- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Semburat senja menggantung di tepi pantai Teluk Palu. Suasana meriah tampak di sepanjang garis pantai. Ratusan orang menyemut di pinggir pantai mulai dari siswa Sekolah Dasar hingga siswa Sekolah Menengah Atas juga guru dan pedagang.
Kemeriahan itu sudah berlangsung dua setengah jam sebelum pembukaan Festival Pesona Palu Nomoni 2018 yang akan dibuka Pukul 19.30, Jumat 28 September 2018.
Maghrib mulai mendekat. Firman Halide sibuk mengatur dan menata pedagang festival yang mendaftar. Derap langkah kaki mendekat. Anaknya mengajak Firman pergi ke masjid, tapi ia menunda sejenak, ingin menyelesaikan tugasnya sebelum ke masjid.
Tiba-tiba tubuh Firman terhuyung hilang kendali. Goncangan dahsyat terjadi. Firman berusaha mengendalikan posisi, menengok samping kanan dan kiri. Tenda dan bangunan rubuh semua, rata dengan tanah.
Sadar kondisi darurat. Firman berlari dengan menggendong anaknya. Pedagang sudah tak dalam pikirannya. Langkah larinya baru beberapa meter, getaran dahsyat kembali menggoyahkan larinya. Firman jatuh, anaknya lepas dari gendongannya. Ia melempar pandang ke sekitar, anaknya entah ke mana. Kalut, sekelilingnya mulai muncul air keruh warna warni mengepung dan melumatnya.
Dampak tsunami yang menghantam Palu, Sulawesi Tenggara
Firman beralih dunia. Tadi darat berganti pusaran dan ombak. Di dalam lumatan air, dia berusaha mengendalikan diri. Tapi tak berdaya. Ombak menyeretnya ke kanan, lalu kiri. Belum cukup, ombak menyeretnya ke bawah.
Pria paruh baya ini berusaha naik ke atas permukaan air. Sekuat tenaga dengan menahan nafas ia terus berusaha. Kaki dan tangannya bertolak, dengan apa yang ada di sekelilingnya. Namun, tiap kali ingin menggapai permukaan air, dia terlempar lagi ke bawah.
Situasi makin kalut. Tusukan pecahan benda pantai di tubuh sudah tak terasakan oleh Firman. Ia mulai kehabisan nafas. Seiring gerak tangan dan tubuhnya, batin Firman turut bergejolak, berdzikir dan berdoa sebisanya. Dengan sisa nafas dan tenaga, Firman berusaha lagi.
Tong sampah plastik terombang ambing ombak di tengah-tengah. Firman melihat asa. Dia kejar jeriken plastik tersebut, dengan tenaga dan nafas habis. Tinggal berenang tinggal badan, akhirnya jeriken itu berhasil dipeluknya.
"Alhamdulillah saya dapat ember tong sampah," ujar Firman mengisahkan pengalamannya menghadapi tsunami di program ILC tvOne, Selasa 2 Oktober 2018 lalu.
Firman terus mengucapkan syukur, karena selamat dari maut tsunami Palu.
Laut Longsor
Jumat, akhir pekan lalu menjadi duka nestapa bagi warga Palu dan Donggala. Gempa dan tsunami muncul memasuki petang hari.
Gempa yang melanda Palu dan Donggala pada Jumat, 28 September 2018, menjelang maghrib itu sangat kuat. Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut, magnitudo gempa tersebut mencapai 7,4 Skala Richter. Gempa tersebut menimbulkan tsunami di pesisir Pantai Palu. Dua peristiwa alam yang berbarengan itu mengakibatkan korban jiwa yang besar.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB merilis, per Jumat 5 Oktober 2018 pukul 14.00 WIB, 1.571 orang meninggal dengan rincian 144 korban jiwa di Donggala dan 1.352 jiwa di Palu, Sigi 62 orang, Parigi Moutong 12 orang dan Pasangkau Sulawesi Barat 1 jiwa; korban luka berat tercatat 2.549 orang, korban hilang 113 jiwa, tertimbun 152 orang, 66.238 rumah rusak. Gempa dan tsunami itu menyebabkan 70.821 jiwa mengungsi di 147 titik.
Aktivitas sosial di Palu dan Donggala juga lumpuh total. Listrik padam dan jaringan telepon yang tak berfungsi membuat sengsara warga semakin nyata. Komunikasi menjadi sulit, dan warga tak bisa beraktivitas dengan nyaman karena gelap. Jaringan telekomunikasi baru mulai pulih bertahap beberapa hari setelah gempa.
Korban tewas gempa dan tsunami di Sulteng
Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Mudrik Rahmawan Daryono mengatakan, gempa dipicu dinamika pada Sesar Palu Koro. Sesar ini merupakan kategori sesar geser. Berdasarkan kajian LIPI, Palu dan sekitarnya beberapa kali dilanda gempa sejak berabad lampau. Hal ini erat kaitannya dengan Sesar Palu Koro yang melintasi Sulawesi Tengah.
Penelitian Mudrik sejak 2011 mengindikasikan, Sesar Palu Koro masih aktif. Indikasinya, rentetan gempa besar dalam periode waktu tertentu.
Dalam penggalian tanah sedalam 15 sampai 20 meter yang pernah dilakukan, gempa besar pernah terjadi pada tahun 1285 dan 1415. Lapisan tanah lainnya mengindikasikan gempa pernah terjadi pada 1907, 1909, dan pada tahun 2012. Mudrik mendapati bahwa terjadi pergeseran alur sungai yang mengalir di atas patahan Palu Koro.
Alur sungai terpotong sejauh 510 meter dan naik 20 meter di bagian patahan terdekat dari Kota Palu. Di titik lainnya, sekitar Taman Nasional Lore Lindu yang dilewati patahan, alur sungai yang terpotong mencapai 585 meter dan mengalami penaikan setinggi 50 meter. "Ini akibat gempa yang terjadi dalam kurun waktu tertentu," ujar Mudrik kepada VIVA.
Mudrik mengatakan, gempa terjadi akibat siklus yang berulang setiap periode tertentu. Akan tetapi, tidak mudah menentukan siklus gempa di setiap sesar yang membentang.
Gempa Palu dan Donggala berpusat di darat, namun kenapa bisa memunculkan tsunami? Belakangan analisis para ahli gempa dan tsunami dari Institut Teknologi Bandung, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menyatakan, gempa memicu longsoran di dalam laut.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, ada dua penyebab terjadinya tsunami. Pertama, longsoran sedimen sedalam 200-300 meter di dasar laut. Teluk Palu merupakan muara beberapa sungai sehingga menimbun endapan sendimen.
Indikasi itu terlihat dari air yang mengalir. Saat tsunami awal, air masih terlihat jernih. Namun kemudian datang air dari laut yang bergelombang dan berwarna keruh. "Air keruh itu dipicu longsoran dasar laut Teluk Palu. Saat gempa terjadi longsor dan membangkitkan tsunami," katanya saat jumpa pers di kantornya, Sabtu 29 September 2018.
Kedua,tsunami di bagian luar Teluk Palu yang tidak sebesar akibat longsoran dasar laut. ?
Masjid rusak akibat dihantam tsunami di Sulteng
Tsunami akibat longsoran bawah laut disebut dengan tsunamigenic submarine landslide. Pakar geologi Rovicky Putrohadi menjelaskan dalam laman Dongeng Geologi, longsoran bawah laut terjadi akibat getaran gempa pada lereng tepi samudera yang tak stabil pada kaki prisma akresi.
Untuk terjadi sebuah longsoran bawah, harus ada syarat yakni adanya surut kritis. Di bawah laut, sudut lereng paling kritis berada di ujung paparan (shelf edge). Rovicky menuliskan, apabila lereng ini berada pada daerah jalur gempa, tentu saja sangat mudah terjadi longsor ketika ada sebuah getaran yang mengganggu. Itulah sebabnya, kata Rovicky, mengapa gempa dengan magnitudo kecil pun dapat memicu longsoran yang akan menyebabkan tsunami.
Dalam peta topografi dan batimetri laut serta peta kedalaman laut di Indonesia, wilayah laut Teluk Palu termasuk area pinggiran Paparan Sunda. Longsoran bawah laut juga bisa terjadi di area bukan ujung atau pinggiran paparan, namun kecenderungan itu tak terjadi di Indonesia. Rovicky menyebutkan, di Alaska, tsunami bisa terjadi akibat longsoran gunung es.
Rovicky menuturkan, Tsunami Palu akibat longsoran bawah laut perlu diteliti lebih dalam. Menurutnya perlu verifikasi melalui survei tambahan. "Kalau untuk yang di Palu ini, kita perlu mencari dari mana datangnya tsunami kali ini. Perlu survei. Verifikasinya harus dengan survei tambahan," ujarnya menambahkan.
Untuk proses tsunami secara umum, Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Dandi Prasetia mengatakan, melibatkan dinamika pada kerak bumi. Dia menjelaskan, kerak bumi berdinamika tak diam, mereka saling bertumbukan. Sewaktu-waktu sesar bergerak ada yang bergerak ke bawah dan ada yang bergerak ke atas. Perbedaan tinggi ini menyebabkan dispasitas air laut yang ada di atasnya.
"Nah itu menyebabkan gelombang. Gelombang itulah tsunami," ujarnya menjelaskan.
Penyebab Tsunami
Kepala Sub Bidang Info Gempabumi BMKG, Nova Heryandoko menjelaskan, dari sisi sains tsunami bisa terjadi prinsipnya karena ada perubahan di dasar laut. Dia menuturkan, gempa yang bisa memicu tsunami merupakan gempa yang bisa menimbulkan perubahan deformasi dasar laut yang terangkat. Pengangkatan dasar laut mengakibatkan perubahan kolom air di atasnya. Kondisi ini menimbulkan gelombang di perairan laut. Jika gelombang ini terjadi di laut dalam maka mengakibatkan tsunami dengan kecepatan 700 kilometer per jam.
Dia melihat, Sesar Palu Koro tak menimbulkan langsung tsunami. Namun gempa yang menggoyangkan sesar itu memicu longsoran di dasar laut. Tsunami akibat longsoran bawah laut merupakan salah satu jenis tsunami dilihat dari sisi penyebabnya.
Selain gempa dan longsoran bawah laut, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan tsunami. "Bisa juga karena gunung berapi seperti Letusan Gunung Krakatau, atau jatuhnya meteor," ujarnya.
Tsunami yang diakibatkan erupsi dahsyat Gunung Krakatau terjadi pada 26-27 Agustus 1883. Letusan pada akhir Agustus itu merupakan fase puncak erupsi Gunung Krakatau. Sebelumnya fase awal letusan dahsyat Gunung Krakatau telah terjadi sejak pertengahan Mei 1883.
Anak Gunung Krakatau erupsi
Dikutip dari Wired, letusan puncak terjadi pada pukul 26 Agustus 1883 pukul 13.00. Begitu meletus, kolom abu hitam membumbung ke langit setinggi 27 kilometer. Langit Selat Sunda yang di antara Pulau Jawa dan Sumatera menghitam.
Daratan sekitar dan di bawah Gunung Krakatau terus bergerak. Kapal-kapal yang berlayar dalam jarak 20 kilometer dari Krakatau kala itu kena dampak, dihujani abu tebal, dengan potongan-potongan batu apung panas berdiameter hampir 10 cm mendarat di dek kapal.
Kemudian tsunami kecil menghantam pesisir Pulau Jawa dan Sumatera hampir 40 kilometer jauhnya pada pukul 18.00 dan 19.00. Ledakan nyatanya tak berhenti, belanjut sampai malam hari. Petir melonjak di antara kolom abu dan daratan tempat Gunung Krakatau.
Menurut laman Live Science, kala letusan 26 Agustus diperkirakan puing-puing dari aktivitas erupsi sebelumnya telah menancap di leher Gunung Krakatau. Kondisi ini memungkinkan tekanan pada ruang magma. Ledakan 26 Agustus itu meluluhkan dua pertiga bagian utara dari pulau sekitar Krakatau.
Kedahsyatan erupsi Gunung Krakatau memuncak sehari berikutnya. Senin, 27 Agustus 1883 sekitar pukul 10.20, Gunung Krakatau meletus makin dahsyat. Kekuatannya 13.000 kali kekuatan bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Suaranya yang menggelegar didengar seperdelapan penduduk Bumi, sampai ke pulau-pulau kecil di Laut Afrika Timur.
Guncangannya memicu tsunami di wilayah perairan Selat Sunda. Lebih dari 36.000 jiwa dilaporkan tewas. Sedangkan yang tewas seketika akibat awan panas tercatat ratusan orang. Getarannya juga merusak sebagian Batavia, cikal bakal Jakarta. Petaka belum usai, abu vulkaniknya membuat dunia gelap selama dua setengah hari. Setelah mengamuk, Krakatau lalu terbenam di dasar lautan.
Mitos Tsunami
Indonesia sudah menjadi langganan tsunami. Dalam catatan BNPB, sejak 1861 hingga 2014, 29 tsunami telah melanda wilayah Indonesia. Dari total 29 tsunami tersebut, korban meninggal dan hilang tercatat mencapai 173.618 jiwa, 5962 jiwa luka-luka, 545.161 jiwa mengungsi dan 181.623 rumah rusak.
Dari data tersebut, tsunami paling merusak dan dahsyat pernah terjadi yakni Tsunami Aceh pada 2004. Bencana 14 tahun lalu yang menghancurkan Aceh dan Sumatera Utara itu telah menimbulkan korban jiwa dan meninggal 165.945 orang dan 4.662 orang luka-luka dan membuat kerugian Rp42,7 triliun.
Tsunami Aceh
Jika di peringkat, tsunami paling dahsyat selain Tsunami Aceh yakni Tsunami Flores pada 12 Desember 1992 yang menelan korban jiwa dan meninggal 2400 orang, tsunami 1973 (1.500 korban jiwa dan hilang), tsunami 1991 (1.022 korban jiwa dan luka-luka), Tsunami Pangandaran pada 17 Juli 2006 dan dua tsunami lainnya (683 korban jiwa dan hilang), Tsunami NTB, Bali, Lombok dan Sumbawa pada 1979 (539 korban jiwa dan hilang), Tsunami Mentawai pada 25 Oktober 2010 (503 korban jiwa dan hilang). Selanjutnya Tsunami 1977 (472 korban jiwa dan hilang), tsunami 1907 (400 korban jiwa dan hilang).
Hamzah Latief dkk, dikutip dari Mengelola Resiko Bencana di Negara Maritim Indonesia yang diterbitkan Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) menuliskan, selama kurun waktu 1600-2000 terdapat 105 kejadian tsunami yang 90 persen di antaranya disebabkan oleh gempa tektonik, sembilan persen oleh letusan gunung berapi dan satu persen oleh tanah longsor.
Data ahli seismologi Institut Teknologi Bandung, Nanag T Puspito, berdasarkan mekanisme sumber tersebut, 75 persen kejadian tsunami disebabkan oleh gempa bumi karena sumber gempanya berupa sesar naik, 20 persen karena sesar geser, dan 5 persen karena sesar normal.
Selain itu, data Nanang menunjukkan, 86 persen kejadian tsunami diakibatkan oleh gempa bumi pada kedalaman kurang 60 Km dengan perincian 46 persen pada kedalaman 20-40 km, 24 persen pada kedalaman 0-20 Km dan 16 persen pada kedalaman 41-60 Km, 9 persen kejadian tsunami pada kedalaman gempa bumi 60-80 Km dan 5 persen pada kedalaman 81-100 Km.
Tsunami di Indonesia sudah dikaji, dipetakan dan dikupas mendalam oleh para ahli. Data sudah berbicara, namun dari sisi mitos, tsunami punya kisah dan riwayat. Dalam mitologi, tsunami muncul karena kemarahan sosok yang kuat di dunia lain. Ada beberapa mitos tsunami yang mengelimuti berbagai daerah nusantara. Misalnya, dalam tradisi masyarakat pesisir selatan Pulau Jawa, tsunami muncul diyakini karena amukan sang penguasa laut selatan yakni Nyai Roro Kidul.
Soal hikayat ini, Anthony Reid, sejarawan dari Australian National University dalam paper-nya, Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone (2012) menyatakan, riwayat tsunami terekam dalam Babad ing Sangkala yang ditulis 1738.
Dalam babad ini, pada 1618 saat Kerajaan Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), terjadi peristiwa alam dashyat yakni laut mengamuk. Babad ing Sengkala menuliskan kemungkinan tsunami dahsyat melanda wilayah pusat Mataram atau area pantai selatan, yang mana menjadi singgasana Ratu Laut Kidul.
Reid menuliskan, pendukung Sultan Agung meyakini tsunami dahsyat tersebut bukan karena ketidakmampuan pemerintahan Sultan Agung menghadapi alam, namun bencana dahsyat ini datang sebagai tanda kekuatan supranatural penguasa laut selatan. Jejak tsunami dahsyat amukan Ratu Kidul yang melawan wilayah selatan Jawa itu terjawab oleh riset yang dipimpin peneliti LIPI, Eko Yulianto.
Pantai Parang Tritis di Yogyakarta
Reid menuliskan, setelah tsunami 2006 di Pangandaran, tim Eko menginvestigasi lokasi tsunami 2006, dan ternyata mereka menemukan ada lapisan pasir setebal 20 cm, yang secara substansial lebih dari lapisan bekas tsunami 2006 di aliran Sungai Cikuembulan. Lapisan pasir 20 cm ini ditemukan di atas lapisan lumpur yang berdasarkan penanggalan karbon bersuaia 400 tahun lalu. Lapisan ini diyakini merupakan bekas tsunami yang merusak selatan Jawa.
Dalam tradisi masyarakat Bali, gempa dan tsunami dikaitkan dengan penyu raksasa kosmik, yaki Bedawang atau Bedawang Nala. Zamidra dalam Makhluk Mitologi Sedunia (2012) menuliskan, Bedawang Nala merupakan penyu raksasa yang membawa seluruh dunia di punggungnya. Konon, Bedawang merupakan perubahan dari naga Anantabhoga, salah satu naga yang membelit Bedawang Nala. Naga satunya yakni Basuki. Anantaboghan mewakili tanah sedangkan Basuki mewakili air.
Bedawang bersama dua ular naga mendukung dunia. Jika Bedawang bergerak maka akan terjadi gempa dan letusan gunung berapi di atas bumi. ?Cameron Forbes dalam buku Under the Volcano: The Story of Bali, mitos yang diyakini Bedawang Nala dan naga tersebut terlibat dalam pembentukan Pulau Bali.
Naga Anantabogna diminta oleh dewa untuk masuk ke lapisan bawah bumi. Naga inilah yang kemudian menjadi dasar penopang daratan Bali. Menyusul naga Anantabogha, Bedawang Nala mendatangi tempat naga tersebut. Begitu Bedawang Nala datang, pegunungan, pepohonan, padi, manusia, hujan, api, ikan, burung dan hewan lainnya terciptakan di atas dasar Bedawang dan Anantabogha.
Dalam abad modern saat ini, penyu kosmik Bedawang diyakini sebagai lempeng tektonik yang menjadi dasar Pulau Bali. Jika Bedawang Nala bergerak, bisa menimbulkan goncangan atau gempa bumi dan bisa juga nantinya dampaknya menimbulkan tsunami. (Umi)
Baca Juga