SOROT 508

Tragedi Danau Toba

Warga menabur bunga di lokasi kecelakaan kapal Danau Toba, Sumatera Utara
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

VIVA – Ada pemandangan tak biasa di Danau Toba awal Juli 2018. Ratusan orang dengan rompi penyelamat di badan menatap sedih di atas Kapal Motor Sumut II, yang membawa mereka ke suatu titik yang dekat dengan Dermaga Tigaras, Danau Toba. Bersama dengan ratusan orang tersebut, ada keranjang-keranjang berisi bunga.

Perhelatan Aquabike 2024, Disajikan Panggung Hiburan untuk Rakyat Gratis

Begitu sampai ke titik yang dituju, orang-orang menepi di bagian pinggir kapal. Sambil memegangi keranjang bunga, mereka menatap ke arah danau. Tangan-tangan wajah sedih itu mengambil buliran bunga di keranjang. Terlihat lemas, pasrah dan menahan tangis, mereka menaburkan bunga ke danau. 

Jeritan dibalas dengan jeritan pecah di kapal tersebut. Sambil menabur bunga, mereka menangis, menjerit memanggil nama-nama keluarga yang hilang. 

Hari Ketiga, Pengunjung Padati Venue Aquabike 2024 Digelar di Parapat Danau Toba

Jeritan berisi doa memanggil keluarga mereka di titik penting itu makin menampakkan suasana sedih. Di situ lah titik koordinat tenggelamnya KM Sinar Bangun pada 18 Juni 2018.  

Sorot kapal - Kesedihan keluarga korban kecelakaan kapal di Danau Toba

Polda Sumut Terjunkan 868 Personel Amankan Aquabike Danau Toba 2024

Keluarga korban melakukan tabur bunga di Danau Toba, Sumatera Utara. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Siang itu, Senin 2 Juli 2018, keluarga korban menangis, berdoa dan berharap yang terbaik bagi kelurganya yang tenggelam, melalui taburan bunga dan doa. Sudah belasan hari evakuasi dilakukan, namun belum jelas nasib anggota keluarga mereka. 

Tangis tak hanya berasal dari danau. Dermaga Tigaras, berhari-hari menjadi titik kumpul keluarga korban yang sedih. Perempuan setengah baya berkerudung merah menembok di mobil polisi militer. Sambil menangis, dia memanggil-manggil buah hatinya yang pergi bersama KM Sinar Bangun. Total ada 164 penumpang yang masih tenggelam bersama KM Sinar Bangun. 

"Ohh...Anakku.. Anakku, katanya kau mau ke Berastagi sama mamak. Rupanya kau ke lautnya, nak," kata perempuan tersebut dengan suara tangis merintih. Tak hanya keluarga korban, publik pun terguncang dengan kecelakaan KM Sinar Bangun di Danau Toba, tempat yang selalu mengundang banyak perhatian. 

Mengguncang Dunia

Selain mengundang perhatian banyak wisatawan, Danau Toba juga menjadi perhatian peneliti dunia, khususnya peneliti gunung api dan geologi. Itu karena danau ini lahir dari letusan gunung api Toba yang menyandang sebagai erupsi terdahsyat di Bumi. Danau Toba disebut sebagai danau super vulkanik.

Kepala Badan Geologi ESDM, Rudy Suhendar mengatakan, secara umum danau vulkanik terbentuk seiring dengan letusan gunung api. Saat gunung api meletus, lubang akan membesar dan membentuk seperti mangkok. Besarnya mangkok vulkanik tergantung dengan seberapa besar atau kecilnya letusan. 

Sorot Kapal - Kawasan Wisata Danau Toba

Beberapa orang anak berenang di pinggiran Danau Toba, Parapat, Simalungun, Sumatera Utara. (ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi)

Dalam waktu yang lama, bisa ratusan sampai ribuan tahun, mangkok hasil proses vulkanik itu akan terisi dengan air hujan. Prosesnya bisa lebih cepat jika bekas letusan tersebut menjadi resapan air. Air yang terisi bakal makin banyak.   

"Umumnya jejak bekas letusan itu menjadi tempat kumpulnya air dan resapan-resapan air yang berada di seputaran tempat itu," ujarnya kepada VIVA.

Dalam konteks Danau Toba, letusan gunung api super raksasa menghasilkan mangkok tersebut yang umum dikenal dengan sebutan kaldera. Seiring waktu kaldera itu akan terisi air dan menjadi danau.

Ma'rufin Sudibyo dalam Danau Toba dan Bubur Batu Membara di Perut Buminya, menuliskan, lahirnya Danau Toba awalnya diselimuti misteri. Namun seabad silam, munculnya danau tersebut mulai tersibak oleh analisis geolog legendaris era Hindia Belanda, RW van Bemmelen pada 1930-an. Geolog yang karyanya menjadi panduan pembelajaran geologi Indonesia itu awalnya curiga dengan kehadiran ignimbrit yang tersebar pada area luas di Sumatera bagian utara. 

Ignimbrit adalah campuran antara debu vulkanik yang mengeras (tuff) dengan butir-butir batuapung yang bersifat asam (kaya silikat) demikian rupa hingga membatu. Nah ignimbrit ini hanya dihasilkan dari letusan gunung berapi yang eksplosif dan skala besar. 

Van Bemmelen makin penasaran, sebab semakin dia mendekat ke Danau Toba, dia menjumpai ignimbrit makin menebal. Bahkan dia melihat ada tuff yang berlimpah. Tanda ini makin jelas jadi petunjuk di masa silam terjadi letusan skala besar.

Makin jelas saja saat dia menyadari ignimbrit ternyata merata di sekitar wilayah yang sekarang diduduki Danau Toba. Danau dengan panjang 100 kilometer dari utara ke selatan dan lebar 30 kilometer ke timur itu menunjukkan mangkok sekelas kaldera. 

Jika dibandingkan dengan kaldera produk letusan dahsyat gunung api di Indonesia seperti kaldera Rinjani, Tambora sampai Krakatau, kaldera Toba jauh mengalahkan kaldera tersebut. 

Ma'rufin menulis, andaikata kaldera raksasa Toba ditempatkan di Pulau Jawa bagian tengah, maka ia akan membentang mulai dari Gunung Slamet di barat hingga Gunung Sumbing-Sindoro di timur.

Tumor Batak

Van Bemmelen menduga, di masa lalu wilayah Danau Toba merupakan gundukan raksasa atau gunung raksasa yang bernama Gunung Toba. Dia lah yang memopulerkan gundukan besar itu dengan istilah Tumor Batak. Dalam sejarahnya, kaldera Toba yang kemudian menjadi Danau Toba yang kita lihat saat ini, tak terlahir dari satu letusan saja. 

Dalam catatan seperti yang dituliskan Ma’rufin,, setidaknya ada empat letusan Gunung Toba yang terjadi dalam kurun 1,2 juta tahun lalu. Masing-masing letusan Gunung Toba berkontribusi membentuk kaldera hingga seluas Danau Toba yang dilabeli sebagai kaldera terbesar di dunia. 

Letusan pertama yakni Letusan Haranggaol yang terjadi kira-kira 1,2 juta tahun lalu. Letusan ini memuntahkan material letusan 35 kilometer kubik. Letusan pertama ini menghasilkan kaldera kecil, yang saat ini menempati titik di utara Danau Toba. 

Letusan Toba Tua terjadi pada 840 ribu tahun lalu dengan volume material letusan 2.300 kilometer kubik. Letusan ini terjadi di sisi tenggara-selatan wilayah Danau Toba saat ini.  Kemudian Letusan Toba Pertengahan terjadi 501 ribu tahun lalu. Letusan ini kecil, dengan volume material letusan cuma 60 kilometer kubik atau tiga kali muntahan dari Letusan Krakatau yang terjadi 1883. 

Pada 74 ribu tahun lalu, terjadi Letusan Toba Muda. Letusan ini merupakan yang paling dahsyat. Sebab memuntahkan setidaknya 2.800 kilometer kubik material letusan. 

lustrasi letusan Gunung Toba

Ilustrasi letusan Gunung Toba. (Bradshaw Foundation)

Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anugerah Nontji, dalam Danau-danau Alami Nusantara menuliskan, dengan banyaknya material yang dimuntahkan dari kantong magma pada letusan 74 ribu tahun lalu, puncak Gunung Toba kemudian runtuh dan membentuk danau kawah. Dalam catatan lain, letusan lebih kecil terjadi kemudian pada 30 ribu tahun lalu.

Bagaimana kaldera raksasa pasca Letusan Toba Muda tergenang air hingga menjadi Danau Toba saat ini? Ma'rufin menghitung, dengan curah hujan tahunan masa kini yakni 2.100 mm/tahun dan tingkat penguapan tahunan masa kini 1.350 mm/tahun, butuh waktu sekitar 1.500 tahun untuk menggenangi kaldera tersebut dan menjadi Danau Toba. Jika menimbang adanya air bawah tanah atau aliran permukaan dari kawasan sekitar, waktu terbentuknya Danau Toba kemungkinan lebih cepat dari 1.500 tahun pasca Letusan Toba Muda.

Erupsi kecil setelah letusan dashyat itu melahirkan gunung api kedua di dalam kawah, tapi karena letusan gunung api di dalam kawah ikut runtuh. Maka gunung api dalam kaldera itu pecah menjadi dua bagian, yakni Pulau Samosir dan sebelah timur membentuk semenanjung antara Parapat dan Porsea.

Secara lebih rinci, Ma'rufin menjelaskan, Letusan Toba Muda yang memuntahkan 2.800 kilometer kubik material itu membentuk kaldera raksasa dengan kedalaman sekitar 2 kilometer. Dalamnya kaldera ini akibat kosongnya kantung magma raksasa Toba. Makanya tak lagi bisa menahan bobot gunung dan akhirnya runtuh.

Ma'rufin menerangkan, setelah Letusan Toba Muda, perut kantung magma raksasa Toba hingga kedalaman 7 kilometer nyaris kosong, akibat material terkuras. Tapi secara perlahan-lahan magma segar dari lapisan selubung mengisi area kantung. Magma segar ini kemungkinan muncul dari bidang kontak tunjaman antarlempeng tektonik dan mengisi kantung magma tersebut. 

Pengisian magma secara terus menerus menyebabkan lapisan kantung magma raksasa Toba mulai menggelembung kembali dan mengangkat massa batuan di atasnya. 

Proses vulkano-tektonik ini akhirnya terjadi. Lantai kaldera Toba terangkat naik secara asimateris mulai sekitar 33 tahun silam pada kecepatan sekitar 1,8 cm. Akibatnya, lantai kaldera sisi barat menyembul di atas paras danau dan menjadi Pulau Samosir. Makanya tak heran, tulis Ma’rufin, di Pulau Samosir itu masih dijumpai lapisan endapan khas dasar danau. 

Pengangkatan asimetris ini membuat lapisan endapan berkedudukan miring antara 5 hingga 8 derajat ke arah barat. Sedangkan pengangkatan sejenis juga terjadi di lantai kaldera timur, dan membentuk blok Uluan. Tapi kecepatan penangkatan di sisi ini lebih rendah, 0.5 cm/tahun. Makanya sisi timur tak setinggi Pulau Samosir meski tetap di atas paras danau. 

Kemiringan lapisan-lapisan endapan di blok Uluan pun berlawanan dengan Pulau Samosir, yakni miring ke timur. Sebagai akibat dari pengangkatan Pulau Samosir dan blok Uluan maka lantai kaldera di antara keduanya berubah menjadi lembah sangat curam yang tetap tergenang air. Kini lembah itu dikenal sebagai Selat Latung.

Ma'rufin menuliskan, lantai kaldera bukan tak hanya membentuk Pulau Samosir dan blok Uluan. Magma segar yang mengisi kantung magma Toba juga keluar ke permukaan Bumi, dan membentuk Gunung Pusukbukit di tepi kaldera sisi barat, dan membentuk Gunung Tandukbenua di tepi sebelah utara. Sedangkan di tepi sebelah selatan, terisinya magma kantung raksasa Toba membentuk kubah lava Pardepur yang terdiri dari empat kubah lava. 

Samosir

Pulau Samosir yang berada di tengah Danau Toba. (https://ureport.in/)

Ma'rufin mengatakan, kaldera Toba dengan kedalaman 2 kilometer tersebut ditimbun oleh 1000 kilometer kubik material vulkanik lainnya, bagian dari 2.300 kilometer kubik muntahan ledakan dahsyat. Timbunan 1000 kilometer kunik material itu merupakan bagian material yang tak bisa membumbung ke udara. Kembalinya material vulkanik ke dasar kaldera Toba mengubah menjadi ignimbrit yang diperkirakan ketebalannya mencapai 600 meter. 1.000 kilometer kubik material lainnya meluncur deras sebagai awan panas mengalir ke barat dan timur. 

Awan panas Toba ini menyebar luas dari Pantai Selat Malaka di timur hingga pesisir Samudera Hindia di barat. Walau sudah menjauh dari kaldera, suhu awan panas makin tinggi. Dampaknya daratan Sumatera bagian utara segersang Bulan. Endapan awan panas Toba ini tersingkap sebagai ignimbrit di area seluas 20 ribu kilometer persegi, ketebalannya rata-rata 50 meter. Kalau dirinci ketebalan ignimbrot bervariasi tergantung jauh atau dekatnya dengan Gunung Toba. Di Tepi Gunung Toba, ketebalan ignimbrit mencapai 400 meter.

Dampak Letusan Toba Muda juga dahsyat sampai keluar. Nontji menuliskan, dampaknya lainnya menyebabkan perubahan iklim global signifikan sampai menyebabkan Bumi terseret dalam Zaman Es.

Nontji menuliskan, debu ketebalan debu letusan Gunung Toba mengendap di India mencapai 15 cm, di Malaysia ketebalannya sampai 9 cm. Bertahun-tahun, Bumi diselimuti debu dan berdampak pada perubahan iklim global signifikan. Suhu Bumi turun kurang lebih 3,5 derajat. 

Sedangkan Ma'rufin menuliskan, 800 kilometer kubik material yang dimuntahkan Letusan Toba Muda sisanya berupa debu vulkanis halus yang membumbung tinggi pada ketinggian 70 kilometer. Sebagain debu vulkanik tertiup angin ke barat menyelimuti area seluas lebih dari 4 juta kilometer persegi, yang meliputi India, Semenanjung Malaysia, Teluk Benggala, Samudera Hindia bagian utara, Laut Arab dan Semenanjung Arabia. Ma'rufin menuliskan, ketebalan endapan debu vulkanik mencapai rata-rata 10 cm. 

Sisa debu lainnya terbawa sirkulasi angin di lapisan stratosfer hingga menyebar ke seluruh penjuru dunia. Debu vulkanik itu sampai di stratosfer dan bertahan hingga bertahun-tahun sebelum jatuh ke permukaan Bumi dan menciptakan musim dingin vulkanik yang bertahan sekitar 1000 tahun usai Letusan Toba Muda.

Musim dingin vulkanik berdampak signifikan pada kehidupan. Bumi seisinya masuk ke dalam zaman es Wurm utama, padahal kala itu Bumi baru keluar dari zaman es Wurm awal 20 ribu tahun sebelumnya. Zaman es Wurm terjadi sekitar 50 ribu tahun kemudian dan berakhir sekitar 20 ribu tahun lalu. Musim dingin ini membuat intensitas cahaya Matahari berkurang 1 persen dari normalnya, sehingga mayoritas tumbuhan tak bisa berfotosintesis dan lama-lama mati. 

Rantai makanan terdampak juga, mayoritas binatang kelaparan dan mati, populasi hewan merosot tajam. Manusia kuno kala itu juga merasakan dahsyatnya Letusan Toba Muda, 60 persen dari populasi manusia kala itu tewas menyisakan sekitar 15 ribu populasi yang berjuang bertahan hidup.

Misteri Danau Purba

Danau Toba masih membuat penasaran orang sampai kini, termasuk saat KM Sinar Bangun tenggelam pada beberapa pekan lalu. Salah satu yang menjadi perhatian publik adalah kenapa tiap kali ada kapal tenggelam, bangkai kapal beserta korban penumpangnya langsung hilang tak bisa ditemukan. 

Dalam kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun, tim Basarnas dan tim gabungan telah berhasil mendeteksi titik bangkai KM Sinar Bangun pada titik kedalaman 450 meter di bawah permukaan Danau Toba, dekat dengan Dermaga Tigaras.

Titik bangkai KM Sinar Bangun setidaknya 10 kali lebih dalam dibandingkan dengan titik jatuh kapal feri Sewol Korea Selatan yang tenggelam di laut pada April 2014 lalu. 

Selain bangkai kapal, robot selam yang dikirim tim evakuasi juga mendeteksi ada beberapa jasad korban KM Sinar Bangun berada di dasar danau. Jasadnya utuh tapi kenapa tetap di bawah danau tidak muncul mengambang di permukaan. 

Sempat muncul spekulasi adanya anomali gravitasi atas fenomena tersebut. Namun kalangan ilmuwan membantahnya. Jasad utuh di dasar danau serta bangkai kapal yang tak bisa diangkat, lebih karena faktor kedalaman danau yang tak memungkinkan dijangkau tim evakuasi. 

Sekretaris Jenderal Ikalan Ahli Geologi Indonesia (IAG)I, Dwandari Ralanarko menjelaskan, Danau Toba merupakan perairan tawar yang kadar garamnya berbeda dengan air laut yanng kadarnya tinggi. Dia menjelaskan, dengan kadar garam tinggi, maka benda yang jatuh ke laut akan kembali naik terapung di permukaan air. 

"Berbeda dengan di Danau Toba. Danau Toba memiliki karakter air tawar, sehingga dia tidak memiliki daya angkat seperti halnya di laut. Jadi terus ke dalam kapal atau jasad itu," ujarnya. 

Selain faktor jenis air, pria yang akrab disapa Andar ini menjelaskan, faktor kedalaman Danau Toba juga menjadi salah satu yang membuat kenapa jasad maupun bangkai kapal tetap tenggelam di bawah danau. "Nah ini adanya di kedalaman 450 meter jadi memang akan jadi sangat menantang," ujarnya. 

Senada dengan Andar, semua geolog kompak menuturkan faktor kedalaman danau dan titik bangkai kapal yang berada pada kedalaman 450 meter, menyebabkan susah proses evakuasi. 

Rekaman data GPS Kapal Polair merekam kedalaman Danau Toba.

Rekaman data GPS kapal Polair terkait kedalaman Danau Toba. (Instagram.com)

Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sukmandaru Prihatmoko mengatakan, titik bangkai KM Sinar Bangun yang teronggok pada kedalaman 450 meter memang susah untuk dievakuasi ke permukaan. Hanya perangkat teknologi yang memungkinkan untuk mencapai titik tersebut. 

"Karena sejauh ini belum ada yang bisa menyelam di kedalaman tersebut, kecuali dengan menggunakan robot, Remotely Operated Viehicle (ROV)" ujar Sukmandaru. 

Sulitnya tim Basarnas mengevakuasi korban kapal tenggelam di Danau Toba sangat dipahami oleh peneliti danau LIPI, Hadiid Agita Rustini. 

Dia mengatakan, kondisi bawah Danau Toba sangat gelap tak ada cahaya Matahari dan tak ada oksigen. Hadiid pernah menyurvei kondisi bawah Danau Toba. Pada kedalaman 50 meter saja sudah gelap kondisinya, oksigen juga sudah tak ada. Cahaya Matahari cuma bisa menembus kedalaman 10 meter danau saja.  

Geolog Indyo Pratomo mengatakan, selain faktor kedalaman danau yang kabarnya mencapai 500-an meter, kondisi dasar danau juga perlu diketahui. Dasar Danau Toba terdiri dari endapan sedimen atau lumpur. Dengan kondisi tersebut, maka benda bakal terperangkap dalam lumpur dan susauh untuk diangkat. Namun demikian, Indyo menuturkan, pengangkatan objek yang tenggelam di dasar Danau Toba butuh peralatan teknologi canggih.

Dia mengatakan, tenggelam di danau dengan di laut akan berbeda dampaknya. Jika benda tak kapal tenggelam di laut, maka benda masih bisa terbawa arus laut. Sedangkan di danau, kata dia, tidak ada arus sehingga begitu kapal tenggelam ya bakal tenggelam. Apalagi melihat kedalaman Danau Toba. 

Indyo menuturkan profil pada kedalaman Danau Toba jangan dipikir akan rata seperti kolam renang. Kondisi bawah Danau Toba adalah bergunung-gunung dampak dari proses vulkanik di masa lalu. 

"Jadi bayangkan dengan 500 meter kedalaman mungkin ada tonjolan-tonjolan yang akan menyulitkan pengangkatan posisi dari kapal yang tenggelam itu. Jadi itu kondisinya, gambarannya seperti itu." 

Dengan kondisi air tawar, kedalaman sampai 450 meter dan kondisi bawah dan dasar pada Danau Toba, Andar mengatakan, tak heran kenapa tiap kasus tenggelamnya kapal maupun benda di Danau Toba maka akan hilang dan tak mengapung di permukaan kembali. 

Jangan Andalkan Intuisi   

Mengingat kompleksitas Danau Toba, baik dari sisi karakter dan kondisi danau, Andar meminta pemerintah untuk memerhatikan lagi aspek keselamatan untuk menikmati atau melewati tempat itu. Bagaimana kapal yang menyeberang atau mengarungi Danau Toba maupun penumpang kapal harus benar-benar aman. 

Pengalaman Andar, aspek keselamatan bertransportasi di Danau Toba terlihat kurang. Saat dia berkunjung ke Danau Toba, menurut pengalamannya, keselamatan penumpang masih mengandalkan intuisi nakhoda. Meskipun hal ini memang menjadi kearifan lokal, namun Andar berpandangan, tak seharusnya keselamatan penumpang hanya dipasrahkan pada intuisi nakhoda. 

"Sempat juga saya itu dari lima kali saya ke sana, itu tiga kali sempat gagal berangkat. Waktu itu sebenarnya kapalnya sudah siap berangkat tapi karena intuisi nahkodanya mengatakan oh ini kayanya cuacanya sangat buruk nih, kita harus balik lagi ke dermaga," ujarnya. 

Apalagi, saat ini pemerintah sedang menggalakkan kampanye wisata ke Danau Toba yang sudah menjadi destinasi pelesir internasional di UNESCO. 

Sorot Kapal - Kawasan Wisata Danau Toba

Sejumlah wisatawan turun dari kapal setelah mengelilingi danau Toba di pinggiran Danau Toba, Parapat, Simalungun, Sumatera Utara. (ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho)

Selain aspek keselamatan bertransportasi yang patut dijaga betul, Andar memandang perlu bagi penumpang atau wisatawan untuk mengerti informasi seluk beluk soal Danau Toba. Menurutnya setelah orang mengetahui kedalaman Danau Toba itu antara 450 sampai 550 meter, danau ini merupakan danau perairan tawar, serta benda yang jatuh di Danau Toba tak akan mengapung lagi, maka orang akan makin sadar untuk menjaga keselamatan. 

Dengan mengetahui informasi tersebut, semua penumpang atau tamu yang ingin menikmati wisata Danau Toba itu akan berpikir saat naik kapal, yang tidak dilengkapi pelampung atau safety yang benar-benar lengkap.

"Kadang orang itu abai karena ketidaktahuannya atas informasi tentang Danau Toba," ujar Andar.

Menurutnya, informasi penting mengenai Danau Toba tersebut bisa disajikan dalam papan pemberitahuan atau papan informasi di semua dermaga penyeberangan di Danau Toba. Tujuannya supaya semua orang sadar atas aspek keselamatan. (ren) 

Baca Juga

Selisik Danau Vulkanik

Danau Vulkanik di Indonesia
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya