- VIVA/Dwi Royanto
VIVA – Sabtu pagi yang cerah, wajah Muhaimin Iskandar tampak semringah dengan terus melemparkan senyum. Tatapan matanya fokus menyimak sosok seorang pria.
Hari itu, politikus yang akrab disapa Cak Imin tersebut ikut menemani Presiden Joko Widodo meninjau venue Asian Games di komplek Jakabaring Sport City, Palembang, Sumatera Selatan.
Mengenakan kaos putih berkerah dan celana panjang abu-abu, Cak Imin menempel Jokowi mengecek sejumlah venue baru. Ia pun bareng Jokowi sempat ikut menjajal olahraga bowling hingga dayung.
Tak lama usai mendayung, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu mampir di area khusus yang sudah disiapkan. Ditemani Jokowi dan Sekretaris Jenderal PKB Abdul Kadir Karding, akhirnya pria 51 tahun itu mengumumkan suatu hal.
"Saya nyatakan, Bismillahirrahmanirrahim, PKB mendukung pencalonan Pak Jokowi untuk 2019," kata Cak Imin, Sabtu, 14 Juli 2018.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja di Palembang
Momen sikap politik Cak Imin ini menjadi salah satu dinamika menjelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2019. Pernyataan keponakan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu seolah menegaskan posisi PKB yang memilih berkoalisi dengan Jokowi.
Dukungan PKB ke Jokowi menambah anggota koalisi sebelumnya yaitu PDIP, Golkar, PPP, Nasdem dan Hanura. Ada juga partai non parlemen seperti Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Namun, dukungan PKB ke Jokowi ini bukan tanpa syarat. Cak Imin yakin namanya masuk bursa cawapres yang dikantongi Jokowi. Gayung bersambut, arah sikap Cak Imin direspons Jokowi. "Di saku saya itu bukan cuma nama Pak Muhaimin, tapi ada lima nama, semuanya punya rekam jejak yang bagus," ujar Jokowi di sebelah Cak Imin.
Pernyataan Jokowi masih menjadi teka-teki bila memang nama cawapresnya sudah mengerucut lima nama. Sepekan lalu, Jokowi juga sudah melempar ucapan soal pengerucutan nama cawapres.
Utak-atik dan spekulasi nama pendamping Jokowi pun kian berhembus hingga sekarang. Jokowi menyebut lima nama, namun tidak dengan tokoh partai seperti Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy alias Rommy yang melempar isu pengerucutan pendamping Jokowi sudah 10 nama.
Baik Rommy dan Cak Imin memang digadang-gadang masuk daftar cawapres Jokowi. Begitupun dengan nama Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko.
Jokowi dan koalisi dihadapkan dengan polemik penentuan nama figur cawapres. Bukan perkara mudah lantaran kursi pendamping Jokowi jadi rebutan partai koalisi.
"Jokowi maupun koalisi pendukung, complicated dalam memilih cawapres karena terlalu banyak variabel yang bermain di situ. Sebetulnya kelihatan Jokowi sama tim koalisinya tidak confidence memilih cawapres," kata peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Adjie Alfaraby kepada VIVA, Kamis, 19 Juli 2018.
Utak-atik Nama
Jokowi paham dengan belum menyebut kandidat potensial sebagai pendampingnya. Merujuk dinamika PKB, PPP, dan Golkar yang ngebet menawarkan pimpinannya menjadi cawapres, pengumuman last minutes saat pendaftaran kemungkinan besar dilakukan.
Tarik ulur kepentingan kuat di koalisi Jokowi. Apalagi ada kemungkinan menarik cawapres dari eksternal koalisi. "Karena kan semua partai punya kepentingan. Kalau hanya diambil satu partai takutnya yang lain ngambek kan," ujar Adjie.
Faktor elektabilitas juga dinilai jadi pemicu kurang pede Jokowi dan koalisi belum sepakat soal cawapres. Hasil berbagai survei menyatakan, Jokowi memang masih tertinggi dalam bursa bakal capres. Namun, elektabilitas itu tak pernah melebihi 60 persen.
Sebagai incumbent, faktor elektabilitas seharusnya dimiliki Jokowi untuk mempertahankan takhta di periode kedua. Bukti elektabilitas yang mengantar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat periode kedua Presiden RI ke-6. Saat itu, SBY memilih pendampingnya yang berasal dari non partai yaitu Boediono pada Pemilu 2009.
"Lazimnya petahana kuat, karena dia lebih bebas menentukan cawapres. Karena dia merasa elektabilitasnya sangat tinggi siapapun lawannya dia enggak khawatir," tutur Adjie.
Mahfud MD, salah satu tokoh yang dikabarkan masuk bursa cawapres Jokowi
Dari nama yang masuk bursa cawapres Jokowi, sempat muncul juga Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal (Purn) Polisi Budi Gunawan dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Sumber VIVA menyebut nama Puan dan Budi Gunawan dianggap kurang potensial jadi pendamping Jokowi meski diisukan masuk 10 nama cawapres yang dikerucutkan. Beberapa parpol koalisi juga tak setuju.
Lalu, muncul nama Wakil Presiden Jusuf Kalla didorong kembali jadi pendamping Jokowi. Figur JK sebagai cawapres dinilai bisa meredam suara protes partai koalisi.
Pengalaman Pilpres 2014 ketika JK diumumkan sebagai cawapres Jokowi jelang pendaftaran menjadi faktor. Apalagi, saat ini ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait syarat cawapres dalam Pasal 169 huruf n UU Pemilu. "JK masih banyak yang dorong maju," sebut sumber VIVA.
Kemudian, dari luar koalisi seperti Maruf Amin, Mahfud MD, hingga eks Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Syamsudin. Bahkan, nama Gubernur DKI Anies Baswedan sempat muncul. Namun, figur Anies dinilai kurang memiliki chemistry dengan Jokowi.
"Muncul nama dari luar ini sempat buat PKB, Golkar tak terima. Informasinya juga Airlangga, Cak Imin, Romahurmuziy enggak masuk kantong Jokowi. Kalau berubah lagi ya itu dinamikanya," kata sumber VIVA.
Elite PKB menepis kabar Cak Imin sempat terpental dari kantong Jokowi. Wakil Sekretaris Jenderal PKB Daniel Johan mengatakan, Cak Imin masuk prioritas sebagai cawapres di kantong Jokowi. Mengacu omongan Jokowi di Palembang daftar cawapres tinggal lima nama termasuk nama Muhaimin Iskandar.
"Iya, pasti dong, karena prioritas kok Cak Imin, Cak Imin kan prioritas. Di Palembang saja ngomong begitu beliau," tutur Daniel kepada VIVA, Jumat, 20 Juli 2018.
Sinyal JK pun seolah-olah memberikan kesiapan untuk maju kembali bila MK mengabulkan gugatan syarat cawapres. JK sudah dua kali menjabat Wakil Presiden RI. Meski tak menjawab tegas, ia menyinggung untuk kepentingan bangsa dan negara.
"Ya kita lihat perkembangannya. Kan dalam hal ini, kita tidak bicara tentang pribadi saja, bicara tentang bangsa ke depan. Ya tergantung lah nanti penilaian bangsa ke depan seperti apa," tutur JK di komplek Istana Wapres, Selasa, 17 Juli 2018.
Mukadimah 2024
Sisa waktu dua pekan jelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden dinilai menjadi dilema bagi Jokowi serta koalisi. Tarik ulur penentuan nama dinilai masih terkait dengan uji materi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Media Nasional (Median) Rico Marbun mengatakan, bila MK membatalkan angka ambang batas capres maka akan mengubah peta politik. Ambang batas capres yang diatur dalam Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.
"Mungkin alasan legal ya, Jokowi masih menunggu keputusan dari MK tentang presidential threshold 0 persen. Itu nanti akan berpengaruh kepada formula koalisi kan, dan seberapa banyak partai yang ingin ditarik," ujar Rico kepada VIVA, Rabu, 18 Juli 2018.
Rico melihat Jokowi dalam posisi serba sulit sebagai calon presiden incumbent. Sebab, ia menganalisis rumit untuk Pilpres 2019 karena punya dampak untuk 2024. PDIP sebagai partai asal Jokowi dan pemenang 2014 juga tak punya kekuatan untuk mengatur koalisi.
Menurut dia, PDIP saat ini hampir seperti partai koalisi yang tak menginginkan sosok cawapres dari luar barisan pendukung. "Ini jadi yang agak rumit karena pertarungan ini adalah mukadimah menuju pertarungan 2024 sehingga tidak boleh ada 1 partai yang lebih kuat dibanding yang lain."
Pengamat sekaligus peneliti Cyrus Network, Hasan Nasbi mengatakan, Jokowi sedang mencari pendamping untuk mengerek kestabilan. Artinya, kekurangan pemerintahan Jokowi selama hampir empat tahun ini harus ditambal oleh figur cawapres.
Hasan menganalisis figur yang lebih cocok menjadi cawapres secara rasional dari kalangan Islam. Selama ini, Jokowi dicap kurang bisa merangkul suara umat Islam. "Tidak berasal dari partai pun tidak apa-apa, tapi dia laki-laki dan representasi dari kelompok Islam," ujar Hasan.
Terkait sikap Jokowi yang coba merangkul nama-nama yang masuk bursa cawapres, ia melihat hal yang lumrah. Sebab, bila Jokowi cuek dan tak berkomunikasi dengan daftar nama maka berpotensi mempengaruhi koalisi. Sisa waktu yang mepet ini juga dinilai sebagai momen penting.
"Sebagian nama-nama kan dari koalisi partai pendukung. Jokowi mau enggak mau ya harus bisa rangkul buat kesolidan koalisi."
Kongsi Koalisi
Kursi cawapres petahana menjadi rebutan. Tak hanya dari koalisi, figur dari luar juga kesengsem mencoba peruntungan.
Namun, barisan koalisi masih pede Jokowi akan mengusung kader yang juga pimpinan partai menjadi pendamping Jokowi.
Elite PKB menyatakan dalam penentuan cawapres Jokowi, suara partai koalisi punya hak. "Sejauh ini komunikasi terus jalan sesama koalisi. Cak Imin juga sama ketua Bu Megawati misalnya," ujar Wakil Sekjen PKB Daniel Johan.
Suara Golkar sejauh ini terus mendorong ketua umumnya, Airlangga Hartarto sebagai pendamping Jokowi. Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily menekankan sosok pendamping Jokowi dari kalangan parpol harus menjadi prioritas.
Terkait lamanya penentuan nama pendamping Jokowi, menurutnya Golkar tak ada masalah. Ia meyakini Jokowi akan terus berembug dengan partai koalisi untuk menentukan nama pendamping. "Saya kira enggak ada masalah ya lama. Kalau setiap parpol ingin tiap ketum menjadi cawapres sesuatu yang wajar," ujar Ace.
Sementara, suara PPP mulai melunak tanpa memprioritaskan kursi cawapres. Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani mengatakan, pihaknya akan tetap loyal mendukung Jokowi meski Romahurmuziy tak terpilih jadi calon RI-2.
"Kalau tak dipilih ketua umumnya tetap bersyukur pada Allah dan tetap juga mendukung Pak Jokowi. Jadi tidak mutung," ujar Arsul.
Suara PDIP menjamin kongsi koalisi solid mendukung Jokowi menghadapi tahapan Pilpres 2019. Penentuan cawapres diyakini merupakan hasil kesepakatan terbaik Jokowi beserta para pimpinan parpol koalisi.
Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan menegaskan, keputusan final akan berdasarkan kesepakatan Jokowi dengan koalisi parpol. Ia menekankan masa pendaftaran capres dan wapres dari 4 Agustus sampai 10 Agustus akan menjadi momen krusial.
"Kita serahkan semua pada Pak Jokowi, bu Megawati dan partai-partai pengusung siapa yang terbaik buat Pak Jokowi," sebut Trimedya. (umi)
Baca Juga