- VIVA
VIVA – Raut muka bahagia terpancar, ketika tinta hitam selesai digoreskan di kertas putih. Kertas itu bukan kertas biasa. Namun, pertanda bahwa Indonesia menjadi pemilik dominan tambang emas terbesar di dunia, Grasberg, yang selama ini dikuasai PT Freeport Indonesia.
Pada hari itu, seluruh mata tertuju kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan dan bos Freeport-McMoRan, Richard Adkerson, yang sama-sama tersenyum, karena proses yang begitu alot akhirnya mulai melunak.
Tak sampai di situ, kedua orang yang selama ini menjadi perhatian dalam proses divestasi saham PT Freeport Indonesia, untuk kali pertama berpelukan hangat. Meski sebentar, senyum lebar bahagia tersirat di wajah keduanya.
Divestasi saham Freeport
Peristiwa itu terjadi pada Kamis lalu, 27 September 2018 di Ruang Sarulla, Kementerian ESDM Jakarta. Pada hari itu, menandakan kepastian operasi Freeport tetap berjalan, seiring dengan Indonesia menjadi pemegang saham dominan di tambang Bumi cenderawasih itu.
"Keyakinan saya adalah kami akan memiliki stabilitas yang lebih baik dan kami tidak akan memiliki kontroversi yang memisah-misahkan bisnis selama beberapa tahun," ujar Richard.
Dalam peristiwa bersejarah itu, sejumlah pejabat yang turut menjadi tim pemerintah dalam upaya pengembalian tambang Papua ke Tanah Air ikut hadir. Seperti, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Budi Gunawan Sadikin.
Keduanya, dari kejauhan juga turut merasakan kebahagiaan, di mana raut itu terlihat dari semringahnya Menteri BUMN, Rini Soemarno sembari bertepuk tangan. Sedangkan Budi Gunawan, terbahak-bahak tak kuasa memandang momen langka tersebut.
Tak hanya itu, momen kebahagian dan senyum tersipu muncul kembali, setelah proses yang tersisa, yaitu transaksi pembelian saham telah berhasil dilakukan dan dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara, pada Jumat 21 Desember 2018.
Saat itu, senyum muncul yang tampil adalah dari wajah Presiden Joko Widodo, ketika akhirnya bersalaman dengan Chief Executive Officer Freeport, McMoRan Richard Adkerson, yang menandakan Freeport kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Presiden Jokowi mengatakan, kini sah sudah Indonesia menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang terbesar dunia yang ada di Papua.
"Saya baru saja menerima laporan dari seluruh menteri yang terkait dari dirut PT Inalum dan dari CRO dan dari dirut PT Freeport. Disampaikan bahwa saham PT Freeport 51,2 persen, sudah beralih ke PT Inalum dan sudah lunas dibayar," jelas Presiden di Istana Negara.
Menurutnya, momen ini menjadi sejarah bagi Indonesia. Sebab, selama ini hanya mendapatkan sembilan persen saja dari seluruh aspek bisnis Freeport. Kini, hal itu berbeda karena sudah menjadi mayoritas dikuasai negara sejak 1973.
Dengan kepemilikan mayoritas ini, jpemasukan pemerintah dari sektor pajak maupun non pajak, akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Bahkan, terkait laporan lingkungan dan smelter telah terselesaikan dan disepakati. "Artinya, semuanya sudah komplit dan tinggal bekerja saja," lanjut Jokowi.
Presiden Jokowi bersalaman dengan CEO Freeport Mc Mooran Richard Adkerson
Ia menambahkan, dengan kepemilikan mayoritas ini, pemerintah daerah juga akan mendapat porsi yang besar, di mana akan mendapatkan 10 persen dari saham yang ada dan Papua akan dapatkan pajak daerahnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Inalum, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, pihaknya akan melunasi pembayaran tersebut, setelah seluruh administrasi selesai. Ditargetkan pembayaran akan full dibayar sebesar US$3,85 miliar atau setara dengan Rp56 triliun pascaproses administrasi.
"Yang paling lama, kalau lihat dari jadwal, bukan uangnya tapi ada dokumen, izin atau syarat administrasi," katanya.
Budi menjelaskan, Freeport adalah perusahaan global yang beroperasi di puluhan negara. Sehingga, ada beberapa negara, tentu yang memberikan persyaratan kepada Freeport, jika sudah tak lagi dikuasai Freeport McMoRan.
"Ada beberapa negara yang berikan persyaratan, jadi kalau perusahaan besar ini mau lakukan transaksi, harus izin," tuturnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan rumitnya proses divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Menurut dia, proses itu hanya tersisa pada tahap lanjutan yang harus diselesaikan oleh pihak pemerintah sendiri.
Tahap-tahap lanjutan tersebut, menurut Presiden, adalah penyelesaian isu lingkungan, masalah limbah, masalah tailing, dan perubahan kontrak karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Selain itu, Presiden juga meminta aspek-aspek seperti penentuan kepemilikan saham Pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika, jaminan fiskal, perpajakan, royalti, serta stabilitas investasi dapat diselesaikan sesegera mungkin oleh jajaran Kabinet Kerja.
Sempat Jadi Perdebatan
Sebelumnya, proses divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia ini sempat mendapat kritikan tajam dan perdebatan di masyarakat. Bahkan, salah satu upaya penandatanganan Head of Agreement (HoA) divestasi ini disalahartikan oleh sejumlah pihak, bahkan dibilang hoax atau kabar bohong.
Hal itu wajar saja, karena proses divestasi ini sangat berdekatan dengan proses demokrasi yang akan berlangsung pada April 2019 nanti. Bahkan, sejumlah pernyataan pemerintah yang mengatakan Freeport sudah kembali kepangkuan Ibu Pertiwi dinilai sebagai kabar bohong.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Djajad Wibowo contohnya, di mana dirinya sangat mengkritik keras bahwa proses HoA yang dilakukan adalah proses akhir dari kembali Freeport ke Tanah Air. Sebab, kesepakatan atau HoA justru menunjukkan negosiasi antara pemerintah dan Freeport belum selesai dan hanya kesepakatan awal terhadap harga pelepasan hak partisipasi Rio Tinto, plus saham FCX di FI.
Tak hanya itu, Drajat mengatakan, HoA juga belum menunjukkan secara jelas transaksi saham tersebut. Terlebih, pihak Freeport McMoRan (FCX) dan Rio Tinto menyebut ada isu-isu besar yang belum disepakati.
Isu besar itu antara lain, hak jangka panjang FCX di FI hingga 2041, butir-butir yang menjamin FCX tetap memegang kontrol operasional atas FI, meskipun tidak menjadi pemegang saham mayoritas, dan kesepakatan isu lingkungan hidup, termasuk limbah tailing.
PT Freeport Indonesia
Selain itu, tercapainya kesepakatan harga saat HoA, diduga bahwa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) FI habis pada 4 Juli 2018, dan melalui revisi SK Nomor 413K/30/MEM/2017, IUPK diperpanjang hingga 31 Juli 2018. Tak hanya itu, perdebatan terkait pengambilan saham PT Freeport Indonesia juga terjadi pada kesepakatan harga yang harus dibayar Inalum. Namun, Drajat yang juga politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu tidak bisa menjawab.
Dia hanya menyatakan, sejak lama Rio Tinto pasang harga di US$3,5 miliar. Sehingga, bisa dilihat perbandingannya dengan apa yang sudah dikerjakan sebelumnya, saat mengambil Inalum dari Jepang. Dimana, saat harga tawar dan pembelian akhirnya membuat Jepang takluk.
"NAA (Nippon Asahan Aluminium) ngotot dengan harga US$626 juta. Tetapi, pemerintah ngotot US$558 juta. Jadi, ada selisih US$68 juta. Jepang akhirnya takluk. Dan, sekarang memang sulit kalahkan koalisi Amerika Serikat, Inggris, dan Australia."
Sementara itu, dari pihak pemerintah menjelaskan bahwa HoA yang dilakukan pada Kamis 12 Juli 2018, adalah titik kunci dalam melanjutkan perundingan divestasi 51 saham PT Freeport Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dengan penandatanganan ini, maka telah dicapai proses kesepakatan awal divestasi saham PT Freeport Indonesia, di mana 51 persen akan dimiliki Pemerintah Indonesia dan sisanya dimiliki Freeport-McMoran Inc. Dia menjelaskan, Head of Agreement (HoA) ini memiliki empat poin yang secara resmi telah disepakati dan akan menjadi milestone pengembangan PT Freeport Indonesia (PTFI) ke depan. Empat poin itu adalah:
1. Divestasi saham sebesar 51 persen untuk kepemilikan Indonesia, sesuai Kontrak Karya dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
2. Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun.
3. Stabilitas penerimaan negara, sesuai Pasal 169 dalam UU Minerba, peralihan Kontrak Karya PTFI menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) akan memberikan penerimaan negara yang secara agregat lebih besar daripada penerimaan negara melalui Kontrak Karya.
4. Perpanjangan Operasi Produksi 2x10 tahun, sesuai ketentuan perundang-undangan, asalkan PTFI menyepakati empat poin di atas, maka masa operasi maksimal hingga tahun 2041.
Ani mengatakan, HoA juga menyepakati harga saham dan Inalum akan mengeluarkan dana US$3,85 miliar untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto dan menyelesaikan jual beli sebelum akhir 2018.
11 Bank Asing Ikut Bayar Freeport
Kemudian, terkait dengan dana yang harus dikeluarkan PT Inalum untuk membeli saham tersebut, pemerintah mengungkapkan akan memperoleh pinjaman dari delapan hingga 11 bank asing. Bank tersebut hingga saat ini, salah satunya sudah diketahui berasal dari Jepang, yang rencananya PT Inalum harus membayar kepada Freeport sebesar US$3,85 miliar atau setara dengan Rp55 triliun.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno mengatakan, Inalum memperoleh pinjaman dari sekitar delapan hingga 11 bank melalui kredit sindikasi. Adapun leader pemberi kredit-nya adalah The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ, Ltd.
"Bank Mitsubishi, itu leader-nya, nanti dia yang ngatur semuanya," kata Harry, saat ditemui di Wisma Antara, Jakarta, Rabu 1 Agustus 2018.
Harry menuturkan, sindikasi kredit yang diberikan dari 11 bank itu berkisar antara US$3,85 miliar hingga US$4 miliar tergantung kebutuhan Inalum. "(Mitsubishi) Bukan paling besar (beri pinjaman), tetapi dia lead-nya," katanya.
Direktur Utama PT Inalum, Budi Gunadi Sadikin
Ia menegaskan, bunga rendah menjadi alasan Inalum memilih pinjaman dari bank asal Jepang itu sebagai pimpinan yang memberikan fasilitas pinjaman ke Inalum. "(Bunganya) paling kecil, makanya kenapa Jepang? Karena, Jepang paling kecil," tuturnya.
Senada dengan Harry, Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Achmad Baiquni menyatakan bahwa perlibatan bank asing dalam pembelian saham Freeport sangat tepat, mengingat pinjaman tersebut cukup besar. Ia pun juga merasa pesimistis bisa ikut serta, karena penawaran pinjaman yang diberikan bank domestik dengan bank asing tak sepadan. Di mana, perbankan asing siap menawarkan pinjaman dengan suku bunga lebih rendah kepada Inalum.
"Awalnya kan kita ingin masuk, tetapi ya tentunya kita lihat terms note-nya seperti apa. Nah, kita melihat seperti ini, kalau kita harus bersaing dengan yang bank asing, biasanya kan bank asing suku bunganya cukup menarik. Kalau kita, rasa-rasanya sih untuk bersaing dengan mereka agak cukup berat juga," ucap dia di Gedung BNI, Jakarta, Rabu 18 Juli 2018.
Di sisi lain, Baiquni juga mengatakan, kecenderungan untuk pengurungan niat melakukan pembiayaan itu juga didorong karena pinjaman yang dalam bentuk dolar. Sedangkan cadangan BNI dalam bentuk valas juga terbatas.
Sedangkan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, selain pendanaan dari 11 bank asing, perseroan juga telah menyiapkan dana internal untuk membayar divestasi tersebut. Nilai dana internal tersebut sebesar US$1,5 miliar.
Tak hanya itu, Budi juga mengungkapkan pihaknya juga akan membayar divestasi dengan menggunakan ekuitas holding, dan itu semua tentunya tergantung kebutuhan perbankan. Adapun pembayaran pembagian yang dilakukan Inalaum adalah US$3,5 miliar dibayar kepada Rio Tinto, sedangkan ke Freeport McMoran Inc sebesar US$350 juta.
Sementara itu, terkait dengan pentingnya pemerintah segera membayar divestasi 51 persen saham Freeport, menurut Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi adalah Freeport bisa 'dipaksa' untuk membagi devidennya dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Terlebih, lanjut dia, selama bertahun-tahun Indonesia tidak pernah memperoleh pembagian deviden itu. Sehingga, dengan pemerintah menjadi mayoritas pemegang saham, maka bisa diputuskan hal itu bisa dibagi dan porsinya yang diterima Indonesia akan lebih besar.
Perlu diketahui, pemerintah Indonesia berkepentingan untuk mengakuisisi saham Freeport, karena nilai total cadangan tambangnya mencapai US$160 miliar atau setara Rp2.290,3 triliun. Cadangan itu terdiri dari, emas sebesar US$42 miliar, tembaga sebesar US$16 miliar, dan perak sebesar US$2,5 miliar. Dengan cadangan tersebut, Freeport menjadi perusahaan yang mengelola deposit emas terbesar di dunia.
Adapun manfaat langsung bagi negara dari banyaknya cadangan tersebut adalah penerimaan pajak dan royalti operasi yang cukup besar hingga penerimaan jangka panjang. (asp)