- ANTARA FOTO/Aji Styawan
VIVA – Suasana sebuah kompleks perumahan di bilangan Jakarta Timur yang VIVA datangi terlihat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan melintas, jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari.
Dari sebuah rumah berpagar putih, ke luar seorang pria berusia 38 tahun. Namanya Hari Permana, berperawakan sedikit gemuk dengan senyum yang selalu lebar di wajahnya.
Hari baru saja pulang dari tugasnya. Ia adalah seorang kapten pilot sebuah maskapai penerbangan nasional. Seperti mendiang Harvino, co-pilot pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Karawang beberapa waktu lalu, Hari sempat bekerja sebagai petugas Air Traffic Control.
"Saya mulai pendidikan 1996 di Australia. Pesawat yang dipakai buat latihan itu Cessna 152, model baling-baling," ujarnya kepada VIVA.
Hari menuturkan, proses yang ia tempuh untuk mendapatkan lisensi terbang tidak mudah. Ia bersama beberapa murid lainnya harus menguasai bahasa Inggris, karena bahasa tersebut yang digunakan untuk berkomunikasi selama penerbangan dengan pusat pengendali.
"Ada satu murid yang memang kurang menguasai bahasa Inggris, terutama saat pelajaran teori. Tapi, setahu saya saat berkomunikasi dengan pihak tower ia tidak ada masalah," tuturnya.
Ia menjelaskan, saat pendidikan, salah satu aturan berkomunikasi dengan tower (radiotelephony) adalah membedakan penyebutan angka.
"Misalnya, lima ribu kaki kami bilangnya five thousand feet. Tapi kalau 15 ribu kaki, bilangnya flight level zero one five. Kalau arah, selalu mengeja tiap angka, misalnya heading zero one seven (017), bukan seventeen. Karena, bisa saja tower dengarnya seventy (070)," ujarnya.
Air Traffic Control
Tak hanya soal bahasa, setiap murid juga dituntut memiliki pemahaman tentang cara kerja mesin dan bagaimana terbentuknya cuaca. Mereka juga harus memiliki daya pikir yang cepat dan tepat, sebagai bekal saat menghadapi keadaan darurat.
"Pernah ketika mau landing, instruktur sengaja membuka pintu pesawat. Saya kaget dan terpaku, lalu dimarahi karena tidak segera mengamankan keadaan," ujarnya menjelaskan.
Berdasarkan penelusuran VIVA pada beberapa sekolah penerbangan, dibutuhkan waktu satu hingga satu setengah tahun untuk bisa diterima menjadi pengemudi pesawat udara.
Tahap pertama, siswa harus belajar semua hal tentang penerbangan dan aturannya. Mereka kemudian mendapatkan lisensi Private Pilot License. Tahap berikutnya, mereka diajarkan mengenai tanggung jawab saat membawa penumpang.
Itu termasuk bagaimana menghitung beban dan distribusi bobot, agar pesawat tetap dalam keadaan stabil ketika mengudara. Jika lulus, maka mereka berhak mendapatkan Commercial Pilot License.
Selanjutnya, pelajaran soal bagaimana menerbangkan pesawat dengan mengandalkan instrumen sebagai pemandu, baik ketika lepas landas maupun saat mendarat. Itu penting, karena mereka harus menerbangkan burung besi dalam kondisi gelap atau hujan.
Ujian terakhir adalah untuk mendapatkan Airline Transport Pilot License atau ATPL. Khusus lisensi ini, siswa hanya menjalankan ujian teori. Jika mereka lulus dan sudah memiliki 1.000 jam terbang, maka lisensi tersebut langsung diberikan.
"Jika pilot akan menerbangkan pesawat yang belum pernah ia pegang, maka diwajibkan untuk melewati tahap endorse selama beberapa jam."
8 Jam Sehari
Dikutip dari laman Federal Aviation Administration, setiap pilot yang mendapat jatah penerbangan domestik dibatasi waktu kerjanya hingga delapan jam setiap harinya.
Tak hanya itu, si penerbang juga harus dipastikan mendapat waktu istirahat minimal delapan jam per hari. Jika hal itu tidak terpenuhi, maka maskapai tidak diizinkan untuk memberi perintah terbang kepada pilot.
Sementara itu, aturan dari Europe Aviation Safety Agency mengatakan, bahwa setiap pilot memiliki batas waktu kerja 60 jam selama satu pekan, atau 110 jam selama dua pekan.
Waktu kerja yang dimaksud adalah saat pilot tiba di bandara dan mulai menyiapkan rencana penerbangan, hingga pesawat parkir dan semua laporan telah diisi.
Pilot dan co pilot pesawat
Berdasarkan data dari Planecrashinfo, kesalahan manusia masih menjadi faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang, yakni sebesar 58 persen. Faktor kedua yaitu kerusakan sebesar 17 persen, dan cuaca ada di posisi tiga dengan presentase enam persen.
Meski pilot dan wakilnya bertanggung jawab selama penerbangan berlangsung, namun bukan berarti awak kabin tidak memiliki peran besar. Umumnya, masyarakat melihat mereka tidak lebih dari sekadar penyaji makanan dan minuman, serta membantu memperagakan alat keselamatan.
Dilansir dari Forbes, awak kabin memiliki banyak tugas penting, terutama saat terjadi insiden. Mereka diberi pelatihan intensif soal kondisi darurat, termasuk pendaratan di air.
Tak hanya itu, awak kabin juga harus tetap tenang saat menghadapi kondisi darurat. Mereka juga dibekali dengan latihan bagaimana menghadapi berbagai macam tingkah laku penumpang, mulai dari yang takut terbang hingga memiliki kecenderungan panik berlebihan.
Tidak hanya pilot, kesehatan pesawat juga menjadi faktor utama keselamatan dalam dunia penerbangan. Sama seperti mobil atau motor, pemeriksaan secara berkala menjadi kunci dari usia si burung besi.
Meski dalam kondisi baru, bukan berarti pesawat tidak diuji terbang sebelum dikirim ke maskapai sebagai pihak pembeli. Dilansir dari laman Boeing, ada tiga tahapan yang dilakukan produsen sebelum proses serah terima.
Tahap pertama, pesawat yang baru keluar dari pabrik perakitan diperiksa selama tujuh hari. Pemeriksaan meliputi bagian eksterior, interior, sistem kemudi, perangkat elektronik, hingga mesin.
Pada tahap itu, pesawat juga diterbangkan selama beberapa kali untuk mencari cacat produksi. Jika semua sudah beres, maka masuk tahap kedua, yakni pengecatan.
Tahap ketiga adalah pemeriksaan terakhir, sebelum pesawat dikirim ke pembeli. Biasanya, konsumen datang untuk bersama-sama melihat, apakah unit sudah sesuai dengan pesanan.
Proses pengujian yang sangat panjang juga dilakukan sebelum pesawat diproduksi. Hal itu untuk memastikan bahwa alat angkut bongsor tersebut bisa bertahan lama dengan beragam kondisi cuaca dan penggunaan.
Pemeriksaan pesawat di hanggar
Menurut data yang didapat dari laman Airbus, salah satu pengujian yang dilakukan adalah fatigue test, yakni melihat seberapa kuat pesawat digunakan dalam jangka waktu puluhan tahun.
Pengujian dilakukan selama beberapa bulan, dengan mensimulasikan kondisi pesawat terbang sebanyak lebih dari 47 ribu kali. Angka itu lebih banyak 2,5 kali dari rata-rata pesawat Airbus yang dioperasikan selama 25 tahun.
Saat pesawat sudah berada di tangan maskapai, pilot dan wakilnya tetap melakukan pemeriksaan sebelum terbang, yang dikenal dengan istilah pre flight check. Hal itu wajib dilakukan, untuk memastikan semua perangkat berfungsi sesuai standar penerbangan.
“Pesawat juga harus diperiksa secara berkala oleh mekanik. Ada istilah A-Check, B-Check, C-Check, dan D-Check. A-Check adalah pemeriksaan tiap 500 jam terbang,” ungkap pilot senior Tim Morgan, dilansir dari laman Forbes.
Inspeksi tiap 100 jam terbang juga harus dilakukan, menurut data dari Aircraft Owners and Pilots Association atau AOPA. Hal itu berlaku untuk semua jenis pesawat, baik komersial maupun pribadi.
Menurut AOPA, tidak ada batasan soal usia pesawat. Yang terpenting adalah kondisinya diperiksa secara berkala. Bahkan, Cessna memiliki program khusus pemeriksaan tingkat kelelahan pesawat-pesawat mereka yang dibuat 30-40 tahun yang lalu.
“Pesawat yang saya pakai untuk latihan itu buatan 1976, lebih tua dari saya. Tapi selama latihan, saya tidak mendapati adanya kerusakan. Jadi, yang penting dari kelayakan pesawat adalah pemeriksaan berkala, bukan usianya,” tutur Hari menyudahi pembicaraan. (umi)