- Kyodo / via REUTERS
VIVA – Senin, 18 Juni 2018, sebuah gempa dengan magnitudo 6,1 Skala Richter mengguncang wilayah Osaka, Jepang. Akibat gempa tersebut 4 orang meninggal dunia dan 381 orang luka-luka.
Meski guncangan gempa cukup kuat, namun tak banyak korban jiwa. Dari empat orang yang meninggal dunia, tiga di antaranya adalah manula berusia lebih dari 80 tahun, dan satu lainnya adalah seorang anak berusia sembilan tahun. Anak ini tewas tertimpa reruntuhan tembok di sekolahnya.
Sepanjang sejarah, dikutip dari Japan-guide.com, gempa besar yang pernah terjadi di Jepang adalah gempa bumi di Kanto yang terjadi pada tahun 1923. Kanto, adalah yang terburuk dalam sejarah Jepang. Gempa ini menghantam dataran Kanto di sekitar Tokyo pada tahun 1923 dan mengakibatkan kematian lebih dari 100.000 orang.
Kemudian pada Januari 1995, sebuah gempa bumi yang kuat menghantam kota Kobe dan sekitarnya. Dikenal sebagai gempa bumi Hyogo Selatan atau gempa bumi Besar Hanshin. Gempa ini menewaskan 6.000 orang, melukai 415.000 orang, dan sekitar 100.000 rumah hancur total dan 185.000 lainnya rusak berat.
Gempa Bumi di Jepang
Pada 11 Maret 2011, gempa terkuat yang pernah tercatat di Jepang memicu tsunami besar di sepanjang Pantai Pasifik Jepang timur laut. Dikenal sebagai Gempa Besar Jepang Timur, gempa bumi dan khususnya tsunami berikutnya menewaskan hampir 20.000 orang dan menyebabkan kecelakaan nuklir di sebuah pembangkit listrik di Prefektur Fukushima.
Negeri Gempa
Seperti Indonesia, Jepang juga menjadi negara yang paling sering diguncang gempa. Kedua negara kepulauan ini terletak di sepanjang wilayah "Ring of Fire" atau Cincin Api Pasifik, sebuah zona berbentuk tapal kuda imajiner yang mengikuti tepi Samudera Pasifik, tempat banyak gempa bumi dan letusan gunung berapi terjadi di dunia. Menurut survei Geologi AS (USGS), 81 persen gempa bumi terbesar di dunia terjadi di sabuk aktif ini.
"Permukaan Bumi terpecah menjadi sekitar selusin potongan besar yang semuanya bergerak. Di mana mereka semua berinteraksi di ujungnya, hal-hal menarik terjadi," ujar Douglas Given, geofisikawan dengan USGS di Pasadena, California, seperti dikutip dari LiveScience.com.
Dalam Cincin Api Pasifik, beberapa lempeng tektonik saling bertumbukan dan bertabrakan, dalam apa yang dikenal sebagai zona subduksi, yaitu di mana satu lempeng tikungan dan lapisan di bawah yang lain, menyebabkan kerak samudera tenggelam ke dalam mantel Bumi.
"Dari Alaska ke Jepang dan Filipina, semua jalan di sekitar Pasifik barat, dan kemudian batas pantai barat Amerika Selatan dan Amerika tengah, semuanya adalah zona subduksi besar," kata Robert Smith, seorang profesor geofisika emeritus di Universitas Utah.
"Jepang sendiri berada di atas mosaik kompleks lempeng tektonik yang bergerak bersama dan memicu gempa bumi yang mematikan dan letusan gunung berapi," ujar Smith menambahkan.
Peta bencana di Jepang
Saking seringnya dilanda gempa, Jepang sampai memiliki skala sendiri untuk mengukur gempa bumi. Warga Jepang menyebutnya sebagai skala "Shindo," dan lebih menggunakan skala ini dibanding Skala Richter. Tapi kedua skala tersebut menggunakan ukuran yang berbeda. Shindo mengacu pada intensitas gempa bumi di lokasi tertentu, yaitu apa yang orang-orang rasakan di lokasi tertentu. Sedangkan Skala Richter mengukur besarnya gempa bumi, yaitu energi yang dilepaskan dari gempa di pusat gempa.
Skala shindo berkisar dari Shindo satu hingga Shindo tujuh. Disebut Shindo satu jika sedikit gempa hanya dirasakan oleh orang-orang yang tidak bergerak. Sedangkan Shindo tujuh, adalah indikasi gempa bumi yang parah. Shindo 2-4 masih gempa bumi kecil yang tidak menyebabkan kerusakan. Pada Shindo lima digambarkan benda-benda yang mulai jatuh. Disebut shindo enam dan tujuh jika terjadi kerusakan berat.
Saudara Tua
Sadar negaranya berada dalam potensi bahaya yang bisa menyebabkan banyaknya korban jiwa, Pemerintah Jepang tak pernah putus memberikan peringatan, mengimbau dan terus melakukan simulasi dan sosialisasi tentang keselamatan atau berlindung ketika terjadi gempa. Bahkan ada lebih dari tiga situs milik pemerintah Jepang yang tak putus memberikan peringatan soal gempa dan tsunami.
Setiap rumah tangga di Jepang harus menyimpan kit survival atau alat pertahanan diri, dengan minimal menyiapkan lampu senter, radio, kotak pertolongan pertama, dan makanan serta air yang cukup untuk beberapa hari. Warga diminta tidak menempatkan benda berat di tempat-tempat di mana mereka dapat mudah jatuh ketika terjadi gempa bumi dan menyebabkan cedera atau tak bisa keluar rumah. Setiap rumah juga wajib memiliki alat pemadam api, dan wajib mengerti area evakuasi di sekitar mereka.
Pemerintah mengingatkan, benda-benda yang jatuh, terutama perabotan rumah tangga dan kepanikan bisa menghadirkan bahaya terbesar selama gempa bumi. "Cobalah untuk melindungi diri Anda di bawah meja atau pintu. Jangan lari ke luar, dan cobalah untuk tetap setenang mungkin. Jika Anda berada di jalanan, cobalah mencari perlindungan dari kaca dan benda-benda lain yang mungkin jatuh dari bangunan di sekitar Anda," demikian peringatan yang disampaikan pemerintah Jepang melalui berbagai media.
Peringatan dua tahun tsunami di Jepang
Warga juga diminta untuk mematikan oven, kompor, dan katup gas utama, segera setelah gempa kuat pertama terjadi. Kemudian mereka diminta mendengarkan radio atau televisi untuk mendengarkan berita. Di daerah pesisir, warga diminta untuk mewaspadai kemungkinan gelombang pasang (tsunami) sementara di daerah pegunungan waspada kemungkinan longsor.
Selain itu, warga Jepang melihat bencana itu sebagai bagian dari siklus kehidupan. Setiap anak di Jepang diberitahu bahwa mereka tidak sedang tinggal di surga, tapi di tempat yang bisa terjadi fenomena alam karena banyak hal. Oleh karena itu mereka harus tahu, harus waspada, harus siap bereaksi terhadap fenomena alam.
Pakar Kebencanaan Puji Pujiono mengatakan, salah satu ciri yang baik di Jepang adalah kultur masyarakatnya memang sangat caring atau peduli terhadap satu dan lainnya. Dan kepedulian itu sudah tertanam di dalam pribadi-pribadi kultur masyarakat Jepang. Jadi kalau seseorang berprilaku demi kebaikan orang lain, itu suatu kebutuhan.
"Nah, kultur pribadi semacam ini yang membuat masyarakat Jepang itu sangat caring terhadap masyarakat yang lain," ujar Puji kepada VIVA, Jumat, 9 Agustus 2018.
Kultur masyarakat yang sangat peduli juga tercermin pada perilaku Pemerintah Jepang yang berusaha melayani kepentingan warga sebaik-baiknya. Pemerintah Jepang, ujar Puji, mempunyai kultur untuk melayani. Mereka sadar bahwa mereka adalah mesin administrasi, mesin politik yang dibuat untuk melayani masyarakat. Contohnya, kalau ada jalan rusak, dikerjakan malam, dan paginya tidak ada bekasnya. Kalau mereka membongkar super market atau bangunan, itu dibungkus dulu dengan plastik sehingga debunya tidak keluar, dan lain sebagainya. Jadi memang ada kelebihan mentalitas Pemerintah Jepang yang punya keinginan melayani sepenuhnya warga mereka.
Maka, ketika Pemerintahan Jepang membuat sistem penanggulangan bencana mereka melakukannya dengan baik, dengan spirit untuk melayani rakyatnya. "Kalau bicara politik yang kotor, dimana-mana politik ya sama saja. Tetapi administrasinya itu tidak diombang-ambing oleh politik, sehingga dia melayani masyarakat dengan konsisten," ujar pria yang pernah menetap lama di Jepang ini menambahkan.
Puji juga mengakui kelebihan penduduk Jepang dalam kultur untuk belajar. Artinya, setiap kali terjadi bencana mereka itu sangat semangat untuk mempelajari apa yang terjadi. Padahal, yang harus diperbaiki sekarang, ada hal-hal yang sensitif yang bisa diperbaiki nanti, melebihi umur pemerintahan yang cuma lima tahun.
"Contohnya, waktu terjadi gempa di Kobe yang luar biasa itu, masyarakat diundang untuk memberikan tanggapan tentang keluhannya terhadap musibah itu, dan itu direkam oleh Pemerintah jepang dan akan dibuka 20 tahun kemudian.
"Kenapa hal itu dilakukan? Supaya mereka bebas mengatakan dengan tidak menciderai pemerintahan yang sekarang tapi pada prinsipnya satu, itu dilakukan untuk kepentingan generasi akan datang. Jadi mereka berfikir tidak hanya satu generasi, tapi mereka berfikir tentang keseluruhan masyarakat Jepang sepanjang waktu. Oleh sebab itu proses pembelajarannya juga sangat meresap.
"Tapi, tetap kembali ke pernyataan saya di awal, bahwa Jepang tidak sempurna. Tetapi relatif lebih baik ketimbang bangsa-bangsa lain."
Belajar dari Negeri Sakura
Meski memuji Jepang, Puji tetap mengapresiasi banyak perubahan yang terjadi dalam penanganan bencana di Indonesia. Sejak tahun 2006 sampai sekarang ada undang-undang penanggulangan bencana yang digodok oleh Masyarakat Penaggulangan Bencana Indonesia (MPBI) bersama DPR RI tahun 2003, dan akhirnya disahkan pada 2007.
Kemudian, dari sana ada juga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dipimpin oleh pejabat setingkat menteri, ada pengaturan-pengaturan yang lebih canggih diatur responder di Indonesia, ada juga pengaturan-pengaturan yang lebih bagus dengan responden di luar negeri.
Puji mengatakan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah RI untuk menanggulangi dampak bencana. Pertama, pemerintah itu perlu memperkuat pesan bahwa penanggulangan bencana itu adalah bagian atau mandat yang diberikan oleh konstitusi. Negara Kesatuan Republik Indonesia itu didirikan untuk melindungi segenap bangsa dan negara Indonesia, termasuk dari bencana.
Erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta tahun 2010
Menurut dia, penanggulangan bencana itu bukan visi pinggiran di Indonesia, tapi sentral karena dalam konstitusi disebutkan. Seyogyanya pemerintah bisa duduk bersama dengan seluruh stakeholder untuk melihat ke belakang, apa yang sudah sempurna dan apa yang perlu disempurnakan. Sebab, setiap kejadian bencana bisa menjadi pembelajaran untuk memperbaiki respon penanggulangan bencana.
"Lalu buat mekanisme sebagai pembelajaran umum sehingga masyarakat juga terlibat di dalamnya," ujarnya menambahkan.
Jadi seperti juga ujian negara, seperti pengamanan Asean Games, sesudah penanggulangan bencana berakhir itu sebaiknya ada proses pembelajaran dan ada perubahan-perubahan yang mendasar yang membuat penanganan bencana berikutnya menjadi lebih baik. Mekanisme ini bisa dibuat sebagai pembelajaran umum sehingga masyarakat juga bisa terlibat di dalamnya.
Puji juga merujuk pada kultur masyarakat negeri ini. Indonesia sudah punya kultur yang bagus sebetulnya, yaitu gotong royong. "Dulu istilah itu sering kali kita dengar, dan sekarang itu semangat gotong royong itu bisa dikatakan sudah hampir hilang. Jadi menurut saya semangat itu harus dihidupkan lagi mungkin dengan cara yang baru," ujar mantan Kepala Kantor Regional Asia Timur dan Tenggara Badan PBB yang mengurusi soal Kemanusiaan (UN OCHA) ini.
Menurutnya, masyarakat perlu digugah kesadarannya, perlu awas, waspada dan siap untuk menghadapi bencana. Fenomena alam seperti gempa bumi, gunung meletus, banjir, longsor itu, sebenarnya hanya masalah waktu dan kapasitas saja. Kapan bencana itu akan datang? Kapasitasnya seberapa besar atau seberapa buruk bencana? Sebab bencana pasti terjadi, tapi kapan waktu pastinya dan seberapa buruk dampaknya tak bisa ditentukan.
Melibatkan masyarakat bisa dimulai dalam pembahasan perencanaan tingkat lokal. Entah itu perencanaan kontingensi atau perencanaan pembangunan lainnya. Musyawarah Pembangunan atau Musrembang tingkat desa, kecamatan, tingkat kabupaten itu mempunyai unsur penanggulangan bencana. Jika saja dalam masyarakat tingkat lokal sudah memuat bahasan tentang kondisi fisik sebuah wilayah, kondisi alam, potensi terjadinya bencana, maka kemampuan untuk melindungi segenap warga di tingkat provinsi, kabupaten, atau desa menjadi lebih maksimal.
Setiap nyawa sangat berharga. Semoga para pengelola negeri ini terus membuka mata, bahwa kita hidup bersama bencana. Tak bisa dihindari dan pasti terjadi. (mus)