SOROT 507

Anak Maluku Gemparkan Piala Dunia

Isaak Pattiwael
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – "Krek," pintu suatu unit apartemen di kawasan Thamrin Jakarta itu saya buka. Di pojok ruang utama, duduk seorang pria tua yang sedang bermain dengan cucunya.

Ini Kelebihan Timnas Indonesia dari Jepang, Australia dan Arab Saudi

"Pak, ini tim VIVA yang ingin wawancara," begitu kata seorang anak dari pria tua tersebut. Saya pun memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan. Dengan senyum, pria tua itu terlihat begitu antusias dalam menjelaskan apa yang ingin saya dengar.

Namanya Yohannes Pattiwael. Usianya sudah menginjak kepala tujuh, namun ingatannya masih tajam. Apalagi menyangkut soal kenangan manis yang pernah diukir ayahnya, Isaak Pattiwael.

AFC Sorot Keikutsertaan Indonesia di Piala Dunia 1938: Negara Asia Pertama

Dengan rinci, Yohanes mengungkap kehebatan Pattiwael dan kawan-kawan seangkatannya sebagai pesepakbola. Bahkan, mereka sudah pernah berkipah di Piala Dunia 1938. Sayang, dulu belum bisa disebut tim nasional Indonesia karena saat itu masih dalam jajahan Belanda. Nama kesebelasan mereka masih “Hindia Belanda.”  

"Ayah saya adalah pemain Timnas Hindia Belanda dan sempat berlaga di Piala Dunia 1938. Indonesia belum ada saat itu," kata Yohannes kepada VIVA.

Momen Unik Timnas Indonesia saat Tampil di Piala Dunia

Sebagai putra sulung Pattiwael, terasa jelas rasa bangga Yohannes akan kiprah ayahnya sebagai pesepakbola. Tak heran bila Yohannes bersemangat menjelaskan panjang lebar prestasi ayahnya beserta teman-teman satu tim di pentas sepakbola dunia pada masa itu.

Bagi Yohannes, sosok Pattiwael memang menjadi salah satu pemain spesial di Timnas Hindia Belanda. Bersama Tan Hong Djien, Pattiwael adalah andalan di lini depan Timnas Hindia Belanda pada Piala Dunia 1938.

Usia Pattiwael saat menembus Timnas Hindia Belanda kala itu juga masih cukup muda, yakni 24 tahun. Kemampuan olah bola Pattiwael memang terbilang istimewa. Kecepatan dan kelincahannya mampu mengantarkannya berlaga di Piala Dunia 1938.

Bukan cuma itu, pemain yang lahir pada 23 Februari 1914 tersebut juga menjadi pemain yang meruntuhkan gengsi Belanda lewat pelatihnya, Cristoffel van Mastenbroek.

Isaac Pattiwael

Potret Isaac Pattiwael 

Ya, di awal pembentukan Timnas Hindia Belanda, pemain seperti Pattiwael, Hong Djien, Achmad Nawir, atau Tan Mo Heng, tak terlalu dilirik. Bagi Belanda, mereka cuma kaum pribumi dan tionghoa yang seharusnya cuma duduk dan membaca kiprah Hindia Belanda di Piala Dunia 1938.

"Ketika itu Belanda memang maunya orang-orang mereka saja yang masuk ke skuat. Pelatih tak bisa bohong. Lihat kualitas pemain pribumi dan tionghoa yang bagus, akhirnya mereka masuk tim. Ini membuktikan bahwa mereka layak karena kualitas," kata Yohannes.

Ada 17 pemain yang masuk ke dalam skuat Piala Dunia 1938. Dan 11 di antaranya merupakan pemain pribumi dan tionghoa. Lebih hebatnya lagi, sembilan orang pribumi dan tionghoa kerap masuk ke dalam starting eleven, baik di uji coba maupun laga Piala Dunia melawan Hungaria, 5 Juni 1938.

Kenangan manis Pattiwael di Piala Dunia itu tidak hanya diwariskan dari ayah ke anak. Salah satu cucu Pattiwael, John, juga antusias menceritakan kiprah hebat kakeknya beserta tim Hindia Belanda.

"Yang patut dicatat, kala itu mereka tak peduli disebut pengkhianat atau apa lah itu. Tujuan mereka cuma satu, ingin membawa nama orang Indonesia ke Piala Dunia. Akhirnya, kakek saya berhasil melakukannya. Entah apa yang terjadi, kalau kakek saya mendengarkan kata orang yang menyebutnya pengkhianat," ujar John.

Memang benar apa yang dikatakan John. Niat 11 pemain pribumi dan Tionghoa itu memang sangat mulia. Mereka ingin membuktikan, di tengah penjajahan, ada orang-orang lokal yang bisa berprestasi di pentas internasional. Tak peduli, apa bendera yang mereka bawa.

Kisah 'Gol' Bersejarah Indonesia

Dalam Piala Dunia 1938, Pattiwael menjadi salah satu pemain yang paling diperhatikan publik Stade Velodrome, Reims, Prancis. Kegesitan dan kecepatannya mampu membuat sektor pertahanan Hungaria kocar-kacir di awal laga.

Bukan cuma Pattiwael, tapi juga pemain lain macam Hong Djien, Suvarte Soedarmadji, dan Hans Taihittu, membuat Hungaria kewalahan.

Para pemain Hungaria, yang jadi lawan Hindia Belanda, pun mengakuinya. Salah satu bintang Hungaria saat itu, Gyorgy Sarosi, sempat curhat kepada pewarta asal Belanda, CJ Goorhof. Kepada Goorhof, Sarosi mengatakan, timnya dibuat repot oleh Hindia Belanda. Mereka pun terkejut dengan kelincahan serta semangat juang para pemain Timnas Hindia Belanda.

Pemain seperti Pattiwael dan Soedarmadji, disebut sebagai pembuat onar di lini belakang Hungaria.

Dengan skema 2-3-5 dan lini depan diisi oleh Hong Djien, Soedarmadji, Pattiwael, Henk Sommers, dan Hans Taihuttu, pertahanan Hungaria memang begitu merana di awal laga. Setidaknya, hingga menit 12, Hungaria harus tertekan.

Yohannes Pattiwael

Potret Timnas Hindia Belanda yang bermain di Piala Dunia 1938

Sebuah fakta yang tak tercatat menyebutkan, ternyata Pattiwael pernah mencetak gol di awal-awal laga. Hanya saja, gol tersebut tak disahkan oleh wasit. Sebab, Pattiwael terjebak dalam posisi offside.

"Ayah saya sempat cetak gol. Tapi, wasit menganulirnya. Biasa, sepakbola memang begitu. Katanya sudah terjebak offside," terang Yohannes.

Selepas menit 12, permainan Timnas Hindia Belanda mengendur karena staminanya sudah terkuras. Jadilah, Hungaria mencetak empat gol ke gawang Timnas Hindia Belanda. Dimulai dengan aksi Vilmos Kohut pada menit 13, tiga gol lain yang dicetak oleh Geza Toldi, Sarosi, dan Gyula Zsengeller, tercipta di babak pertama.

Hingga akhirnya, pada babak kedua, tanda-tanda kebangkitan Timnas Hindia Belanda muncul. Tertinggal empat gol tak membuat nyali mereka ciut.

Inilah yang membuat Sarosi dan kawan-kawannya merasa kewalahan menghadapi barisan ‘kurcaci’, sesuai dengan tulisan di L'Equipe, Timnas Hindia Belanda. Meski pada akhirnya, mereka bisa cetak dua gol tambahan ke gawang Timnas Hindia Belanda.

"Semangat juang para pemain saat itu luar biasa. Ayah saya sering berkata, 'bukan pemain sepakbola, jika tak memiliki medali seperti ini'," terang Yohannes ketika menunjukkan medali penghargaan keikutsertaan ayahnya di Piala Dunia 1938.

Sejak awal, memang ada sebuah semangat yang diusung para pemain Timnas Hindia Belanda jelang duel melawan Hungaria. Bagi mereka, menghadapi Hungaria, yang saat itu berstatus raksasa, adalah kesempatan langka.

"Kami berharap pada pemain seperti Hong Djien, See Han, Soedarmadji, Pattiwael, dan Taihitu. Mereka punya potensi untuk mengobrak-abrik pertahanan Hungaria, yang layaknya petinju kelas berat papan atas," ujar Tan Mo Heng dikutip dari Bataviaasch Nieuwsblad edisi 4 Juni 1938, sehari sebelum laga dimulai.

Pun dengan taktik dan strategi. Bukan tanpa alasan Mastenbroek menempatkan lima striker di dalam skemanya. Mastenbroek tahu, skuatnya punya kelebihan dalam kecepatan. Alhasil, Hungaria pun kewalahan, meski akhirnya Timnas Hindia Belanda tetap kalah.

Rantai Generasi yang Putus

Usai Piala Dunia 1938, tak banyak pemain jebolan Timnas Hindia Belanda yang terdengar kabarnya di bidang sepakbola. Kondisi politik saat itu menjadi penyebabnya. Di ambang perang, mereka banyak yang mencoba bertahan di sepakbola. Pattiwael salah satunya.

Setelah Piala Dunia 1938, Pattiwael kabarnya sempat gabung ke Persija Jakarta (dahulu namanya Voetbalbond Indonesische Jacatra atau VIJ). Namun, menurut pengakuan Yohannes, Pattiwael hanya fokus mengembangkan klub Ambon di Jakarta, Jong Ambon Batavia.

"Ayah saya tak jauh dari sepakbola. Dia sangat cinta dengan sepakbola dan mengembangkan klub bersama orang-orang Ambon di Jakarta," ujar Yohannes menambahkan.

Yohannes Pattiwael

Yohannes Pattiwael

Buku berjudul 'Drama Itu Bernama Sepakbola', karangan Arief Natakusumah menjelaskan, Pattiwael sebenarnya sempat hijrah ke salah satu klub Klaten, PSIK Klaten. Kehadiran Pattiwael di dalam skuat PSIK Klaten tersebut menjadi salah satu berita transfer terbesar saat itu. Sebab, Pattiwael yang notabenenya adalah jebolan Piala Dunia 1938, mau merapat ke klub yang tak terkenal.

Dan sebelum gabung ke PSIK, Pattiwael sempat bermain untuk tim sepakbola Bata Jakarta. Karena main untuk Bata Jakarta, masih dijelaskan buku tersebut, Pattiwael akhirnya merapat ke PSIK lantaran pabrik sepatu milik Belanda tersebut pindah ke sana.

"Mereka pindah lantaran ditawari bekerja di pabrik sepatu Gayamprit," demikian ditulis di buku tersebut. 

"Ketika perang kemerdekaan, ayah saya berpindah-pindah. Mengungsi, dan selalu membawa berbagai benda bersejarah seperti medali dan lainnya yang merekam perjalanannya di Piala Dunia 1938," jelas Yohannes.

Selepas Pattiwael pensiun, Yohannes meneruskan jejaknya sebagai pesepakbola. Dia menjadi satu-satunya keturunan Pattiwael yang meneruskan jejak sang ayah. Yohannes sempat bergabung ke Persija, satu angkatan dengan Iswadi Idris. Selama jadi pesepakbola, Yohannes juga sempat bermain di luar negeri, membela Indonesia dalam berbagai ajang, mulai dari Biennial Intervarsity Games hingga Piala Pelajar di Jepang.

"Hingga 1970-an saya masih aktif bermain sepakbola. Ingat ketika itu seperti apa bersaing dengan Iswadi Idris saat kami bertanding untuk membela kampus masing-masing," terang Yohannes.

Sayangnya, setelah Yohannes, tak ada lagi keturunan Pattiwael yang menjadi pesepakbola. John menyatakan, masalah bakat menjadi salah satu alasan tak ada lagi keturunan Pattiwael yang terjun ke dunia sepakbola.

"Saya punya saudara juga. Kalau memang tak bakat, ya mau seperti apa. Tapi, saya juga tak mau jauh-jauh dari sepakbola. Saya bisa berkontribusi dengan menggugah semangat para pesepakbola sekarang dengan kisah kakek saya. Menulis buku tentang kisah kakek saya dan semacamnya, bisa menjadi sebuah kontribusi terhadap kemajuan sepakbola Indonesia. Pemain kita bisa kok," ujarnya.

Bukan Cuma Klan Pattiwael

Generasi yang hilang bukan hanya dari klan Pattiwael. Namun, para pemain Tionghoa yang dulu bermain untuk Timnas Hindia Belanda di Piala Dunia 1938, juga tak ada penerusnya.

Banyak faktor yang membuat mereka tak memiliki penerus dalam dunia sepakbola. Perkembangan politik di Indonesia menjadi penyebab utama. Sejak paham komunis berkembang di Indonesia, sentimentil terhadap warga Tionghoa ikut menyebar.

Mereka seakan dikucilkan dari kehidupan sosial. Mo Heng yang sempat bermain untuk Timnas Indonesia selepas masa kemerdekaan, merasakannya. Puncaknya adalah usai peristiwa G 30 S meletus. Dimulai dari sini, warga Tionghoa menghilang dari dunia sepakbola. Mereka meminta kepada anak-anaknya untuk berkiprah di olahraga indoor ketimbang sepakbola yang mendatangkan massa. Atau, orang tua pemain Tionghoa itu meminta anaknya fokus di dunia bisnis.

"Mereka ingin meminimalisir risiko. Sebenarnya, Tionghoa punya peran besar dalam sejarah sepakbola Indonesia. Selain memegang peranan ekonomi di masa kolonial, mereka juga menganggap olahraga sangat penting. Tak cuma menyehatkan jasmani, tapi juga rohani. Maka dari itu, mereka mendirikan perkumpulan olahraga di Surabaya, Jakarta, dan Bandung," ujar sejarawan sepakbola Indonesia, Bayu Rojil.

Di sisi lain, Ketua POR Suryanaga (dulu bernama Tionghoa Surabaya, klub Hong Djien bermain), Yacob Rusdianto menuturkan, kerasnya sepakbola menjadi penyebab lain mengapa banyak pemain Tionghoa tak lagi berkiprah di sana.

"Dulu, klub anggota Persebaya, termasuk Suryanaga, wajib menyumbangkan pemain terbaiknya. Dulu, banyak pemain Suryanaga membela Persebaya. Tapi, sekarang sudah tidak lagi. Persebaya sudah profesional, pemain bisa dibeli. Tidak ada jenjang ini membuat sepakbola Suryanaga vakum. Dari Suryanaga terus ke mana sekarang, apa dibeli atau bagaimana," ujar Yacob.

Isaac Pattiwael

Foto para pemain Timnas Hindia Belanda 

Karena situasi seperti ini, jejak-jejak pemain hebat semacam Hong Djien pun tak diketahui. Hilang bagai ditelan bumi. Ada yang menyebut, Hong Djien sempat berbisnis, mengembangkan lahan pertanian keluarganya dan tinggal di sekitar Monumen Bambu Runcing Surabaya.

"Saya tak bisa cerita soal Hong Djien. Untuk pemain di era 1950-an, saya bisa cerita. Memang, dia pemain Suryanaga. Posisinya striker. Latihannya, di lapangan daerah Pasar Turi," ujarnya menjelaskan.

Bayu sempat ingin melakukan riset mengenai sosok Hong Djien yang legendaris. Namun, karena minimnya informasi, Bayu kesulitan mewujudkannya.

"Sebenarnya, soal bakat, pemain Tionghoa tak kalah. Mereka bisa bersaing di sepakbola Indonesia saat ini," terang Bayu. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya