- ANTARA/Andika Wahyu
VIVA – Tahun baru saja berganti. Dini hari pada hari kelima memasuki 1699, hujan lebat mengguyur. Saat itu tanah mendadak berguncang. Guncangan itu menghasilkan getaran sangat keras.
Getaran dahsyat membuat orang-orang Belanda kala itu bingung alang kepalang. Tak pernah ada getaran sekuat itu, sekujur tanya gelap dalam kepanikan. Getaran itu berlangsung susul menyusul hingga tiga perempat jam kemudian. Petaka terjadi pada 5 Januari 1669. Gempa menggoyang Batavia.
Gempa tersebut menghancurkan pusat Pemerintahan Kolonial Belanda, Batavia. Pejabat Belanda kala itu melaporkan ke VOC, sebagaimana dicatat dalam buku Coolhaas, Generale Missiven VI. Dalam laporannya, sang pejabat menyebutkan gempa begitu dahsyat, belum pernah ada perbandingan kekuatannya dan baru pertama kali ini orang-orang Belanda mengalaminya di tanah jajahan mereka.
Sementara laporan lain menyebutkan, gempa membuat pelayaran berdampak. Gempa 1699 yang mengguncang Batavia dicatat oleh pelayar China di antara Batavia dan Nagasaki. Pelayar China kala itu melaporkan ke otoritas di Nagasaki telah terjadi gempa besar.
"Sebuah gempa mengguncang benteng kelapa (Batavia). Menyebabkan beberapa korban. Gempa dengan magnitude yang langka, jarang terjadi di manapun. Negeri ini sangat hancur," tulis laporan pelayar China seperti ditulis Ishii Y dalam buku berjudul The Junck Trade from Southeast Asia.
Catatan lain menguatkan kekuatan gempa tersebut. Makalah Historical Evidence for Major Tsunamis in the Java Subduction Zone dari Asia Research Institute menuliskan, ribuan kubik lumpur muncrat. Puluhan ribu pohon tumbang, menyumbat aliran Sungai Ciliwung, membekap kali dan tanggul di Batavia. Banjir lumpur tak terelakkan. Batavia lama berubah rupa menjadi rawa.
Di Batavia, menurut makalah itu, 21 rumah, 29 lumbung hancur dan setidaknya menewaskan 28 penduduk. Makalah ini menunjukkan dampak juga merembet sampai ke Banten dan Lampung. Bangunan runtuh parah dilaporkan terjadi di Lampung sedangkan di Banten, sejumlah kerusakan terjadi.
Bencana itu juga dicatat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. Dia menuliskan gempa 1699 itu begitu dahsyat memuntahkan lumpur dari perut bumi. Lumpur itu menutup aliran sungai, menyebabkan kondisi lingkungan tak sehat, kian parah.
Willard A Hanna dalam bukunya ‘Hikayat Jakarta’, sebagaimana dituliskan Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, merinci dampak gempa yang terjadi. Gempa itu membuat citra Batavia kacau, kota berjuluk Ratu Timur itu memudar.
Pakar geologi Surono mengungkapkan kengerian gempa tersebut. Di mana-mana kerusakan terjadi. Banyak bangunan roboh dan menyebabkan longsor. "Longsor besar terjadi di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. Banjir bandang berisi lumpur dan kayu di Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut," ujar pakar yang akrab disapa Mbah Rono tersebut kepada VIVA.
Guncangan gempa itu, dalam literatur lain, amat mengerikan. Sebab disertai dengan aktivitas gunung api Gunung Salak dan hujan abu tebal. Dampak lainnya, kerusakan parah terpapar di seluruh penjuru Batavia, sistem aliran air seluruh kota rusak, persediaan air bersih menjadi kacau.
Gabungan tim peneliti Geoscience Australia dalam makalah Indonesia's Historical Earthquakes menuliskan, gempa awal tahun baru 1699 itu merupakan salah satu gempa paling signifikan pada abad ke-17. Kejadian 5 Januari 1699 itu merupakan salah satu gempa besar dalam catatan sejarah, yang pernah mengguncang Batavia.
Relawan Kebencanaan Ma'rufin Sudibyo menjelaskan, analisis Geoscience Australia memperlihatkan gempa besar 1699 kemungkinan adalah gempa intralempeng dengan magnitudo 8 yang bersumber dari kedalaman 120 kilometer. Sumber gempa ini membentang mulai Bogor hingga Anyer sepanjang 140 kilometer.
Dalam gempa tersebut, segmen batuan pada kedalaman 120 kilometer patah. Mekanisme pematahannya turun, sehingga sisi utara segmen batuan itu melorot dari sisi selatannya. Dampaknya, adalah munculnya gempa dengan magnitudo 8.
Sementara di permukaan, energi gempa dari ratusan kilometer itu menyebabkan getaran dengan intensitas beragam. Ma'rufin menuliskan, getaran keras terjadi di sekujur bentang pesisir utara Pulau Jawa mulai Anyer sampai Cirebon, mengalami getaran terparah yang dahsyat, intensitasnya 8 sampai 9 Modified Mercalli Intensity (MMI). Sedangkan pesisir selatan mulai dari Ujungkulon hingga Cilacap mengalami getaran lebih ringan kisaran 6 MMI.
Tapi ada prakiraan lain, intensitas getaran gempa itu antara 7 hingga 9 MMI. Skala Mercalli adalah satuan untuk mengukur kekuatan gempa bumi.
Dalam skala 8 MMI, dikutip situs BMKG, kondisi ini menggambarkan kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat. Retak-retak pada bangunan dengan konstruksi kurang baik, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh.
Getaran berintensitas 8 MMI saja sudah cukup kuat untuk menyebabkan kehancuran menyeluruh bangunan-bangunan masa kini di sebuah pusat permukiman di Indonesia. Sebagai gambaran, tingkat getaran yang menghancurkan ribuan rumah dan menimbulkan korban jiwa di dataran Bantul pada Gempa Yogya 2006, punya intensitas 7 hingga 8 MMI.
Ma'rufin menuliskan, apa yang terjadi saat gempa 5 Januari 1699 itu jika mengguncang Jakarta pada masa kini, dampaknya begitu dahsyat.
Dia mengatakan, dalam makalah Geosicence Australia itu analisis lanjutan berbasis perangkat lunak InaSAFE yang dikembangkan BNPB menunjukkan, gempa 1699 itu jika terjadi persis sama, maka potensi korban jiwa yang direnggut mencapai 100 ribu orang dan tak kurang 76 juta jiwa lainnya berpotensi mengungsi akibat rusaknya pemukiman.
Gempa 22 Januari 1780
Belum genap seabad kemudian, Batavia kembali diguncang gempa awal tahun. Pada 22 Januari 1780, dalam catatan ahli geologi Hindia Belanda Alfred Wichmann, gempa itu merusak kota penting Hindia Belanda kala itu.
Surono mengatakan, Wichmann memang berkontribusi memberikan data gempa yang pernah mengguncang Jakarta. Dia mengatakan, data gempa besar di Jakarta dilacak dari dokumen Belanda. Salah satunya katalog gempa Arthur Wichmann. Katalog tersebut disusun Wichmann di Royal Academy of Science di Amsterdam pada 1918.
Peneliti dalam makalah Indonesia's Historical Earthquakes mencatat, gempa 1780 memang sedikit tercatat dalam literatur. Guncangan dari dalam tanah akibat gempa ini terasa di seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke tenggara Sumatera. Goncangan paling kuat gempa ini terasa di Jawa Barat. Di Batavia kala itu, gempa menyebabkan 27 gudang dan pemukiman runtuh di kanal Zandsee dan Moorish di area Jakarta Pusat saat ini.
Sebuah Buku berjudul Transits of Venus: New Views of the Solar System and Galaxy mencatat, bahwa Observatorium Mohr yang terletak di Batavia, adalah observatorium yang sukses melaporkan beberapa kejadian Transit of Venus (kondisi saat Matahari Venus dan bumi dalam satu garis). Namun, observatorium tersebut hancur akibat gempa tahun 1780. Padahal observatorium pertama di Batavia itu selesai dibangun pada 1765. Robuhnya observatorium itu juga ada dalam catatan Wichmann.
Gempa itu digambarkan Wichmann, memicu terjadinya ledakan dahsyat di Gunung Salak, 2 menit setelah goncangan. Gempa itu juga membuat Gunung Gede 'batuk'. Sementara di Bantam (Banten) terjadi getaran kuat. Wilayah Cheribon (Cirebon) hanya mengalami getaran lemah atau kecil.
Dampak gempa juga terasa di lautan. Kapal Willem Frederik yang sedang masuk di Selat Sunda merasakan gempa dasar laut akibat gempa tersebut. Albini dkk dalam buku Global Historical Earthquake Archive and Catalogue (1000-1903) memperkirakan, gempa 22 Januari itu punya magnitudo 8,5 atau lebih.
Dalam analisis Indonesia's Historical Earthquakes, peneliti Geoscience Australia berhipotesa, sumber gempa 22 Januari 1780 adalah Sesar Baribis yang terletak di bagian utara Pulau Jawa dan membentang dari Kabupaten Purwakarta ke perbukitan Baribis di Kabupaten Majalengka.
Data yang terbatas dari gempa 22 Januari ini, peneliti memperkirakan kala itu Batavia (Jakarta) mengalami intensitas getaran gempa 8 MMI, Buitenzorg (Bogor) mengalami intensitas 7 MMI, Banten mengalami intensitas 6 MMI dan Cheribon (Cirebon) dengan 3 MMI.
Dalam skenario maksimum, hanya Batavia yang mengalami intensitas 8 MMI dalam gempa tersebut. Dari analisis tersebut, sumber gempa 22 Januari itu berasal dari kedalaman daratan 12 kilometer dan membentang sampai 45 kilometer.
Analisis lanjutan berbasis perangkat lunak InaSAFE menunjukkan, jika gempa 22 Januari 1780 terjadi pada kondisi yang sama, maka kemungkinan akan menimbulkan korban 34 ribu jiwa dan memaksa sekitar 50 juta warga mengungsi.
Orang-orang berhamburan keluar dari gedung saat gempa mengguncang Jakarta beberapa waktu lalu
Istana Bogor Runtuh
Malam hari, tanah berguncang kembali melanda Batavia pada 10 Oktober 1834. Dampak tanah bergetar terlihat jelas pada pagi harinya.
Beberapa lokasi di Batavia mengalami kerusakan. Beberapa permukiman dan bangunan batu termasuk Istana di Weltevreden, yang kini menjadi Gedung Kementerian Keuangan, rusak. Sejumlah gudang Hindia Belanda dan perumahan kota Batavia juga rontok.
Sementara di Batavia timur, Tjilangkap (Cilangkap) beberapa rumah batu dilaporkan mengalami kerusakan sebagian dan rusak parah.
Menurut makalah Indonesia's Historical Earthquakes, gempa kala itu dianggap sebagai gempa terburuk yang melanda di Batavia. Untungnya tidak ada korban jiwa yang jatuh di Batavia.
Sedangkan getaran dan kerusakan terjadi di Buitenzorg (Bogor). Makalah itu menyebutkan hampir semua bangunan dari batu di kota ini tak bisa dihuni, sebab rusak parah dan sebagian bangunan lainnya runtuh. Bahkan gempa tersebut membuat bagian utama Istana Buitenzorg atau Istana Bogor runtuh. Bagian yang runtuh termasuk bagian tengah istana, dinding luar timur istana dan dan ruang pengiriman paling utara istana.
Kantor pos di Cihanjawar terkubur tanah dan menyebabkan korban jiwa 5 orang dan 10 kuda. Sungai Cihanjawar juga penuh dengan serpihan dampak reruntuhan gempa. Banjir ganas juga membawa reruntuhan kantor pos di sungai tersebut.
Gempa 10 Oktober 1834 dampaknya juga terjadi di Bantan (Banten), Krawang (Karawang), Preanger (Priangan).
Goncangan di daratan itu untuk wilayah timur terasa sampai ke Tagal (Tegal), dan wilayah barat terasa di Lampong (Lampung). Perkiraan peneliti, magnitudo gempa tersebut yakni 7 SR.
Kesamaan distribusi dan intensitas gempa di area terdampak mengindikasikan sumber gempa 10 Oktober ini mirip dengan yag terjadi di tahun 1699, tapi dengan magnitudo yang lebih kecil.
Analisis peneliti berkesimpulan skenario gempa 10 Oktober ini yakni gempa daratan yang bersumber dari Sesar Baribis, dengan tipe sesar naik. Pusat gempa pada kedalaman 12 kilometer dan membentang sampai 45 kilometer. Skenario ini sesuai dengan tingkat intensitas getaran dan dampak yang terjadi.
Berdasarkan laporan area yang paling terdampak dari gempa ini adalah Batavia, Buitenzorg, Tjanjor (Cianjur), istana dan rumah bupati di Cihanjawar sebagin runtuh dan terjadi longsor besar.
Kerusakan tersebut merupakan tipe intensitas gempa 8 MMI. Dalam simulasi MMI, dampak Sesar Baribis itu menimbulkan intensitas gempa tipe 8 dan 9 pada area terdampak, dan dan simulasi itu sesuai dengan intensitas getaran gempa yang dilaporkan.
Skenario ini juga menghasilkan intensitas gempa tinggi di Banten, Karawang dan Tegal, namun menariknya tidak ada laporan kerusakan signifikan yang terjadi di area tersebut.
Peneliti menduga, kemungkinan karena kedalaman gempa 12 kilometer di dalam tanah dan guncangan tanah terkonsentrasi sebagian besar terjadi di dekat sesar. Teorinya, saat jarak daerah terdampak makin jauh dari sumber gempa, maka intensitas gempa harusnya menurun atau kecil.
Analisis lanjutan berbasis perangkat lunak InaSAFE menunjukkan, jika gempa 10 Oktober 1834 terjadi pada kondisi yang sama, maka kemungkinan akan menimbulkan korban 40 ribu jiwa dan sekitar 60 juta warga mengungsi.
Berdasarkan peta sumber dan bahaya gempa Indonesia 2017 yang dipublikasikan Kementerian PUPR, ada tujuh sesar mengepung dan potensial mengguncang Jakarta. Tujuh sesar tersebut yakni Sesar Ujungkulon B, Sesar Ujungkulon A, Sesar Lembang, Segmen Subang, Segmen Rajamandala, Segmen Nyalindung dan Segmen Cimandiri.
Sedangkan sumber potensial gempa megathrust sekitar Jakarta yakni Segmen Jawa Barat, Segmen Enggano, Segmen Selat Sunda, Palung Jawa dan Palung Sunda. Siapkah warga Jakarta? (umi)