SOROT 499

Semua Orang Bisa Jadi Superhero

Wiro Sableng 212
Sumber :
  • instagram.com/vinogbastian__

VIVA – Superhero atau pahlawan super yang orang tahu, hanya soal jagoan berkekuatan inhuman yang menumpas kejahatan, dengan pertarungan luar biasa seru nan menegangkan. Satu hal yang hampir terjadi di semua kisah superhero. Jagoan kalah dulu, setelah itu pasti menang.

Memang kisah superhero hampir pasti punya akhir yang bahagia. Mungkin juga itu yang membuat para penggemarnya tetap setia. "Karena hero-nya enggak mati-mati. Pasti kan jagoan selalu menang, jadi orang suka. Apalagi ada aksi-aksi yang menarik, baik di dalam komik maupun di filmnya," kata Noorca Marendra Massardi, pengamat film Indonesia kepada VIVA.

Ya, inilah daya tarik utama dari kisah superhero. Di balik ending-nya yang ketebak, meski habis mengalahkan satu penjahat, namun penjahat lain bakal terus muncul, penggemar tahu bahwa pada akhirnya jagoan pasti menang.

Dari sana kisah superhero memberikan motivasi tentang nilai-nilai keberanian dan kebenaran, di mana yang salah pasti kalah, yang jahat pasti mati.

Hal ini tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dari diciptakannya komik superhero untuk pertama kali, yaitu hampir sembilan dekade lalu, tepatnya di era Perang Dunia ke-2. Kala itu komik-komik superhero merupakan salah satu propaganda yang dilancarkan AS selama perang tersebut berlangsung.

Justice League.

Alat Propaganda

Tokoh-tokoh superhero yang Anda kenal saat ini, baik dari DC Comics maupun Marvel sebenarnya diciptakan punya porsinya masing-masing dalam melancarkan propaganda. Demikian tertulis dalam kajian berjudul Comic Books and World War II: Buying into the War.

Total war adalah konsep yang asing bagi kebanyakan orang Amerika. Gagasan bahwa perang begitu menyita setiap pikiran dan tindakan kita adalah sesuatu yang ada di luar pemahaman. Namun, dalam Perang Dunia ke-2, orang Amerika menghabiskan setiap energi terakhir mereka untuk melakukan apa yang dapat dilakukan dalam usaha membantu memenangkan perang.

Guna memastikan publik Amerika tidak pernah melupakan konsep total war, propaganda pun dilancarkan dalam berbagai bentuk. Kebanyakan orang dewasa melihatnya dalam bentuk poster di toko-toko atau di film pendek yang biasa muncul di bioskop sebelum film layar lebar dimulai.

Elizabeth Olsen Blak-blakan 'Dipecat' dari Film Marvel, Tak Lagi Perani Superhero?

Namun, bagi anak-anak, munculnya bentuk sastra baru yang populer di era 1930-an menjadi pintu gerbang propaganda untuk disampaikan kepada generasi yang lebih muda.

Comic books atau komik menunjukkan bagaimana jadinya jika Anda melawan kejahatan di Perang Dunia ke-2. Faktanya, sampai saat ini komik masih membagikan nila-nilai yang sama.

Film Blue Beetle Tayang Hari ini, Sajikan Aksi Superhero yang Menyentuh

Tahun 1977, penulis AS, Michael Uslan mengatakan, bahwa dari tahun 1930-an, sifat komik adalah mengungkapkan tren, konvensi dan kekhawatiran kehidupan Amerika. "Komik telah menjadi sebuah karya tentang pandangan nasional, pergaulan, moral, adat istiadat, tradisi, sikap rasial, mode, heroes of the day dan berbagai hal lain yang membentuk gaya hidup kita," ujarnya.

Chris Evan dalam Captain America

Tayang 14 Juni, Semenarik Apa Film The Flash Dibanding Film Superhero Lainnya?

Dalam satu bentuk atau lainnya, komik memang sudah ada lebih lama dari yang mungkin Anda bayangkan, yakni tahun 1500-an. Namun, di AS, komik yang kita kenal sekarang tercipta pada akhir 1930-an, yakni pada bulan Juni 1938 saat ACTION COMICS #1 dirilis.

Superman, karakter yang membungkus semua hal-hal baik tentang Amerika dan kemanusiaan, menjadi bintangnya. Karakter lainnya pun menyusul tak lama setelahnya, termasuk Human Torch, Batman, Sub-Mariner, Wonder Woman, Captain Marvel, The Shield dan Captain America.

Superman menjadi populer karena berbagai alasan. Pertama, seperti banyak orang Amerika, Superman adalah seorang imigran. Ia hidup di bumi yang merupakan tempat asing bagi orang dari planet Krypton seperti dirinya. Kedua, Superman mendukung kerja keras, keadilan dan kebenaran.

Dikutip dari buku Great Depression, Scott A. Cord mengatakan, bahwa di masa Perang Dunia Ke-2, komik menjadi salah satu bentuk pelarian bagi para pembacanya. Komik memungkinkan para pembaca untuk berfantasi tentang menghukum para penjahat di kehidupan nyata.

"Karena depresi adalah kekhawatiran utama orang Amerika selama tahun 1930-an, para pembaca senang melihat superhero bertarung melawan mereka yang mengeksploitasi masa-masa sulit untuk keuntungan diri sendiri. Misalnya, karakter awal seperti Green Lantern, Superman dan Batman sering dikisahkan meringkus para pengusaha korup yang menindas pekerja miskin di akhir 1930-an," ujarnya.

Aspek lain yang disenangi dari karakter Captain America bagi banyak orang Amerika adalah dia selalu bertempur sesuai dengan "aturan" perang, dan ia selalu menang. Sementara tokoh antagonisnya selalu bertempur dengan cara curang dan selalu berakhir kalah.

Superhero Lokal

Sejak Superman muncul di komik Amerika Serikat tahun 1938, karakter-karakter bertema hampir sama pun tercipta. Bukan cuma di Amerika, namun juga di negara-negara yang terpengaruh budaya pop Amerika terutama budaya komik. Tentu saja, dalam hal ini Indonesia tak terkecuali.

Di Tanah Air sendiri, tidak diketahui pasti siapa karakter superhero yang pertama kali diciptakan. Di awal tahun 1950-an ada beberapa komik superhero yang diterbitkan, seperti Sri Asih dan Siti Gahara karya RA Kosasih serta Putri Bintang dan Garuda Putih ciptaan Johnlo.

Yang pasti, Sri Asih lah superhero pertama yang dibuat menjadi film layar lebar, yaitu di tahun 1954. Sayang, copy film dan materi promosinya sudah musnah. Hal itu diungkapkan oleh Andy Wijaya, Commercial General Manager Bumilangit Entertainment Corpora.

Bumilangit adalah perusahaan hiburan berbasis karakter di Indonesia yang mengelola pustaka karakter terbanyak, lebih dari 500 karakter-karakter komik yang telah diterbitkan selama enam puluh tahun terakhir. Andy bahkan mengatakan, ada lebih dari 1.000 karakter superhero yang berada di bawah naungan perusahaannya, termasuk yang sudah punya nama besar, seperti Sri Asih, Si Buta Dari Gua Hantu, Gundala, Godam, Nusantara dan masih banyak lagi. Itu yang membuat pihak Bumilangit ke depannya berencana membuat Avengers versi Indonesia dengan superhero lokal.

Komik Si Buta dari Gua Hantu.

Menurut Andy, berbeda dengan di Amerika, di mana komik superhero dijadikan propaganda Perang Dunia ke-2, di Tanah Air karakter superhero serta ceritanya lebih bercorak Indonesia.

"Kalau di Bumilangit ada dua bagian, superhero dan jawara (para pendekar klasik, martial arts, silat). Gundala latarnya mistis, kalau di komiknya dia seorang ilmuwan yang pengin bikin serum anoda anti petir, supaya siapapun yang tersambar petir enggak apa-apa. Akhirnya malah dia kesambar petir. Sejak diputusin sama pacarnya Minarti, dia kan cowok mellow, lari sampai perbukitan kesambar petir terus dibawa ke kerajaan petir, itu mistis. Karena Pak Hasmi (penulis Gundala Putra Petir) memang buat itu karena masyarakat agraris lebih kepada mistis," ujarnya saat diwawancara VIVA belum lama ini.

Gundala Putra Petir, yang meski ceritanya fiksi serta jelas terlihat pengaruhnya dari superhero Amerika, baik desain kostum dan jenis kekuatannya, namun berangkat dari legenda dan unsur budaya asli Indonesia. Alur ceritanya pun benar-benar bergaya Indonesia.

Hal tersebut pula yang membuat sutradara kawakan Joko Anwar memilih untuk membidani kelahiran film layar lebar Gundala, yang proses produksinya bakal dimulai dalam waktu dekat. Kata Joko, dirinya tumbuh dewasa dengan membaca komik Gundala dan komik-komik besar Indonesia lainnya.

Meski begitu, memang Gundala yang punya tempat khusus di hatinya, karena sejak kecil ia sangat menyukai karakter Gundala, peneliti jenius yang menemukan serum anti petir. "Zaman dahulu enggak ada hiburan lain. Hiburan aku ya nonton film dan baca komik gundala, jagoan asli Indonesia. Jadi kayak ada kebanggaan tersendiri gitu," ucap Joko.

Joko Anwar garap film Gundala

Gundala adalah tokoh komik bergenre fantasi ciptaan Harya Suryaminata atau biasa disapa Hasmi. Superhero ini muncul pertama kali dalam komik Gundala Putra Petir pada tahun 1969. Film Gundala yang bakal dibuat Joko Anwar bukanlah film pertama. Sebelumnya juga sempat dibuat film Gundala Putra Petir tahun 1982 silam, dengan latar tempat di Jakarta, meski lokasi cerita di komiknya sering digambarkan di Yogyakarta.

Terdiri dari 23 judul seri yang terbit tahun 1969-1982, Gundala tercipta menyusul popularitas komik superhero era 1960-an. Itu ditandai dengan fisik Gundala yang terinspirasi dari The Flash, karakter superhero ciptaan Gardner Fox dari DC Comics.

Hasmi pernah mengatakan, bahwa ide kekuatan Gundala, yakni memancarkan geledek dari telapak tangannya didapat dari tokoh legenda Jawa, Ki Ageng Sela yang konon punya kemampuan menangkap petir, diketahui dari naskah-naskah babad yang dipercayai masyarakat Jawa.

Berkaca dari komik superhero Amerika yang menyiratkan situasi politik di era Perang Dunia ke-2, kisah superhero Indonesia ada juga yang menyisipkan beberapa sindiran halus berhubungan dengan kondisi sosial politik.

Misalnya saja dalam buku cerita silat (cersil) Wiro Sableng ciptaan Bastian Tito, seperti diungkapkan oleh Sheila Timothy, produser film 212 Warrior yang sedang dalam tahap produksi. Produser Lifelike Pictures, rumah produksi pemegang lisensi 185 buku cersil Wiro Sableng itu mengatakan, bahwa ada tiga golongan yang digambarkan dalam dunia Wiro Sableng sejak cersilnya pertama kali terbit tahun 1967,

"Wiro ini eranya bisa dibilang era abad ke-16/15 gitu ya. Wiro Sableng itu dunia fantasi, bukan mengacu kepada satu era yang benar-benar terjadi di dunia. Jadi campur antara dunia tapi masih ada fiksinya, fantasinya. Tapi dunia Wiro Sableng itu terbagi menjadi tiga kelompok. Satu golongan hitam, dua golongan putih, tiga golongan kerajaan atau politik," ucap Sheila.

Wiro Sableng 212

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam cersil Wiro Sableng, biasanya orang-orang golongan putih terbilang independen dan tidak mau ikut campur masalah golongan politik. Sedangkan golongan hitam, karena ketamakan, kerasukan dan lain sebagainya, terkadang masuk ke dalam golongan politik tersebut.

"Nah, ketika terjadi pemberontakan, biasanya golongan putih ikut membantu rakyat dan masyarakat. Jadi biasanya dunianya itu berkisar di antara tiga kelompok itu," katanya.

Alter Ego

Mengacu pada ilmu psikologi, bisa dikatakan bahwa superhero umumnya merupakan wujud dari alter ego banyak penggemarnya. Definisi alter ego sendiri adalah kondisi di mana seseorang membentuk karakter lain dalam dirinya secara sadar. Karakter tersebut seringkali merupakan gambaran ideal tentang dirinya, yang tidak bisa dia realisasikan dan hanya mampu ia idam-idamkan.

Menurut Psikolog Anak, Remaja dan Keluarga, Roslina Verauli, alter ego itu seperti ego ideal yang diharapkan oleh seseorang untuk ia miliki. Alter ego juga merupakan salah satu bentuk dari defence mechanism atau mekanisme pertahanan bawah sadar.

"Jadi alter ego itu adalah seperti ego ideal yang dia harapkan sendiri. Dia butuh mengembangkan alter ego bahwa dia adalah orang yang hebat, dia mampu bertahan, dia bisa melindungi orang dan sebagainya. Sehingga dia menyukai figur seperti Superman, Batman, Spiderman, atau superhero lainnya. Itu kan seolah-olah membantu ego untuk bisa bertahan, tapi dengan cara-cara yang masih bisa diterima di lingkungan," ucap Vera.

Namun Vera menjelaskan, bahwa memiliki alter ego bukan berarti ingin menjadi orang lain, karena alter ego sebenarnya merupakan ego ideal yang diharapkan oleh setiap individu. "Jadi tidak mesti ingin menjadi orang lain, tapi ingin ideal saja," katanya menegaskan.

Ia mencontohkan, ketika seseorang ingin menjadi superhero karena superhero memiliki kekuatan, senang menolong orang yang lemah, maka itu adalah ego ideal atau harapan ideal seseorang. Jika kemudian seseorang menghayati sosok superhero itu ada di dirinya, dia menjadi alter egonya. Kalau dia cukup adaptive, mekanisme defence-nya sudah ada, dia akan berusaha melakukan apa yang dilakukan oleh tokoh superhero idolanya itu,

Henry Cavill berperan sebagai Superman.

Psikolog Universitas Tarumanegara itu pun mengatakan, bahwa memiliki alter ego seperti itu adalah sesuatu yang baik, seperti menghayati dirinya dengan hal positif dan peduli sesama manusia.

"Itu kan berkembangnya sehat. Tanpa ada ketegangan, tanpa ada kecemasan dari dirinya sendiri. Jadi intinya adalah, dia tidak tegang, dia tidak cemas, dia tidak dalam tekanan, dia tidak ekstrem, sehingga tidak mengganggu kehidupannya sehari-hari,” katanya menjelaskan.

Justru hal itu disebut Vera adalah mekanisme pertahanan bawah sadar yang sehat. "Karena semua orang punya mekanisme defence. Kalau enggak, kita bisa jadi gila kesehariannya. Kalau enggak punya itu tidak sehat, tertekan pasti kesehariannya," ujarnya menambahkan.

Yang tidak sehat adalah ketika seseorang ingin menjadi mirip, katakanlah Superman, sampai mengubah fisiknya dengan operasi plastik atau suntik agar bentuk fisiknya mirip. Artinya, menjadi diri yang kita idealkan sendiri itu sehat, tapi bukan menjadi orang lain.

Jadi tak heran Amerika menjadikan komik superhero sebagai propaganda. Ya, para pengarang kisah superhero menciptakan karakter-karakternya bukan melulu dalam rangka menyuguhkan hiburan, namun juga memberi tahu pembaca kalau menjadi superhero itu pilihan.

Setiap orang bisa jadi superhero. Tentu bukan hero dengan kekuatan super, tapi lebih kepada superhero versi ego ideal mereka masing-masing. Entah jadi guru, tentara, dokter bahkan pasukan oranye sekalipun, selama Anda berguna bagi sesama, Anda adalah superhero.

Seperti yang dikatakan Mariah Carey dalam lagunya, Hero, "So when you feel like hope is gone, look inside you and be strong. And you'll finally see the truth, that a hero lies in you."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya