- VIVA/Yandi Deslatama
VIVA – Calon Wakil Presiden Sandiaga Uno ternyata paham betul tren kekinian. Sebutan 'emak-emak' untuk menyebut para ibu-ibu dan perempuan dewasa dengan berbagai aktivitasnya disambar dengan jitu.
Saat mendeklarasikan keputusannya untuk mendampingi Calon Presiden Prabowo Subianto, Sandiaga berjanji akan memperhatikan aspirasi emak-emak dan melibatkan mereka memperbaiki negeri.
"Saya sudah utarakan berkali-kali. Ibu-ibu ini perlu kita dengar aspirasinya. Jadi kita angkat ini. Mudah-mudahan ini menjadi pemikiran bersama kita," ujar Sandi saat itu.
Sandi mengaku akan berjuang agar kepentingan dan kebutuhan emak-emak seperti sembako, biaya pendidikan, biaya kesehatan dan biaya hidup lainnya jadi murah.
Pilihan Sandi tepat sasaran. Sehari setelah ia menyebut emak-emak saat deklarasi, jagad medsos dipenuhi status para emak yang mendukungnya. Mereka seperti mendapat idola baru untuk didukung penuh saat Pilpres nanti. Beragam kalimat dilontarkan, dan segala hal tentang Sandi dibahas. Mulai dari Capres soleh, ganteng, pengusaha sukses dengan ribuan karyawan, hingga jago berbahasa Inggris.
Selama dua hari, lini masa penuh dengan komen emak-emak tentang mantan Wakil Gubernur DKI tersebut. Emak-emak seperti mendapat suntikan energi baru dari pernyataan Sandi yang mengaku akan lebih memperhatikan aspirasi mereka.
Sandiaga Uno dikerubuti emak emak di Pasar Beringharjo, DIY
Emak-emak terpikat. Sejak deklarasi dan berjanji akan perhatian pada emak-emak, kemana pun Sandi pergi ia menjadi incaran emak-emak. Ia ditarik ke sana sini untuk berfoto, dipeluk, bahkan dicubiti.
Kehebohan emak-emak juga ditangkap oleh kubu Jokowi-Ma'ruf Amin. Meski kalah set dari kubu Prabowo-Sandi soal penyebutan dan keberpihakan pada emak-emak, kelompok ini sudah mengambil ancang-ancang untuk merebut hati pemilih perempuan alias emak-emak. Berbeda dengan Sandi yang 'kegantengannya' membuat emak-emak berebut foto, tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin tak memainkan kartu yang sama. Informasi yang didapat VIVA, tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin sudah bergerak untuk mendekati emak-emak tanpa meramaikannya di media.
Emak-emak memang sedang naik daun. Jika selama ini mereka kerap diasosiasikan dengan keriuhan di jalan raya, sen ke kiri tapi belok ke kanan, atau memarahi orang, kali ini emak-emak jadi incaran politik. Selama lima belas tahun terakhir, perburuan dilakukan untuk memenuhi keterwakilan jumlah perempuan di parlemen agar mencapai kuota 30 persen, kini suara emak-emak dianggap penting untuk mengerek elektabilitas.
Presiden Jokowi menghadiri perayaan Hari Ibu
Direktur Riset Lembaga Survei Polmark, Eko Bambang Subiantoro memahami mengapa kedua kubu saat ini memperebutkan suara emak-emak. Menurut dia, setelah kelompok milenial, maka kelompok emak-emak layak menjadi sasaran target elektoral. Sebab, selain jumlahnya sangat signifikan, perempuan berpotensi menjadi pemilih militan.
Perempuan dinilai sebagai pemilih yang mempunyai loyalitas, yang susah berubah kalau sudah menentukan pilihannya. "Bahkan seringkali perempuan ini pilihannya akan semakin menguat dan juga mempunyai solidaritas tinggi kalau ikut terlibat kampanye mereka itu. Karena kalau kita sudah bisa merebut hatinya itu, biasanya pemilih perempuan itu bisa jauh lebih militan dan mempunyai komitmen yang baik," ujar Eko.
Peran Politik Perempuan
Benarkah perhatian dua kandidat pada emak-emak atau kelompok perempuan adalah tanda mulai munculnya kepedulian pada peran politik perempuan, atau jangan-jangan keriuhan soal emak-emak muncul hanya memanfaatkan mereka guna mengerek dukungan.
Pada 23 Juni 2018, Komisi Pemilihan Umum mengadakan rapat pleno mengenai Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Sementara Luar Negeri (DPSLN) untuk Pemilu 2019. Menurut catatan KPU ada 186.379.878 pemilih dari dalam dan luar negeri. Untuk pemilih laki-laki dari dalam negeri, KPU mencatat ada 92.213.263 orang dan pemilih perempuan sebanyak 93.166.615 orang. Sedangkan dari luar negeri ada 666.160 pemilih laki-laki dan 615.437 pemilih perempuan. Jika ditotal, maka jumlah pemilih perempuan berjumlah 93,782,052 dan jumlah pemilih laki-laki berjumlah 92,879,423. Angka itu menunjukkan jumlah perempuan malah lebih banyak dibanding laki-laki.
Selain merujuk pada angka sebagai pemilih yang lebih tinggi dari pria, ternyata perempuan juga lebih semangat berpartisipasi dalam pemilihan ketimbang pria. Usai pemilihan Kepala Daerah 2018 yang digelar secara serentak di 171 daerah, Komisi Pemilihan Umum atau KPU mencatat tingginya partisipasi pemilih perempuan dalam Pilkada.
Rapat persiapan tahapan pendaftaran Pemlihan Umum
Menurut KPU, partisipasi publik untuk memberikan suaranya pada Pilkada Serentak 2018 mencapai 73,24 persen. Jumlah tersebut, dikatakan oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan, tergolong cukup tinggi, karena target KPU adalah 77,7 persen. Angka partisipan ini lebih tinggi dibanding partisipan pemilu tahun 2017.
"Tingkat partisipasi pemilih Jumlah DPT sebanyak 152.079.997 orang. Total nasional tingkat partisipasi pemilih sebanyak 73,24 persen," kata Wahyu di Kantor KPU, Jl Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Juni 2018. Menurut catatan KPU, tingkat partisipasi pemilih perempuan bahkan jauh di atas pemilih laki-laki. Perempuan mencapai 76,7 persen, sedangkan pemilih laki-laki hanya mencapai 69,32 persen.
Tingginya jumlah pemilih perempuan dan partisipasi mereka dalam Pilkada 2018 bagi Ketua Badan Eksekutif Nasional Serikat Perempuan, Puspa Dewi, tak bisa disikapi sebagai patokan bahwa perempuan telah memiliki peran signifikan dalam partisipasi politik. Sebab, meski jumlahnya lebih banyak dan partisipasinya lebih tinggi dalam Pilkada, perempuan lebih sering dilihat sebagai objek. Bagi Puspa Dewi, jika perempuan hanya dijadikan target elektoral, maka hal itu tidak bisa dinilai sebagai partisipasi politik karena sifatnya semu.
Dewi menegaskan, keterlibatan dalam demokrasi adalah memperjuangkan hak dasar perempuan, bukan sekadar menambah suara. Ia merujuk pada jumlah 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Sayangnya, untuk memenuhi unsur 30 persen itu banyak perempuan yang akhirnya diterjunkan ke politik sementara latar belakangnya tak cukup memadai. Akibatnya, mereka tak mampu mengambil peran yang signifikan demi kepentingan kaumnya sendiri.
"Kita melihatnya suara emak-emak atau suara perempuan dalam politik baik yang dilakukan oleh pasangan Prabowo-Sandi maupun Jokowi-Maruf ini hanya sebatas sebagai target suara. Tanpa kemudian menjelaskan apa sih program atau agenda politik yang menjadi agenda masing-masing pasangan calon," ujarnya saat diwawancara VIVA, Rabu, 5 September 2018.
Puspa Dewi mengambil contoh bagaimana pendekatan yang dilakukan para capres dan cawapres masih menggunakan pendekatan figur atau pencitraan. Ia menegaskan, belum melihat para calon bicara soal substansi.
"Jadi saat ini memang perempuan hanya dilihat sebagai target suara saja, tanpa kemudian memiliki agenda-agenda yang memang terkait dengan kepentingan perempuan," ujarnya menambahkan.
Puspa Dewi menyadari, jumlah suara perempuan yang cukup banyak membuat suara mereka menjadi rebutan. Sayangnya, suara mereka hanya digunakan untuk mendongkrak angka. Padahal, dengan jumlah suara yang signifikan, perempuan harusnya bisa menjadi subjek bukan hanya objek. Suara perempuan dapat menentukan arah masa depan negeri ini.
Perempuan, Pemilih yang Rasional dan Spesifik
Direktur Eksekutif Lembaga Survei SMRC Djayadi Hanan mengakui, emak-emak adalah kelompok yang mewakili keadaan atau kebutuhan ekonomi yang terkait dengan kebutuhan sehari-hari. Menurutnya, kelompok emak-emak adalah kelompok yang dianggap mewakili suara riil dari kehidupan nyata sehari-hari di lingkungan keluarga.
Salah satu yang menjadi isu dalam pilpres adalah isu ekonomi riil, dan kelompok emak-emak dianggap paling paham dengan isu kebutuhan tersebut. Hal lainnya adalah peran ibu dalam keluarga. Banyak orang Indonesia masih membicarakan politik di dalam keluarga. "Jadi kelompok emak-emak diyakini bisa mempengaruhi suara pemilih di internal keluarga," ujarnya.
Jayadi menampik bahwa pilihan emak-emak sering tidak rasional. Sebab, kelompok ini akan menentukan pilihan pada tokoh yang dianggap bisa memberikan kemudahan atas hidup mereka. "Agak sulit ya apakah ini bisa disebut lebih rasional atau tidak. Pokoknya mereka itu lebih cenderung akan ikut petahana kalau dia merasa kebutuhan ekonomi rumah tangga itu dirasa mudah. Kalau mereka merasa ekonomi itu sulit, dia akan cenderung ikut ke kelompok oposisi, kira-kira seperti itu," ujarnya menambahkan. Ia memastikan, persoalan ekonomi adalah faktor yang penting bagi ibu rumah tangga.
Emak emak menggelar demonstrasi
Wasekjen Partai Gerindra Andre Rosadie memastikan, bahwa partainya memang berniat meningkatkan kesejahteraan ekonomi emak-emak. Untuk itu partainya akan membentuk tim khusus untuk mengerek suara dari kelompok perempuan, lengkap dengan jubir khusus.
Rahayu Saraswati, Ketua Bidang Advokasi Perempuan Partai Gerindra mengatakan, partainya memang memberikan perhatian khusus pada kelompok perempuan untuk menghadapi Pilpres 2019. "Karena perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Kondisi psikologis mereka sebagai ujung tombak keluarga membuat mereka memiliki kepekaan terhadap situasi bangsa," katanya.
Dari kubu timses untuk pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin, memperjuangkan suara kaum perempuan juga menjadi agenda mereka. Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi- Ma'ruf Amin dan Anggota Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa Maman Immanulhaq mengakui, mereka akan menggarap serius suara dari kelompok perempuan.
"Kita ingin menempatkan perempuan sebagai subjek dari pembangunan. Mereka yang mempunyai kehidupan, kepentingan dan yang tahu persis tahu persoalan," ujarnya.
Maman menambahkan, bahwa tim Jokowi menempatkan perempuan sebagai kelompok yang punya daya tahan kuat terhadap kekuatan ekonomi. "Kita lebih menempatkan perempuan itu menjadi subjek dari pelaku pembangunan. Mereka terlibat jadi pelaku ekonomi, walaupun tingkatnya dari yang kecil - menengah. Jadi kami lebih mengabarkan tentang optimisme bahwa perempuan tidak gampang mengeluh atau menyalahkan orang. Perempuan itu justru yang paling kuat bertahan dengan caranya," ujar Maman kepada VIVA.
Direktur Riset Polmark Indonesia Eko Bambang Subiantoro mengapresiasi kedua kubu paslon yang sekarang sedang memperebutkan suara emak-emak atau suara perempuan. Tapi menurutnya, isu perempuan bukan hanya soal kebutuhan rumah tangga, tapi juga terkait isu kesehatan, isu pendidikan, dan isu kesejahteraan.
Menurut Eko, dibanding pemilih laki-laki, pemilih perempuan lebih spesifik dalam menentukan pilihan. Iya juga meyakini, pemilih perempuan jauh lebih rasional dibandingkan pemilih laki-laki dalam menentukan pilihannya. "Memang yang diharapkan mereka bagaimana kita bisa mengurai problem-problem yang mereka hadapi sendiri, yang mereka hadapi sehari-hari, jangan sampai membebani segala macamnya," ujarnya.
Eko menyarankan, kedua calon menggarap serius pemilih perempuan. Sebab, menurutnya, pemilih perempuan punya potensi yang baik jika dikelola dengan baik. Pemilih perempuan juga dinilai Eko sebagai pemilih loyal. "Jika mampu merebut hatinya, biasanya pemilih perempuan jadi jauh lebih militan dan mempunyai komitmen yang baik," tutur Eko.
Suara perempuan kini memang sudah tak bisa dinafikan. Peningkatan kesadaran bahwa suara perempuan penting dan sangat layak didengar sudah menjadi agenda dari kedua timses. Kedua tim juga sudah memastikan bahwa mereka tak sekedar mendulang suara, tapi juga memperjuangkan kepentingan kelompok perempuan. Semoga kedua timses serius dengan ucapannya, sebab peran perempuan dalam politik terus meningkat secara signifikan.
Jika masih memandang sebelah mata pada emak-emak atau perempuan, mungkin mereka perlu mendengar ucapan mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher, "Dalam politik, jika Anda ingin menyampaikan sesuatu, mintalah pada laki-laki. Tapi jika Anda ingin menyelesaikan sesuatu, mintalah pada perempuan." (mus)