VIVA – Tsunami Aceh 2004 silam masih menyisakan trauma yang cukup menghantui Neni Muhidin. Saat itu, meski bukan berperan sebagai relawan, Neni melihat langsung betapa Aceh porak poranda dan tak berdaya. Semua orang panik dan menangis. Banyak keluarga yang meninggal dunia. Orangtua kehilangan anak, dan sebaliknya.
Sebulan usai tsunami Aceh, tepatnya 24 Januari 2005, Palu dilanda gempa besar. Bencana yang bertubi-tubi ini akhirnya membuat Neni memutuskan untuk mendedikasikan diri membantu korban bencana di Indonesia. Dia bergabung sebagai anggota tim ekspedisi Palu Koro, yang sudah berkecimpung di bidang penanggulangan bencana, sejak 2008.
"Saya ke Aceh dengan teman, hanya melihat situasi di sana, bukan sebagai relawan. Satu bulan pasca gempa Aceh, 24 Januari 2005 Palu dilanda gempa besar. Karena sudah trauma melihat keadaan di Aceh, kemudian kejadian di sini, jadi tambah trauma," katanya kepada VIVA, Kamis, 8 November 2018.
Tak ingin berpangku tangan, keberanian mengesampingkan trauma pun terbit dari dalam jiwa Neni. Apalagi setelah bertemu dengan rekan seperjuangan, yang tak lain adalah pegiat kemanusiaan dari LSM. Pria yang pernah mengenyam pendidikan di Bandung ini lantas membuat forum untuk membahas sesar Palu Koro. Dari situ, mereka berupaya untuk mendorong pemerintah agar serius menangani isu kebencanaan.
"Ada banyak catatan perjalanan di forum. Saya mengakui forum kita dari 2009 awal sampai hari ini masih inisiasi. Tidak seperti forum kebencanaan di kota lain yang sudah terstruktur, sehingga terlihat baik sebagai organisasi," katanya.
Segenap upaya mereka tempuh, termasuk membangun komunikasi dengan pemerintah daerah, serta Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi maupun kota Palu. Hingga Palu terbantu dengan program dari United Nations Development Program (UNDP), Strategic Centre for Disaster Risk Reduction (SCDRR).
"Beberapa kota di Indonesia seperti Aceh, Yogyakarta, Padang dan Palu yang mungkin masih dalam penilaian rawan bencana. 2009 program itu berjalan di sini, tapi saya tidak di sana, hanya sebagai mitra," ujarnya.
Forum penanggulangan bencana di Sulawesi Tengah memiliki anggota yang aktif untuk lalu lalang di kabupaten, guna menyusun dokumen. Misalnya untuk menyusun peta rawan bencana dan penanggulangan bencana. Lalu ketika BPBD terbentuk, ada beberapa peta rawan bencana yang lebih spesifik, misalnya peta gempa, peta tsunami, peta longsor dan peta banjir.
"Khusus gempa dan tsunami bahkan disimulasi, saat itu 23 November 2012, ada agenda nasional BNPB dengan tema 'Gladi Nasional Penanggulangan Bencana'. Dokumen disimulasi saat gladi, areanya di pesisir pantai yang sekarang jadi wilayah paling rusak dihantam tsunami," katanya.
Terpinggirkan
Menurut Neni, sejak pemerintahan baru yang mulai berjalan pada Februari 2016, dipimpin oleh Hidayat dan wakilnya Sigit Purnomo - atau yang lebih dikenal dengan Pasha Ungu - ada banyak hal yang terabaikan. Dokumen yang pernah dibuat di masa sebelumnya tidak dilanjutkan.
"Pak Rusdi sempat bilang secara besar hati dan jiwa, dia merasa tanggung jawab dengan apa yang terjadi. Dia merasa bersalah karena ketika pindah kepemimpinan yang baru, harusnya dibuat catatan, khususnya mengenai kebencanaan yang memiliki pencapaian dan tolong dilanjutkan," katanya.
Rusdi Mastura adalah mantan Walikota Palu yang menjabat pada periode 2005-2015. Neni melanjutkan, dokumen rencana kontijensi (Renkon) harusnya diperbarui. Dokumen itu bersifat hidup karena mengikuti dinamika wilayah. Diikuti dengan tindakan simulasi yang juga dinilai jauh lebih penting.
Pada tahun 2012, Neni bertemu seorang koordinator untuk membicarakan perihal rencana ekspedisi. Namun sayangnya, berjalannya waktu membuat banyak kesibukan yang menghampiri, hingga akhirnya tidak begitu serius. Lalu kembali menemukan keseriusan pada tahun 2016.
"Kita di tingkat lokal berencana untuk menyiapkan segala sesuatu ketika akan turun di lapangan. Lalu pada Maret 2017 ada banyak peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang datang, tidak hanya dari bidang geologi saja, walau sebagian besar memang diisi mereka, iya karena isu sesar yang jadi kebutuhan adalah geolog," katanya.
Neni Muhidin
Rencananya hasil ekspedisi ada dalam bentuk buku dan video dokumenter. Pada 1 Desember 2017 ditargetkan akan selesai, bertepatan dengan 90 tahun bencana gempa bumi dan tsunami di Watusampu Palu pada 1 Desember 1927 silam. Namun karena ada masalah pembiayaan akhirnya mundur, hingga berharap Juli 2018 akan terselesaikan.
"2018 sumber daya sudah mulai cukup, tetapi baiknya memang terlebih dahulu bertemu dengan otoritas resmi, pemerintah daerah. Lalu pada 30 Juli tim ekspedisi bertemu gubernur, kurang lebih 60 hari sebelum bencana gempa, tsunami dan likuifaksi," katanya menambahkan.
Bencana yang terjadi di penghujung September kemarin juga menyebabkan likuifaksi. Salah satu rekan sejawat yang juga aktif di forum, yaitu Abdullah. Ia memiliki catatan mengenai fenomena likuifaksi pasca gempa Palu 2005. Ada beberapa lokasi yang ditandai, namun sayangnya tidak menjadi perhatian yang intensif karena dinilai tidak menimbulkan kerusakan besar, hanya muncul sebagai fenomena.
"Saya bahkan baru tahu setelah peristiwa, kita punya penelitian yang dilaksanakan badan geologi, penelitian tentang kawasan rawan likuifaksi. Hasilnya pada 2012 melahirkan peta rawan, tapi kami tidak tahu siapa penelitinya, diserahkan secara resmi ke siapa juga tidak tahu," ujarnya.
Kawasan terdampak likuifaksi ada di empat titik, antara lain kelurahan Petobo, Balaroa, Jono Oge, dan Sigi. Untuk Balaroa dan Petobo wacananya akan dijadikan Memorial Park terbuka. Saat ini pemerintah daerah masih menunggu hasil studi dari peneliti kebijakan tata ruang, yang merevisi kebijakan tata ruang yang lama.
Dalam menjalani kegiatannya ini, Neni merasa beruntung karena mendapat dukungan penuh dari ibundanya. Ayah Neni diketahui sudah meninggal. Selama niatnya baik dan bisa berguna untuk banyak orang, sang ibu merestui apapun yang Neni lakukan.
Selain berkecimpung dalam sektor penanggulangan bencana, Neni juga mendalami isu lingkungan dan pendidikan. Usai menyelesaikan pendidikannya di Bandung dan bekerja di Jakarta, ia pulang ke kampung halaman untuk membuat sebuah gerakan literasi atau membaca.
Perpustakaan 'Nemu Buku' dipersembahkan untuk anak muda dan mahasiswa di kota kelahirannya, agar memiliki kebiasaan membaca buku. Namun nasib Nemu Buku yang susah payah Neni bangun di rumahnya sendiri belum lagi dipikirkan.
Bangunan tersebut akan dirobohkan karena dinilai gagal struktur, "Belum kepikiran pindah, saya bertahan dulu saja di luar, sekarang masih tinggal di luar."