- ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
VIVA – Suasana duka masih menyelimuti kediaman Haringga Sirla, Rabu 26 September 2018. Pria yang akrab disapa Ari itu merupakan korban tewas akibat pengeroyokan gerombolan suporter Persib Bandung saat menjamu Persija Jakarta di Gelora Bandung Lautan Api, Minggu 23 September 2018.
VIVA yang berkesempatan mengunjungi rumah duka di Jalan Bangun Nusa, Cengkareng Timur, Jakarta Barat, melihat bagaimana lingkungan keseharian Haringga. Dia tinggal di rumah orangtuanya yang sangat sederhana.
Rumahnya berpetak dan berada di lingkungan padat penduduk. Sang ayah bekerja sebagai sopir. Sedangkan sang ibu mengurus rumah tangga. Semasa hidup, kesibukan Ari adalah bekerja di tempat kakak iparnya.
Sang kakak Mayrisa Sirawati atau Lisa, mengenang sosok adik kandungnya. Ari disebutnya merupakan seorang periang, meski tak jarang membuatnya sebal.
"Dia anak baik, ceria, suka becanda walau terkadang nyebelin. Dia anak bontot dari dua bersaudara," kata Lisa kepada VIVA.
Sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) Ari sudah mencintai Persija. Akan tetapi, baru beberapa bulan lalu dia resmi mengantongi kartu anggota yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat (PP) Jakmania.
“Ari sudah lama cinta Persija, setahu saya sejak SMP. Nah, kemudian dia daftar sebagai anggota The Jak sekitar tiga atau empat bulan lalu. Kartu tanda Anggota baru dia dapat seminggu sebelum kejadian nahas itu. Dia baru terdaftar sebagai anggota kok,” ujar sang ayah, Siloam Tumangkeng.
Namun, siapa sangka, justru karena kecintaannya itulah dia meregang nyawa. Tak ingin Macan Kemayoran berjuang sendirian, dia memilih nekat. Padahal, beberapa hari sebelumnya, ada edaran dari PP Jakmania yang melarang Jakmania datang ke Bandung.
Bisa dibilang, kenekatan Ari tetap ke Bandung sebagai pelanggaran dari disiplin organisasi karena tidak mematuhi larangan. Menurut Ketua Umum PP Jakmania, Ferry Indrasjarief, pihaknya bisa saja memberlakukan hukuman, tapi hal itu tak serta merta bisa membuat jera anggota.
"Kita edukasi dan imbau anggota kita untuk tidak datang. Tetapi, ketika ada pelanggaran, paling jauh kita melakukan sanksi cabut kartu (anggota). Setelah itu mereka bukan lagi menjadi anggota, dan kita tidak punya hak lagi untuk menghukum. Artinya, dia (pelanggar) masih akan ada, dengan segala kemauannya," tuturnya.
Yang membuat tragis, kasus yang menimpa Ari bukanlah insiden pertama. Data yang dihimpun dari berbagai sumber menyebutkan, Ari adalah korban ke-7 yang meregang nyawa akibat dari panasnya rivalitas Persib dan Persija sejak 2012 lalu.
27 Mei 2012 menjadi hari kelam bagi tiga pemuda, yakni Rangga Cipta Nugraha, Lazuardi, dan Dani Maulana. Ketiganya saat itu meregang nyawa di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), lokasi digelarnya pertandingan Persija melawan Persib.
Setelah itu, tensi agak menurun. Baru empat tahun berselang, tepatnya 6 November 2016, ada dua pendukung Persija yang tewas. Mereka adalah Gilang dan Harun Al Rasyid yang dikeroyok di Tol Palimanan, Cirebon usai mendukung Macan Kemayoran melawan Persib di Stadion Manahan, Solo.
Selang setahun kemudian, Ricko Andrean menjadi korban pengeroyokan di Stadion GBLA. Dia adalah korban salah sasaran, karena dituduh pendukung Persija. Sejatinya Ricko merupakan seorang pendukung Persib yang di media sosial menunjukkan kecintaan kepada klub begitu mendalam.
Aksi kekerasan yang melibatkan suporter tidak hanya terjadi di area stadion. Pada awal Agustus 2018 silam, sekelompok suporter Persitara Jakarta Utara terlibat tawuran dengan warga di fly over Pasar Rebo, Ciracas, Jakarta Timur.
Dalam insiden ini, tak hanya mengakibatkan seorang meninggal dunia. Namun, juga mengakibatkan dua orang lainnya mengalami luka-luka parah.
Insiden tawuran ini dipicu aksi sekitar 300 suporter yang turun ke jalan untuk mengambil makanan dan minuman pedagang di pinggir jalan. Tak terima dengan hal itu, pedagang dan masyarakat sekitar lokasi memberikan perlawanan terhadap suporter. Bentrok pun terjadi.
Sementara itu, pada Mei 2018 lalu, konvoi bus suporter Persija diserang sekelompok orang tak dikenal saat melintas di Jalan Tol Jakarta Bogor Ciawi, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ratusan bus yang sedang konvoi dari Stadion Pakansari ke Jakarta, diserang OTK (orang tak dikenal) dari tepi jalan.
OTK menyerang bus-bus yang ditumpangi Jakmania, dengan cara melempari batu ke arah bus. Sejumlah bus mengalami kerusakan. Ratusan Jakmania yang berada dalam bus pun menyerang balik OTK yang bersembunyi di semak-semak tepian tol.
Petugas Brimob yang mengawal konvoi dibuat kewalahan, sebab Jakmania dan OTK saling berbalas serangan. Bahkan, mereka sempat perang mercon. Akibat bentrokan ini, ruas jalan Tol Jagorawi di kedua arah sempat lumpuh.
Beberapa insiden ini, merupakan bagian kecil saja dari begitu banyaknya aksi kekerasan yang melibatkan suporter sepakbola. Tidak aneh jika aksi kekerasan suporter bak sesuatu yang tidak terpisahkan dalam sepakbola Indonesia.
Lantas mengapa suporter Indonesia seolah tak pernah mau berhenti bertindak beringas. Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmine, menganggap terus berulangnya kasus kekerasan suporter sebagai indikasi bahwa mereka menganggap bukan lagi hal yang asing, dan menjurus menjadi budaya. Mereka tak cuma belajar dari dalam negeri, tetapi juga yang terjadi di kalangan suporter Inggris.
"Contohnya di Inggris, fenomena praktek kekerasan antarsuporter sepakbola kerap terjadi dan disebut sebagai holiganism. Selain itu sebenarnya berkembang juga subkultur Ultras di kalangan suporter sepakbola yang lebih menggambarkan penggunaan seni untuk mendukung para pemainnya. Sehingga kelompok suporter sepakbola telah menjadi subkultur tersendiri," tuturnya.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, juga punya pandangan akan masalah ini. Menurut dia, dalam kasus suporter di Indonesia, fanatisme daerah menjadi salah satu faktor utama. Menjadi kelewat batas karena ada pandangan dari suporter yang menganggap kelompok berbeda sebagai musuh.
"Dari mana datangnya kekerasan? Saya lihat datang dari fanatisme yang berlebihan. Dalam agama juga, kita tahu bahwa semua yang berlebihan, tidak baik," ujar pria yang akrab disapa Kang Emil itu.
Meski fanatisme daerah dianggap sebagai salah satu pemicu, namun pengamat sepakbola Indonesia, Budiarto Shambazy, punya pandangan lain. Menurut dia, rivalitas dalam sepakbola justru bagus, hanya memang cara mengelolanya mesti bagus.
"Kalau di Indonesia ini karena fanatisme daerah. Sangat kental. Apalagi, jaman perserikatan. Itu kan alasannya bermacam-macam. Tapi, fanatisme daerah itu bukan hal negatif. Kalau dirawat, dijaga malah menguntungkan untuk sepakbola," jelas Budiarto.
Menanggapi masalah ini, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmyadi, seolah tak ingin disalahkan. Dia menyebut pembinaan suporter bukanlah tanggung jawab pihaknya, sehingga justru meminta kepada pemerintah daerah agar bisa mengambil alih masalah tersebut.
"Job desk PSSI tidak ada sampai pembinaan ke suporter. PSSI hanya membina atlet dan penyiapan atlet. Terus siapa yang membina suporter? Ini yang nanti kita perlu bahas," kata Edy.
"Saya mohon kehadiran pemerintah, kehadiran negara ini. Kalau di Pengprov (tingkat provinsi), Gubernurnya yang bertanggung jawab. Mau bikin apa, silakan," imbuhnya.
Bagi Budiarto, pernyataan Edy tersebut memang ada benarnya. Di negara yang kompetisi sepakbolanya maju, suporter merupakan kelompok yang independen. Tapi, di Indonesia bisa saja dibuat kebijakan lain, seperti pembentukan direktorat khusus suporter dalam tubuh PSSI.
"Bagusnya ada seorang direktur di PSSI yang urusannya suporter. Paling tidak nanti dialog dengan suporter. Di dalamnya nanti banyak yang bisa digarap. Hubungan mereka itu nantinya bisa jadi menguntungkan dari segi komersial, edukasi, dan sepakbola itu sendiri," ujarnya.
Merangkul ke Arah Positif
Terkait pembinaan suporter, sejumlah klub di Indonesia sebenarnya sudah mulai melakukannya. Salah satunya seperti yang dilakukan Persebaya Surabaya. Mereka bahkan menjadikan kelompok suporter sebagai partner dalam membangun klub.
Langkah yang diambil Persebaya awalnya memang menemukan resistensi dari suporter. Karena manajemen pimpinan Azrul Ananda, ingin keluar dari kebiasaan yang ada di Indonesia selama ini.
Di mana suporter biasanya masuk sub-manajemen seperti yang disebutkan Ridwan di atas. Dengan skema tersebut, biasanya suporter akan mendapat potongan harga atau jatah tiket.
Sebagai klub profesional, Persebaya menggugurkan sistem tersebut. Untuk membangun tim yang berkelanjutan selama bermusim-musim ke depan, pemasukan maksimal amat dibutuhkan.
"Sejak Liga 2 2017, sudah tidak berlaku seperti itu. Jadi suporter sebagai partner memiliki pemahaman bahwa tim ini butuh dana besar sehingga harus ada pemasukan. Awalnya ada resistensi karena contoh di tempat lain tidak sama. Tapi, kita bilang, kalau mau belajar, kita harus melihat seperti yang ada di Eropa," kata Sekretaris Tim Persebaya, Ram Surahman, saat dihubungi VIVA, Kamis 27 September 2018.
Meski begitu, Persebaya tak lantas cuma mencari keuntungan semata dari suporter. Manajemen juga membuat program sosial bekerja sama dengan beberapa pihak yang ditujukan untuk kepentingan para Bonek.
"Kami juga ada program CSR (corporate social responsiblity), bersama Honda kami lakukan pelatihan mekanik buat suporter. Jadi secara berkala Bonek ikut dalam pelatihan itu. Ditambah lagi kami bersama Polrestabes kita bikin program 'Wani Tertib'. Itu edukasi mengenai keamanan berkendara. Karena angka kecelakaan lalu lintas teman-teman Bonek saat mau nonton Persebaya tinggi juga," jelasnya.
Manajemen tim berjuluk Bajul Ijo juga sudah membuat kartu Persebaya Selamanya. Setiap orang yang membuatnya, dikenakan biaya Rp20 ribu. Namun, setengah dari uang tersebut disisihkan untuk kas Bonek.
Sejauh ini sudah ada 20 ribu Bonek yang membuat kartu Persebaya Selamanya. Itu berarti total kas mereka mencapai Rp200 juta. Untuk memastikan dana yang ada dikelola secara transparan, beberapa pihak diajak turut serta masuk sebagai koordinator.
"Karena Bonek ini tidak ada struktur kepengurusan, kita juga membentuk koordinator bersama, terdiri dari sembilan orang. Perwakilan Pemerintah Kota itu Wakil Wali Kota, Kasat Intel sebagai perwakilan dari Kepolisian, manajemen ada tiga, dan perwakilan suporter masing-masing tribun, utara, selatan, barat, dan timur," tutur Ram.
Lain cara yang ditempuh oleh PSM Makassar, mereka menganggap suporter sebagai pihak yang harus diajak bersatu. Karena itulah, komunikasi terus dijalin oleh manajemen klub berjuluk Laskar Juku Eja tersebut.
"PSM itu seperti selalu saya bilang. (P)emain, (S)uporter, dan (M)anajemen. Jadi semuanya saling terkait. Suporter tidak mau bertindak yang akibatnya bisa merugikan tim. Setiap mau dukung tim di luar kandang, suporter selalu bicara kepada kami. Mereka bicara berapa banyak orangnya. Komunikasi itu terus terjalin," papar CEO PSM, Munafri Arifuddin.
Kepergian Ari harus dijadikan momentum perbaikan oleh mereka yang berada di dalam ruang lingkup sepakbola. Sistem untuk mengubah kultur kekerasan di kalangan suporter mesti dibangun. Rivalitas dirawat dengan baik agar memberi dampak positif bagi sepakbola itu sendiri. (one)
Baca Juga