- REUTERS/Wolfgang Rattay
VIVA – Sejak diterima bekerja di perusahaan swasta ternama di Jakarta, Helen mengalami kenaikan berat badan yang signifikan. Secara bertahap, tiap bulan timbangan bobotnya kian bertambah. Ia masih ingat, dua tahun lalu ketika tes seleksi karyawan, berat badannya berada di angka 49 Kg, kini telah mencapai 65 Kg.
Helen mengalami dilema. Padatnya agenda pekerjaan telah mengubah gaya hidupnya, dari seorang mahasiswa aktif menjadi pekerja kantoran yang nyaris seharian berkutat di belakang meja. Ia pernah mendaftar di klub kebugaran, dengan niat akan berolahraga usai office hour, tapi kelelahan fisik membuatnya ingin segera pulang dan beristirahat.
Kondisi itu terus terjadi, hingga menjadi pola rutinitas yang berjalan dalam hitungan tahun, dan Helen tanpa sengaja menjadi pelaku sedentari.
Sedentari
Sedentari adalah gaya hidup. Berasal dari Bahasa Latin ‘sedere’ yang artinya duduk. Pengertian lain sedentari yang lebih komprehensif mengutip Wikipedia: gaya hidup yang tidak banyak bergerak; gaya hidup sering duduk atau berbaring sambil berkegiatan seperti membaca, bersosialisasi, menonton televisi, bermain video game, atau menggunakan komputer hampir sepanjang hari.
Pada masyarakat urban, gaya hidup sedentari salah satunya dibentuk oleh tuntutan kerja. Misalnya, pekerja kantoran yang melewatkan sebagian besar waktunya dengan duduk di belakang meja. Tapi dapat pula seseorang menjadi pelaku sedentari karena didorong rasa senang dan nyaman. Dengan kata lain, ia memiliki pembawaan yang memang cenderung kurang menyukai aktivitas fisik alias malas gerak (mager).
“Gaya hidup sedentari itu disebabkan karena pekerjaan, tuntutan pekerjaan tepatnya. Misalnya saja orang yang saat ini bekerja di belakang komputer terus, orang yang bekerja di dalam gedung. Bisa juga karena kesenangan, kenyamanan, dia biasa duduk manis,” jelas Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan RI, drg. Kartini Rustandi, M. Kes kepada VIVA melalui sambungan telepon , Kamis, 27 April 2018.
Faktor lain penyebab kian suburnya gaya hidup sedentari, yaitu transisi gaya hidup. Dulu, segala aktivitas memerlukan tenaga fisik manusia. Kini semuanya dipermudah dengan kecanggihan teknologi. Kecanggihan teknologi yang di satu sisi manfaatnya tidak dinafikan, seperti efisiensi tenaga dan waktu, namun tanpa disadari di sisi lain juga menyediakan jebakan yang siapa pun bisa terperosok, jika tidak bijak menyikapi.
“Dulu orang mau nonton bola harus ke stadion, sekarang enggak, cukup buka tv. Artinya kemudahan, terus kesenangan, nonton tv, main game itu membuat orang malas gerak. Apa-apa tinggal instan. Nelpon pakai gadget, makanan nyampe. Itu kenyataan yang ada, dan kemudahan yang terjadi,” ujarnya menambahkan.
Tak hanya pekerja kantoran, sedentari tanpa sadar juga bisa ‘mewabah’ ke siapa pun, dari berbagai kelas ekonomi dan usia. Bahkan, anak-anak pun telah terjangkit gaya hidup malas bergerak ini.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa 24,1 persen penduduk Indonesia, atau satu dari empat orang, menjalani gaya hidup sedentari lebih dari enam jam.
Mengutip laman researchgate.net, penelitian di Bantul dan Yogyakarta, yang dilakukan Andi Imam Arundhana dan rekannya menemukan, perilaku sedentari merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada siswa di Yogyakarta dan Bantul, yang memberi kontribusi sekitar 10,95 persen dengan besarnya risiko 5,15 kali pada siswa dengan durasi sedentari yang lebih panjang.
Diungkapkan pula dalam penelitian itu, berdasarkan jenis perilaku sedentari, siswa obes memiliki frekuensi dan durasi untuk jenis aktivitas nonton tv, permainan papan dan kartu, serta duduk yang lebih sering dan lebih lama dibandingkan siswa tidak obes.
Tak hanya di Indonesia, jerat sedentari juga menjadi epidemi global yang dituding sebagai penyebab fundamental pada obesitas dan kelebihan berat badan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan: “Secara global telah terjadi peningkatan asupan makanan padat energi yang tinggi lemak; dan peningkatan ketidakaktifan fisik seiring dengan bertambahnya gaya hidup sedentari di berbagai lingkup bentuk pekerjaan, perubahan moda transportasi, dan meningkatnya urbanisasi.”
***
Maut Mengintai
Spesialis Kedokteran Olahraga, dr. Michael Triangto, Sp.KO dari Rumah Sakit Mitra Kemayoran mengatakan, gaya hidup sedentari di Indonesia telah cukup mengkhawatirkan. Apalagi jika memandang ke masa puluhan tahun mendatang, yaitu masa depan generasi muda yang kini telah hidup dengan keakraban pada teknologi.
“Menurut saya sudah pada tahap mengkhawatirkan. Bahkan yang membuat saya khawatir itu generasi muda yang segala sesuatu sudah dilayani dengan perangkat yang canggih yang memang ditujukan untuk meningkatkan kenyamanan kehidupan manusia,” kata Michael pada VIVA.
Selain itu, gaya hidup generasi muda yang cenderung konsumtif juga ikut berpengaruh pada kian menjamurnya perilaku sedentari, yaitu kebiasaan nongkrong bersama teman sebaya dengan menikmati makanan instan.
“Sekarang ‘kan juga lagi tren ngopi misalnya. Jadi pasti duduk ngobrol. Begitu ngobrol, enggak cuma kopi, ada camilan. Kalau orang yang suka olah raga, dia akan merasa: saya tadi makan banyak berarti saya harus latihan, sehingga bisa mengurangi kalori yang masuk dan yang keluar. Kebiasaan itu yang harus dibuat,” ujar Kartini.
Obesitas dan kegemukan adalah gejala perilaku sedentari yang cepat terlihat. Dampaknya bisa menimbulkan penyakit serius. Ahli saraf Dr. Gea Pandhita M. Kes. dari Jakarta Islamic Hospital mengatakan, “Gaya hidup sedentari akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah), hipertensi, dan gangguan metabolik. Sehingga selanjutnya akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit stroke.”
Indikasi meningkatnya risiko gangguan kesehatan yang diakibatkan gaya hidup sedentari, juga dapat disinyalir dari semakin meningkatnya jumlah penderita penyakit tidak menular (PTM).
Pada era 1990, penyakit menular seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), tuberkulosis dan diare merupakan penyakit terbanyak dalam pelayanan kesehatan. Namun, perubahan gaya hidup masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya pergeseran pola penyakit (transisi epidemiologi). Tahun 2015, PTM seperti stroke, penyakit jantung koroner (PJK), kanker dan diabetes justru menduduki peringkat tertinggi.
“Seiring dengan perkembangan zaman, kalau misal 1990 banyak penyakit menular ke penyakit tidak menular itu, kan kalau dilihat salah satunya karena gaya hidup sedentari. Perkembangan ada handphone, kemudahan internet, itu berjalan seiring dengan teknologi,” kata Kartini.
Usia penderita penyakit tidak menular pun mengalami pergeseran. Seperti dikatakan Ketua Divisi Metabolik Endokrinologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, dr. Em Yunir, SpPD-KEMD. “Penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes, stroke, sekarang ini semakin muda orang yang kena diabetes usia 20-an. Ini sama sekali berbeda dengan 30-40 tahun lalu, hampir nggak ada yang kena diabetes di usia muda.”
Di samping keterlibatan teknologi, Michael justru menemukan faktor lain yang turut membentuk gaya hidup sedentari pada masyarakat. Di antaranya infrastruktur yang tidak mendukung untuk aktif bergerak.
“Sekarang kita lihat, pemerintah daerah maupun pusat sedang giat-giatnya bangun infrastruktur, jalan, jembatan. Tapi saya lihat jalan kanan kiri saya tidak ada trotoar untuk berjalan. Bagaimana masyarakat mau jalan tapi tidak disediakan prasarananya?” kata Michael.
Ia menegaskan, tak cukup hanya masyarakat yang memiliki keinginan, tapi juga perlu disediakan fasilitas yang mendukung, yang mana hal ini melibatkan peran pemerintah. “Itu mau tak mau harus melibatkan pemerintah. Tanpa itu nggak bisa,” ujarnya.
Kita mengenal istilah silent killer, penyakit yang timbul hampir tanpa adanya gejala awal namun dapat menyebabkan kematian. Penyakit yang masuk ke golongan ini di antaranya penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kencing manis, serta kanker pankreas.
Sebagian besar penyakit itu timbul karena gaya hidup tidak sehat. Telah disebut sebelumnya, gaya hidup sedentari memicu berbagai kondisi, salah satunya obesitas. Sedangkan obesitas merupakan pintu gerbang dari berbagai penyakit kronis yang tergolong silent killer.
Jadi, dapat dikatakan sedentari bisa berujung pada penyakit silent killer. Sayangnya, tidak semua orang sudah sadar dirinya sedang menuju atau berada dalam jerat sedentari yang mematikan.
Baca Juga
Mengolah Tubuh Perangi Sedentari
Sedentari, Bahaya dan Cara Mengatasinya