- REUTERS/DW/TAN
VIVA – 20 tahun lalu, peristiwa besar dan penting negeri ini terpatri menjadi sejarah. Kala itu, publik lelah berhadapan dengan penguasa yang enggan mengalah. Upaya untuk mendapat perubahan dan penumbangan rezim berjalan simultan. Dukungan dari seluruh elemen rakyat akhirnya mengalir deras. Tuntutan perubahan sistem dan penggantian penguasa negara lantang diteriakkan. Reformasi, begitu publik mengingatnya.
Tahun 1998, kata "reformasi," menjadi keramat. Kata itu diteriakkan dengan lantang, tangan kiri mengepal ke atas, dan penuh gelora kerinduan pada pembaruan. Demonstrasi mahasiswa yang meluas di berbagai kota menyuarakan tuntutan yang sama, "reformasi." Dan proses mewujudkan kata tersebut tak pernah usai hingga sekarang.
Masih lekat di ingatan Maria Katarina Sumarsih, bagaimana Wawan, anak laki-lakinya berjibaku bersama rekan-rekan kampusnya. Mahasiswa dari Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta bernama lengkap Bernardinus Realino Norma Irmawan terpanggil untuk berbuat sesuatu. Tapi Wawan tak memilih menjadi demonstran, ia bergabung dengan tim Relawan Kemanusiaan yang dipimpin oleh Romo Sandyawan Sumardi, SJ.
Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) adalah organisasi yang dibentuk oleh beberapa tokoh bangsa sejak terjadinya penyerbuan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996. Tujuan awalnya adalah untuk membongkar kekerasan politik dan memberi pertolongan pada korban aksi kekerasan di kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia. Tapi dalam perjalanannya, tim ini terus melakukan aksinya di berbagai wilayah konflik di Indonesia.
Perjuangan Reformasi, Menit ke Menit Perubahan
Pada 1998, ketika aksi-aksi mahasiswa di Jakarta semakin meningkat, tim ini memberi dukungan kemanusiaan dalam bentuk logistik dan pengobatan. Awal tahun 1998 itulah Wawan bergabung. Sumarsih, yang saat itu bekerja sebagai staf sekretariat MPR/DPR mengingat, ia pernah menyaksikan aksi anak laki-lakinya itu saat secara tak sengaja wajah Wawan terekam televisi berada di tumpukan barang-barang logistik yang akan disalurkan kepada mahasiswa dan masyarakat yang saat itu sudah mulai menuntut diturunkannya Soeharto, Presiden RI yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Keinginan publik negeri ini untuk menurunkan Soeharto mulai bergulir pasca tragedi 27 Juli 1996 yang terkenal dengan sebutan "Operasi Kuda Tuli." Tindakan represif pemerintahan Soeharto terhadap setiap aksi yang mengkritisinya malah meningkatkan eskalasi perlawanan. Buntutnya, sejumlah aktivis mahasiswa diculik, sebagian kembali dan sebagian lagi hilang hingga saat ini. Sejak itu aksi menentang kepemimpinan Soeharto, yang dikenal sebagai era Orde Baru, mulai muncul secara sporadis di berbagai wilayah negeri ini.
Keinginan menggulingkan rezim dari tampuk kekuasaan makin menguat setelah Golkar kembali memenangkan Pemilu 1997 dan meminta Soeharto untuk kembali menjadi Presiden RI. Tahun yang sama, Indonesia dihantam badai krisis keuangan. Dikutip dari buku "Detik-detik yang Menentukan. Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi," mantan Presiden BJ Habibie menuliskan bagaimana badai krisis moneter itu akhirnya meluas menjadi krisis multidimensional yang berpanjangan di berbagai bidang.
Dolar melambung tak terkira. Dari kisaran Rp2.000-an terus melejit hingga menembus Rp15.000. Akibatnya harga bahan pokok melangit dan menghilang dari pasaran. Sejumlah bank ditutup karena tak mampu mengatasi angka kredit macet dan krisis keuangan. Publik panik, terjadi penarikan tunai besar-besaran karena tak percaya pada Perbankan. Dana likuid bank kolaps.
Dalam situasi ekonomi yang merapuh, pada 11 Maret 1998 Soeharto kembali dilantik menjadi Presiden RI dan BJ Habibie sebagai wakilnya. Tapi yang membuat publik naik darah adalah ketika Soeharto melibatkan kroni-kroninya, bahkan Mbak Tutut anak perempuannya, dalam jajaran menteri di kabinetnya. Penolakan mahasiswa yang awalnya sembunyi-sembunyi mulai tampak.
Sejumlah tokoh yang sebelumnya sudah terkenal vokal semakin berani muncul ke permukaan. Amien Rais adalah salah satunya. Bahkan bisa dibilang Amien Rais adalah inisiator dan lokomotif gerakan melengserkan Soeharto pada 1998. Bersama sejumlah tokoh lain, ia memunculkan dua jargon yang menjadi isu utama gerakan 1998, "Turunkan Harga (Soeharto dan Keluarga)," dan "Tolak KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme)."
Publik yang sedang bergolak semakin marah ketika pada bulan Mei 1998 pemerintah menaikkan harga BBM dari Rp700 menjadi Rp1.200 per liter. Kekecewaan yang menumpuk memunculkan keberanian melakukan perlawanan terbuka. Demonstrasi merebak cepat. Satu demi satu mahasiswa di berbagai kampus meneriakkan kekecewaan, kejenuhan, dan kemarahan. Intimidasi muncul, mahasiswa boleh berdemonstrasi, tapi tak boleh keluar kampus.
Perlahan aksi mahasiswa mendapat dukungan luas dari publik. Diam-diam, mereka yang jenuh pada penguasa memberi dukungan moral dan logistik pada mahasiswa. Kritik pada Soeharto dan kroni-kroninya makin deras mengalir. Di Jakarta, seluruh kampus bergerak. Perintah untuk berada di dalam kampus ditaati.
Ketegangan mencapai puncaknya ketika aksi demonstrasi mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 mendapat tindakan represif dari aparat. Mahasiswa yang terpancing emosinya bergerak ke luar kampus pada 12 Mei 1998. Akibatnya fatal, aparat menghadapi mereka dengan senjata berpeluru tajam. Bentrokan terjadi, mahasiswa ditangkapi, dan ditembaki. Massa kocar kacir. Malam itu Trisakti berduka. Empat mahasiswa mereka tewas diterjang peluru.
Sehari setelah penembakan Trisakti kerusuhan pecah di seluruh Jakarta. Kelompok minoritas Thionghoa menjadi sasaran. Mereka dirampok, tokonya dijarah, dianiaya, hingga dibunuh dan diperkosa. Selama 13 hingga 15 Mei 1998 Jakarta mencekam. Situasi ibu kota genting. Tapi mahasiswa tak gentar. Gugurnya rekan mereka membangkitkan gelora. Mereka mulai ke luar dari kampus dan turun ke jalan. Gedung DPR/MPR menjadi sasaran utama.
Mahasiswa datang secara bergelombang ke gedung tersebut. Bukan hanya dari Jakarta dan sekitarnya, namun juga dari seluruh kota besar di Pulau Jawa, juga dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan wilayah timur lainnya. Selama berhari-hari mereka menduduki gedung dewan, memenuhi seluruh sudut gedung dengan poster, teriakan orasi, yel-yel, dan berbagai tuntutan.
Menghadapi tekanan massa yang menderas, satu per satu menteri yang berada dalam kabinet dan baru dilantik memilih mengundurkan diri. Situasi menjadi kritis ketika pada 18 Mei 1998, Harmoko Ketua DPR/MPR saat itu didampingi Syarwan Hamid, Fatimah Achmad, Abdul Gafur, dan Ismail Hasan Metareum, meminta agar Presiden Soeharto legowo dan bersedia mundur. Padahal enam bulan sebelumnya, Harmoko adalah orang yang menyampaikan kepada Presiden Soeharto, bahwa rakyat masih menghendakinya memimpin negara.
Puncak krisis adalah ketika Amien Rais mengeluarkan seruan dan mengajak mahasiswa dan seluruh elemen bangsa untuk menghadiri Rapat Akbar menyambut hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 1998 di lapangan Monas. Seruan itu mendapat sambutan. Tapi, pada tengah malam, seruan itu dibatalkan. Seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat diminta bertahan di posisi masing-masing. Konon, Amien Rais mendapat kabar, jika aksi dilanjutkan maka Monas akan menjadi "merah."
Situasi makin genting. ‘Jakarta hamil tua’, begitu kabar yang beredar saat itu. Semua orang menunggu, apa yang akan terjadi berikutnya. Sementara mahasiswa terus meneriakkan tuntutan agar Soeharto mundur dan reformasi segera terjadi.
Penantian terjawab. Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto memberi pernyataan. Melalui siaran langsung yang disiarkan televisi, ia menyatakan mundur dari jabatan Presiden RI. Tampuk kepemimpinan diserahkan kepada BJ Habibie yang saat itu menjadi wakil presiden saat itu.
Keputusan Soeharto disambut gegap gempita. Takbir, sujud syukur, teriakan dan yel-yel terdengar di berbagai penjuru negeri. Mahasiswa larut dalam bahagia. Tuntutan yang kerap dilantangkan mulai dikumpulkan dan disusun menjadi agenda bersama. Enam Agenda Reformasi ditetapkan, yaitu: Adili Soeharto dan kroni-kroninya, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Pemberantasan KKN , Amandemen UUD 45, Otonomi Daerah Seluas-luasnya, dan tegakkan supremasi hukum.
Mundurnya Soeharto membawa euforia sesaat, karena berikutnya terjadi kegamangan. Mahasiswa menolak BJ Habibie sebagai pengganti Soeharto karena dianggap masih bagian dari Orde Baru dan kroni Soeharto. Namun Habibie tak mungkin mundur karena bisa menyebabkan terjadinya vacuum of power yang pasti berdampak buruk pada negara.
Habibie memutuskan melanjutkan jabatan sambil menunggu ketetapan Sidang Istimewa. Para pimpinan Dewan mengambil keputusan, Sidang Istimewa akan diadakan pada 10-13 November 1998.
Demonstrasi mereda, tapi tak pernah benar-benar berhenti. Menjelang pelaksanaan Sidang Istimewa demonstrasi kembali meningkat. Mahasiswa kembali turun ke jalan. Mereka bergabung dan menolak Sidang Istimewa yang dikhawatirkan hasilnya tak akan mengubah apa pun.
Tanggal 12 November 1998, ratusan ribu mahasiswa bergabung dengan masyarakat turun ke jalan menolak Sidang Istimewa. Namun mereka tak bisa mendekat ke Senayan. Penjagaan aparat yang ketat membuat mereka mundur teratur. Hari berikutnya, 13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat tak surut. Mahasiswa yang nekat dan aparat yang bersenjata lengkap bertemu. Bentrokan terjadi.
Aparat yang represif kembali menekan mahasiswa dan melakukan tindakan brutal. Fatal, 15 orang tewas. Tujuh dari mahasiswa, dan delapan dari masyarakat. Peristiwa berdarah itu dikenal dengan nama Tragedi Semanggi I. Pada 23 November 1998, tragedi kembali terjadi di Semanggi. Empat orang tewas, dan orang-orang menyebutnya sebagai Tragedi Semanggi II.
Pedih bagi Sumarsih. Di saat ia sibuk melakukan tugasnya sebagai staf gedung MPR/DPR dan menyiapkan Sidang Istimewa, Wawan justru tewas akibat terjangan timah panas aparat. Anak laki-lakinya itu meregang nyawa saat mencoba menolong mahasiwa lain yang terluka. "Anak saya gugur demi nilai yang ia perjuangkan," ujarnya. Wawan gugur, ia menjadi korban di Tragedi Semanggi I.
Agenda Reformasi, Antara Harapan dan Fakta
Mei 2018, tepat 20 tahun gerakan Reformasi 1998. Waktu bergulir, presiden berganti. Enam Agenda Reformasi yang ditetapkan kini dipertanyakan. Sudahkah agenda reformasi yang menjadi perjuangan hingga menjadi peristiwa berdarah berjalan sesuai harapan?
Bisa jadi tak semua agenda reformasi terwujud, meski tak semua juga diabaikan. Berdirinya Lembaga Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari proses mewujudkan demokrasi yang lebih baik di negeri ini. Begitu juga dengan Otonomi Daerah, Pemilihan Kepala Daerah dan Presiden secara langsung juga menjadi bagian dari keberhasilan reformasi.
Tapi, mengatakan bahwa reformasi sudah terwujud tak sesepele menunjuk lembaga-lembaga yang secara kasat mata hadir sebagai bentuk peningkatan demokrasi negeri ini.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengakui keberhasilan kinerja lembaga-lembaga penunjang demokrasi. Namun ia mengatakan ada hal-hal yang belum selesai. Ia menunjuk penegakan hukum dan masalah-masalah politik lain sebagai pekerjaan rumah yang menjadi agenda besar dan pekerjaan rumah dari agenda reformasi yang masih butuh perhatian. "Fokusnya harus di sana, penegakan hukum harus lebih baik lagi," ujarnya.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani juga menunjuk hal yang sama. Menurutnya, jika dilihat dari sisi keadilan, cita-cita reformasi masih jauh dari harapan. Yati mengajak publik melihat pada penyelesaian peradilan pelanggaran HAM berat masa lalu. Menurutnya hingga 20 tahun ini belum ada satu kemajuan yang sangat berarti.
"Justru ada situasi yang sangat menghawatirkan saat ini. Pemerintahan Jokowi alih-alih mewujudkan janji-janji ketika kampanyenya dulu, justru melahirkan banyaknya kebijakan yang kontradiktif dari cita-cita reformasi itu sendiri. Salah satunya adalah mengangkat Wiranto menjadi Menkopolhukam," ujarnya kepada VIVA.
Komentar berbeda disampaikan Budiman Soedjatmiko. Aktivis politik yang pernah dipenjara pada 1996/1997 itu menilai, demokrasi di Indonesia memang masih jauh di bawah standar negara yang sudah matang. Namun jika menggunakan Unified Democracy Score, yang biasa digunakan untuk mengukur level demokrasi sebuah negara, maka terjadi lonjakan indeks demokrasi pasca 1998.
Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang terus menjadi batu sandungan bagi penegakan hukum sebagai syarat kemajuan demokrasi di Indonesia. Ketua Komisioner Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengakui bahwa progres penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sampai saat ini masih minim. "Karena dari sekian kasus yang kita selidiki tempo hari, dari hasil penyelidikan Komnas HAM, belum ada satu pun yang diteruskan ke pengadilan oleh Kejaksaan," ujarnya.
Wewenang Komnas HAM adalah penyelidikan, sedang penyidikan adalah kewenangan Kejaksaan. Dan sejauh ini, ia tak mendengar Kejaksaan Agung pernah membentuk tim penyidik untuk melanjutkan temuan Komnas HAM. Tapi beberapa bulan lalu Ahmad Taufan mengakui, ada secercah harapan dari pemerintah untuk mewujudkan mimpi mereka.
"Ada pertemuan kami tempo hari dengan Menkopolhukam, kemudian Pak Wiranto membentuk semacam forum bersama. Di situ ada Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, kemudian bersama Menkopolhukam tentunya. Nah, tugas forum ini mendiskusikan satu persatu kasus-kasus pelanggaran ham berat masa lalu itu," ujarnya menambahkan.
Bagi Ahmad Taufan, ini merupakan satu tahapan, meskipun masih harus ditunggu lagi apa nanti hasil forumnya. Tapi, setidaknya sudah ada inisiatif dari Menkopolhukam yang mewakili pemerintah untuk mengumpulkan instansi terkait tersebut untuk mendiskusikan kasus-kasus pelanggaran Ham berat di masa lalu.
Mengukur keberhasilan memang tak mudah. Apalagi terkait reformasi sebagai keberhasilan demokrasi. Tapi ada parameter sederhana yang sebenarnya bisa menjadi tolak ukur. Aktivis 98 Savic Ali menunjuk keterbukaan menyampaikan pendapat tanpa rasa takut sebagai bagian dari terwujudnya iklim demokrasi yang terbuka. "Kondisi sekarang ini sudah lebih baik dari 20 tahun lalu," ujarnya.
"Orang-orang bebas dari ketakutan, semua bebas berbicara, mengkritik pemerintah, dan menyampaikan pendapat. Pers lebih terbuka dan tak ada pembreidelan. Pemerintahan yang militeristik kini sudah tak ada lagi. Dan tak perlu khawatir karena sekarang ada pembatasan masa jabatan presiden," ujarnya menambahkan.
Soal penegakan hukum, Savic Ali mengakui adanya kelemahan proses. Salah satu Agenda Reformasi, yaitu adili Soeharto dan kroni-kroninya tak berjalan. "Orang-orang atau kroni-kroni keluarga Cendana yang seharusnya bertanggungjawab dalam kejahatan politik ekonomi dan kemanusiaan di masa Orde Baru itu dapat diadili atau dipensiunkan dini, tapi problemnya itu kan tidak terjadi," ujarnya.
Penegakan hukum tak mampu dijalankan dengan baik karena banyak elit-elit politik ketika itu banyak yang berkompromi, sehingga salah satu dampaknya adalah banyak kekuatan-kekuatan lama yang mendapat ruang untuk kembali. Tapi Savic Ali menampik, kekuatan lama yang akan kembali adalah Orde Baru. Sebab, ia yakin tak akan ada rakyat yang mau mendukung mereka. Apalagi jika partai-partai yang didirikan Cendana tak lolos parlementary treshold, maka akan gugur secara otomatis.
Bagi Savic Ali, mimpi enam agenda reformasi dan mimpi untuk membuat negara ini menjadi lebih baik adalah mimpi bersama. Penegakan hukum yang baik, good governance, dan mewujudkan agenda reformasi adalah sama dengan mewujudkan cita-cita para pendiri negara ini. "Yaitu tentang negara yang adil, makmur, dan sejahtera," ujarnya menjelaskan.
Perjuangan demokrasi dan tuntutan reformasi adalah tuntutan yang harus diperjuangkan bersama, bukan dibebankan kepada pihak lain. Bagi Savic Ali, tuntutan reformasi itu sekaligus tuntutan terhadap diri sendiri. Penegakan supremasi hukum dan sistem negara yang bersih adalah tanggung jawab banyak kalangan.
Melengkapi Savic Ali, Budiman Soedjatmiko yang kini menjadi aktivis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengakui proses reformasi terus akan berjalan, namun kini harus didefenisikan dalam konteks tantangan dunia baru. "Persoalan sekarang bukan lagi mana bagian dari cita-cita reformasi yang harus dicapai, tapi bagaimana mendefenisikan reformasi dalam konteks sekarang, saat ini. Di sini kita berbicara revolusi industri ke IV, demokrasi digital, peluang dan ancaman dari Artificial Inteligent dan robot pada dunia kerja, Universal Basic Income, dan bahkan isu Singularitas 2040," ujarnya.
Demokrasi memang bergerak sesuai zaman. Tuntutan reformasi 20 tahun lalu jelas tak usang, namun seperti yang disampaikan Budiman Soedjatmiko, bagaimana mendefinisikan reformasi dalam konteks sekarang. Sehingga reformasi tak lagi hanya sebagai jargon dari romantisme masa lalu, namun ia ikut bergerak melangkah mengikuti zaman. Dan mewujudkannya adalah tugas dan tanggung jawab bersama, melekat pada setiap warga negara. (mus)
Baca Juga