- VIVA / Yudhi Maulana
VIVA – Pemandangan unik terlihat saat Timnas Indonesia menjamu Filipina di laga terakhir penyisihan grup Piala AFF 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Minggu 25 November 2018. Dalam laga yang berkesudahan 0-0 itu, SUGBK memang tidak seramai biasanya. Hanya sekitar 15.000 suporter Timnas yang setia datang memenuhi berbagai sektor tribun stadion.
Apalagi partai itu sudah tidak lagi menentukan karena, apapun hasilnya, Indonesia gagal melaju ke semifinal dan ini termasuk yang terburuk dalam sejarah partisipasi skuad Garuda di piala sepakbola se-Asia Tenggara itu. Namun, bagi pecinta timnas, tetap saja mereka datang karena mengusung misi lain.
Pertandingan tersebut seakan dimanfaatkan jadi tempat pelampiasan ribuan suporter. Di dalam megahnya Stadion GBK yang belum lama dipugar, mereka kompak “unjuk rasa” menuntut perbaikan di tubuh PSSI, yang dianggap bertanggungjawab atas rentetan kegagalan timnas di sejumlah turnamen.
Protes diarahkan kepada sang ketua umum, Edy Rahmayadi. Teriakan "Edy Out! Edy Out! Edy Out!" kerap terdengar di berbagai kesempatan.
Bahkan ada kelompok suporter yang menyanyikan "Wartawan harus baik! Wartawan harus baik!" Nyanyian 'Wartawan Harus Baik' mengacu pernyataan terakhir Edy ketika ditanya terkait responnya usai tersingkirnya Timnas Indonesia dari Piala AFF.
Demo suporter di laga Indonesia vs Filipina
Namun, demonstrasi tidak berhenti di SUGBK. Di media sosial, warganet begitu keras melontarkan kritik kepada PSSI dan sang Ketua Umum, Edy Rahmayadi.
Berbagai pernyataan kontroversial Edy kerap direproduksi mereka menjadi meme atau lainnya. Hingga akhirnya, tagar #EdyOut keluar, ekspresi tak puas dengan kepemimpinan sang Ketua Umum.
Edy dianggap sudah tidak layak untuk memimpin PSSI. Fokusnya dianggap publik telah terbagi dengan jabatan barunya sebagai Gubernur Sumatera Utara.
Sehingga kerjanya di sepakbola nasional menjadi berantakan. Yang paling mencolok adalah ketidakpastian perpanjangan kontrak Luis Milla Aspas.
Setelah gagal bernegosiasi, akhirnya PSSI menunjuk Bima Sakti Tukiman sebagai pelatih Timnas Indonesia. Keputusan itu mengundang pertanyaan, karena Bima minim pengalaman, serta waktunya terlalu mepet dengan pelaksanaan Piala AFF 2018.
Benar saja, buah dari perjudian PSSI berakhir pahit. Tim besutan Bima gagal bersaing di Grup B Piala AFF 2018. Dua kekalahan, sekali imbang dan kalah menjadi rapor merah yang ujungnya dikaitkan dengan kerja Edy dan jajarannya.
Keputusan buruk itu lalu diikuti dengan ucapan kontroversial Sang Ketum. Beberapa hari lalu, dia justru berujar tak perlu dalam menanggapi pertanyaan mengenai kegagalan Timnas Indonesia.
"Wartawannya baik, Timnasnya baik," begitu kata Edy. Publik yang menangkap pernyataan itu terkesan asal-asalan, langsung menanggapi. Mereka bernyanyi dan membawa spanduk dengan tulisan seperti apa yang dikatakan Edy.
Mendapat tekanan dari berbagai arah, PSSI pun akhirnya berkomentar. Sekretaris Jenderal PSSI, Ratu Tisha Destria, memaklumi fenomena ini. Evaluasi, disebutnya, bakal dilakukan PSSI.
"Aspirasi yang hadir menandakan, kita semua bagian dari keluarga. PSSI pastinya menggelar evaluasi untuk program setahun belakangan," kata Tisha kepada VIVA, Senin 26 November 2018.
"Mari bekerja sama dan mengejar program 2018 yang belum selesai. Baru setelah itu kami bisa sambut 2019 dengan positif," lanjutnya.
Dugaan Pengaturan Skor
Selain terkait kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018, PSSI juga dihantam isu lain yang tidak kalah mengganggu. Yaitu terkait isu adanya pengaturan skor di kompetisi di Indonesia.
Dan sayangnya, Ketua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI Jawa Barat, Tommy Apriantono menilai, PSSI terkesan cuek dalam menanggapi terjadinya beberapa dugaan pengaturan skor di sejumlah pertandingan.
Tommy yang baru setahun menjabat sebagai Ketua Asprov PSSI Jabar itu, mencontohkan kasus yang menghinggapi para pemain Persib Bandung usai diduga menerima suap.
Sebagian pemain Persib dituduh menerima suap untuk sengaja menyerah ketika Maung Bandung menghadapi PSMS Medan dalam pertandingan lanjutan Liga 1 2018 di Stadion Kapten I Wayan Dipta pada 9 November 2018.
Terdapat tiga nama yang dituduh menerima suap tersebut yakni, Hariono, Supardi Nasir, dan Ardi Idrus.
Tommy pun menyindir dugaan pengaturan skor dalam pertandingan babak 8 besar Liga 2 2018 antara Aceh United melawan PS Mojokerto Putra di Stadion Cot Gapu, Bireuen 19 November 2018 silam.
Dari rekaman video yang beredar, pemain PSMP, Krisna Adi, menembak penalti melenceng jauh. Dan, dia kemudian bersujud, entah bersyukur atau meratapi kegagalan tendangan penalti tersebut.
Penalti itu sebenarnya bisa menjadi kesempatan PSMP untuk menyamakan kedudukan saat skor 2-3 untuk keunggulan tuan rumah. Namun, skor tak berubah di laga tersebut akhirnya berkesudahan dengan kekalahan PSMP yang membuatnya gagal lolos ke semifinal Liga 2 musim ini.
"PSSI terlihat diam dan hanya menggembor-gemborkan (dugaan match fixing). Tapi, mereka tidak mengusut, tidak memberi penjelasan mengenai kasus-kasus yang terjadi saat ini," kata Tommy kepada VIVA, Selasa, 27 November 2018.
"Apakah diungkap? Apakah tidak terjadi? Semuanya tak diberitahukan. Tentu ini kan yang kasihan jadi pemainnya. Terus efek juga ke Timnas pastinya," lanjutnya.
Tommy pun membandingkan PSSI dengan federasi sepakbola di luar negeri. Ia menilai, di negara-negara yang maju sepakbolanya seperti Belgia dan Prancis berani melakukan penindakan tegas terhadap pelaku pengaturan skor bersama dengan Kepolisian.
"Seharusnya PSSI bekerja sama dengan Kepolisian untuk mengusut adanya dugaan pengaturan skor. Kalau misal enggak ada bukti tinggal bilang, terus kalau misalnya bersalah ya, tinggal dihukum sesuai aturan," katanya.
"Jadi, saya harap Exco (Komite Eksekutif PSSI) bidang hukum bisa menjawab ini semua," tegasnya.
Namun sayangnya, isu dalang pengaturan skor justru kini malah mengarah ke tubuh PSSI. Sosok Komite Eksekutif PSSI, Hidayat menjadi sorotan publik karena pengakuan dari manajer Madura FC, Januar, yang mengaku diajak bermain mata di kompetisi Liga 2.
Unjuk rasa suporter di kantor PSSI
Fakta mengejutkan ini muncul dalam sebuah acara talkshow di salah satu stasiun televisi swasta, Rabu 28 November 2018 malam. Dalam kesempatan itu, Januar mengungkapkan, Hidayat sempat mengajaknya untuk mengatur hasil pertandingan Madura FC versus PSS Sleman di babak 8 besar Liga 2.
Dalam kesempatan itu, Januar mengaku uang sebesar Rp150 juta ditawarkan oleh Hidayat kepadanya agar Madura FC mau mengalah di leg 1 babak 8 besar Liga 2.
Asprov PSSI Jawa Timur menyatakan keprihatinan atas munculnya nama Hidayat dalam kasus percobaan suap di kompetisi Liga 2. Maklum, Hidayat merupakan salah satu anggota exco yang berasal dari Jawa Timur. Sekretaris Umum Asprov PSSI Jawa Timur, Amir Burhannudin, berharap agar PSSI bisa bertindak menyikapi kasus ini.
"Tentu, kami prihatin. Apalagi, dia merupakan anggota Exco dari Jawa Timur. Pak Dayat, harus bisa bersikap jujur seperti Pak Januar. Silakan, jika ada pembelaan, di forum resmi PSSI," kata Amir.
Diharapkan Amir, PSSI bisa taktis dalam menyikapi kasus pengaturan skor yang membelit anggota Exco.
"PSSI jangan lambat untuk membereskan masalah ini. Sebab, bisa merusak citra yang sedang dibangun. Banyak program tak terlihat yang terdistorsi, jika masalah ini tak diselesaikan," ucap Amir.
"Terlebih, isu pengaturan skor ini sensitif di lingkungan olahraga. Seharusnya direspons dengan cepat oleh PSSI. Harus ada langkah nyata dari PSSI sebelum kompetisi selesai," lanjutnya.
Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga, Gatot S Dewa Broto pun mendesak PSSI harus proaktif dalam menangani kasus dugaan pengaturan skor di sepakbola Indonesia.
Gatot menilai PSSI harus bisa bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Sebab, ini jadi momen PSSI untuk memperbaiki citranya di mata masyarakat.
"Saya kira sekarang adalah kesempatan baik bagi PSSI untuk memulihkan citranya dan mengembalikan reputasinya. Kemarin dan sekarang sorotannya karena Timnas gagal dan kedua masalah leadership Pak Edy yang kurang ‘elok’ di mata media dan publik. Sekarang ada lagi pengaturan skor," kata Gatot.
"Saya minta ke PSSI tunjukkan ke publik bahwa masalah pengaturan skor bisa diatasi. Kalau ini gagal PSSI bisa sulit mengembalikan kepercayaan masyarakat," lanjut dia.
Gatot bahkan menyebutkan jika PSSI tak perlu takut untuk menelusuri kasus ini karena payung hukumnya sudah ada. Terlebih, tindak pidana suap tak perlu menunggu adanya laporan.
"Soal perangkat hukumnya ada. UU No 11 Tahun 1980 itu masih berlaku tentang tindak pidana suap. Pasal 2, 3, 4, dan 5 masih berlaku," ujar Gatot.
"PSSI harus proaktif juga. Jangan bilang tidak ada yang laporkan. Kalau tindak pidana suap tak perlu tunggu laporan."
Sejarah Kelam Terulang?
Dengan berbagai permasalahan yang ada, tak heran jika desakan agar Ketum PSSI untuk mundur terus menguat dari sejumlah pihak. Salah satunya, manajer Persib Bandung, Umuh Muchtar yang secara tegas mendesak Edy Rahmayadi agar mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI.
Umuh pun tak gentar bila keputusannya itu membuat sebagian pihak kecewa atau marah. Menurutnya, apa yang disampaikan murni untuk kebaikan sepakbola Indonesia.
"Edy out kan orang-orang yang ngomong. Mungkin orang sudah menilai. Kalau saya setuju (Edy mundur), enggak apa-apa kalau saya dimusuhi tidak masalah," kata Umuh di Graha Persib, Bandung, Selasa 27 November 2018.
Manajer berusia 70 tahun ini mengaku siap mendorong voter untuk secepatnya menggelar Kongres Luar Biasa (KLB). Keinginannya itu juga sudah didukung penuh beberapa voter.
"Saya dorong untuk KLB karena sudah banyak yang nelpon saya untuk mendorong KLB, saya dorong voter. Silahkan kalau marah lagi sama saya. Saya sudah capek," kata Umuh.
"Urus saja yang lain jangan merangkap begini, harus serius. Dan, jangan salahkan lagi wartawan nanti," tuturnya.
Kendati demikian, Umuh belum mau menyebutkan sosok yang tepat mengganti posisi Edy Rahmayadi bila resmi mundur. Namun, yang pasti ketua terpilih harus punya sikap tegas dan berani.
"Secepatnya saja (KLB). Tahun depan boleh sambil beres-beres dulu Liga. Sosok yang tepat siapapun juga kembali lagi yang berani untuk memberikan modal harus berani buang waktu dan mengeluarkan duit," papar Umuh.
Sementara itu, Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Yoyok Sukawi menilai, sebaiknya kepengurusan PSSI yang ada saat ini diberi kesempatan sampai masa periodenya selesai, yaitu 2020.
"Kepengurusan PSSI ini kan sempat dihentikan di tengah jalan. Dan apa hasilnya tidak bagus. Kalau ini dihentikan lagi justru itu tidak baik," kata Yoyok saat dihubungi VIVA.
Kongres PSSI 2017
Permasalahan memang seperti tidak mau lepas dari PSSI. Nyaris dalam 10 tahun terakhir, PSSI terus dibelit permasalahan yang beberapa kali berbuah pembekuan.
Pada tahun 2010, PSSI terjadi konflik internal, menyusul dualisme kompetisi. Konflik ini membuat FIFA membentuk Komite Normalisasi pada 1 April 2011 untuk mengambil alih kepemimpinan PSSI era Nurdin Halid.
Setelah melewati berbagai kegagalan penyelenggaraan kongres, akhirnya, dalam Kongres Luar Biasa (KLB) tanggal 9 Juli 2011 di Solo, Djohar Arifin Husin terpilih sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Namun, PSSI era Djohar Arifin juga diterpa masalah berkepanjangan karena aturan-aturan yang ditetapkan. Salah satunya soal pembentukan IPL yang mendapat tekanan dari 12 klub atau kelompok 14, karena kompetisi berjumlah 24 klub dan 6 klub di antaranya langsung menjadi klub IPL.
Pada 17 April 2015, Menpora Imam Nahrawi membekukan PSSI. Menpora juga tidak mengakui penyelenggaraan Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang tengah berlangsung di Surabaya. Karena PSSI dianggap telah mengabaikan rekomendasi BOPI
Intervensi Kemenpora ini, membuat FIFA pada 30 Mei 2015 resmi menjatuhkan sanksi kepada PSSI dan berlaku hingga PSSI mampu memenuhi kewajiban pada pasal 13 dan 17 statuta FIFA.
Akibat sanksi ini, timnas Indonesia dan semua klub di Indonesia dilarang berpartisipasi di pentas Internasional di bawah FIFA atau AFC, kecuali SEA Games 2015.
FIFA mencabut sanksi untuk Indonesia lewat Kongres FIFA pada 12-13 Mei 2016 di Meksiko. Pencabutan ini menyusul keputusan Menpora mencabut pembekuan PSSI pada 10 Mei 2016. (ren)