SOROT 519

Geliat Muslim Eropa, Semangatnya Mendunia

Masjid Agung Brussels, Belgia
Sumber :
  • REUTERS/Yves Herman

VIVA – Berdarah Turki, Hanife Karakus adalah putri pasangan suami istri pendatang alias imigran, yang hijrah ke Prancis lebih dari tiga puluh tahun silam. Sebagian besar masa hidupnya ada di Eropa. Tapi Hanife masih bisa berbahasa bawaan orangtuanya, Turki.

5 Orang Luka-luka dalam Baku Tembak Geng Narkoba di Poitiers, Prancis

Dia kini menjadi wanita karier di Prancis, salah satu negara terkemuka di Benua Eropa. Hanife karena itu mengidentifikasikan diri sebagai seorang pengacara asal Prancis.

Meski demikian, atribut keagamaan maupun kultural belum sepenuhnya hilang dari penampilan perempuan  berdarah Turki ini. Dia masih terbiasa menutup kepalanya dengan selendang maupun kerudung sehelai meski tak ditutup rapat. Cenderung kerudung dibandingkan jilbab atau yang sekarang biasa disebut hijab.

Tentara Israel dan Pemukim Ilegal Bersenjata Serang Delegasi Penyelidik Internasional di Tepi Barat

Hanife bercerita bahwa hidup di Eropa membuatnya bisa andil dalam menentukan nasib sendiri termasuk soal pendidikan, dia memilih bidang hukum. Pula perjodohan. Dia tak lagi wajib ikut dalam rencana perjodohan yang diatur keluarga. Hanife bisa memilih sendiri calon pasangan hidup.

Dia menikah dengan pria pilihannya. Mereka bahkan bertemu melalui sebuah situs di internet tanpa ada campur tangan kerabat dalam pertemuan itu. Setelah menikah, Hanife lanjut berkarier. Dia bahkan menjadi pemimpin salah satu dari 25 Dewan Islam Regional di Prancis dan posisinya membuat dia banyak berhubungan dengan pria muslim di Prancis dalam konteks profesional.

AS hingga Eropa Longgarkan Kebijakan Moneter, KSSK Sebut Stabilitas Keuangan RI Terjaga

Hanife mengakui, meski sudah berada di negara sekuler namun tak semua pria Muslim mudah menerima wanita sebagai pemimpin maupun rekan kerja. Namun, seiring waktu berlalu, dia bisa diterima sebagai salah satu pentolan di Dewan tersebut.

“Awalnya bahkan ada pria yang tak mau bicara dengan saya mungkin karena merasa tidak nyaman atau tak tahu harus bagaimana berbicara kepada seorang wanita,” kata Hanife tersenyum, dikutip dari The New York Times.

Lain lagi kisah Nadir Dendoune yang sudah sejak tahun 1980-an bermukim di Prancis. Hidup dalam komunitas keturunan Muslim Arab di bagian utara Kota Paris, Dendoune menggambarkan perbedaan kondisi lingkungan tempat tinggalnya pada saat awal-awal dia tinggal di Eropa dan saat ini.

Pria tersebut mengatakan, dahulu, tahun 1980-an Paris sangat berbeda dalam hal populasinya. Bahkan tempat tinggalnya L’Ile Saint-Denis juga kini sebagian besar sudah dihuni oleh para imigran dan keturunannya.

“Kami kebanyakan hidup miskin, ada orang Prancis, Eropa Timur juga Afrika dan Arab,” kata Dendoune dipublikasikan BBC beberapa waktu yang lalu.

Menurut dia, setidaknya dalam dua dekade, komposisi penduduk yang awalnya kebanyakan oleh warga kulit putih atau keturunan Anglo-Saxon perlahan mulai berubah. Hal itu juga nyata terlihat di sekolah-sekolah dan menunjukkan bahwa populasi pendatang, termasuk komunitas Muslim, bertambah bila diamati dengan kasat mata.

“Dahulu di foto sekolah saya lebih dari separuh adalah anak-anak kulit putih . Kalau sekarang justru sebaliknya, mungkin mereka hanya ada satu dua menyempil,” kata pria keturunan imigran tersebut.

Muslimah di Eropa.

Muslimah di Eropa

L’Ile St-Denis merupakan salah satu wilayah permukiman di pinggiran Prancis yang banyak dihuni oleh para imigran khususnya dari Afrika yang sudah menghuni area itu sejak tahun 1960-an. Diketahui banyak negara di Afrika Utara yang memang koloni Prancis dahulu kala.  

Selain warga keturunan Afrika, wilayah ini juga dihuni oleh keturunan imigran asal Aljazair, Maroko, Tunisia. Selain di L’Ile St-Denis, sebagian besar mereka juga tinggal di pinggiran Kota Paris, Lille, Lyon, Marseille dan kota-kota lainnya.

Awalnya, mereka disebut warga keturunan Afro Prancis maupun Arab Prancis. Belakangan, warga keturunan yang kebanyakan memeluk agama Islam ini cenderung menyebut diri sebagai Muslim Prancis.

Pertumbuhan Pesat
Hingga tahun 2018, Muslim termasuk komunitas minoritas di belahan dunia Eropa. Walaupun untuk negara-negara tertentu khususnya di Eropa Barat, jumlah populasi Muslim disebutkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Menurut data lembaga penelitian ternama asal Amerika Serikat, Pew Research Centre, tahun 2016, sebaran dan rasio penduduk Muslim di Prancis dan Swedia bahkan termasuk yang paling banyak. Muslim keturunan, paling banyak dicatat berada di Prancis dan Jerman.

Hingga pertengahan tahun 2016, penduduk Muslim di Prancis berjumlah 5,7 jiwa atau 8,8 persen dari populasi negara tersebut. Sementara Muslim di Jerman pada periode tersebut hingga 5 juta jiwa atau 6,1 persen.

Lalu di Inggris, populasi Muslim 4.130.000 atau 6,3 persen dari populasi penduduknya. Italia menempati urutan ke-4 dengan jumlah 2.870.000 atau 4,8 persen. Di posisi ke-5, Belanda dengan jumlah 1.210.000 atau 7,1 persen dari penduduknya dan disusul Spanyol yang penduduk Muslim berjumlah 1.180.000 atau 2,6 persen penduduk negeri tersebut.

Menurut riset lembaga Pew Research, populasi Muslim mulai tahun 2010 hingga tahun 2016 terus mengalami peningkatan yang jumlahnya stabil bahkan cenderung naik. Tingkat pertumbuhannya bahkan lebih dari 1 persen. Pada tahun 2010, populasi Muslim di seluruh Eropa berjumlah 19,5 juta namun tahun 2016 sudah berada di angka 25,8 juta yakni 3,8 persen menjadi 4,9 persen.

Pertumbuhan ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan adanya beberapa faktor yang dipaparkan Pew dalam rilis penelitiannya. Disebutkan, jumlah Muslim Eropa dalam periode yang sama akan bisa digandakan namun tergantung seberapa ketat kebijakan imigran masuk ke negara-negara benua biru.

Tahun 2050 diperkirakan penduduk muslim Eropa akan bertumbuh hingga 11,2 persen bahkan lebih. Tanpa harus memperhitungkan kebijakan pengetatan imigran, pertumbuhan Muslim Eropa tetap diperkirakan bisa hingga 7,4 persen menyusul tingginya angka generasi muda Muslim dan tingkat usia subur dan produktif. Walau faktor terbesar bertambahnya penduduk Muslim ini adalah imigrasi.

Pertengahan tahun 2016, rata-rata usia Muslim Eropa adalah 30,4 tahun yaitu 13 tahun lebih muda dari median atau rata-rata penduduk Eropa pada umumnya yang berumur 43,8 tahun. Setengah penduduk Muslim Eropa berada di bawah usia 30 tahun. Sementara penduduk non-Muslim sekitar 32 persen yang berada di bawah usia 30 tahun. Selain itu, wanita Muslim di Eropa cenderung memiliki anak dua hingga tiga orang paling sedikit. Wanita non-Muslim biasanya memiliki anak hanya satu sampai dua orang.

Bukan Imigran
Cukup besarnya jumlah warga Muslim tak hanya terjadi di Eropa Barat. Jumlah populasi Muslim di Rusia juga tak bisa dipandang sebelah mata. Di Rusia, ada sekitar 25 juta warga Muslim dan mereka bukanlah keturunan pendatang atau imigran.

“Kalau di Rusia, musim sudah masuk dari zaman nabi sebenanya di daerah Kaukasian di Ibu Kota Ufa itu namanya negara bagian Barkokostan. Bahkan di sana ada satu dari enam Alquran yang ditulis tangan yang ada di dunia dan itu masih ada,” kata Duta Besar Indonesia untuk Rusia, Wahid Supriyadi, kepada VIVA.

Suasana Sahur Hari Pertama di Universitas Islam Rusia

Suasana sahur di Universitas Islam Rusia

Dia menjelaskan, Islam sudah masuk ke Rusia pada abad ke-7 di zaman kalifah pertama. Berbeda dengan negara-negara Eropa, dalam konteks komunitas Muslim, di Rusia ada delapan negara bagian yang penduduknya mayoritas Muslim antara lain Tatarstan, Magorstotan dan Chechnya. “Kalau imigran hampir enggak ada. Itu penduduk Rusia di delapan negara bagian itu,” lanjutnya.

Dubes Wahid menjelaskan, bahwa perkembangan Islam cukup kondusif di negara tersebut. Buktinya, kata dia, pemerintahan Vladimir Putin juga merestui pembangunan masjid hingga 40 dalam setahun. Selain itu masyarakat di sana juga cukup toleran menerima komunitas Muslim.

Dia bercerita, bahwa corak kehidupan Muslim di Rusia tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Selama 2,5 tahun tinggal di Rusia, dia mengatakan belum pernah mendengar adanya insiden gangguan dan perundungan terhadap perempuan berjilbab. Diketahui bahwa kejadian sejenis secara acak kadang dialami oleh Muslim wanita di negara-negara Eropa.

“Bahkan masjid di Rusia justru berkembang di era Putin. Sampai sekarang sudah ada 6500 masjid, pemerintah sangat mendukung. Saya sudah berkeliling ke 20 negara bagian yang mayoritas Muslim. Bahkan ada negara bagian yang penduduk Muslim sedikit tapi ada masjid, itu di Tomsk,” ujar Dubes Wahid menjelaskan.

Mantan Dubes RI untuk Uni Emirat Arab itu menegaskan, bahwa Rusia bukan lagi Uni Soviet. Yang berkuasa era saat ini bukanlah Partai Komunis namun United Rusia.  Saat negara itu bernama Uni Soviet, salat atau menjalankan kegiatan ibadah lain memang dilarang sehingga harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Namun setelah Soviet bubar, pertumbuhan agama makin pesat dan yang paling menonjol adalah Islam.

Asimilasi
Bertumbuhnya populasi Muslim di berbagai belahan Eropa menjadi salah satu perhatian baik dalam kajian studi maupun praktik kebijakan. Terlepas dari adanya isu diskriminasi dan sulitnya imigran beradaptasi di negara “baru” mereka, muncul pula belakangan riset soal kemauan komunitas muslim itu positif pada asimilasi yaitu pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan adanya bagian yang hilang dari ciri khas kebudayaan asli demi membentuk kebudayaan baru.

Salah satu studi yang dilakukan lembaga think tank konservatif menunjukkan, bahwa tak sedikit Muslim di Jerman contohnya yang rela terjadi asimilasi agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru mereka. Dilansir Deutsche Welle, hal ini membantah adanya anggapan bahwa imigran termasuk Muslim pendatang tak bisa menyesuaikan diri hidup di Eropa. Mereka meski memiliki kebudayaan asli dinilai justru bisa berintegrasi.

Yayasan Konrad Adenauer dengan judul studi “What Makes Us Who We Are, What Unite Us” merilis bahwa para keturunan imigran khususnya yang sudah lahir di negara itu bisa dianggap sebagai bagian dari generasi Jerman yang baru. “Integrasi ini memang membutuhkan kemauan khususnya dari mayorits untuk mengadopsi nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat,” kata Kepala Kantor Konseling Imigrasi Pemerintah dalam presentasi dalam studi tersebut.

Melalui survei yang dilakukan terhadap 1000 orang baik pendatang yang tak lahir di Jerman maupun generasi yang sudah lahir di Jerman menunjukkan, bahwa 83 persen bersedia mengadopsi nilai-nilai dalam masyarakat Jerman ke hidup mereka. Namun para pengungsi dan para pencari suaka tidak masuk dalam responden yang disurvei. Melainkan kebanyakan mereka yang masuk ke Jerman pada saat periode derasnya tenaga dari Turki masuk ke negara itu demi mencari pekerjaan.

Warga Muslim Jerman salat di Masjid Merkez Buyuk Cami, Dortmund.

Muslim di Jerman saat salat di Masjid Merkez Buyuk Cami, Dortmund

Sementara di Prancis, merespons pertumbuhan Muslim di negara itu dan berbagai isu multikulturalisme yang mengikutinya, Presiden Prancis, Emmanuel Macron, baru-baru ini mencetuskan sebuah konsep, gagasan baru yang disebutnya Islam Prancis. Meski konsep ini dianggap masih sangat mentah dan menimbulkan pro dan kontra.

Dilansir The Atlantic, dalam sebuah wawancara, Presiden Macron mengemukakan rencananya melahirkan sebuah Islam Prancis yaitu komunitas Islam yang bisa berintegrasi di Prancis sehingga komunitas itu akan memiliki ciri khas Prancis. Macron mengatakan bahwa di benaknya, Islam Prancis adalah Muslim yang penuh damai, bisa berkompromi dengan sekularisme, moderat dan memerangi ekstremisme yang saat ini sering dikait-kaitkan dengan Islam.

Tujuannya kata dia, melahirkan sebuah Islam yang fit dengan nilai nasionalisme di Prancis dan imun terhadap konsep radikal yang muncul dari luar Prancis. Namun konsep tersebut dikritik oleh pakar Islam dari Institut Universitas Eropa di Florence, Olivier Roy.

Menurut Roy, tak perlu sebuah kelembagaan untuk memastikan komunitas Islam bisa berintegrasi. Buktinya, selama ini mereka bisa hidup di negara Prancis yang memegang konsep laicite yaitu memisahkan betul urusan agama dan negara. Selain itu, mengurusi agama justru akan bertentangan dengan prinsip negara Prancis yang sekuler dan laicite tersebut.

“Negara tak bisa mengurusi soal agama apalagi berkaitan dengan hal-hal teologis. Ya memang selama 30 tahun ini, pemerintah Prancis sudah mencoba hal-hal demikian dan proyek yang dicoba dibuat justru kontradiktif,” kata Roy.

Prediksi 2070

Seiring dengan pertumbuhan umat Muslim di Eropa, lebih jauh lembaga riset Pew Research Centre juga mengeluarkan prediksi bahwa diperkirakan, tahun 2070, umat Muslim jumlahnya akan paling besar di dunia. Hal itu bisa terjadi lantaran tingkat pertumbuhan Muslim di dunia disebut meningkat. Hal yang sama juga terjadi di Eropa, meski kini populasi Muslim masih sekitar 25 juta di benua tersebut.

Tingkat pertumbuhan populasi Muslim dunia disebut akan 73 persen mulai tahun 2050 mendatang. Sementara mulai 2010 hingga 2050, pertumbuhannya stabil meski tak menjangkau 73 persen. Pew menyebutkan, bahwa di periode 2010 hingga 2050 nantinya, pertumbuhan Muslim lebih besar dibandingkan Kristen yang diprediksi di kisaran 35 persen.

Pada 2010, ada sekitar 1,6 miliar Muslim di dunia dan 2,17 miliar umat Nasrani. Namun tahun 2050, diduga akan ada 2,76 miliar penduduk Muslim sementara Kristen berjumlah 2,92 miliar orang. Sementara jumlah atheis, agnostik penduduk tak beragama diperkirakan mengalami penurunan yang awalnya berjumlah 16,4 persen saat ini menjadi 13,2 persen tahun 2050 mendatang.

Yang patut dicatat, perkembangan jumlah Muslim yang signifikan akan terjadi di Amerika Utara dan Eropa. (ren) 

Baca Juga

Potret Islam di Eropa

Dari Gibraltar Islam Menjalar di Eropa

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya