SOROT 523

Mimpi Mobil Listrik

Stasiun pengisian ulang Tesla untuk mobil listrik
Sumber :
  • Instagram/@teslamodellII

VIVA – Siang itu pameran Gaikindo International Auto Show 2018 tak seperti biasanya. Pengunjung berkumpul di satu titik. Mereka mengerumuni mobil mungil yang cuma muat dua orang.

Model mobil biasanya yang siap dijual, tapi prototipe. Pada pelat nomor, tertera tulisan E100. 

Seorang bapak dan anaknya tampak antusias. Begitu ada kesempatan, mereka masuk ke dalam kabin, pegang setiran, pencet sana-pencet sini. “Keren ya Yah,” ujar bocah cilik itu. “Ini mobil listrik. Enggak pake bensin,” jawab ayahnya.

“Hah, enggak nyetrum?” Kali ini ayahnya senyum sambil geleng kepala.

Pertanyaan yang diajukan bocah itu mungkin sering muncul. Menurut pandangan orang awam, segala sesuatu yang berhubungan dengan listrik sangat berbahaya, bahkan bisa menimbulkan kematian.

Padahal, sebenarnya tidak. Bahkan mobil listrik ini sangat aman dan ramah lingkungan. Mobil tidak menghasilkan emisi gas buang sama sekali. Dan sudah ada di dunia sejak 100 tahun lalu. Memang belum secanggih seperti yang dijual saat ini, namun cara kerjanya tidak berbeda.

Selain bebas emisi, kelebihan lain yang dimiliki kendaraan berpenggerak setrum adalah perawatan yang cenderung minim. Karena hanya mengandalkan motor penggerak dan baterai, maka pemilik tidak perlu mengganti pelumas atau memeriksa air pendingin mesin secara berkala.

Yang tidak kalah penting, kendaraan tersebut tidak lagi memerlukan bahan bakar minyak, baik bensin maupun solar. Sayangnya, arus listrik yang digunakan untuk mengisi baterai saat ini masih dari pembangkit berpolusi. Selain itu tantangan lain bagi implementasi mobil listrik murni (Battery Electric Vehicle) adalah daya jelajah yang masih rendah, serta dibutuhkan infrastruktur berupa Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU) yang massif dan tersebar di berbagai wilayah.

Soal keselamatan penumpang, dilansir dari laman National Highway Traffic Safety Administration atau Badan yang bertanggung jawab atas pengujian kendaraan baru di Amerika Serikat, mobil berteknologi listrik seperti Toyota Prius, Tesla Model S, dan Chevrolet Volt terbukti aman.

Mobil listrik Tesla Red Roadster

Mobil listrik Tesla Red Roaster

Dari hasil uji tabrak yang dilakukan sepanjang 2010-2015, ketiga mobil tersebut mendapat hasil yang nyaris sempurna. Baik saat uji tabrak depan maupun samping. Masing-masing produsen juga sudah memasang pengaman tambahan pada bagian baterai, agar tidak mudah meledak.

Menurut data dari Ev-volumes, populasi kendaraan listrik di dunia saat ini sudah mencapai 5,4 juta unit. Tahun lalu, 1,2 jutaan unit dikirim ke konsumen, sementara tahun ini diprediksi angkanya naik menjadi 2,1 juta unit.

Dari jumlah tersebut, masyarakat China yang paling banyak menggunakannya, dengan pangsa pasar 51 persen. Jenis yang paling banyak beredar di Negeri Tirai Bambu adalah battery electric vehicle, yang jumlahnya sekitar 73 persen dari seluruh mobil listrik di negara tersebut.

Urutan kedua wilayah pengguna mobil listrik terbanyak adalah Eropa. Di Benua Biru, pada paruh pertama 2018 ada 195 ribu unit yang dibeli konsumen. Disusul oleh AS dengan 122 ribu unit dan Jepang 22 ribu unit.

Keberhasilan China, Eropa, AS, dan Jepang dalam mempopulerkan kendaraan listrik tentunya membutuhkan persyaratan utama seperti faktor customer acceptance, ketersediaan infrastruktur, kesiapan rantai suplai industri otomotif, serta regulasi/insentif yang mendukung.

Impian Jokowi

Usai menghadiri Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Prancis pada 2015 lalu, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya untuk turut serta dalam mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara mandiri di 2030.

Berdasarkan pantauan VIVA di laman Waqi.info soal indeks pencemaran udara, kualitas udara di Jakarta menunjukkan angka 175. Pada tabel, angka tersebut masuk dalam kategori sedang. Sementara di China, sebagian dari kawasan di negara tersebut angkanya berada di level sedang hingga sangat tinggi.

Inisiatif Wuling Mendukung Transisi ke Kendaraan Listrik di Jawa Barat

Permintaan untuk mendukung gerakan penyelamatan bumi ditanggapi Kementerian Perindustrian, dengan mengeluarkan aturan baru soal jenis kendaraan di Indonesia, termasuk mengakomodir kehadiran kendaraan listrik.

Nantinya, pajak yang dikenakan pada kendaraan diklasifikasikan berdasarkan emisi gas buangnya, bukan lagi bentuk atau model. Kemenperin telah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan, mengenai pemberian insentif fiskal kepada industri otomotif di dalam negeri yang memproduksi kendaraan listrik.

Dilema Produsen Mobil Listrik China: Laris tapi Merugi

Insentif juga akan diberikan pada perusahaan yang mengembangkan teknologi baterai dan motor listrik sebagai penggeraknya. Upaya ini guna memacu produktivitas dan daya saing, sekaligus memperkuat struktur manufakturnya.

“Rencananya, insentif tersebut keluar pada tahun ini, bersamaan dengan insentif lainnya,” kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto melalui rilis yang diterima VIVA, September lalu.

Mobil Listrik Aion Semakin Populer di Indonesia

Airlangga bahkan berkeinginan untuk membebaskan pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM, khusus untuk kendaraan listrik. Jika itu bisa terwujud, maka pasar akan langsung terbentuk dengan sendirinya.

“Kami sedang menunggu untuk mobil listrik itu PPnBM. Tadi saya sudah laporkan juga, bahwa PPnBM ini kami usulkan untuk dihapus. Ini tinggal dirapatkan di Kemenkeu, satu kali lagi akan selesai,” ujarnya.

Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto mencoba kendaraan listrik Mitsubishi Outlander PHEV

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mencoba kendaraan listrik Mitsubishi Outlander PHEV usai serah terima di Kantor Kementerian Perindustrian, Jakarta. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Program yang diusulkan Kemenperin tersebut diberi nama Low Carbon Emission Vehicle (LCEV). Yang termasuk di dalamnya yakni kendaraan bermotor hemat bahan bakar dan harga terjangkau (KBH2) atau Low Cost Green Car (LCGC).

Kemudian, ada juga Low Carbon for Hybrid Electric Technology (LCHET), yang terdiri dari hybrid electric vehicle (HEV), plug-in hybrid vehicle (PHEV) dan dual HEV. Terakhir, kendaraan yang sama sekali tidak menghasilkan emisi, seperti battery electric vehicle (BEV) dan fuel cell electric vehicle (FCEV). Selengkapnya lihat infografik.

Dengan adanya program tersebut, maka produsen otomotif yang berkiprah di Tanah Air bisa memproduksi dan menjual transportasi ramah lingkungan itu, baik di dalam negeri maupun untuk pasar ekspor, dengan harga yang tidak jauh berbeda dari kendaran bermesin konvensional.

Saat disinggung penurunan harga yang mungkin terjadi bila peraturan tersebut berlaku, Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Warih Andang Tjahjono mengatakan, kemungkinan angkanya cukup besar. "Mungkin bisa 30 persen," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan Executive General Manager PT Toyota Astra Motor, Fransiscus Soerjopranoto. Ia mengatakan, penurunan harga bisa terjadi hingga Rp100 juta, bila regulasi terkait pajak benar benar diberlakukan pemerintah.

"Seperti Prius, itu akan turun sekitar Rp100 jutaan dari harga normal saat ini yang sekitar Rp700 jutaan," ungkapnya.

Mimpi menghadirkan mobil listrik berstandar ekspor memang cukup tinggi, namun bukan berarti tidak mungkin. Jika itu bisa terwujud, maka kondisi perekonomian Tanah Air bisa stabil dan berdampak positif pada keuangan tiap kepala keluarga.

Siapkah kita?

Rencana besar pemerintah untuk memasyarakatkan kendaraan listrik mendapat beragam tanggapan dari banyak pihak. Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus mengatakan, kehadiran mobil listrik berdampak pada sektor usaha otomotif.

"Kendaraan listrik akan mendisrupsi sistem industri otomotif yang ada sekarang ini," kata Yannes saat dihubungi VIVA.

Sebagai ilustrasi, kata Yannes, jika mesin konvensional menggunakan sekitar 800 komponen, maka pada kendaraan listrik hanya ada tiga, yakni motor penggerak, baterai, dan komputer pengatur.

Namun, anggapan itu dibantah Dewan Pengawas Perkumpulan Industri Kecil Menengah Komponen Otomotif Indonesia, Wan Fauzi. "Kan berubahnya bertahap. Kami tidak khawatir menghadapi (era) mobil listrik, optimis saja bisa membuat sesuatu yang lain," kata dia.

Ia tak menampik, dalam memproduksi mobil bertenaga listrik akan ada penyesuaian komponen, baik berkurang maupun bertambah. Akan tetapi, tidak serta merta mematikan industri penunjang yang ada.

Rasa optimistis juga ditunjukkan para produsen kendaraan. Dari sekian banyak merek kendaraan yang ada di dalam negeri, hampir semua menyatakan siap membuat dan menjual mobil listrik.

Kekhawatiran justru ditujukan pada kesiapan pemerintah. Sebab, sukses atau tidaknya program tersebut bukan dari berapa banyak kendaraan yang diproduksi, melainkan ketersediaan infrastruktur penunjang.

“Mobil kami ada, tapi harus dilihat infrastrukturnya, lalu konsumen siap enggak menerima itu. Siap enggak konsumen colok listrik untuk cas mobil di rumah. Kurang lebih begitu. Kalau kayak di Jepang, sudah ada struktur itu," ujar Direktur Pemasaran dan Purnajual PT Honda Prospect Motor, Jonfis Fandy.

Mobil purwarupa Honda Neuv dipamerkan di ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2018

Mobil purwarupa Honda Neuv dipamerkan di ajang Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2018. (ANTARA FOTO/Zarqoni Maksum)

Jika pemilik mobil listrik harus mengubah kebiasaan berkendara mereka, dari bisa mengisi bensin di mana saja ke mengecas mobil saat tiba di rumah, maka hal itu belum tentu bisa efektif diterapkan di Indonesia.

Tim riset Institut Teknologi Bandung yang ditunjuk oleh Kemenperin untuk membantu pengembangan kendaraan listrik, mengungkapkan, saat ini hanya empat persen rumah tangga yang memiliki daya listrik di atas 2.200 Volt Ampere.

Meskipun kapasitas daya itu cukup, namun saat melakukan pengisian baterai, semua daya diserap habis. Sehingga, rumah tangga dengan daya listrik 2.200 VA tidak bisa memakai perangkat listrik lainnya.

“Mobil PHEV memang jauh lebih irit dibanding HEV. Tapi, PHEV membutuhkan infrastruktur tambahan. Kalau mau segera diimplementasikan, maka mobil HEV pilihannya, karena tidak membutuhkan infrastruktur tambahan,” ujar Ketua tim riset ITB, Agus Purwadi.

Sejatinya, rakyat Indonesia tidak anti dengan perubahan dalam hal sarana transportasi. Bisa dilihat saat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghapus becak dan menggantikan bajaj merah dengan versi Bahan Bakar Gas. Semua itu akhirnya bisa diterima dan menjadi bagian dari ekosistem.

Yang diharapkan oleh pengguna adalah kendaraan listrik yang aman, mudah digunakan dan bisa didapatkan dengan harga realistis. Tidak harus murah, karena terkadang sebuah perubahan membutuhkan pengorbanan, demi masa depan yang lebih baik untuk semua. (*)

Baca Juga

Jejak Mobil Listrik

Ragam Jenis Mobil Listrik

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya