SOROT 505

Jejak Kerajaan Islam Nusantara

Masjid Agung Demak
Sumber :
  • VIVA/Dwi Royanto

VIVA – Sebuah desa di sebelah barat Kota Banda Aceh menyita perhatian peneliti sejarah dalam beberapa tahun terakhir. Namanya Gampong Pande atau Kampung Pande. Berada di Kecamatan Kutaraja. Kira-kira dua setengah kilometer ke barat dari Masjid Raya Baiturrahman.

Menag Ajak Masyarakat Rayakan Tahun Baru dengan "Dekonsentrasi Jalanan"

Desa itu dijuluki Kampung Seribu Nisan, merujuk pada begitu banyak nisan kuno dan berukiran unik nan indah di sana. Sebenarnya tak sampai seribu tetapi saking banyaknya, bahkan ratusan nisan, disebutlah demikian oleh masyarakat.

Umumnya nisan-nisan kuno itu berbentuk balok pipih. Namun ada yang menyerupai gada. Tingginya bervariasi. Paling rendah 47 sentimeter dan paling tinggi 120 meter. Lebar rata-rata 17 sentimeter sampai 38 sentimeter. Nisan jenis balok pipih terdapat variasi pahatan menyerupai sayap burung mitos burak dan dihiasi ukiran kaligrafi Arab pada panil bagian badan.

Viral Sepasang Kekasih Kepergok Sedang Asyik Kelonan di Masjid

Nisan di Gampong Pande, Banda Aceh. (VIVA/Dani Randi)

Sebagian besar bagian badan nisan tertanam dalam tanah dan masih menampakkan jejak motif geometris di bagian kakinya. Bagian dasarnya dipahat kasar tanpa motif hias. Beberapa nisan lenyap disapu gelombang tsunami pada tahun 2004. Namun sebagian yang lain terlihat di permukaan tanah meski ada juga yang tenggelam di rawa-rawa. Sebagian di antara nisan-nisan itu diyakini sebagai makam raja-raja.

Ridwan Kamil Bersyukur Bisa Ketemu, Kiyai Said Aqil Siradj Puji RK Rajin Ibadah

Tak jauh dari lokasi itu, daerah rawa bagian utara Gampong Pande, ditemukan dua baris sisa struktur bangunan berbahan batu yang memanjang barat laut-tenggara serta struktur bangunan lain berdenah segi empat di antara kedua struktur pertama. Struktur itu ditengarai adalah sisa bangunan sebuah kompleks istana dan masjid masa lalu. Ditemukan pula banyak artefak dan peninggalan sejarah, seperti piring, cawan keramik kuno, dan lain-lain.

Kerajaan Islam

Belum ada hasil studi ilmiah yang mengonfirmasi Gampong Pande dahulu ialah pusat kota sebuah kerajaan. Juga diperkirakan sebagai bekas kompleks pemerintahan kerajaan Islam, baru sebatas dugaan. Namun benda-benda kuno yang ditemukan di sana, terutama nisan-nisan itu, jelas berusia sangat tua.

Sejarawan Husaini Ibrahim bahkan berani menyebut, nisan-nisan itu sudah ada di sana sejak abad XVIII. Daerah itu memang diyakini tersohor dahulu kala sebagai kawasan industri dan pusat perdagangan yang strategis, terutama karena berada di pintu masuk Selat Malaka.

Master arkeologi pada Universitas Syiah Kuala itu yakin, nama Gampong Pande berasal dari kata kampung dan pandai. Kata pandai mengacu pada masyarakat di kampung itu pada masa lampau yang banyak orang ahli pandai menempa emas, besi, batu dan lain-lain bernilai seni tinggi. Di antara produknya ialah mata uang dari emas, batu nisan dengan ukiran indah, senjata besi untuk berperang, dan berbagai peralatan untuk kepentingan kerajaan.

Berdasarkan sejumlah riset, kata Husaini, ternyata Gampong Pande bukanlah sekadar pusat industri, namun sekaligus pusat pemerintahan sebuah kerajaan Islam. Bahkan, menurutnya, sebuah kerajaan Islam yang jauh lebih tua daripada Samudra Pasai.

Penulis buku Awal Masuknya Islam ke Aceh itu juga berkeyakinan, di Gampong Pande-lah Islam kali pertama masuk sebelum menyebar ke seluruh Nusantara. “Islam di Aceh dan Nusantara telah ada sejak abad pertama hijriah atau abad ketujuh masehi,” katanya kepada VIVA di Banda Aceh pada Selasa, 29 Mei 2018.

Sejumlah nisan yang terdapat di Gampong Pande, Banda Aceh. (VIVA/Dani Randi)

Husaini mengaku, teorinya memang belum didukung sumber yang jelas secara ilmiah sekaligus mensahkan bahwa pada abad itu telah muncul sebuah kerajaan Islam di Nusantara. Juga belum diketahui nama kerajaan itu andai memang benar di sana pernah berdiri sebuah kerajaan Islam. Tetapi tesisnya sudah mulai menggerus teori lama yang menyatakan bahwa Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Beberapa hal yang diyakini Husaini sebagai bukti atas teorinya, di antaranya nisan-nisan kuno yang ditemukan di Gampong Pande. Hasil kajian arkeologi pada nisan-nisan itu, katanya, ditemukan urutan kronologi batu nisan dari paling awal hingga yang terbaru. Nisan terawal yang dinamai “nisan khas”. Menurut hasil kajian itu, tidak ditemukan di Peureulak dan Samudra Pasai.

Bukti lain, menurut Husaini, ialah struktur bangunan yang menyerupai sebuah fondasi bangunan besar nan luas dan diperkirakan bekas sebuah istana. “Juga menunjukkan bahwa di Gampong Pande, Banda Aceh, telah ada sebuah kerajaan Islam awal, jauh sebelum abad kesembilan.”

Benar atau keliru teori itu, katanya, dibuktikan kelak dengan penemuan dan penelitian yang lebih mutakhir. Tetapi satu hal yang pasti, dia berpendapat, Gampong Pande ialah daerah pertama penyebaran agama Islam di Nusantara, sebelum menyebar ke Aceh Timur menjadi Kesultanan Peureulak pada tahun 840 lalu ke Lhokseumawe dan Aceh Utara menjadi Samudra Pasai atau Kesultanan Pasai tahun 1267.

Kesultanan Pasai

Sejauh bukti-bukti dan studi-studi ilmiah yang telah dilakukan, Samudra Pasai-lah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kesultanan itu sesungguhnya hasil penggabungan dari kerajaan Islam pendahulunya, yakni Kesultanan Peureulak. Kesultanan itu didirikan pada 840 masehi dengan raja pertamanya Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah.

Empat abad kemudian, setelah wafatnya Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan sebagai sultan ke-18 (sultan terakhir, memerintah 1267–1292), Peureulak disatukan dengan Samudra Pasai. Waktu itu Pasai dipimpin Al-Malik az-Zhahir (memerintah 1297-1326), sultan kedua atau putra Al Malik Al-Saleh (memerintah 1267-1297).

Tak banyak peninggalan Pasai. Bahkan bekas istananya pun tak ditemukan. Makam sang sultan pertama Al-Malik Al-Saleh ialah satu di antara sedikit jejak kekuasaan kerajaan itu. Letaknya di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Aceh. Dapat dijangkau juga melalui Kota Lhokseumawe. Letaknya di timur Lhokseumawe, berjarak kira-kira 18 kilometer dari pusat kota.

Makam itu sebenarnya berada di dalam kompleks permakaman sultan-sultan Pasai, di antaranya juga ada makam Al-Malik az-Zhahir. Kompleks makam seluas tiga kali lapangan sepakbola. Namun yang utama ialah makam Al-Malik Al-Saleh dan putranya, seluas 288 meter persegi. Makam mereka dilengkapi pagar setinggi satu meter dengan cungkup khusus menyerupai menara seluas 64 meter persegi dan tinggi delapan meter.

Di kompleks berbeda, bersemayam jasad perempuan penguasa Pasai, yaitu sultanah atau Ratu Nahrisyah (memerintah 1406-1428). Makam sultan perempuan itu ditandai dengan nisan khusus yang terbuat dari marmer India. Makam dengan tanda istimewa itu sekaligus menandai bahwa Pasai di masa pemerintahan Nahrisyah-lah mencapai puncak kejayaannya.

“Dari batu nisannya sendiri bisa kita lihat bahwa sengaja dihadiahkan dari India. Dan di sini ada beberapa nisan yang masa itu terbuat dari marmer. Kami rasa itu masa puncak kejayaan Samudera Pasai, awal abad kelima belas,” kata Sukarna Putra, pegiat organisasi Center of Information for Samudra Pasai Heritage, saat berbincang dengan VIVA, Kamis, 31 Mei 2018.

Komplek Makam Malikussaleh dan Makam Malik Azh Zhahir Samudra Pasai di Lhokseumawe, Aceh. (VIVA/Zulfikar Husein)

Sebenarnya, pamor Kesultanan Pasai sudah mendunia sejak pemerintahan sultan keempat Al-Malik az-Zhahir II (memerintah 133?-1349). Sebab di masa itulah seorang penjelajah muslim asal Maroko, Ibnu Batuttah, mengunjungi Pasai.

Batuttah, dalam catatan perjalanannya yang berjudul Pengembaraan ke Timur, menuliskan pengalamannya menyusuri Kota Pasai dengan kudanya sekitar empat mil. Kota Pasai digambarkannya sebagai kota yang besar dan indah, dikelilingi pagar-pagar kayu yang dilengkapi dengan menara-menara yang terbuat dari kayu. Dia menceritakan, bahwa sultan Pasai menyambutnya dengan penuh keramahan dan penduduknya menganut mazhab Syafi'i.

Cerita lebih tua lagi tentang Pasai dan gema kekuasannya dituliskan oleh Marco Polo, penjelajah asal Italia. Marco Polo melaporkan berdasarkan lawatannya ke Pasai bahwa kerajaan itu terletak di tepi Sungai Pasangan (Peusangan).

Kekaisaran Cina pun sudah berhubungan dengan Pasai. Cheng Ho memimpin langsung 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Cheng Ho bahkan menyampaikan hadiah dari kaisar Cina berupa lonceng Cakra Donya kepada sultan Pasai.

Aceh Darussalam hingga Mataram Islam

Pada akhir masa kekuasaan Kesultanan Pasai abad XV, Islam menyebar ke berbagai penjuru Nusantara dan tumbuhlah berbagai macam kerajaan Islam, besar atau kecil, sebagian eksistensinya hanya satu-dua abad dan sebagian lain hingga lebih lima abad.

Kerajaan yang paling dekat dengan Pasai ialah Kesultanan Aceh Darussalam (1496–1903) dengan ibu kotanya Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh). Di Jawa pada masa Pasai mulai menua, sedikitnya berdiri lima kerajaan Islam, antara lain Kesultanan Demak (1475–1554), Kesultanan Pajang (1568–1586), Kesultanan Mataram (1588–1681), Kesultanan Cirebon (1430–1677), Kesultanan dan Banten (1526–1813).

Di luar Jawa, tepatnya di Kepulauan Maluku, berjaya Kesultanan Tidore (1081–1950) dan Kesultanan Ternate (1257–1950). Di Sulawesi ada kerajaan Gowa dan Tallo (1300–1946). Berdiri pula Kesultanan Banjar (1520–1905) yang berpusat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Bangunan Masjid Agung Demak. (VIVA/Dwi Royanto)

Kesultanan Demak menjadi kerajaan Islam pertama dan terbesar di Jawa. Ibu kotanya bernama Bintoro yang sekarang adalah Demak, Jawa Tengah. Kerajaan itu didirikan oleh Raden Patah, seorang bupati kerajaan Majapahit yang berkedudukan di Demak dan telah menganut Islam.

Demak mencapai puncak kejayaannya pada abad XVI di bawah kepemimpinan Pati Unus dan Trenggana. Kerajaan itu bahkan sampai berani menyerang Portugis di Malaka dan memperluas wilayahnya di Jawa Barat. Fatahillah, pemuda asal Samudra Pasai dan panglima tentara Demak, berhasil mengusir Portugis di Sunda Kelapa.

Jejak kejayaan kerajaan itu masih dapat dilihat sampai sekarang berupa Masjid Agung Demak. Letaknya di alun-alun Demak, kira-kira 26 kilometer dari Kota Semarang. Masjid seluas setengah lapangan sepakbola itu disebut masjid megah karena arsitekturnya yang indah dan sarat filosofi. 

Empat pilar penyangga di ruang utama masjid setinggi 17 meter, yang dimaknai sebagai jumlah total rakaat salat lima waktu. "Empat tiang penyangga ini dari kayu jati. Disebut sebagai saka tatal. Masih asli meski sebagian kita pindah di Museum Masjid di sisi utara," kata Ahmad Qoif, pengurus Masjid Agung Demak, saat bebincang dengan VIVA pada Minggu, 3 Juni 2018.

Pada bagian atap berbentuk limas dengan tiga tingkatan dimaknai sebagai tiga tingkatan seorang muslim, yakni iman, Islam, dan ihsan. Secara keseluruhan, Masjid Agung Demak fenomenal dengan gambar hewan bulus atau kura-kura. Kepala kura-kura dimaknai angka satu, lalu empat kaki dan badan dimaknai angka nol—1401. Angka itu menandai tahun berdirinya Masjid, yaitu 1401 saka.

Bangunan interior Masjid Agung Demak. (VIVA/Dwi Royanto)

Tak ditemui bangunan-bangunan besar lain seperti istana kerajaan. Masjid Agung itulah yang menandai eksistensi Kesultanan Demak sebagai simbol dakwah Islam di Jawa. Menurut Imaduddin, juru kunci sekaligus sejarawan di Museum Masjid Demak, para raja Demak memang sengaja tak membangun istana karena visi utama mendirikan kerajaan ialah syiar Islam bersama para ulama Walisongo.

Bahkan, kata Imaduddin, sang sultan pertama Raden Patah tak bermukim di sebuah istana melainkan di rumah biasa yang menyatu dengan permukiman penduduk. “Jadi, Raden Patah tidak tinggal di (istana) kerajaan tapi rumah penduduk. "Permukiman yang dimaksud ialah satu kawasan yang kini dijadikan kompleks makam raja-raja yang bernama kampung Bintoro.

Keterangan sang juru kunci selaras dengan pendapat Masud Thoyib, Sekretaris Jenderal Yayasan Raja Sultan Nusantara. Tak dapat dimungkiri bahwa Demak adalah kerajaan Islam pertama yang paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa dengan eksistensi Walisongo.

Demak runtuh seiring perang saudara memperebutkan takhta kerajaan dan pemberontakan Raden Hadiwijaya di Pajang, salah satu wilayah kekuasaan kesultanan itu. Hadiwijaya kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan Pajang. Dan tamatlah riwayat Demak.

Pada abad XVII, berdirilah Kerajaan Mataram Islam atau Kesultanan Mataram. Asal-usulnya adalah suatu kadipaten di bawah Kesultanan Pajang. Ibu kotanya terletak di Kotagede, sebelah tenggara kota Yogyakarta. Kelak, setelah kerajaan itu mengalami serangkaian pemberontakan dan perang saudara, Kesultanan Mataram terbelah menjadi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Momen itu ditandai dengan Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755.

Dua kerajaan Islam pewaris Mataram itu masih eksis hingga kini. Kesultanan Ngayogyakarta berpusat di kota Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta berbasis di kota Surakarta atau Solo. Mereka melestarikan banyak peninggalan bersejarah mulai istana atau keraton hingga masjid sebagai simbol dakwah Islam, masing-masing Masjid Gedhe Kauman dan Masjid Agung Keraton Solo.

Komplek bangunan Kesultanan Ngayogyakarta di Yogyakarta. (VIVA/Daru Waskita)

Kesultanan Ngayogyakarta maupun Kasunanan Surakarta sama-sama diakui pengaruhnya dalam Islamisasi Jawa. Menurut sejarawan pada Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Prof Dr Hermanu Joebagio, islamisasi di Jawa berpusat di keraton. Ajaran Islam yang dikembangkan adalah tasawuf. Maka, katanya, budaya tasawuf dan agama Islam yang berparadigma tasawuf sering disebut sebagai islamistik.

Pola islamisasi yang semacam itu, menurut Hermanu, menciptakan model Islam di Jawa berkarakter tasawuf dan karenanya akomodatif terhadap kebudayaan-kebudaan lokal. “Islam (di Jawa) bukan model puritan Wahabis—bukan itu,” katanya kepada VIVA.

Hermanu menyimpulkan, di dalam tasawuf tidak pernah ada kata sesat, tidak pernah ada kata bidah, yang sering muncul di masyarakat sekarang.

Penguasa kerajaan pun dengan kreatif menyampaikan ajaran-ajaran Islam tidak hanya dengan bahasa Arab melainkan juga bahasa Jawa. Bahkan, pada masa Pakubuwana X memerintah Surakarta, khotbah salat Jumat di Masjid Agung disampaikan dalam bahasa Arab dan Jawa. “Jadi ditambah menggunakan bahasa Jawa supaya yang tidak bisa bahasa Arab bisa mengerti isi khotbahnya,” ujarnya menambahkan.

Pendapat Hermanu tentang perpaduan ajaran Islam dengan budaya Jawa itu ditemukan buktinya sampai sekarang pada ritual keagamaan yang berkarakter tradisi lokal. Di Yogyakarta misalnya. Tiap tahun digelar peringatan hari-hari besar Islam, seperti grebeg Syawal (perayaan Idul Fitri), grebeg Idul Adha (perayaan Idul Adha), grebeg Maulud (peringatan kelahiran Nabi Muhammad), dan lain-lain.

“Itu sangat erat dengan keberadaan Islam di Keraton Yogyakarta,” ujar Budi Setiawan, imam besar Masjid Gedhe Kauman, saat ditemui VIVA pada Selasa, 5 Juni 2018.

KRT Kusumonegoro, Staf Tepas Keprajuritan Keraton Yogyakarta menjelaskan, bahwa masih cukup banyak bukti sejarah yang menandai betapa kuat islamisasi yang berpusat di keraton. Benda-benda bersejarah yang berciri paduan ajaran Islam dengan tradisi Jawa masih dapat ditemui di Keraton. Di antaranya masih disimpan Kanjeng Kyai Quran yang ditulis tangan di perpustakaan Keraton. Kitab itu tidak dipamerkan melainkan hanya diperlihatkan kalau ada tamu negara setingkat kepala negara.

Banten hingga Gowa-Tallo

Satu lagi kerajaan Islam besar di Jawa yang terletak di bagian barat pulau itu, yaitu Kesultanan Banten. Kerajaan di Tatar Pasundan itu tak dapat dilepaskan dengan Kesultanan Demak. Semua bermula ketika Demak pada tahun 1526 memperluas wilayahnya di pesisir barat Jawa, menaklukkan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya pangkalan militer sebagai antisipasi perjanjian antara kerajaan Sunda dan Portugis.

Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati, mengembangkan benteng pertahanan dan pangkalan militer itu menjadi kota pesisir. Kemudian menjadikannya pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri. Kerajaan itu berkuasa hingga tiga abad kemudian sampai runtuh pada tahun 1813. Keruntuhannya ditandai dengan dihancurkannya Istana Surosowan setelah penjajah Eropa datang.

Bangunan-bangunan peninggalan Kesultanan Banten. (VIVA/Yandi Deslatama)

Tetapi peninggalan-peninggalan Kesultanan Banten masih dapat ditemui hingga kini, di antaranya Istana Surosowan yang seluas empat hektare, Masjid Agung, Benteng Spellwijk, Vihara Avalokitesvara, dan lain-lain. Masjid Agung dibangun oleh Maulana Hasanudin. Bangunan Masjid beratap lima tingkat, menyerupai Pagoda, karena memang dibangun oleh arsitek China bernama Tjek Ban Tjut.

Sayangnya, bangunan-bangunan yang menjadi saksi kedigdayaan Kesultanan Banten itu nyaris tak terawat. Situs-situs itu dipenuhi coretan aksi vandal, ditumbuhi rumput ilalang, tumpukan sampah, dan kerusakan di banyak sisi. 

Ketua Pemangku Adat Kesultanan Banten, Tubagus Abbas Wasse, mengaku sangat prihatin dengan kondisi situs-situs bersejarah itu. Dia memperingatkan, cepat atau lambat harus ada upaya pemeliharaan yang serius dari pemerintah setempat. Kalau tidak, situs itu kelak musnah hingga generasi mendatang tak mengenalinya lagi.

Kerajaan Islam yang berkarakter maritim seperti Banten maupun Demak pernah berdiri juga di Sulawesi Selatan, yaitu kerajaan Gowa dan Tallo. Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan Islam di Indonesia yang menjadi simbol kejayaan Islam di kawasan timur Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai kerajaan besar yang berpengaruh dan menjadi kerajaan dagang.

Menurut sejarawan Syamzan Syukur, jauh sebelum kerajaan Gowa-Tallo menjadikan Islam sebagai agama kerajaan, masyarakatnya sudah mengenal Islam. Persentuhan orang-orang Gowa-Tallo yang dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung dengan Islam bersamaan dengan aktivitas maritim mereka; berinteraksi dengan pedagang-pedagang Nusantara dan bahkan dunia.

Secara resmi, kata doktor sejarah dan peradaban Islam pada Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar itu, masyarakat Gowa dan Tallo memeluk Islam pada abad XVI. Diawali kehadiran tiga mubalig yang bergelar datuk dari Minangkabau, antara lain Datuk ri Bandang, Datuk Patimang, dan Datuk ri Tiro. Mereka datang atas perintah Sultan Aceh Darussalam dan Sultan Johor untuk mengembangkan dan menyiarkan Islam di Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1605, raja kesembilan Gowa resmi memeluk Islam dan bergelar Sultan Alauddin. Hampir bersamaan dengan Datuk Luwu yang bergelar Sultan Muhammad Mahyuddin dan raja Tallo Imalingkaan Daeng Mayonri Karaeng Katangka (Sultan Abdullah Awalul Islam).

Masjid Tua Al-Hilal Katangka di Gowa, Sulawesi Selatan. (VIVA/Yasir)

Umumnya, masyarakat mengenal Masjid Tua Al-Hilal Katangka sebagai rumah ibadah tertua Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan. Namun tak banyak yang tahu bahwa pada masanya masjid itu juga difungsikan sebagai benteng pertahanan terakhir bagi keluarga kerajaan.

Hal itu tampak pada dinding masjid setebal 1,2 meter, dibangun berdasarkan bahan yang sama dengan benteng pertahanan Kalegowa. "Pada masa tersebut, selain sebagai pusat peribadatan dan syiar Islam, masjid ini juga berfungsi sebagai benteng pertahanan semasa perang," kata Harun Daeng Ngella, pengurus Masjid Katangka, kepada VIVA Minggu, 3 Juni 2018.

Masjid Katangka memang didirikan di dalam Benteng Kalegowa yang berarti masih dalam kawasan Istana Tamalatea. Benteng Kalegowa adalah benteng terkuat yang dimiliki kerajaan Gowa pada masa itu. Rumah-rumah raja dan bangsawan dibangun di dalamnya.

Dinding Masjid Katangka sudah diakui kekokohannya, terutama setelah dihajar meriam oleh Belanda di sekitar Istana Tamalate. Hanya masjid itu, kata Harun, yang tidak rusak. (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya