca berita hoax lainnya. 

Alvin juga menunjuk adanya culture shock di masyarakat, yang saat ini sedang berada dalam masa bulan madu dengan media sosial. Dampaknya, masyarakat menganggap semua informasi di media sosial adalah benar, karena belum terbiasa melakukan verifikasi data.

Ia mengkhawatirkan jika hoax terus diproduksi, maka bisa terjadi perumusan kembali mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, hoax merusak tatanan logis yang sudah ada dan membangunnya kembali berdasarkan logika ngawur yang penuh bias dari masing-masing individu, yang bisa menghasilkan gagal paham yang sulit untuk direhabilitasi. 

Hoax.

Unjuk rasa menolak hoaks di Tegal, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Pakar Neuro Science Prof.Roslan Yusni Hasan menuturkan, dalam sudut pandang Neuro Science mayoritas otak manusia, atau hampir semua otak manusia menerima hoax dengan cara yang sama. Makin mengancam sebuah hoax, semakin gampang diterima.

"Memberikan pengaruh kepada manusia itu memang lebih efektif dengan cara menakut-nakuti dari pada dengan memberikan harapan. Karena otaknya manusia memang begitu," ujarnya. 

Ia menjabarkan, manusia itu mempercayai apa yang ingin dia percayai. Manusia itu tidak perlu informasi, yang diperlukan adalah afirmasi atas keinginannya. Ini yang sekarang disebut sebagai afirmasi di era post-truth.

"Dari dulu manusia itu memang spesies Post-truth. Manusia ini tidak menginginkan afirmasi dari keyakinan-keyakinannya. Jadi informasi yang memberikan afirmasi terhadap keyakinan-keyakinan atau keinginannya, itu lah yang dipilih," katanya menambahkan.

Hoax, meski merusak ternyata sudah menunjukkan kemampuannya memberi pengaruh dalam proses pemilihan pemimpin negara. Dampak meluasnya pengguna media sosial yang tak berimbang dengan kemampuan melakukan verifikasi membuat hoax kerap diterima sebagai sebuah kebenaran.

Persoalannya bukanlah pada siapa yang akan memenangkan pertarungan politik dalam suatu negara. Tapi dampak jangka panjang dari pembiaran hoax yang memenangkan seorang calon itu yang bisa jadi belum terpikirkan. Padahal, tak hanya merusak otak, hoax juga berpotensi merusak tatanan negara dan sistem sosial di dalamnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya