SOROT 519

Dari Gibraltar Islam Menjalar di Eropa

Kota Putih Andalusia
Sumber :
  • Amusing Planet

VIVA – Tarifa, sebuah kota kecil di ujung paling selatan benua Eropa, kini menjadi salah satu destinasi wisata pantai andalan di Spanyol. Kawasan semenanjung kecil itu letaknya memang cukup jauh dari Madrid, kira-kira 520 kilometer ke selatan ibu kota Spanyol. Tetapi itulah keistimewaan Tarifa, sebagaimana orang bijak berkata, keindahan dunia alam terletak di bagian kecilnya.

Nama Tarifa bukan diambil dari bahasa Spanyol, tetapi justru Arab, bahasa yang digunakan oleh masyarakat yang letaknya tujuh ribu dua ratus kilometer ke timur dari semenanjung itu.

Riwayatnya dimulai ketika balatentara Islam yang terdiri seratus pasukan kavaleri dan empat ratus pasukan infanteri mendarat di semenajung itu pada Juli 710. Pasukan itu dipimpin oleh Tharif ibn Malik, seorang letnan kepercayaan Musa ibn Nushair, gubernur di Afrika Utara pada periode kekhalifahan Umayyah yang beribu kota di Damaskus, Suriah. Sejak itulah nama Tharif diabadikan menjadi nama kota mungil tersebut. Lidah orang lokal barangkali melafalkannya Tarif dan lama-kelamaan menjadi Tarifa.

Tarifa menjadi semacam batu loncatan bagi ekspedisi muslim berikutnya yang lebih besar ke Eropa. Setahun setelah Tharif menduduki kota itu, gubernur Musa memerintahkan seorang letnan budak Berber yang telah dimerdekakan, Thariq ibn Ziyad ke Spanyol dan memimpin 7.000 pasukan lalu menyusul bantuan 12.000 pasukan.

Ilustrasi kaum muslim menyiarkan agama Islam.

Ilustrasi penyebaran Islam

Setelah menyeberangi satu selat dari pesisir Ceuta di Afrika Utara, Thariq dan balatentaranya mendarat di dekat gunung batu besar di sisi timur Tarifa. Thariq dan pasukannya kemudian berhadapan dengan 25.000 prajurit kerajaan Spanyol Gotik Barat pimpinan Roderick di mulut Sungai Barbate di pesisir laguna Janda pada 19 Juli 711. Roderick dipukul mundur oleh Thariq, dan pasukan muslim merebut kota-kota di sekitarnya. Gunung batu besar tempat Thariq kali pertama mendarat di benua biru itu kelak disebut Jabal (gunung) Thariq atau Gibraltar. Sementara selat selebar tiga belas mil yang diarunginya dinamai Selat Gibraltar.

Andalusia

Thariq dan pasukan muslimnya memasuki dengan mudah kota-kota Spanyol setelah mengalahkan Roderick. Legiun Thariq segera menyapu jalan melewati Ecija menuju Toledo, ibu kota Gotik Barat, dan mengirimkan sejumlah pasukan ke kota-kota tetangga. Satu per satu kota-kota di Spanyol direbut: Arkidona, Elvira dekat Granada, Kordova--ibu kota masa depan umat Islam--, Malaga, dan akhirnya Toledo.

Musa sang gubernur turun tangan dan mempercepat penaklukan Spanyol. Dengan 10.000 tentara Arab dan Arab Suriah. Musa menuju Spanyol dan menyerang kota-kota kecil yang dihindari Thariq, seperti Medina Sidon dan Carmona. Sevilla, kota terbesar dan pusat intelektual Spanyol yang pernah menjadi ibu kota Romawi, bertahan cukup lama tetapi akhirnya menyerah pada Juni 713. Merida juga takluk pada bulan itu.

Dalam masa yang sama, Thariq terus melancarkan penaklukan dan kota-kota lain yang tersisa berhasil direbut, antara lain Saragossa, Aragon, Leon, Asturia dan Galicia.

Segera setelah rangkaian penaklukan itu, Spanyol menjadi salah satu provinsi kekaisaran Islam dengan gubernur pertamanya, Abd al-Aziz, putra Musa ibn Nushair. Penguasa muslim kemudian menyematkan nama Al-Andalus kepada wilayah itu, yang kemudian lebih dikenal dengan Andalusia. Musa hanya menyisakan sedikit wilayah kecil di sebelah utara dan timur semenanjung untuk ditaklukkan oleh penerusnya. Dalam waktu singkat, kira-kira tujuh tahun, penaklukan semenanjung itu sepenuhnya rampung. Para penakluk kemudian tinggal di sana selama berabad-abad.

Pendudukan Spanyol sebenarnya awal babak kedua penaklukan Islam setelah Nabi Muhammad wafat pada 8 Juni 632, sepuluh tahun setelah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya hijrah atau pindah dari Mekah ke Madinah, Arab Saudi. Babak pertamanya dimulai pada masa Nabi kemudian dilanjutkan empat khalifah penerusnya yang disebut khulafaur rasyidin: Abu Bakar (632-634), Umar (634-644), Ustman (644-656), dan Ali (656-661). Kemudian diperluas lagi oleh Muawiyah sebagai khalifah kelima yang menggantikan Ali.

Muawiyah menjadi khalifah pada 661-680. Keturunan ketiga Umayyah itu sebelumnya menjabat gubernur Suriah dan, setelah menggantikan Ali, dia menetapkan Damaskus sebagai ibu kota kekhalifahan.

Sejarawan Philip K Hitti dalam bukunya, A Short History of the Arabs, menyebut Muawiyah si cerdik dan piawai dalam urusan pemerintahan. Muawiyah berhasil menegakkan stabilitas di wilayah kekuasaan kekhalifahan setelah dilanda kekacauan akibat konflik berdarah menyusul pembunuhan khalifah Ustman dan Ali.

“Kecakapan Muawiyah dalam urusan pemerintahan,” kata Hitti, “sangat mengesankan. Ia berhasil mengubah keadaan negeri yang kacau-balau menjadi satu komunitas muslim yang teratur dan sejahtera. Angkatan perangnya terkenal sebagai angkatan perang yang paling disiplin dalam sejarah kemiliteran Islam.”

Perang Andalusia.

Perang di Andalusia

Tiga puluh tahun setelah Muawiyah wafat, setelah anak-cucunya menggantikan dia sebagai khalifah, kekuasaan Dinasti Umayyah telah mencapai negeri-negeri Suriah, Irak, Persia, Mesir, dataran Mongolia (Bukhara, Tasykent, dan Samarkand), Punjab selatan hingga provinsi-provinsi di sekitar perbatasan India. Pasukan muslim berusaha merebut Konstantinopel, ibu kota Bizantium, namun terhenti di dekat dinding pertahanan kota di Laut Marmara dan di Bosporus. Pasukan muslim yang bergerak ke arah barat menerobos daerah Afrika Utara hingga mencapai Kartago dan kota-kota pesisir di sekitarnya.

Periode setelah itulah yang disebut Hitti sebagai babak kedua penaklukan Islam. Spanyol-lah bidikan pertamanya hingga gubernur Musa di Afrika Utara mengirim ekspedisi Tharif dan Thariq.

Memang, penaklukan tak berhenti di Spanyol melainkan terus bergerak ke utara. Pada 717-718, penerus ketiga Musa, al-Hurr ibn Abd Al-Rahman al-Tsqafi, melintasi Pyrenees, satu wilayah rintangan terakhir untuk penaklukan berikutnya, Prancis. Di bawah pimpinan al-Samh ibn Malik al-Khaulani disusul Abd al-Rahman al-Ghafiqi, pasukan muslim merebut satu per satu kota-kota yang tersisa di Spanyol kemudian Prancis: Septimania, Narbonne, Tolouse, Bordeaux, benteng Poitiers, merangsek ke utara menuju kawasan Tours.

Ekspedisi militer itu terhenti di persimpangan Clain dan Vienne, kawasan antara Tours dan Poitiers, pada Oktober 732. Ketika itu Abd al-Rahman bertemu Charles Martel, penguasa istana Merovingia. Angkatan bersenjata Abd al-Rahman dan Charles bertempur selama tujuh hari. Pasukan Charles gagal ditembus oleh balatentara Abd al-Rahman. Sang penyerang kalah dan Abd al-Rahman gugur dalam pertempuran itu.

Pertempuran antara Abd al-Rahman dan Charles itu dianggap salah satu pertempuran penting dalam sejarah. Namun Hitti berpendapat berbeda dan menganggapnya biasa saja. Alasannya, gelombang penaklukan pasukan muslim telah mencapai hampir seribu mil dari titik pemberangkatannya di Gibraltar, tempat Thariq kali pertama mendarat. Operasi penaklukan itu telah mencapai perhentian alamiahnya.

“Mereka telah kehilangan momentumnya dan kehabisan tenaga. Kecemburuan dan perselisihan internal antara dua komponen rasial, Arab dan Berber memengaruhi semangat juang balatentara Abd al-Rahman,” kata Hitti dalam History of the Arabs.

Sesungguhnya pergerakan muslim masih berlangsung setelah kekalahan di Tours, meski berskala kecil, misal, merebut Avignon pada 734 dan menduduki Lyons pada 743. "Namun,” Hitti berargumentasi,” kekalahan di Tours telah menandai batas terjauh gerakan pasukan muslim. Seratus tahun setelah wafatnya Rasulullah, wilayah kekuasaan penerusnya di Damaskus telah menjadi imperium dunia yang terbentang dari Cina hingga Gaul."

Imperium Baru di Kordova

Di sela-sela operasi penaklukan, pada 719, al-Samh ibn Malik al-Khaulani memindahkan ibu kota provinsi Spanyol dari Toledo ke Kordova. Al-Samh membangun jembatan di Kordova yang melintasi sungai Guadalquivir dengan meneruskan sisa-sisa bangunan lama Romawi.

Kordova sejak saat itu bertransformasi menjadi pusat pemerintahan dan militer, ringkasnya kota penting dan strategis. Kota itu bahkan menjadi pusat perebutan dua faksi besar bangsa penakluk, yaitu Mudariyah (kalangan Arab Utara) dan Yamaniah (kalangan Arab Selatan). Kelompok yang disebut terakhir dianggap bersimpati kepada Dinasti Abbasiyah, rezim baru di Baghdad, Irak (berdiri tahun 750).

Di penghujung 755, ketika Mudariyah dan Yamaniah bertikai di Kordova, tersiar kabar bahwa seorang pemuda Umayyah bernama Abd al-Rahman ibn Muawiyah, cucu Hisyam, khalifah kesepuluh di Damaskus, baru saja mendarat di pantai selatan Granada. Urusan Abd al-Rahman ke sana tentu saja bukan untuk melancong melainkan merebut kekuasaan di Kordova. Posisinya di Granada hanya 172 kilometer untuk menuju Kordova.

Abd al-Rahman adalah satu-satunya anggota keluarga Umayyah yang selamat dari pembantaian oleh Bani Abbasiyah di Damaskus. Abd al-Rahman mencapai Granada setelah melarikan diri dan mengembara melewati Palestina, Mesir, dan Afrika Utara. Dia berhasil membangun kekuatan setelah mengumpulkan bekas pengikutnya atau kelompok yang dilindungi penguasa Umayyah.

Ringkas cerita, Abd al-Rahman merebut Kordova dari tangan sang gubernur Spanyol, Yusuf, pada Mei 756. Spanyol kala itu sudah berada di bawah rezim baru, Dinasti Abbasiyah, dengan ibu kota pemerintahan pusat di Baghdad dan khalifah al-Manshur.

Seolah ingin mengirim pesan kepada penguasa di Baghdad bahwa dia masih hidup dan sehat walafiat, Abd al-Rahman membunuh gubernur Spanyol yang ditempatkan di Kordova oleh al-Manshur. Kepala sang gubernur lalu dikirimkan kepada Al-Manshur, yang ketika itu sedang berhaji di Mekah. Al-Manshur, dikutip dari History of the Arabs, berseru, "Puji syukur kepada Allah karena telah menghamparkan lautan antara kami dengan sang musuh!"

Ilustrasi pasukan muslim.

Ilustrasi pasukan Islam

Pelan tapi pasti, Abd al-Rahman mengukuhkan kekuasaannya dengan membentuk sebuah angkatan bersenjata yang berdisiplin tinggi dan terlatih, terdiri atas 40.000 prajurit bangsa Berber. Sejak saat itu, dia menghentikan tradisi penyebutan nama khalifah dalam khotbah-khotbah salat Jumat, sebuah sikap politik tak mengakui kekuasaan Abbasiyah di Baghdad.

Abd al-Rahman mengklaim diri sebagai khalifah dan cukup puas dengan gelar amir, meski kekuasaannya yang independen. Spanyol kemudian menjadi provinsi pertama yang menggoyang otoritas khalifah di Baghdad yang diakui oleh sebagian besar dunia Islam.

Setelah relatif berhasil menciptakan konsolidasi dan ketenteraman masyarakat, Abd al-Rahman mulai mempercantik kota-kota di wilayah kekuasaannya, membangun sebuah saluran besar sebagai sarana pemasok air bersih ke Ibu Kota, dan memprakarsai pembangunan tembok di sekeliling saluran itu. Dia juga membangun lagi Masjid Kordova. Kemegahan masjid itu, setelah disempurnakan dan diperluas oleh penerusnya kelak, menandingi keagungan dua rumah ibadah Islam di Yerusalem dan Mekah.

Delegasi Kiny Cultura Indonesia Mendapatkan Grand Champion Tarian Indonesia Di Spanyol

Bangunan Masjid Kordova yang monumental itu, yang diubah menjadi sebuah katedral Kristen saat penaklukan kembali oleh Ferdinand III tahun 1236, bertahan sampai sekarang dengan nama populer La Mezquita (masjid).

Abd al-Rahman disebut juga memprakarsai gerakan intelektual yang membuat Spanyol-Islam dari abad sembilan sampai sebelas menjadi salah satu pusat kebudayaan dunia. Dinasti yang didirikan Abd al-Rahman, yang dijuluki ad-Dakhil (pendatang baru), bertahan selama dua per empat abad (756-1031).

Raja Spanyol Dilempari Telur hingga Lumpur saat Kunjungi Korban Banjir

Andalusia Runtuh dan Hari Terakhir Granada

Kekhalifahan Umayyah di Spanyol mulai mengalami kemunduran, menurut Hitti, setelah kematian khalifah al-Hajib al-Manshur, yang dijuluki Bismarck abad kesepuluh, pada 1002. Para keturunan penerusnya berebut takhta dan saling bunuh serta saling mengkudeta, mulai Abd al-Malik al-Muzhaffar (1002) hingga Hisyam III (1027-1031).

Bencana Banjir Dahsyat di Spanyol, Total Korban Tewas Mencapai 211 Orang

Hisyam III naik takhta saat kondisi kekhalifahan dilanda kekacauan akibat konflik internal dan aneka pemberontakan itu. Rakyat Spanyol pun lelah dengan konflik berkepanjangan dan silih berganti penguasa serta pemerintahan. Orang Kordova akhirnya mengambil tindakan radikal, dan menghapuskan kekhalifahan sepenuhnya.

Muncul sedikitnya 20 negara kecil di wilayah-wilayah Umayyah di Spanyol. Di antaranya, dinasti Ziriyah yang berbasis di Granda, yang kemudian dihancurkan oleh kelompok Murabitun Maroko; dinasti Hamudiyah di Malaga, Banu dzu al-Nun di Toledo; dinasti Murabitun di Seville; dinasti Muwahidun di Maroko kemudian pindah ke Seville, dinasti Nashriyah di Granada, dan lain-lain. Namun semua kerajaan itu berumur pendek.

Saat Islam tak lagi menjadi kekuasaan tunggal dan para penguasanya malah saling bertikai pada paruh pertama abad kesebelas itu, kekuatan Kristen mulai bangkit dan sedang menjalankan proyek penaklukan kembali. Pada paruh abad ketiga belas, proyek penaklukan kembali itu hampir tuntas, kecuali Granada. Toledo direbut pada 1085, diikuti Kordova pada 1236, dan Seville pada 1248.

Peradaban Islam di Andalusia (Spanyol).

Peradaban Islam di Andalusia

Perkawinan Ferdinand dari Aragon dan Isabelle dari Castille pada 1469 mempersatukan dua kerajaan itu untuk selamanya. Penyatuan itu menjadi lonceng kematian bagi kekuasaan Islam di Spanyol. Granada, yang ketika itu dikuasai dinasti Nashriyah, tak dapat berbuat banyak, ditambah pertikaian internal para penerusnya sehingga mereka kian tak berdaya menghadapi musuh yang sedang bangkit.

Pada 1491, Ferdinand dan sepasukan tentara dengan 10.000 kuda memasuki Granada. Ia menghancurkan ladang pertanian, dan kebun buah-buahan, kemudian mengepung benteng terakhir Islam di Spanyol. Akhirnya pasukan muslim menyerah dan kota terakhir imperium Umayyah di Andalusia itu jatuh. Orang Castile mulai memasuki Granada pada 2 Januari 1492.

“Salib menggantikan bulan sabit di menara-menara kota itu,” tulis Hitti sang profesor Semit di Princeton University, New Jersey, Amerika Serikat. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya