- Dok. Facebook Indonesia
VIVA – Jari jemarinya lincah menekan dan memainkan gawai. Pria berusia 27 tahun itu tampak khusyu menatap layar ponsel. Sesekali ia terkekeh sendiri, atau membaca dengan mimik serius. Pria ini adalah Komarudin Arjawinangun. Karyawan swasta ini mengaku sangat menyukai Facebook. Media sosial itu sudah menjadi hiburan dan sumber informasi baginya.
Meski tahu ada kasus pencurian dan penyalahgunaan data pribadi, pria ini tidak akan menutup akun Facebooknya yang sudah berusia 10 tahun. Padahal, banyak informasi pribadi tersimpan di akun media sosialnya itu.
"Mulai dari email, nomor hp, sekolah asal, tanggal lahir, alamat rumah, dan pekerjaan. Semua data saya itu, ada di fb," ujarnya kepada VIVA, Selasa, 27 Maret 2018.
Komar, begitu ia biasa disapa mengaku merasakan banyak manfaat dari Facebook. Hal itu yang membuat ia enggan menghapus media sosial itu.
Komarudin tak sendiri. Pengguna Facebook yang lain, Nur Muhammad Sabiq juga mengaku tak akan menghapus akun Facebooknya meski ada isu pencurian data. Pengusaha berusia 28 tahun ini mengaku tak terlalu kaget dengan kasus tersebut karena kerap menerima broadcast agar berhati-hati menggunakan Facebook. Tapi ia tak kapok, dan tak akan menutup akunnya.
"Insya Allah sejauh ini saya merasa masih aman," ujar pria yang selain menggunakan akun Facebook sebagai ajang silaturahmi juga untuk berdagang.
Pengguna Facebook yang lain, Indah Mutya juga enggan menutup akun Facebooknya. Padahal, setelah kasus pencurian data pribadi di fb, karyawan swasta ini mengaku merasa kurang aman. Ia juga khawatir datanya akan diretas oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab.
Indah sudah menggunakan Facebook selama delapan tahun. Ia memanfaatkan Facebook untuk bersilaturahmi dan main game. "Saya tidak setuju menutup akun fb, karena menggunakan fb lebih mudah dibanding media sosial lainnya," ujar wanita 26 tahun ini.
‘Pencurian’ Data
Komarudin, Sabiq, dan Indah hanya sebagian kecil dari sekitar 130 juta pengguna Facebook aktif di Indonesia. Berdasarkan hasil riset yang dirilis oleh 'We Are Social,' dan Hootsuite, sebuah lembaga yang memiliki perhatian khusus soal penggunaan media sosial, pada tahun 2017, Indonesia menempati peringkat keempat negara dengan pengguna aktif Facebook terbanyak di dunia.
Di atas Indonesia ada AS, India, dan Brazil. Total pengguna aktif Facebook di seluruh dunia sudah mencapai hampir dua miliar. Besarnya pengguna membuat Facebook didapuk sebagai raksasa media sosial.
Terbongkarnya kasus kerentanan data Facebook bermula dari pengakuan Cambridge Analitica, sebuah firma analisis data yang juga konsultan kemenangan Trump. CA membeberkan soal kelalaian FB menjaga data privasi pelanggan. Lembaga ini membobol dan menyalahgunakan data dari 50 juta pelanggan Facebook di AS. Data itu mereka gunakan untuk memprediksi dan memengaruhi konstituen dalam proses pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 lalu.
Cambridge Analytica menggunakan informasi pribadi yang diambil tanpa izin pada awal 2014 untuk membangun sistem yang dapat mengungkapkan profil pemilih AS sehingga mereka dapat ditargetkan dengan iklan politik pribadi. Hal ini yang diduga berhasil mengantarkan Trump menuju kursi Presiden AS.
Pencurian data ini sangat detil hingga mengetahui apa yang menjadi kesukaan pengguna, bahkan gadget yang digunakan pengguna facebook untuk mengakses media sosial milik Mark Zuckerberg itu. Cambridge Analitica, firma yang berbasis di Inggris ini diduga juga menggunakan pola yang sama saat referendum Brexit.
Penyalahgunaan data yang dilakukan oleh Cambridge Analitica ini membuat kepercayaan publik kepada Facebook ambruk. Publik pengguna Facebook tak menduga, data pribadi mereka ternyata mudah diakses dan diselewengkan oleh pihak ketiga. Padahal, seperti diungkap Edward Snowden melalui akun Twitternya, Zuckerberg pernah berjanji akan menjaga kerahasiaan data penggunanya. Mantan karyawan CIA itu mengupload wawancara Zuckerberg dengan Laura Trevelyan dari BBC, sembilan tahun lalu.
"Semua orang mendapat pengaturan privasi, yang selalu menjadi salah satu pembeda besar Facebook (dengan platform lain) dan apa yang membuatnya menjadi layanan yang sangat berbeda bagi orang-orang," ujar Zuckerberg kala itu. Sayang, perusahaan besar itu gagal memenuhi janjinya.
Pengaturan kebijakan di media sosial ini menyatakan, bahwa mereka akan menyimpan salinan konten pengguna yang diarsipkan. Bahkan meski pengguna telah menghapus akun mereka, Facebook tetap bisa menyalin konten yang telah masuk ke database mereka.
Facebook tak langsung mengomentari kasus ini. Setelah senyap selama beberapa hari, akhirnya pendiri Facebook Mark Zuckerberg angkat bicara. Melalui akun personalnya, ia meminta maaf atas kebocoran yang terjadi. Tak cukup hanya melalui akun, ia juga memasang iklan satu halaman di beberapa surat kabar besar, seperti New York Times, Wall Street Journal, Washington Post, serta media di Inggris.
Iklan itu didahului judul besar, "We Have a Responsibility to Protect your Information, if We Can't, We Don't Deserve It." Isinya adalah tulisan sebanyak lima paragraf dengan tanda tangan Zuckerberg yang menyampaikan penyesalan dan penjelasan.
Kampanye Tutup Facebook
Tersimpannya data pelanggan bermula dari permintaan yang disampaikan Facebook saat seorang pengguna menautkan ponselnya dengan fitur Facebook pada hp android. Jejaring sosial itu akan meminta izin akses langsung ke pengguna. Dalihnya adalah peningkatan algoritma rekomendasi teman. Dari sinilah Facebook memiliki akses untuk merekam riwayat penggunaan telepon dan pesan singkat (sms).
Terbongkarnya pencurian dan penyalahgunaan data pengguna Facebook, yang harusnya dijaga ketat, menimbulkan kecemasan. Setelah Brian Acton, pendiri Whatsapp mempersoalkan keamanan Facebook dan menggunakan tagar #DeleteFacebook dan retweet ribuan kali, laman Twitter ramai dengan tagar yang sama.
Kekhawatiran dan kecemasan yang wajar. Jika data 50 juta pengguna Facebook di AS bisa dicuri, maka ratusan juta pengguna Facebook di seluruh dunia mungkin sedang menghitung hari.
Banyaknya pengguna Facebook di Indonesia ternyata tak membuat warga negeri ini khawatir. Media sosial yang interaktif itu sudah kadung membuat banyak orang jatuh cinta. Komarudin, Sabiq dan Indah hanya sebagian kecil dari jutaan pengguna Facebook di Indonesia yang memilih bertahan.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani mengaku sudah melayangkan surat ke Facebook untuk meminta kejelasan soal ini, dan apakah ada data pengguna Facebook dari Indonesia yang juga bocor. Tak hanya Indonesia, menurut Semuel, pihak Facebook kebanjiran pertanyaan yang sama dari berbagai parlemen di seluruh dunia.
Menurut Semuel, apa yang terjadi bukan pencurian. "Jika dianalogikan, mereka bukan masuk nyolong. Mereka masuk secara legal, kulonuwun tapi pas masuk ke dalam kamar tidur, ngacak-ngacak juga," ujarnya kepada VIVA.
Meski demikian Semuel menyatakan, penyalahgunaan itu tetap melanggar hukum. "Jadi bisa juga dikenakan sanksi administrasi, bisa juga apabila pelanggarannya data kamu dijual untuk kriminal itu bisa dikenakan pidana lah," ujarnya menegaskan.
Ia mengakui, meski belum ada UU yang mengatur soal pencurian data, namun sudah ada Permen No 20 Tahun 2016 yang mengatur keamanan data pribadi.
Pelanggaran privasi data pribadi pengguna media sosial memang bisa terjadi. Terutama ketika pihak penyelenggara tidak melakukan proteksi terhadap data pribadi pengguna. Harusnya data pribadi pengguna bersifat sangat rahasia, dan hanya pihak tertentu yang boleh membukanya untuk kepentingan tertentu.
Koordinator Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi menyesalkan kejadian ini. Ia meminta publik untuk tak mudah memberikan data pribadi ke dunia maya. Apalagi regulasinya belum kuat karena belum ada UU yang mengatur soal itu.
Anggota Komisi I DPR RI Evita Nursanty, mengajak publik dan pemerintah proaktif menyelidiki kasus ini. Menurut dia, kasus ini harus diinvestigasi khusus dengan melibatkan Menkominfo, BSSN, Polri dan lembaga terkait lainnya. Ia juga menyarankan agar dibuka line khusus pengaduan jika terjadi pencurian data. "Meski Facebook memiliki kebijakan privasi, namun negara memiliki regulasi," ujarnya kepada VIVA.
Ia mengakui, regulasi soal perlindungan data privasi belum maksimal. Indonesia belum memiliki undang undang tentang perlindungan data privasi. Hanya ada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam sistem elektronik. "Itu belum komprehensif, dan posisinya belum sekuat UU," ujarnya menambahkan.
Pengamat media sosial Nukman Luthfie menyatakan, kesalahan tetap ada pada Facebook. Karena lembaga itu yang membuka application programming interface (API) untuk pihak ketiga atau developer. "API-nya itu kemungkinan terlalu longgar sehingga bisa masuk terlalu dalam kepada data base-nya Facebook. Tapi itu bukan mencuri. Intinya adalah memanfaatkan data Facebook sama data phscycographic analityca-nya. Sehingga mereka mampu membuat micro targetting," ujarnya kepada VIVA.
Nukman mengatakan, para pengguna Facebook bisa saja memberikan data tanpa sadar ketika melakukan permainan yang ada di Facebook, macam-macam polling. Bahkan pengguna bisa terekam psikologisnya melalui game atau polling lucu-lucuan itu. Itu sebabnya ia menganjurkan pada publik agar tak mudah mengumbar data pribadi di akun media sosial.
Di sisi lain, Nukman bisa memaklumi pengelolaan data Facebook yang diberikan pada pihak ketiga. Karena memang itulah cara Facebook dan media sosial lain menghidupi diri. "Mereka hidup dari kita, kalau ngga Facebook mati. Wong kita ga bayar apa-apa kok ke Facebook," ujarnya.
Nukman meminta pemerintah untuk bersikap tegas kepada Facebook, juga Twitter, agar kasus yang dilakukan oleh Cambridge Analitica tak terulang. Mereka harus bisa menjaga supaya platform media sosial tak bisa digunakan seperti CA. "Facebook memang sudah meminta maaf dan mengaku sudah kapok. Tapi kita kan tidak tahu, kapoknya seperti apa."
Facebook Indonesia Tutup Mulut
Facebook Indonesia menolak berkomentar saat dikonfirmasi terkait kasus CA. Putri Dewanti dari Facebook Indonesia hanya meminta VIVA mengecek kembali apa yang disampaikan oleh Mark Zuckerberg soal kasus tersebut.
Di akun pribadinya, Mark Zuckerberg dengan jujur mengakui, Alexandr Kogan, seorang mahasiswa dari Cambridge University membuat aplikasi kuis kepribadian. Aplikasi ini lalu diinstal oleh sekitar 300.000 pengguna yang membagikan data pribadi mereka, dan beberapa data dari teman mereka.
"Tahun 2014, untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan data dari aplikasi, maka Facebook mengubah kebijakan platform untuk membatasi data yang dapat diakses oleh aplikasi secara signifikan," demikian disampaikan Mark.
Di tahun 2015, Mark mengaku mendapat informasi dari jurnalis di The Guardian bahwa Kogan telah membagikan data dari aplikasinya kepada Cambridge Analytica. "Membagikan data orang lain tanpa persetujuan dari orang tersebut adalah suatu pelanggaran bagi kebijakan kami, sehingga kami memblok aplikasi Kogan dari platform kami, dan meminta Kogan serta Cambridge Analytica secara formal menyatakan bahwa mereka telah menghapus semua data yang diperoleh secara ilegal. Mereka telah menjamin hal tersebut," ujar Mark menambahkan.
"Minggu lalu, kami mendapatkan informasi dari The Guardian, The New York Times dan Channel 4 bahwa Cambridge Analytica tidak menghapus data seperti apa yang telah mereka sampaikan. Kami segera mengambil tindakan untuk memblokir mereka dari semua layanan kami," ujarnya menegaskan.
Mark berjanji akan memperbaiki kasus ini dan sekuat tenaga mencegah agar kasus yang sama tak terulang di masa mendatang. Facebook menjamin, beberapa bulan lagi mereka akan menampilkan sebuah perangkat yang diposiskan di bagian atas News Feed. Perangkat ini bisa menunjukkan aplikasi apa saja yang telah digunakan oleh pengguna Facebook dan dan memberikan cara yang lebih mudah untuk menghapus akses aplikasi terhadap data pengguna.
"Kami telah memiliki perangkat ini di bagian Pengaturan Privasi, dan kini kami akan meletakkan perangkat ini di bagian atas News Feed untuk memastikan agar mudah dilihat oleh setiap orang," ujarnya.
Facebook telah mengakui, aplikasi kuis yang dibuat seorang mahasiswa itulah awalnya data pribadi pengguna bisa terekam, selain pemberian data pribadi saat membuka akun. Pembuat kuis berhasil mendapatkan data dan lalu menyalahgunakan data tersebut.
Kuis lucu-lucuan ini memang menjadi salah satu daya tarik Facebook yang membuat penggunanya betah. Mungkin itu pula yang membuat Komarudin, Sabiq dan Indah menjadi tak peduli pada isu pencurian data.
Di Facebook, pengguna bisa saling berbalas komen, menyapa, mengucapkan selamat, berbagi kabar hingga berdagang. Tak hanya itu mereka juga bisa menyatakan sikap politik atau sekadar menulis hal-hal ringan, bermain kuis lucu-lucuan, tes bakat dan profesi, zodiak, hingga perkiraan wajah Anda saat menua. Kepuasan dan kebahagiaan kecil yang didapat melalui media sosial itu membuat publik abai pada terlanggarnya data privasi. (mus)
Baca Juga: