- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Temaram lampu mobil Elf tua, angkutan umum jurusan UKI-Cibubur selalu kalah dari cahaya layar ponsel para penumpangnya tiap malam. Ada yang chatting, stalking, sampai streaming.
Seorang perempuan di depan saya, misalnya. Bukan sedang chatting maupun stalking, perempuan itu tampak asyik dengan earphone yang terpasang di telinganya. Sesekali dia bahkan senyum-senyum sendiri, menatap ponsel yang digenggam dalam posisi horizontal. Penumpang lain yang duduk berjarak dua orang dari saya, pun terlihat melakukan hal yang sama, menonton video dalam genggaman.
Bukan hanya di mini bus ini saja, pemandangan serupa kerap terlihat di area publik lain, misalnya di kereta, bus TransJakarta, stasiun, halte, kafe, dan lainnya. Menariknya, orang-orang ini larut dalam konten yang ternyata bukan sekadar video singkat semenit dua menit saja, melainkan film dan serial baik lokal, Hollywood, maupun Asia yang berdurasi setidaknya sekitar 30 hingga 120 menit per video.
Tiara Sutari, salah satunya. Kepada VIVA, Kamis, 12 April 2018, karyawan swasta ini mengaku memang sering menonton lewat ponsel, terutama untuk mengikuti cerita drama Korea.
"Biasanya kalau lagi nunggu angkutan umum bisa sambil nonton. Atau kalau lagi ada dinas di luar kota atau luar negeri, saya bosan di hotel dengan tayangan TV kabel, saya manfaatkan nonton serial via streaming," kata perempuan 23 tahun tersebut.
Seorang wanita menikmati film bioskop melalui video streaming penyedia layanan Video on Demand di Jakarta. (VIVA/Muhamad Solihin)
Menonton lewat ponsel sebenarnya bukan barang baru di Indonesia. Aktivitas ini sudah ramai seiring era smartphone bersistem Android dan iOS, serta kecepatan internet semakin berkembang cepat satu dekade ke belakang.
Lagipula, layanan streaming tak lagi sebatas YouTube, DailyMotion, Vimeo, atau situs-situs sejenis penyedia video lainnya. Video on Demand (VOD) jadi tren menikmati tontonan saat ini.
Tidak seperti menonton televisi yang jadwal siaran programnya sudah ditentukan, VOD memungkinkan kita, para penonton, memilih konten video yang diinginkan. Seperti terhadap Tiara, tren VOD mengubah kebiasaan menonton di berbagai belahan dunia.
Berdasarkan hasil survei online Nielsen di 61 negara yang dirilis pada 16 Maret 2016 lewat situs resminya, nielsen.com, hampir dua per tiga atau 65 persen dari responden globalnya mengatakan, mereka memang menonton program dari layanan streaming VOD ini, baik konten panjang maupun pendeknya. Survei ini dilakukan pada lebih dari 30 ribu online konsumen dari Asia Pasifik, Eropa, Amerika Latin, Timur Tengah/Afrika, dan Amerika Utara.
Generasi Z (usia 15-20) dan Milenial (usia 21-34) menjadi kelompok usia yang paling banyak menggunakan layanan berbayar ini, yakni sama-sama sebanyak 31 persen. Disusul kemudian Generasi X (usia 35-49) dengan 24 persen, Baby Boomer (usia 50-64) 15 persen, dan Generasi Silent (di atas 65 tahun) sebanyak 6 persen.
Lalu, mengapa layanan VOD kini booming di Indonesia? Apa serunya dan benarkah jadi ancaman bagi industri bioskop dan layanan televisi berbayar?
***
Tren VOD di Indonesia
Menonton lewat layanan streaming VOD ini merupakan bagian dari alternatif menikmati film dan serial, selain di media konvensional, seperti bioksop dan televisi. Hadirnya tren semacam ini tak bisa dihindari, karena beriringan dengan kemajuan teknologi itu sendiri.
Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Heru Sutadi menjelaskan, tren menonton video streaming apapun bentuknya, termasuk VOD sebenarnya sudah diprediksi sejak tahun 2012.
Di Indonesia, Genflix lebih dahulu meluncur pada tahun 2014. Puncaknya, kemunculan layanan seperti ini ramai pada tahun 2016. HOOQ resmi dirilis pada April 2016 dan Viu, serta iflix di bulan Juni dalam tahun yang sama. Catchplay kemudian makin meramaikan persaingan dengan bergabung dalam industri ini pada Oktober 2016.
Heru Sutadi mengatakan, Indonesia sebenarnya termasuk yang ketinggalan tren, sebab, layanan streaming VOD sudah lebih dahulu booming di negara lain, seperti Singapura dan Jepang.
"Indonesia ini termasuk ketinggalan, tapi saat mulai masuk penggunanya akan cepat naik," katanya kepada VIVA, Rabu, 11 April 2018.
CEO Grup CATCHPLAY, Daphne Yang, dalam acara kolaborasi First Media dan CATCHPLAY penyedia layanan Video on Demand di Jakarta, Rabu 11 April 2018. (VIVA/Muhamad Solihin)
CEO Group Catchplay Daphne Yang pun mengakui, bahwa pertumbuhan tren menonton lewat layanan streaming VOD di Indonesia sangat cepat dibanding market di negara Asia lainnya. Dari data yang diberikan Catchplay, layanan ini mengalami peningkatan jumlah pengguna sebanyak 50 sampai 60 persen dan 70 hingga 75 persen pada pengguna streaming-nya dari akhir tahun lalu hingga saat ini.
"Orang-orang Indonesia menonton dua kali lipat dibanding konsumen kami di negara lain. Konsumen di negara ini sangat antusias terhadap film, terutama film-film blockbuster," katanya saat ditemui VIVA di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Kondisi serupa juga terjadi pada iflix dan HOOQ. Marketing Manager iflix Indonesia Tiara Sugiono menyebut, ada peningkatan yang signifikan pada pengguna aktif layanan mereka, dari yang sekitar satu jutaan tahun lalu kini tumbuh pesat menjadi 5,8 juta di Indonesia saja.
Sementara itu, Country Head HOOQ Indonesia Guntur S Siboro mengatakan, sudah ada lebih dari 20 jutaan pengguna yang mendaftar layanan streaming VOD ini sekarang. Per bulan, sekitar 30 hingga 40 persen dari pengguna yang berbayar diketahui aktif menonton.
"30-40 persen dari yang berbayar per bulan itu dia play, memainkan atau menonton. Karena ada juga yang berbayar, tapi dia enggak play, karena kita enggak anggap play kalau cuma browsing atau lihat-lihat saja," katanya melalui sambungan telepon, Rabu, 11 April 2018.
Untuk katalog kontennya, layanan streaming VOD di Indonesia sama-sama menyajikan varian film dan serial, baik dari Hollywood, Asia, lokal Indonesia, dan beberapa Bollywood. Namun, masing-masing mengklaim, punya katalog yang diunggulkan sehingga berada pada posisi tersendiri di kalangan penonton.
HOOQ misalnya, dengan tagline Best in Hollywood, Best in Local menjadi pilihan bagi mereka yang gandrung akan film dan serial dari studio-studio Hollywood dan Indonesia. Sementara Viu, lebih dikenal sebagai layanan streaming untuk mereka pencinta film dan serial Asia, terutama Korea.
"Itu (konten Korea) bukan positioning kita. Bukan berarti kita enggak punya, bukan itu jagoan kita. Kalau Viu jagoannya Korea, kan?" ujar Guntur menambahkan.
iflix sendiri mengaku mengunggulkan film Indonesia, seperti menayangkan Pengabdi Setan dan Posesif di layanan mereka hanya beberapa bulan setelah tayang di bioskop. Kerja sama dengan studio-studio film baik dalam maupun luar negeri membuat para pengguna yang tak sempat ke bioskop bisa menikmati film blockbuster dalam jeda waktu yang singkat tersebut.
iflix bekerjasama dengan hampir semua studio besar, seperti Disney, Fox, Warner Bros dan lainnya. Sementara dari studio Indonesia beberapa di antaranya Starvision dan Screenplay. "Ada yang namanya rights SVOD (subscription video on demand). iflix membayar sekian kepada studio," kata Tiara ketika ditanya soal bentuk kerja sama dengan studio.
***
Ancaman buat TV Kabel?
VOD, menurut Country Head HOOQ Indonesia Guntur S Siboro, ada dua macam, yakni yang bisa ditonton di rumah dan ponsel. Itulah mengapa, banyak layanan VOD yang juga bekerjasama dengan televisi berbayar, dalam kasus HOOQ bekerjasama dengan First Media dan IndiHome.
Beberapa orang pengguna layanan streaming VOD yang dijumpai VIVA menuturkan sejumlah alasan mengapa menonton lewat ponsel genggam jadi pilihan. Mudah ditonton di mana saja dan kapan saja jadi jawaban yang mendominasi.
"Kalau di gadget ini bisa ditonton sambil nunggu. Di busway pakai headset sambil perjalanan pulang kerja juga bisa," tutur seorang karyawan swasta, Radityo.
"Waktunya fleksibel. Bisa sendirian juga di kamar, sebelum tidur nonton lewat HP. Lebih privat," kata Tiara Sutari.
Hal ini seperti yang dijelaskan Guntur bahwa dari sisi experience, menonton lewat televisi akan terasa lebih luas dengan layar lebih lebar dan tak khawatir kuota data. "Tapi dari sisi mobilitas dan fleksibilitas, Indonesia (pengguna) mobile itu sangat tinggi. Ada 300 juta atau 230 juta orang yang punya handphone. Ada dua hal kenapa orang nonton di handphone, mobilitas dan personalitas," katanya menambahkan.
Sejumlah penumpang kereta mengakses gawai masing-masing di Jakarta. (REUTERS/Beawiharta)
Ponsel adalah gawai pribadi yang tak bisa dipegang orang lain. Karenanya, menonton lewat ponsel akan terasa lebih personal dibanding televisi.
Namun jika memisahkan VOD dari TV kabel itu sendiri, Direktur Eksekutif Information and Communication Technology (ICT) Heru Sutadi menyebut, saat ini memang masing-masing masih punya segmen tertentu. Tapi bisa saja, dalam beberapa tahun ke depan, TV kabel akan tergerus, apalagi jika dibarengi dengan kecepatan internet yang makin bagus dan stabil nantinya.
Data yang sama dari survei Nielsen yang VIVA sebutkan di awal juga menunjukkan adanya kemungkinan para pelanggan TV berbayar pindah ke layanan streaming online. Generasi Z paling tinggi kemungkinannya sebesar 40 persen, Milenial 38 persen, Generasi X 30 persen, Baby Boomers 15 persen, dan Generasi Silent 9 persen.
Karena itulah menurut Heru, kerja sama TV berbayar dengan layanan streaming VOD menjadi salah satu strategi untuk bisa menjangkau generasi kekinian tersebut.
"Seperti taksi, itu kan salah, mereka tidak segera beralih ke online. Jadi mungkin teman-teman yang memberikan layanan TV berbayar ini menyadari ada destruksi baru nih, cara menghadapinya apa, ya memberi layanan dengan metode berbeda."
***
Bukan Saingan Bioskop
Selain pada televisi berbayar, bioskop juga menjadi salah satu yang sering disinggung jika bicara tentang perubahan gaya menonton. Namun Corporate Secretary Cinema 21 Catherine Keng tegas menjawab bahwa streaming bukan saingan untuk bioskop.
"Pengalaman menonton di bioskop belum bisa digantikan dengan nonton di rumah dengan layar televisi dan audio yang tergolong standar. Keduanya adalah pengalaman yang berbeda. Tidak bisa dibandingkan secara apple to apple," katanya kepada VIVA melalui WhatsApp.
Pengunjung menonton film bioskop melalui video streaming di Jakarta. (VIVA/Muhamad Solihin)
Catherine menambahkan, menonton di bioskop itu merupakan sebuah gaya hidup di mana penonton dimanjakan dengan layar yang lebar, gambar yang jernih, dan audio yang dahsyat. Semua ini membuat film-film yang ditonton, terutama action, horor, sci-fi, fantasi, terasa makin nyata.
Noorca Massardi, Penulis dan Pengamat Film setuju. Sebab pengalaman menontonnya jauh berbeda. Ia pun yakin jumlah penonton bioskop tak akan tergerus. "Kalau orang ingin menonton film melalui streaming itu dia tidak akan mendapatkan kenikmatan sesungguhnya dari menonton film di ruangan yang gelap, layar lebar, dan sound system-nya yang bagus," tuturnya.
Hal itu pun masih terbukti dengan jumlah penonton bioskop di Indonesia yang bukannya menurun, tapi malah meningkat, meski tren streaming sedang booming. Sebagai contoh, jumlah layar bioskop yang terus bertambah setiap tahunnya.
"Jumlah layar bioskop itu kan sudah lebih dari 3.000, jadi saya kira streaming ini tidak akan memengaruhi jumlah penonton bioskop," ujar Noorca menjelaskan.
Akan makin marak
Tren menonton video streaming diprediksi akan terus berkembang ke depannya. Berdasarkan data yang dirilis Statista pada September 2017, yang dikutip VIVA dari siaran pers Catchplay, video streaming di Indonesia diperkirakan akan meningkat dua kali lipat dari 6,9 juta pada pengguna pada tahun 2016 menjadi 12,1 juta pada 2019 atau tiga kali lipat menjadi 22,2 juta pada tahun 2022.
Tak mengherankan jika layanan video streaming dan VOD menjadi tren menonton kekinian. Apalagi menurut Noorca Massardi, industri film dunia ribuan jumlahnya. Amerika lebih dari 300 industri film dan di Indonesia sendiri jumlahnya sudah lebih dari 120. Belum lagi di India dan negara-negara Eropa lainnya.
Kabar baiknya, industri perfilman punya medium alternatif yang lebih banyak untuk menampilkan karya-karyanya. Noorca memperkirakan setiap pekannnya terdapat sekitar 3.000 film baru yang diproduksi. Namun, seluruh film itu tak semuanya tertampung di bioskop.
Sebagai informasi, bioskop hanya menayangkan rata-rata sekitar 150 judul film asing dan 120 film Nasional dalam setahun. "Dan video streaming ini menjadi salah satu media untuk mengakses film-film di seluruh dunia, bisa saja yang tidak ditayangkan di bioskop itu ditayangkan di online," katanya yang menilai industri layanan streaming menjadi peluang tersendiri bagi perfilman Nasional.
Seorang pria menikmati film bioskop melalui video streaming penyedia layanan Video on Demand di Jakarta. (VIVA/Muhamad Solihin)
Lahir dari kemajuan teknologi dan diakses melalui internet yang tak terbatas itu pun sontak menimbulkan kekhawatiran dalam hal pengawasan terhadap penggunaan layanan streaming dalam ponsel genggam. Salah satunya masalah sensor untuk anak di bawah umur. “Karena kita kan tahu bahwa yang namanya online ini kan dapat dimainkan oleh siapa saja, anak-anak balita sampai dewasa sekarang ini juga bisa mengakses internet," Noorca berpendapat.
Menanggapi hal ini, Ketua Lembaga Sensor Film Ahmad Yani menjelaskan, belum adanya aturan yang mengharuskan film yang tayang streaming maupun TV berbayar membuat LSF gencar menyosialisasikan program yang disebut sensor mandiri.
Pengertian sensor mandiri, menurutnya adalah cerdas dan sadar memilih film yang tepat peruntukan dan klasifikasi usianya, 13, 17, atau 21 tahun. Terutama pada anak-anak dan remaja, orangtua harus mengingatkan anak-anaknya terkait klasifikasi tontonan tersebut.
"Di samping mensensor di meja (kantor), kita juga memberikan literasi film atau media juga kepada masyarakat melalui kegiatan yang kita namakan Sosialisasi Sensor Mandiri," ujar Ahmad Yani kepada VIVA.
Video streaming tak bisa dihambat atau dibatasi, namun yang terpenting adalah pemerintah harus bisa mengawasi dan melindungi hak-hak para pelaku industri kreatif, seperti hak cipta dan siarnya, serta para pengguna dari konten-konten yang menyalahi aturan. (ms)
Baca juga
Ragam Aplikasi Video Streaming di Indonesia
Bintang Film Pindah Gelanggang