SOROT 514

Jebolnya Kantong BPJS Kesehatan

Kantor Pusat BPJS Kesehatan
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA – Deretan bangku berwarna perak berjejer rapi di sudut ruangan rumah sakit di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur. Sekitar 20 pasien terlihat mengantre di loket. Mereka ingin mendapatkan layanan jaminan kesehatan dari pemerintah.

Supervisi Polri dan BPJS Kesehatan, Tingkatkan Kualitas Pelayanan di Fasilitas Kesehatan

Di gedung RS Persahabatan yang didominasi warna putih tersebut juga terlihat antrean panjang pasien lainnya. Kali ini mereka sedang menunggu obat dengan layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Dari sudut gedung yang menghadap langsung pintu masuk utama rumah sakit itu, layanan BPJS Kesehatan dibatasi hingga pukul 16.00 WIB setiap harinya untuk melayani masyarakat.

BPJS Kesehatan Raih Akreditasi Istimewa (AA) untuk Pengelolaan Kearsipan dari ANRI

Layanan kesehatan yang memiliki landasan hukum Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial itu kini menuai kritik.

Kritik itu keluar lantaran BPJS Kesehatan menghentikan penjaminan obat kanker Trastuzumab. Obat ini sebelumnya dijamin penyediaannya, tetapi sejak 1 April 2018 BPJS menghentikan penjaminan obat kanker tersebut. Pemangkasan layanan BPJS Kesehatan juga dilakukan pada pelayanan katarak, persalinan bayi, dan rehabilitasi medik. Pengurangan itu sangat merugikan masyarakat dan juga dokter.

Dukung Peringatan HKN Ke-60, BPJS Kesehatan Dorong Kolaborasi Menuju Indonesia Sehat

Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris

Berbagai upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan tersebut kemudian ditengarai akibat dampak dari besarnya biaya operasional ketimbang pendapatan yang dihasilkan setiap tahunnya.

Berdasarkan data Rencana Kerja dan Anggaran BPJS Kesehatan tahun 2018, pendapatan ditargetkan mencapai Rp79,77 triliun. Sementara itu, pembiayaan sebesar Rp87,8 triliun, sehingga defisit Rp8,03 triliun.

Bahkan, untuk tahun ini, BPJS Kesehatan memperkirakan defisit akan mencapai Rp11,2 triliun atau meningkat dari defisit 2017 yang telah mencapai Rp9,75 triliun.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris, mengakui besarnya defisit yang akan dihadapi lembaganya ke depan akan diselesaikan dengan berbagai upaya dan tidak akan mengandalkan pemerintah.

Menurut Fahmi, BPJS Kesehatan akan mencari solusi seperti penyesuaian tiga manfaat yang diterima masyarakat dan mengkaji kenaikan besaran biaya iuran.

"Kami terus berupaya agar pelayanan tidak berhenti," kata Fahmi saat ditemui di Istana Negara usai bertemu Presiden Joko Widodo, Senin 6 Agustus 2018.

Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, menambahkan, masalah defisit keuangan di dalam lembaganya sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dan itu adalah dapur pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab.

Namun, BPJS Kesehatan akan tetap berusaha memberikan layanan terbaik bagi kesehatan masyarakat. "Jadi masalah kesehatan masyarakat tetap diserahkan ke BPJS, dan keuangan jadi dapur pemerintah," ujarnya kepada VIVA.

***

200 Juta Jiwa Tercover   

Data BPJS Kesehatan yang dikutip dari situs resminya, bpjs-kesehatan.go.id, per 1 Agustus 2018 menyebutkan bahwa peserta program Jaminan Kesehatan Nasional mencapai 200,28 juta jiwa.

Dari total peserta JKN itu, Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari APBN yang terbanyak yaitu 92,29 juta jiwa, diikuti PBI APBD 26,11 juta jiwa, dan Pekerja Penerima Upah (PPU) PNS 14,22 juta jiwa. 

Selain itu, PPU TNI 1,58 juta jiwa, PPU Polri 1,26 juta jiwa, PPU BUMN 1,54 juta jiwa, dan PPU BUMD 185,26 ribu jiwa.

Selanjutnya, untuk PPU Swasta mencapai 28,99 juta jiwa, Pekerja Bukan Penerima Upah atau mandiri sebanyak 28,98 juta jiwa, dan bukan pekerja sebanyak 5,09 juta jiwa.

Kemudian, untuk fasilitas kesehatan JKN yang kini telah terintegrasi dengan pihak BPJS kesehatan hingga 1 Agustus 2018 telah mencapai 27.450 fasilitas. 

Terdiri atas jenis fasilitas kesehatan (faskes) Puskemas sebanyak 9.993 unit, Dokter praktik perorangan 5.055 orang, dokter gigi 1.205 orang, dan klinik pratama 6.213 unit. Untuk apotek Program Rujuk Balik (PRB) dan kronis 1.572 unit, klinik utama 231 unit, optik 1.082 unit, dan rumah sakit 2.188 unit.

Berdasarkan data laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kinerja BPJS pada 2017, tercatat total iuran JKN-KIS yang dikelola BPJS Kesehatan telah mencapai Rp74,25 triliun.

Petugas melayani warga di kantor Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar menilai, semakin besarnya jumlah peserta yang dicover BPJS sebenarnya tak akan memengaruhi defisit yang akan terjadi pada tahun ini.

Menurut dia, defisit di BPJS Kesehatan sebenarnya terjadi karena dua masalah. Pertama struktural, dengan defisit disebabkan kebijakan atau ketetapan anggaran oleh pemerintah.

Pada 2018, Timboel menjelaskan, harusnya anggaran untuk PBI BPJS naik dari saat ini sebesar Rp23 ribu per peserta. Namun, realisasinya hingga saat ini belum dinaikkan. 

Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2013 menyebut dalam dua tahun sekali perlu evaluasi.

"Jadi, defisit itu karena anggaran untuk PBI tidak naik, dan karena sekarang kan masih tetap Rp23 ribu per peserta. Tahun 2014-2015 itu Rp19.225. Sedangkan biaya terus naik," tegas dia kepada VIVA.

Untuk itu, Timboel menuturkan, agar defisit BPJS Kesehatan ini bisa ditekan, anggaran PBI yang sesuai dengan perhitungan keekonomian dari akademisi yaitu sebesar Rp36 ribu per orang per bulan.

Kenaikan itu, lanjut dia, penting dilakukan meskipun besaran yang diusulkan tidak sesuai dengan hitungan keekonomian. 

"Naiknya berapa itu tentu harus dihitung ulang, mungkin kalau Rp36 ribu per peserta per bulan pemerintah tidak mampu. Tapi berapa kenaikannya harus tetap dihitung, tetap harus ada kenaikan," tuturnya.

Timboel menambahkan, dari kekurangan tersebut, defisit BPJS Kesehatan juga bisa ditambahkan dengan sejumlah kebijakan pemerintah. Seperti janji memberikan pajak rokok dari pemda yang nilainya mencapai Rp5 triliun.

Masalah defisit BPJS Keuangan yang kedua, lanjut Timboel, karena peran manajerial yang dinilai belum maksimal. Seperti, direksi tidak bisa menarik piutang yang mencapai Rp3,4 triliun.

"Jadi, manajerial dan struktural itulah yang menjadi penyebab BPJS JKN ini defisit. Sementara, pembiayaan yang harus dikeluarkannya setiap hari kan terus meningkat." 

***

Pembenahan dari Hulu

Senada, Ketua Yayasan Lembaga Keuangan Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menilai, besarnya defisit BPJS Kesehatan yang terjadi saat ini sebenarnya lebih kepada masalah buruknya manajemen. Selain itu, kurangnya efisiensi perusahaan di segala bidang.

Selanjutnya, dia menambahkan, masalah di sisi finansial pada setiap perusahaan pasti ada dan tidak bisa dihindari, apabila penataan organisasi di dalamnya tidak benar.

Untuk itu, pada BPJS Kesehatan ini, Tulus melihat, defisit yang terjadi lebih kepada masalah jumlah iuran yang tidak besar. Dan kedua, perilaku hidup yang tidak sehat bagi pasien BPJS.

"Karena sistem apapun yang ada, kalau perilaku hidupnya itu, seperti pasien yang tidak sehat, penderita penyakit flu, mekanisme finansial seperti apa pun tidak akan mampu meng-covernya," jelas Tulus kepada VIVA.

Ia menuturkan, agar defisit ini bisa cepat diselesaikan maka yang harus dilakukan pemerintah dan BPJS Kesehatan itu adalah menata dari hulu. Penatanaan hulu tersebut, lanjut dia, bisa dimulai dari membuat sistem kesehatan masyarakat yang preventif atau pencegahan, promotif atau mengenalkan, serta kuratif.  

"Jadi tidak bisa lagi sendiri-sendiri untuk membenahi ini."

Kantor Pusat BPJS Kesehatan 

Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menilai, upaya yang dilakukan untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan adalah dengan melakukan efisiensi perusahaan.

Menurut dia, efisiensi tersebut bukanlah mengurangi manfaat yang diperoleh peserta BPJS. Melainkan memberikan layanan yang diperlukan, sehingga tidak banyak 'pergi' ke fasilitas kesehatan lainnya.

"Bukan mengurangi (manfaat) tapi mengefisienkan. Artinya memberikan layanan yang perlu. Jangan ada orang yang tiap hari pergi fisioterapi contohnya, ataupun bakti sosial tapi masuk BPJS," ujar JK. 

Wakil Bupati (Wabup) Maros, Suhartina Bohari. (Foto: Istimewa)

Terpopuler: Wakil Bupati Positif Narkoba, Kiai Imam Jazuli Cirebon Puji Gus Miftah

Sejumlah artikel kanal News menarik perhatian pembaca VIVA.co.id sepanjang akhir pekan lalu, Minggu 8 Desember 2024.

img_title
VIVA.co.id
9 Desember 2024