SOROT 531

Siapa Mengatur Social Media Influencer

Selebgram Awkarin endorse pembesar payudara
Sumber :
  • Screenshot @awkarin

VIVA – Pesatnya perkembangan internet dua puluh tahun terakhir merangsang munculnya profesi baru. Saat ini, seseorang bisa mendapatkan penghasilan besar hingga ratusan juta per bulan dengan memanfaatkan teknologi digital.

Segendang sepenarian dengan pesatnya perkembangan dunia digital, maka muncul istilah baru untuk mereka yang populer di dunia maya. Ada Seleb Medsos, Selebgram dan Selebyoutube. Beragam profesi yang terkait dengan dunia digital kini juga bermunculan. Mulai dari digital marketing, buzzer, youtuber, hingga social media influencer. Aneka profesi ini kini mulai dilirik. Tak hanya karena membuat terkenal, tapi penghasilan yang didapat dari hasil pamer diri di media sosial ternyata menggiurkan.

Secara umum social media influencer bisa diartikan sebagai seorang pengguna media sosial yang memiliki kredibilitas bagus dalam sebuah hal. Ia biasanya memiliki pengikut yang banyak, dan mampu membuat pengikutnya loyal. Orang-orang seperti ini kini lazim diburu oleh produsen. Mereka diminta mempromosikan produk, dalam bahasa tren sekarang adalah endorser. Jumlah pengikut mereka yang mencapai puluhan bahkan ratusan ribu adalah pasar potensial untuk disasar produsen. Apalagi jika dia memiliki keterikatan emosi dengan pengikutnya, maka fans garis keras akan berpotensi meniru apa yang dilakukan.

Pegiat media sosial, Nukman Luthfie. 

Pengamat media sosial Nukman Luthfie

Tapi bagi pengamat sosial media Nukman Luthfie, hal tersebut sebenarnya bukan hal baru. Ini hanya sebuah cara baru memasarkan produk dengan sasaran kelompok milenial.  "Sebenarnya itu kan bukan hal baru yaa, itu sudah lama sekali sebenarnya. Sudah biasa juga. Jadi memang orang-orang yang punya pengaruh besar di media sosial, bukan hanya artis, orang biasa pun yang punya pengaruh besar atau followernya banyak, memang seperti mendapatkan peluang rejeki berupa endorsmen produk. Kalau mau menargetkan kaum milenial yang memang banyak di media sosial itu efektif sekali," ujar Nukman Luthfie kepada VIVA. 

Menurut Nukman, pola pergaulan sosial yang terjadi sekarang berpengaruh juga pada pola promosi produk. Perkembangan media sosial membuat social media influencer bertambah banyak. Hingga 2018 awal, dikutip dari Heepsy.com, jumlah social media influencer sudah mencapai 12.809. 

Jumlah terbesar ada di Instagram yang mencapai 98,8 persen. Berikutnya adalah Youtube, Blog, Twitter, dan Facebook. Pengguna social media influencer juga bertambah banyak. Nyaris semua produsen menggunakan jasa mereka untuk memasarkan produk mereka. Mulai dari travel hingga otomotif, mulai dari teknologi hingga parenting.

Besaran Tarif

Tak ada batasan usia, profesi, atau keilmuan untuk menjadi social media influencer. Siapa saja, sepanjang mampu mengumpulkan pengikut atau follower hingga puluhan ribu, pasti akan menjadi incaran produsen. Bahkan banyak ibu rumah tangga yang akhirnya memiliki pengikut atau follower di Instagram mereka hingga ratusan ribu dari hobi memasak dan mengunggah masakannya ke media sosial. 

Ada Tintin Rayner dengan 629ribu pengikut, Diah Didi dengan 278ribu pengikut, Xanders Kitchen dengan 551ribu pengikut, Fatmah Bahalwan dengann 147ribu pengikut, dan ibu-ibu lain yang senang berbagi resep. Mereka rutin menyajikan hasil masakan dengan gambar yang menggoda, juga berdialog dengan satu demi satu orang tak dikenal yang mengomentari masakannya atau menghubungi secara pribadi atau japri. Sedikit demi sedikit pengikut bertambah.

Bukan hanya mereka yang aktif dengan serius yang berhasil meraup banyak pengikut. Akun nyeleneh macam Mimi Peri ternyata juga diminati. Hingga Jumat, 14 Desember 2018, jumlah pengikut akun Mimi Peri di Instagram sudah mencapai 1,5juta. Ada juga remaja kreatif seperti Karin Novilda dengan akunnya Awkarin yang followernya mencapai 5juta, dan Ria Ricis yang followernya hingga Jumat, 14 Desember 2018 sudah mencapai 10,5juta. 

Selebgram Awkarin.

Selebgram Awkarin

Jumlah pengikut yang mencapai ratusan ribu hingga jutaan itu jelas sasaran empuk produsen untuk mempromosikan produk mereka. Untuk ibu-ibu penggemar masak, barang-barang yang di-endorse jelas tak akan jauh dari dunia dapur. Mulai dari pengganti santan, sambal home made, kaldu jamur, hingga gula merah cair. Produsen yang meminta di-endorse bukan hanya produsen skala rumahan, tapi juga hingga perusahaan besar yang produknya sudah tersebar ke seantero negeri dengan merek yang sudah diingat. Sementara untuk akun Mimi Peri, Awkarin, dan Ria Ricis produk yang di-endorse akan berbeda. 

Masing-masing produsen mengamati dengan cermat, akun mana dengan pengikut banyak yang layak mempromosikan produk mereka. Menurut Nukman Luthfie, pesatnya promosi melalui akun media sosial berbarengan dengan terjadinya pergeseran kultural. Generasi milenial makin jarang membaca koran dan majalah, bahkan menonton televisi dan mendengar radio. Dengan kondisi seperti itu, maka ruang terbesar untuk mendekat ke anak-anak milenial adalah melalui media sosial, bukan media mainstream. 

"Nah di media sosial itu, kebanyakan para milenial kan mem-follow para influencer itu kan, baik itu di FB, twitter, maupun di IG. Nah karena mem-follow itu lah dia menerima informasi dari para influencer itu. Makanya sekarang itu yang dipakai artis atau para influencer lainnya untuk meng-endorse produk-produk di media sosial. Kira-kira fungsi sosial media sekarang ini sudah seperti kanal televisi," ujar Nukman menjelaskan. 

Televisi di Indonesia, ujar Nukman, baik televisi nasional maupun televisi daerah sudah banyak sekali. Setiap televisi punya segmen dan jam tayang berbeda-beda. Di sosial media juga seperti itu. Ada kanal yang berisi 'influencer gede-gede' dengan follower yang mencapai ratusan ribu, bahkan jutaan. 

Sayangnya tak semua influencer mau terbuka, berapa mereka dibayar untuk satu kali endorse sebuah produk. Rachel Goddard, seorang beauty influencer yang memiliki 656ribu pengikut di Instagram menolak menyebutkan berapa tarif yang ia pasang untuk menjadi endorser sebuah produk. Tapi ia mengaku selektif. Sejak awal ia sudah membuat batasan sendiri. Ia menolak meng-endorse produk pemutih, peninggi, pelangsing, ingin cepat hamil, juga database, tambah follower.

"Produk itu big no, no banget buat saya." ujarnya kepada VIVA.

Rachel hanya mengatakan, apa yang ia dapat untuk meng-endorse produk sudah cukup untuk beli pampers, jajan sehari-hari, termasuk belanja untuk memenuhi isi kulkas. Tentu itu sebuah kiasan, yang jika ditangkap, hasil dari meng-endorse produk yang ia lakukan sudah mampu memenuhi kebutuhannya. 

Moms dan Buah Hati Harus Tahu, Ini Tips Menghindari Cyberbullying

Tapi jika merujuk data dari sociobuzz, situs yang mempertemukan profesi dan para pengguna jasa, tarif endorse untuk media sosial influencer berbeda-beda. Untuk ukuran artis, nama Raffi Ahmad yang memiliki pengikut hingga 24,6 juta di Instagram, dikabarkan memiliki tarif endorse mencapai Rp30 juta. Sedangkan Luna Maya, dengan follower di Instagram yang mencapai 14 juta, dikabarkan memasang tarif berkisar Rp7,5 juta untuk sekali endorse. 

Sedangkan untuk tarif endorse dari non artis tergantung jumlah followernya. Sociobuzz mencatat kisaran tarif endorse dari kelompok non artis mulai Rp200 ribu hingga jutaan. Tapi tentu tak setinggi tarif artis. 

Ban Kontainer Copot Gelinding Mendahului Truknya, Netizen: Kayak Film Dono Ya

Aturan dan Pajak

Viral Calya Bersitegang dengan March di Tol, Ketemu Polisi Endingnya Malah Begini

Profesi baru dengan penghasilan yang lumayan ini ternyata juga sudah menjadi perhatian Dirjen Pajak. Direktur P2 Humas Dirjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, tak ada perlakuan berbeda bagi para  sosial media influencer. Mereka akan tetap kena pajak sesuai peraturan yang berlaku.

"Kompensasi atau bayaran yang diterima seseorang dari meng-endorse produk di media sosial adalah penghasilan orang tersebut. Dan itu wajib dilaporkan," ujar Hestu kepada VIVA, Rabu, 12 Desember 2018.

Ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini menjerat semua. Semua media sosial influencer, baik dari kalangan artis atau bukan akan tetap terkena pajak. "Siapapun yang melakukan aktivitas endorsemen itu, seseorang baik itu artis atau bukan, dia mendapat penghasilan dari pemilik produk, maka penghasilan itu kena pajak aja gitu. Mekanismenya memang dia harus melaporkan di SPT menghitung sendiri dan dibayar sendiri pajaknya. Kalau dari sisi pajak begitu sih, artinya sama saja dengan orang atau pegawai biasa. Kita tidak melihat apakah produk yang dipasarkan itu ilegal atau legal, selama dia ada penghasilan, dia laporkan dalam SPT tahunan, dibayarkan saja.

Selebgram.

Menurut Hestu Yoga, hingga saat ini pajak yang dikenakan pada para endorser artis maupun bukan adalah pajak penghasilan. Setiap orang wajib melaporkan penghasilan dan membayar pajaknya sendiri. Ia mengakui sampai saat ini belum ada regulasi khusus yang diberlakukan. Ia mengatakan tak bisa membahas satu per satu endorser, tetapi Hestu menghargai karena banyak artis dan endorser yang melaporkan penghasilan dan kekayaan mereka. 

Menurutnya, melaporkan penghasilan termasuk penghasilan sampingan adalah kesadaran individual. Baik artis atau pun bukan artis, siapa saja yang punya penghasilan wajib melaporkan SPT. 

Hestu juga mengatakan, lembaganya memiliki mekanisme pengawasan yang mereka sebut sebagai Account Representative (AR) DHWP. AR itu memantau aktivitas wajib pajaknya, data-data yang ada juga dipergunakan. "Misalnya AR nya si-artis A, begitu kita melihat si-Artis A itu banyak mengendorse-mengendorse begitu, yaa kita langsung lihat SPT nya. Apakah penghasilan seperti itu apa sudah dilaporkan atau belum. Kalau belum tentunya AR kita bina" ujar Hestu menjelaskan. 

AR ini berfungsi sebagai protap atau prosedur pengawasan Dirjen Pajak kepada wajib pajak. Dengan AR, ujar Hestu, maka artis akan terpantau dan terbina untuk melaporkan SPT yang baik. Pengawasan dilakukan secara kontinyu, karena AR memiliki tugas mengevaluasi dan mendeteksi para wajib pajak.

"Tapi kita kan juga melihat, misalnya yang meng-endorse itu produk dari perusahaan besar, dan biasanya perusahaan besar itu kan juga sudah memotong PPh pasal 21 nya. Nanti datanya kan tinggal kita cocokkan saja, apakah bukti potong dari perusahaan itu tadi, itu penghasilannya, sudah dilaporkan oleh artisnya atau belum, kan gitu. Jadi secara pengawasan itu hal yang rutin.

Hestu meminta agar social media influencer, artis maupun non-artis, mengingat kewajiban membayar pajak. Ada penghasilan dilaporkan, dihitung, dan dibayar semestinya. "Membayar pajak penting buat negara," ujarya.

Jika Dirjen Pajak memiliki bukti bahwa wajib pajak tidak pernah lapor, maka mereka akan diimbau untuk melaporkan SPT-nya, dan itu sudah masuk penunggak pajak. "Jika seperti itu, maka akan ditagih berapa yang harus dia bayar. Ditagih plus sanksinya. Sesuai dengan UU, sanksinya adalah 2 persen per bulan," ujar Hestu.

Sepertinya profesi sebagai social media influencer cukup menjanjikan. Rawat pertemanan, perbanyak pengikut, lalu lakukan hal yang positif, maka endorsement datang dengan sendirinya. Kondisi ini dipermudah dengan tak banyak aturan bahkan potongan pajak yang tak rumit bagi endorser. Tak heran begitu banyak anak-anak generasi milenial yang punya cita-cita jadi Youtuber atau seleb media sosial lainnya. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya