- Istimewa
VIVA – Patung badan Presiden ke-2 RI Soeharto itu menghadap tegas ke arah para kader Partai Berkarya. Terletak di Museum Memorial Jenderal Besar HM Soeharto di Dusun Kemusuk, Bantul, Yogyakarta, Senin, 11 Juni 2018.
Di sampingnya, putri keempat Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu, Siti Hediati Hariyadi, berpidato di sebuah podium.
Hingga detik itu, Mbak Titiek, sapaannya, masih dikenal sebagai politikus Partai Golongan Karya yang juga merupakan anggota Komisi IV DPR. Namun, pidato singkat yang disampaikan Titiek saat itu mengubah karier politik wanita yang berumur 59 tahun tersebut.
"Saya memutuskan untuk keluar dari Partai Golkar," ujar Siti Hediati, disambut sorakan kader dari parpol yang didirikan adiknya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto itu.
Tommy dan Sekretaris Jenderal Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso, yang berada di atas panggung pun ikut bertepuk tangan.
Titiek menyampaikan kritiknya kepada Golkar yang merupakan pendukung pemerintah. Akibat posisi politik itu, parpol penguasa di era Orde Baru itu terkesan cuma 'mendekati' penguasa demi tetap memiliki pengaruh di pemerintahan.
"Sesungguhnya Golkar, sebagai partai besar, sebagai pendukung pemerintah, sebagai sahabat pemerintah, harusnya bisa memberikan masukan kepada pemerintah, apa yang baik, apa yang buruk. Sehingga tidak hanya sekadar ABS (asal bapak senang) saja," ujar Titiek.
Siti Hediati Hariyadi deklarasi bersama para petinggi Partai Berkarya di Kemusuk, Bantul, DIY
Titiek menyinggung sejumlah isu krusial bangsa yang seharusnya dikritisi Golkar, seperti jutaan pengangguran di tengah serbuan tenaga kerja asing, narkoba, ketidakmerataan distribusi kekayaan, hingga ketergantungan terhadap bangsa asing. Dia mengaku tertekan karena jika terus menjadi kader Golkar, tentu harus selalu manut atas sikap politik resmi parpol itu.
"Saya ingin menjerit untuk menyuarakan isi hati rakyat, yang sangat prihatin dalam keadaan kita saat ini. Tapi saya tidak dapat melakukan hal itu," ujar Titiek.
Titiek menyampaikan bahwa terinspirasi dari sikap ayahnya yang senantiasa peduli atas penderitaan rakyat, ia memutuskan untuk tidak lagi berdiam di Golkar. Bersama sesama trah Soeharto, mantan istri Prabowo Subianto ini berjanji memperjuangkan rakyat Indonesia dengan lebih baik di Berkarya.
"Saya adalah anak ideologis dari Bapak Presiden Soeharto. Saya tidak bisa berdiam diri untuk tidak menyuarakan jeritan rakyat ini," ujarnya.
Di Partai Berkarya, Titiek menjadi ketua Dewan Pertimbangan. Ia juga maju sebagai bakal calon legislatif dari partai itu untuk daerah pemilihan Yogyakarta.
Sementara itu, di tempat dan waktu yang lain, belasan orang tampak hilir mudik di sebuah gedung bercat kuning berlantai dua. Satu per satu dari mereka menyerahkan map ke sejumlah meja yang tersusun rapi di lantai dua bangunan gedung yang berlokasi di Jalan Antasari Raya, Jakarta Selatan.
Belasan orang itu adalah bakal calon anggota legislatif (bacaleg) yang masih harus menyerahkan sejumlah berkas atau persyaratan untuk maju menjadi caleg di dapilnya masing-masing. "Iya, kami masih harus menyerahkan berkas-berkas untuk pencalegan, karena kemarin masih ada yang kurang," kata salah satu bacaleg Partai Berkarya Dapil Aceh I yang enggan menyebutkan namanya.
Proses melengkapi berkas pencalegan itu dilakukan hingga waktu perbaikan berkas yang telah ditetapkan oleh KPU. Hal itu dibenarkan oleh Sekjen Partai Berkarya ,Priyo Budi Santoso. Menurut Priyo, saat ini partainya masih terus melengkapi sejumlah prasyarat pencalegan di 80 dapil seluruh Indonesia. "Iya, ini kami masih terus bekerja untuk itu," kata Priyo kepada VIVA di kantor DPP Partai Berkarya.
Kejayaan Orde Baru
Partai Berkarya memang menjadi salah satu dari 14 partai politik peserta Pemilu 2019. Selain itu, mereka satu dari empat partai politik baru dalam kontestasi yang segera digelar kurang dari satu tahun dari sekarang. Pada Pemilu 2019, mereka mendapatkan nomor urut tujuh.
Karena itu, beberapa waktu lalu, mereka sibuk menyusun daftar caleg untuk diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum. Mereka berambisi lolos ke DPR demi mengembalikan kejayaan Orde Baru di pentas politik nasional.
Partai Berkarya didirikan putra bungsu Presiden ke-2 RI Soeharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Berkarya merupakan penggabungan dari Nasional Republik (Nasrep) yang juga didirikan Tommy. Nasrep adalah partai besutan Tommy yang gagal lolos ke Pemilu 2014. Sebagian elite Berkarya saat ini merupakan kepengurusan dari Partai Nasrep.
Berkarya rencananya ingin 'menjual' kenangan era Orde Baru. Logo partai ini hampir menyerupai logo partai yang pernah dipimpin Soeharto, Golkar, dengan menampilkan pohon beringin.
Poster mantan Presiden Soeharto
Awalnya, partai itu dipimpin Neneng A. Tutty sebagai ketua umum DPP Berkarya dan Sekretaris Jenderal Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang. Namun belakangan, melalui sebuah Rapat Pimpinan Nasional, Tommy terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi.
Kemudian, setelah berproses, mereka menggandeng Priyo Budi Santoso yang sebelumnya merupakan politikus Golkar dan pernah menjadi wakil ketua DPR sebagai sekjen.
Tidak hanya Titiek dan Tommy, anggota keluarga Cendana lain pada akhirnya juga turut bergabung ke Partai Berkarya. Mereka antara lain Siti Hardiyanti Indra Rukmana alias Tutut, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, dan Siti Hutami Endang Adiningsih alias Mamiek.
"Ingin menyukseskan Berkarya di Pemilu 2019. Mas Tommy, Mbak Titiek, Mbak Tutut ingin mengulang romantisme sebagai satu keluarga dengan Berkarya," kata Badarudin Andi Picunang yang kini menjadi ketua DPP Berkarya.
Reformasi Tak Lebih Baik
Dalam acara e-talkshow yang disiarkan tvOne belum lama ini, Tommy berbicara panjang lebar. Dia mengatakan alasan mendirikan Partai Berkarya.
"20 tahun reformasi, tapi tak ada hasil, arah yang didapat menjadi negara yang maju. Maka kami terpanggil. Nyatanya sekarang KKN lebih parah, KKN dan OTT bisa ditanyakan ke KPK, berapa ratus kepala daerah itu kena OTT. Belum lagi korupsi nasional," kata Tommy.
Reformasi, menurut Tommy, tak lebih baik. Kenyataan yang dia lihat penyelundupan narkoba, bila dahulu satu bungkus paling banyak kiloan sekarang justru ton-tonan. "Gimana anak cucu kita akan bisa hidup lebih baik, kita negara Pancasila, kenapa pendidikan Pancasila tak diterapkan di kurikulum nasional," protes dia.
Masalah korupsi pun, dia melihat, sekarang jauh lebih parah dibanding masa ayahnya berkuasa. Meskipun dulu belum ada KPK, tapi faktanya ada Kejaksaaan, Kepolisian. "Saya kira, kembali apakah sekarang lebih baik?" tanya Tommy lagi.
Tommy menuturkan, selama 20 tahun ini, bangsa Indonesia tidak pernah tahu secara jelas kapan mereka akan menjadi negara maju, dan masuk era tinggal landas. Dia menyampaikan, dalam membangun rumah perlu rancangan anggaran belanja. Begitu juga rancangan anggaran belanja jangka panjang.
Ketua Umum Partai Berkarya, Hutomo Mandala Putra
Semasa Orde Baru, masyarakat mengenal Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Tapi sekarang tidak lagi. "Gimana mau bangun negara cuma andalkan APBN, akhirnya kita utang makin banyak kan," katanya.
Partai tempatnya aktif dahulu, Golkar, juga tak luput dari kritik pria kelahiran Jakarta, 15 Juli 1962 itu. Dia menyebut Partai Golkar cuma wadah. Orang-orang yang ada di dalamnya kini sudah jauh dari kepentingan rakyat.
Karena itu, Tommy dan para pendukungnya tidak memaksakan diri untuk merebut. Mereka memilih untuk membentuk partai baru. Keluarga besarnya pun tidak ada yang menyayangkan dia keluar dari Golkar. "Enggak, partai cuma kendaraan, yang penting manusianya. Bagaimana orang peduli ke orang kebanyakan," tuturnya.
Tommy juga membantah dalam membentuk Partai Berkarya, dia menghabiskan banyak uang. Dia hanya butuh semangat masyarakat yang ingin pembaruan, tak perlu membeli orang. Apalagi sekarang orang mayoritas lebih sadar perlu pemimpin yang lebih peduli.
Dia juga menegaskan, Berkarya tidak menjual trah Soeharto, atau adanya partai itu sebagai bentuk dari kebangkitan dinasti Soeharto. Cita-cita mereka adalah mewujudkan ekonomi kerakyatan yang lebih, dari, oleh, dan untuk rakyat. Bagaimana meningkatkan ekonomi mereka. "Sekarang yang nikmati kan minoritas. Bukan kita enggak suka minoritas, tapi cuma perlu lebih adil," ujarnya.
Tommy mengatakan, situasi seperti itu pernah terjadi di masa Orde Baru. Saat ini yang dibutuhkan rakyat adalah pemerataan ekonomi. "GDP (Gross Domestic Product) dipakai barometer yang menikmati siapa? Kelompok tertentu saja yang nikmati, utang Rp4.700 triliun yang tanggung 260 juta rakyat," kritiknya.
Dia meminta angka itu dibandingkan secara objektif dengan Orde Baru. Dulu, katanya, waktu ayahnya laporan pertanggungjawaban di MPR sebelum lengser, utang hanya sebesar Rp150 triliun, sekarang sudah mencapai Rp4.700 triliun.
Tommy yakin Partai Berkarya bisa memperbaiki keadaan itu jika setidaknya masuk tiga besar di Senayan. Namun sejauh ini, dia baru menargetkan mereka mendapatkan satu kursi di satu dapil yang berjumlah 80, atau kurang lebih kuasai 13,9 persen. "Kalau enggak optimis, enggak usah berpartai," katanya.
Klaim Caleg Mumpuni
Sekjen Partai Berkarya, Priyo Budi Santoso, membenarkan target mereka adalah meraih 80 kursi di DPR pada Pemilu 2019. Dia tidak peduli bila dianggap sebagai ambisius karena mereka punya hitung-hitungan, kalkulasi, survei sendiri yang tidak mereka publish.
"Tidak kami publikasikan, hanya untuk intern kami, dan kami meyakini 80 kursi DPR RI itu," kata dia saat ditemui VIVA.
Priyo mengungkapkan, bakal caleg partaiya yang lolos dalam seleksi awal berjumlah 575 orang. Angka itu berarti 100 persen, sesuai dengan jumlah kursi yang diperebutkan. "575 orang dengan caleg perempuan rata-rata mendekati antara 35-40 persen," lanjut dia.
Priyo menuturkan, rata-rata para caleg mereka adalah figur-figur yang cukup andal, punya reputasi, rekam jejak atau track record baik, tokoh-tokoh dari berbagai kekuatan politik sebelumnya. Dari Golkar, partai-partai lain, veteran-veteran politik yang pindah haluan partai politik seperti Hanura, PPP, Demokrat, Gerindra, PAN, bahkan dari tokoh-tokoh PDIP juga ada yang bergabung dengan mereka.
Sosialisasi Partai Berkarya di Cilegon
Untuk merebut vote gatters, mereka juga merekrut sejumlah artis sebagai caleg. Tentunya artis yang mereka nilai punya rekam jejak bagus, mumpuni. Di antaranya, Raslina Rasyidin, Sultan Djorghi, Annisa Trihapsari, Keke Harun, dan beberapa lainnya.
Selain itu, mereka mengusung Tommy sebagai caleg di daerah pemilihan Papua. Priyo maju dari daerah pemilihan Jawa Timur I, Titiek Soeharto sebagai ketua Dewan Pertimbangan maju dari Dapil DIY.
Peluang Terbuka Lebar
Terkait kiprah Partai Berkarya, pengamat politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, mengakui, bagaimanapun sosok Soeharto dalam sejumlah survei dinilai berhasil memimpin negara. Karena itu, Tommy memakai nama ayahnya itu yang diklaim sebagai ‘Bapak Pembangunan’ sebagai ikon, seorang presiden yang punya jasa terhadap republik ini.
"Paling tidak Tommy dan anak Seoharto lainnya bisa jadi magnet elektoral," kata dia.
Tapi, lanjut Pangi, mereka harus memikirkan strategi-strategi lain. Tidak cukup soal menjual Pak Harto saja. Tentu harus bekerja keras lagi memikirkan isu-isu yang pas, yang mengena, dan diinginkan masyarakat.
Sama dengan PDIP dan Bung Karno. Sejauh ini, tidak ada satu pun partai yang berani mengambil Bung Karno sebagai ikon kecuali partai berlambang banteng moncong putih tersebut. "Semestinya ada yang mengambil Soeharto, selain Berkarya," ujarnya.
Terlepas dahulu ada Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dipimpin Tutut, dan kemudian kalah dalam pemilu, Pangi menilai belum tentu Berkarya punya nasib serupa. Dia beranggapan Tommy berbeda juga dengan Tutut. Apalagi, dia melihat caleg-caleg yang dipasang Berkarya juga lumayan kuat.
Karena bagi mereka, target paling minimal adalah lolos parliamentary threshold. Dan untuk mewujudkan itu, mereka cuma butuh 16 kursi. "Mereka juga siapkan 16 caleg yang kuat. Kami memahami Tommy jadi caleg. Itu saja bisa jadi kursi. Menghitung kursi 16 tidak terlalu rumit termasuk artis. Tinggal di samping kader inti partai, tetapi sosok figur dan popularitas serta logisitik tak bisa dipungkiri," kata dia.
Pangi mengingatkan, di negara mana pun, kerinduan terhadap mantan Presiden tidak pernah hilang apalagi Soeharto. Dengan demikian, Berkarya memang memiliki peluang untuk mengembalikan kejayaan Orde Baru di kancah perpolitikan nasional.
"Ketika bapaknya berkuasa, pasti ada kerinduan. Jadi ada kebanggaan untuk meneruskan cerita-cerita kejayaan masa lalu. Bagi mereka, momentum itu ada. Sepanjang bisa mengelola isu tadi, program dan punya figur," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Riset Roda Tiga Konsultan, Rikola Fedri, strategi 'menjual' romantisme Orde Baru dan Soeharto ala Partai Berkarya itu bisa ampuh di kalangan ekonomi bawah yang minim informasi terkait massa kepemimpinan Soeharto.
Agar tidak senasib dengan PKPB, dia mengatakan, Berkarya harus menemukan strategi dan pendekatan yang lebih zaman now untuk mendulang suara. Namun, Rikola melihat partai ini memiliki perbedaan dengan PKPB yaitu lebih terlihat identitas "Keluarga Cendana"-nya.